Dua puluh sembilan hari yang lalu….. sebenernya sih…. tepat
usia saya delapan belas. Tapi untuk saya, bertambah usia tuh semacam hari Nyepinya
pemeluk agama Hindu. Sepengetahuan saya sih, kalau di Nyepi kita diminta untuk
merenung apa yang telah dilakukan selama ini. Ya begitu lah ketika saya delapan
belas tahun.
Penginnya pasti lebih baik lagi, ya begitu pula dengan
saya. Tapi jatuhnya kok… malah… sebulan ini update blog kemarin doang. Rasanya support
udah di mana-mana, tapi saya sendiri yang nggak mau maju. Errrr…. momen-momen
yang menyebalkan.
Tri Pusat Pendidikan (Ki Hajar Dewantara): keluarga, sekolah dan masyarakat adalah elemen penting untuk mensukseskan pendidikan nasio...
“Akhirnya
selesai juga!” adalah kalimat pertama yang saya ungkapkan ketika jam dua pagi
di hari Sabtu, 4 Juli 2015 baru selesai ngerjain tugas makalah pertama sebagai
mahasiswi. Astaga, bikin makalah dengan title
‘mahasiswa’ lebih susah dibandingkan ketika masih jadi anak yang pake
seragam putih abu-abu.
Makalah dengan
topik Pendidikan Karakter ini ditugaskan untuk beberapa peserta terbaik di P2KK
dengan waktu satu minggu aja! Untungnya saya terselamatkan dengan event
Roadshow Future Leader Summit yang baru aja kemarin saya datangi, setidaknya
ada sedikit banyak informasi tentang pendidikan di Indonesia yang saya tau.
Ngumpulinnya pun
absurd banget, siang itu saya masih bareng-bareng temen P2KK, temen-temen
kelompok Ibnu Sina. Karena kampus saya emang jalannya naik turun, saya males
kalau harus ke rusunawa UPT. P2KK jalan kaki, dan saya masih gak bawa motor.
Nebeng adalah cara terbaik. Dan ternyata temen-temen Ibnu Sina memiliki cara
yang lebih baik dibandingkan nebeng.
Temen saya,
Naila, pinjemin motornya buat Yordan demi nebengin saya ke UPT. P2KK. Yordan
juga lagi gak bawa motor. Mereka memang tau cara terbaik bagaimana membuat
temannya cinlok. Akhirnya saya dan Yordan ke parkiran dengan petunjuk seadanya
dan STNK, kata Yordan, “Kita udah kayak
cari doorprize aja.” Hahahahahaha.
Kami kembali ke
kampus pun sempat diomelin bapak tukang parkir karena kepolosan kami sebagai
Maba (Mahasiswa Baru). Bahkan ketika udah memarkirkan motor dengan cantik, saya
dengan polosnya, “Terus kita keluar lewat mana ya?” Dan Yordan pun membalas, “Lewat sana lho, jangan maba banget tah.” Hahahahaha.
Terlepas dari
balik layar pembuatan makalah, saya suka banget dengan topik yang diberikan, asik! Bukan
karena background saya selalu turun tangan di bagian pendidikan, malah enggak.
Jurusan yang saya pilih sekarang pun Ilmu Komunikasi. Tapi mata hati saya
terbuka ketika Anies Baswedan mengungkapkan bahwa, “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang
terdidik.”
Awalnya saya
nggak nangkep juga gimana sih maksudnya tanggung jawab semua orang terdidik.
Tapi setelah kemarin ngerjain makalah dan sedikit banyak tau beberapa
referensi, saya rasa asik nih kalau kalian juga tau apa maksud dari yang
diungkapkan Pak Anies, setidaknya kita nggak menggampangkan bahwa
tugas terdidiknya anak bangsa itu hanya tugas pendidik dan pemerintah aja.
Nah terus
sebenernya tanggung jawab siapa, dong?
Bapak Pendidikan
kita, Ki Hajar Dewantara punya sistem: Tri
Pusat Pendidikan. Bahwa yang berkewajiban mensuskseskan pendidikan nasional
bukan hanya pendidik, tapi ada tiga segmen: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Asek, berat amat kali ini tulisannya.
Ketika menulis
buat makalah, saya agak cenut-cenut juga sih, masyarakat bisa mendidik lewat
apa sih? Dan saya sebagai bagian masyarakat yang dianggap segmen penting untuk
mensukseskan pendidikan nasional salting juga dong kalau nggak berbuat apa-apa.
Ternyata banyak
cara yang bisa kita lakukan gaes! Contoh sederhana aja, komunitas buat anak muda itu salah satu cara mendidik anak bangsa.
Karena ada wadah berkarya, anak mudanya jadi nggak salah fokus untuk salah gaul.
Atau event-event positif, kan sekarang juga banyak tuh event-event yang hanya seneng-seneng
aja.
Contoh kasusnya
yang terkait dengan peran pendidikan…
cabe-cabean. Sering kita suka menyalahkan secara sepihak, entah cabe-cabean
itu salah orang tua atau salah pendidik. Padahal bukan lagi waktunya kita saling menyalahan, tapi
udah waktunya kita sama-sama sadar bahwa untuk mengubah bangsa butuh sinergi
yang kuat dari berbagi segmen, dan semua itu dimulai dari diri kita sendiri.
Nggak cukup
sekolah yang bisa menyadarkan cabe-cabean kalau yang mereka lakukan tuh gak
baik. Atau kita nggak bisa memaksa orang tuanya menjadi baik, karena mereka kan
juga punya latar belakang yang nggak bisa kita paksa.
Tapi kita nih,
sebagai masyarakat, bisa lho mengingatkan mereka yang misalnya bonceng bertiga,
bilangin aja kalau bahaya. Atau cara yang paling gampang, lihatin aja mereka
dengan tatapan nggak enak, lama-lama semoga mereka malu hihihi. Hal-hal yang
semacam ini juga bisa dianggap ‘mendidik’ lho, mengedukasi mereka untuk belajar
rasa malu terhadap kesalahan mereka. Yang penting usaha dulu, demi bangsa ini. Asek.
Tau juga kan
kalau di TV sekarang ada orang ngerokok disensor, pakaian yang nggak sopan
disensor juga? Sebenernya itu dalam rangka mengedukasi masyarakat, khususnya
anak-anak agar nggak dicontoh. Makna
pendidikan emang luas banget, nggak terbatas oleh sebuah gedung yang sering
disebut sekolah atau universitas.
*******
Video lama sih, tapi masih ngena maknanya.
Setiap orang
punya perannya masing-masing. Ya karena perbedaan itu lah yang bisa membangun
suatu bangsa, keanekaragaman itu yang malah mengkokohkan sebuah Negara. Dan
ketika kamu, saya, kita, tau di mana posisi kita, itu artinya… kita sudah siap
mengubah bangsa ini pelan-pelan.
Kalau kamu suka
design, berarti tugasmu bikin designer Indonesia di mata dunia jadi diakui.
Kalau kamu tertarik dengan politik, waw keren, saatnya kamu buktikkan bahwa
politik Indonesia masih ada harapan untuk dibenahi.
Karena mengubah
Indonesia menjadi lebih baik tidak perlu menunggu kita ada di pemerintahan.
Bukan berarti kita bukan siapa-siapa terus kita hanya duduk dan menuntut
perubahan. Kontribusi itu seperti luka di wajah, sekecil apa pun pasti akan
kelihatan.
Yuk, mengubah
bangsa semuda mungkin, mulai dari apa yang paling kita bisa! :D
Buku rekomendasi: Mengubah Indonesia, by Pandji Pragiwaksono.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances