Mungkin, ini tulisan yang paling random dari sekian post yang pernah ada. Biasanya setiap saya menulis selalu terstruktur, ada topik ...



Mungkin, ini tulisan yang paling random dari sekian post yang pernah ada. Biasanya setiap saya menulis selalu terstruktur, ada topik apa lalu membangun kemauan untuk menulis kemudian di-publish. Kali ini berbeda, pengiiiiin banget nulis tapi gak ada topik.

Sebenernya ini efek kafein sih, sejak kopi pertama yang saya nikmati, Americano, setiap saya ngopi, efeknya pasti nggak bisa tidur didukung dengan rasa excited untuk melakukan sesuatu. Kayaknya semangat bangeeeet gitu, ya kayak sekarang ini, pengiiiin banget nulis. Jadi, kali ini saya memutuskan untuk menulis sedikit cerita yang terjadi kemarin, hari Jum’at, 22 Januari 2016, yang tepatnya mengenai perkenalan saya dengan kopi-kopi nusantara.

Di hari Jum’at saya ada janji dengan seseorang yang sebenarnya sih saya nggak terlalu kenal, kami dipertemukan agak lucu, tapi sejak pertemuan ini kami akan menghabiskan waktu bersama untuk jangka waktu yang sangat lama. Firda namanya, saya nggak ingin terlalu menceritakan apa yang sedang kami bicarakan, karena ini ada di topik lain, next time akan saya ceritakan siapa sih Firda ini, tungguin ya.

Di tengah-tengah saya ngobrol dengan Firda di dW Coffee—coffeeshop favorit saya, tiba-tiba Mas Doyoke menyapa, “Woi Meg, Masmu mana? Mau tak ajak main dia.” Mas Doyoke ini foodies Malang yang cihuy sekali soal memotret makanan dan social media strategy. Akhirnya hari itu saya dan Firda dikasih tau banyak hal soal marketing di social media dan beberapa buku yang direkomendasikan Mas Doyoke, waw terima kasih banyak Mas Doyoke!

Lalu Mas Adit—salah satu owner dW Coffee ikut ngobrol dan menawarkan untuk mencoba manual brewing, cuma karena saya lagi nggak fokus dan sedang ada di pertengahan jalan jelasin konsep ke Firda akhirnya tawaran itu kandas, Mas Adit pun juga kebetulan pas dipanggil temannya.

Hiks, tapi, Mas Adit, please, kalau saya ke dW Coffee lagi ajakin nyoba manual brewing, please. Saya sering banget baca websitenya Otten Coffee sambil lihat alat-alat bikin kopi gitu dan bertanya-tanya gimana caranya bikin kopi sendiri. Rasanya pasti nikmat ketika tidak harus ke kafe untuk menikmati sebuah kopi yang nikmat. Akhirnya selama ini ketika di rumah, apalagi kalau lagi hujan, kalau nggak bikin milo hangat ya bikin teh hangat.

Kebetulan sekali, Mas Adit baru saja selesai dengan kopi Papuanya…… oke saya lupa nama biji kopinya, entah Papua Wamena atau apa. Sebut saja Si Papua.  Sebenernya saya datang ke dW ini bukan buat ngopi, karena kemarin malamnya saya abis ngopi di Aftertaste dan badan saya hari itu lagi nggak enak, lebih baik nggak ngopi dulu pikir saya, tapi alam semesta tak mendukung niatan baik ini.

Jadi di setiap hari Jum’at, dW Coffee ini punya program yang bernama #FridayCoffee, di mana khusus hari itu hanya ada menu kopi dan semuanya hot. Mau nggak mau akhirnya saya pesan kopi, saya memesan Latte, kandungan susu di Latte ini lebih banyak dari beberapa kopi yang lain, yaaaaa saya pikir mungkin nggak terlalu ngefek lah kafeinnya, tapi lagi-lagi niat baik saya kandas dengan tawaran kopi dari Mas Adit yang sangat khayal untuk menolaknya.

Mas Adit      : “Ini 100% Arabica. Rasanya asam, pahitnya sedikit banget. Siapin air putih, ya.”
Firda          : “Lho emang kenapa, Mas?”
Mas Adit      : “Ya mungkin nggak cocok dengan rasanya.”

Saya mulai mencoba menyeruput Si Papua ini, amazing, rasanya asik banget! Ini adalah single origin yang paling saya suka! Saya beberapa kali mencoba single origin, tapi belum menemukan yang membuat saya rindu.

Busa yang bisa kalian lihat di gelas ini sisa-sisa foamed milk, jadi kalau diminum ada sensasinya sendiri di dalam mulut. Ini Cappuccino, jadi lebih banyak gitu foamed milknya, lebih terasa.
Kayak saya suka banget Cappuccino daripada Latte, karena kalau Cappuccino itu selain lebih pahit, foamed milknya lebih banyak daripada Latte. Jadi ketika minum itu rasanya lucu gitu, foamed milknya kerasa banget di bibir dan dalam mulut, beda dengan Latte yang lebih ringan dan karena susunya lebih banyak jadi lebih nggak pahit. Nah, kalau single originnya saya belum nemu yang bener-bener saya suka. Tapi Si Papua ini mencolek lucu hati kecilku ini. *apasih*

Mas Adit      : “Gimana? Nggak ada pahitnya ya?”
Saya           : “Iya, nggak ada…”
Mas Adit    : “Iya, jadi ada beberapa kopi yang asamnya mengganggu, extra-acidity, tapi kalau yang ini enggak.”
Firda          : “Aku malah baru tau kalau kopi itu bisa asam.”
Mas Adit     : “Kecenderungan orang Indonesia memang minum kopi Robusta, terbiasa dengan kopi yang pahit. Padahal ada jenis kopi lainnya , Arabica, rasanya asam dan aromanya macam-macam. Kayak yang ini, baunya lebih ke caramel.”
Saya           : “Ooooh, jadi kalau Arabica tuh lebih bisa punya aroma yang macam-macam. Kalau Robusta nggak bisa ya?”
Mas Adit      : “Iya, Robusta itu aromanya kacang, terbatas lah pokoknya dan hanya ada rasa pahit.”

Akhirnya di sini saya jadi paham kenapa si Arabica ini lebih mahal daripada Robusta, padahal lebih pahit si Robusta. Firda nggak kuat sama asamnya, akhirnya saya yang menghabiskan, suruh ngabisin secangkir lagi juga nggak papa kok, enak banget!

Single origin pertama yang saya coba, v60 - Toraja.

Dulu saya sempat berpikir bahwa sepertinya saya bukan orang yang suka kopi asam, tapi ternyata salah, waktu itu saya hanya kaget dengan ‘kopi yang asam ternyata begini ya’ dengan single origin yang memiliki tingkat keasaman tinggi, Toraja.

Sore itu saya mau nggak mau menuruti teman saya untuk ngopi di 8ozcoffeestudio, saya udah lama sih penasaran dengan kedai kopi satu ini, jadi saya mengiyakan. Kedainya minimalis, sebenarnya cantik dan nyaman untuk ngopi, tapi sore itu teman saya yang juga suka kopi, Dandy, memilih tempat yang nggak pewe sama sekali.

Dandy ini asalnya Makassar, dia begitu mencintai tempat asalnya sampai akhirnya merekomendasikan si Toraja. Oke, saya setuju. Ini kali pertama saya memesan single origin, jadi agak bingung ketika ditanya oleh mbak-mbaknya. Akhirnya saya dijelaskan apa perbedaan v60 dan syphon, kemudian saya memilih v60 dengan kopi Toraja. Karena kata mbaknya, aromanya akan lebih kuat jika brewing-nya menggunakan v60.

TERNYATA KOPI TORAJA ASAM SEKALI dan ternyata memang Toraja ini merupakan single origin yang punya tingkat keasaman tinggi. Karena kopinya mahal, sekitar 34.000, ya saya mau nggak mau menghabiskan. Dandy hanya menyeruput sedikit dan Ozi bahkan sangat kaget dengan rasanya dan langsung minum kopi yang dipesan Dandy, kebetulan Dandy saat ini memesan es kopi yang entahlah namanya apa.

Hmmm mungkin saya nggak suka kopi asam….

V60- Sumatra Gayo. Di Coffee Toffee ini selain tempatnya emang ada yang ber-AC, cangkirnya imut-imut.
Tapi saya tidak menyerah untuk mengenali beberapa single origin lainnya, akhirnya saya memesan v60—Sumatra Gayo di Coffee Toffee Malang. Saya kepoin mas-mas barista yang ramah sekali ini, karena katanya Sumatra Gayo asamnya lebih soft daripada Toraja, saya pun memesan dan rasanya mulai agak bersahabat dengan lidah.

Sumatra Mandhelingnya Aftertaste

Kemarin lusa, Kamis 21 Januari 2016, saya bosan sekali di rumah dan mencoba ke Aftertaste, kedai kopi yang udah lama bikin saya penasaran dan kebetulan nggak jauh dari rumah (butuh 5 menit aja pake sepeda motor). Saya nyobain Drip (Pour Over)-Sumatra Mandheling, asiknya di sini... pouring air panasnya di atas meja yang kita lho, jadi saya bisa motret dengan leluasa. Menurut saya sih, tingkat keasamannya satu tingkat lebih tinggi dari pada Sumatra Gayo. 


Sempet juga nyobain single originnya Java Robusta, karena si dia ini Robusta jadi nggak ada asamnya sama sekali, pahit saja dan memang saya ingat nggak ada aroma khasnya, saya nyobain Java Robusta di dW Coffee dengan syphon.

Agak bingung ya saya ngomongin apa? Oke saya jelasin tipis-tipis ya, nanti kalau masih ada yang bingung, kasih komentar aja bingung di mananya, nanti saya usahakan dibahas di artikel selanjutnya.

Oke, mari kita mulai dengan Arabica dan Robusta. Jadi jenis kopi itu ada dua: Arabica dan Robusta (sebenernya ada dua jenis kopi lainnya, Luwak dan Liberika, well saya gak paham dua jenis yang ini, tapi yang umum ya Arabica dan Robusta). Sedangkan kalau kalian tau ada Toraja, Sumatra Gayo, Bali Kintamani, Flores dan semacamnya itu asal dari kopi tersebut dari mana, mereka ini disebut ‘single origin’, ketika kopi dicampur entah itu biji Arabica dengan Arabica, Robusta dengan Arabica ataupun sebaliknya udah bukan single origin lagi. Sedangkan v60, Aeropress, syphon itu semacam ‘cara bikin kopinya pake yang mana’, karena setiap cara bakal punya kelebihan masing-masing.

Jadi jika ingin memesan single origin kamu akan memilih dua hal: kopi dari mana dan pake cara yang apa. Misalnya saya pesan kopi Bali Kintamani dengan v60. Nah, single origin ini seringnya pake Arabica, atau bahkan hampir semua barista, tapi Mas Fais—owner dW Coffee saat saya kepoin via LINE pernah bilang, “Tapi semisal ada yang minta robusta kita ladenin juga kok…”

Nah, kalau Cappuccino dan Latte kita juga bisa memilih cara brewing-nya nggak? Pake v60, aeropress dan lain sebagainya? Well, saya nggak paham dan nggak terlalu berani menjawab. Tapi karena di setiap kedai kopi yang saya datangi nggak ada v60 – cappuccino, jadi ya tidak ada. Dan juga cappuccino ini kan perpaduan antara kopi, susu dan foamed milk, jadi udah beda jauh dengan single origin.

Terus Cappuccino atau Latte gitu pake Arabica apa Robusta? Hmmm… setiap barista memiliki takarannya sendiri-sendiri. Kalau di dW Coffee menggunakan takaran yang mereka sebut ‘dW blend’.

Waaaah, pokoknya Jum’at kemarin itu benar-benar Jum’at barokah. What-a-great-day sekali. Mulai dari akhirnya dapet partner, ngobrol banyak hal sama Mas Doyoke dan Mas Adit, menemukan single origin yang nikmat sekali dan diakhiri dengan open mic-nya Stand up Comedy Malang atau yang lebih dikenal dengan #JUMATAWA. Terima kasih banyak teman-teman!

photo by arifoetomo

Sebenarnya masih banyak sekali yang ingin saya ceritakan soal kopi, apalagi kopi pertama yang saya nikmati, Americano. Gimana ceritanya yang dulunya ngopi selalu pake gula sekarang nggak lagi pake gula. Atau kedai-kedai kopi favorit saya yang lain di Malang, ada Boim Koffie dan Coffee Toffee. Aftertaste ini juga unik, nanti saya usahakan untuk menulis semuanya ya. Atau saya juga pernah tuh punya pengalaman ngopi di tempat yang cantik banget, harganya mahal, tapi rasa kopi dan minuman lainnya zonk alias kosyoooooong. Sampai jumpa di #KepoKopi lainnya ya! 

Lima desember di tahun 2015 kemarin akhirnya saya datang ke sebuah konser, swimming pool concert gitu di Malang. Konser musik da...



Lima desember di tahun 2015 kemarin akhirnya saya datang ke sebuah konser, swimming pool concert gitu di Malang. Konser musik dari sebuah indie band pertama yang saya tahu, sebuah indie band yang mengantarkan saya untuk lebih mengenali musik yang bisa saya nikmati, musik folks. Yup, indie band tersebut adalah The Trees & The Wild atau yang sekarang namanya menjadi Trees & Wild.

Hmmm, saya excited sekali untuk menulis ini.

Jujur aja nih ya, saya nggak terlalu tau soal musik, perbedaan musik ini dan musik itu. Pun saya nggak terlalu paham folk itu musik apa, saya tahu bahwa Trees & Wild genrenya folks ya karena internet. Tapi soal musik, saya bukan orang yang gampang terbawa oleh zaman. Hitsnya ini saya suka, hitsnya itu saya suka. Saya bahkan nggak suka ketika musik di HP saya bukan musik-musik yang saya tahu dan suka.

Empat tahun yang lalu, tahun 2012 adalah pertama kali saya kenal Trees & Wild dengan masih menggunakan nama yang lama The Trees & The Wild atau sering disingkat TTATW. Kira-kira saat itu saya kelas 3 SMP dan saya sering banget ngobrol dengan Mas Momon (@momongila), saya follow dia karena dulu dia koordinator Nidjiholic Malang dan saya adalah salah satu di antara Nidjiholic Malang. Nah, semenjak Nidji udah mulai beda nih musiknya, saya dan Mas Momon udah nggak lagi mengikuti Nidji dan saya masih rajin tanya-tanya musik yang asyik didengerin. Mas Momon pun menyarankan The Trees & The Wild dengan tiga lagunya: Berlin, Irish Girl dan Our Roots.

Paginya saya dengerin ketiga musik itu ketika berangkat sekolah dengan HP Nokia saya yang sebenernya nggak bisa untuk menyimpan musik lebih dari 10 lagu. Saya dibonceng Ayah dengan motornya dan entah kebetulan atau seperti apa, ban motor Ayah saya bocor! Tapi karena saya dengerin musik dan dengan kesan pertama, “Gilak, ini asik banget sumpah!” saya seakan tidak terlalu peduli saya harus bergegas ke sekolah dan tidak mempermasalahkan ban yang bocor itu.

Hahaha, memorable banget. Pertama kali denger dan langsung suka.

Kemudian saya langsung SMS temen saya yang paling suka musik, namanya Enes, saya SMS: Nes, aku ada musik keren banget, nanti di sekolah kamu harus dengerin. Saya udah heboh banget, seakan menemukan harta karun di antah berantah dan ketika saya memasang earphone ke telinga Enes dan mendengarkan tidak ada 1 menit, Enes pun merespon dengan, “Musik apa sih ini, Meg? Apa sih ini, Meg?”

Anjir.
Gak seru.
Bodo deh.
Hahaha.

2012, tahun di mana para perempuan sedang terkena ‘korea fever’, awalnya saya bahagia karena kelompok pertemanan saya tidak terkena virus itu dan di antaranya sempat berkomentar, “Duh, ngapain sih anak-anak itu suka musik korea. Gak cinta Indonesia banget. Padahal masih banyak lho boyband Indonesia yang keren, SMASH nggak jelek-jelek banget kok.”

Saya mengiyakan mesti nggak tau lagunya SMASH itu apa aja.

Kemudian akhirnya beberapa waktu setelah itu, kelompok bermain kami ini diajak teman-teman yang terkena ‘korea fever’ untuk nonton drama korea dan beberapa mv (music video). Saya pun ikut. ENTAH KENAPA, akhirnya teman-teman saya langsung suka dengan musik-musik korea dan CEPAT MENGHAFAL PERSONILNYA!

Sedangkan saya, “Mana sih yang ganteng? Masa sih itu ganteng? Enggak juga sih, rek.”

Menurut ilmu Sosiologi, pada dasarnya manusia berusaha untuk tidak menjadi berbeda dalam sebuah kelompok, akhirnya dengan terpaksa saya menunjukkan bahwa ‘saya terlihat menyukai satu tokoh karena dia ganteng’ dan besoknya udah lupa yang mana muka dan namanya.

Nggak lama setelah itu, masih di kelompok bermain yang sama, mereka mulai mengubah opini mereka, “Eh asik juga ya musiknya korea hahahahaha, kok bisa sih waktu itu kita mendukung SMASH banget hahahahaha. PADAHAL BEDA JAUH.”

Serius, ini true story.

Ketika di kelas saya agak merasa unsos alias semacam anti-sosial kalau udah ngomongin soal musik. Karena semua teman perempuan saya di kelas suka musik korea dan mereka selalu dengerin mv rame-rame, saya sendiri yang masih berdiri dengan tegap dan tidak menyukai musik korea. Saya cuma bisa mojok sendiri sambil dengerin musik The Trees & The Wild. Agak pedih ya?

Sampai kelas 10 alias 1 SMA saya masih lekat dengan: cewek yang punya playlist musik aneh. Temen saya, Regina namanya, dia hafal banget kalau dulu saya di kelas suka memutar musik-musik yang aneh. Akhirnya kelas 11 hingga kelas 12, di mana di kelas ada 9 anak dan kami dari jurusan bahasa, saya mulai dianggap tidak aneh. KARENA KAMI SEMUA MEMPUNYAI SELERA MUSIK YANG BERBEDA DAN FREAK SEMUA!

Iya, serius. Kesembilan anak tersebut adalah: Ira, Cece, Disa, Nilna, Salma, Pipeh, Lely dan Marel. Di antara kami punya musik yang hanya bisa dinikmati sendirian. Tapi kita selalu nyambung ketika dengerin musiknya AKB-48 yang dibahasa-jawa-in (saya lupa judulnya apa).

Saya nggak terlalu ingat ya Salma, Pipeh, Lely dan Marel ini menyukai musik yang seperti apa. Tapi yang paling saya ingat adalah Ira, Cece, Disa dan Nilna. Mari kita mulai dari musik yang menurut saya punya selera musik paling freak.

Nilna, dia tuh suka memutar musik Jepang yang bener-bener cepet dengan bahasa Jepang dan dia hafal, SETIAP DI-LOUDSPEAKER SAYA PUSING. Disa, nih anak meskipun yang paling religius, musiknya itu yang instrumental serem-serem itu lho, entahlah apa namanya, serem pokoknya. Ira dan Cece ini yang paling nyambung sama saya, meskipun nggak semua musik yang saya suka mereka paham, begitu pun sebaliknya. Cuma dari mereka saya jadi tahu indie musik lainnya, dari mereka saya jadi tau Banda Neira.

Eh, sebenernya kita nggak hanya 9 sih. DULU, ada satu cowok, sendirian, yang ada di kelas kami. Namanya Mas Bagus, tapi akhirnya dia pindah karena nggak tahan di sekolah dan cowok sendirian di kelas. Musik yang disukainya adalah musik hardcore, saya sempet disuruh dengerin gitu sih, jadi di antara musik-musik itu ada yang bener-bener liriknya menyuruh untuk kita tidak menyembah Tuhan dan menyembah band itu. Awalnya saya malah nggak tau apa-apa yang diucapkan si vokalis, tapi Mas Bagus jelasin dan saya ketawa ngakak banget. Gilak, hardcore banget! Berat, berat, berat.

*************



Yak, itu dia cerita yang nggak akan saya lupa bagaimana saya mulai suka dengan musik indie dan kenal musik-musik lainnya. Makanya, ketika dengar Trees & Wild mau ke Malang.. SAYA EXCITED BANGET DAN LANGSUNG KECEWA. Kecewa karena pada tanggal itu saya ada kegiatan baksos yang gak bisa ditinggalkan, namun… AKHIRNYA BAKSOSNYA DITUNDA! Ketika tau ditunda, saya langsung beli tiketnya!

Trees & Wild baru tampil sekitar pukul 8 atau 8.30 lah. Nah, saya dan kebetulan ditemani Arif setelah maghrib (acaranya sebenarnya mulai sore) kami udah ada di Permata Jingga Swimming Pool. Penyelenggara acara “THE LIVING ROOM” ini adalah Homeband Fisip UB (Universitas Brawijaya).

Saya agak iri dengan Homeband Fisip UB. Pertama, ini konser gede pertama yang mereka buat dan buat saya ini prestasi yang keren banget. Kedua, tiap tahun mereka selalu punya album kompilasi. Ketiga, jadi di kampus saya tuh kebanyakan musiknya ‘metal’ gitu, dan ketika ngelihat performance di sini, keren-keren banget band-nya, musiknya beberapa ada yang folks dan asik banget bisa dinikmati, lebih berwarna gitu sih musiknya.

Trees & Wild on the stage yow! 

Hingga akhirnya TREES & WILD perform! Saya nonton konser tuh cuma dua kali dan ini ketiga kalinya. Pertama, karena media partner, kebetulan acaranya anak Industri UB dan itu sepi banget jadi nggak kerasa konsernya. Kedua, Payung Teduh, saya nonton ini di Oktober 2015, berkesan banget sih, beda aja gitu konsernya, kalau kalian pengin nonton konser yang nggak ugal-ugalan dan semua penonton tuh duduk semuanya ke konser Payung Teduh aja, next boleh lah saya tulis di sini. Dan ini konser musik saya yang ketiga.

Uniknya, ketika mereka checksound ada backsoundnya gitu dan lampu di stage dimatiin. Jadi kayak siluet gitu sih. Baju mereka gelap-gelap. Checksoundnya agak lama, jadi sabar aja sambil menikmati backsoundnya. Kalau di-timelaps saya yakin keren banget.

Jadi sepaham saya nih, Trees & Wild yang mulai terbentuk tahun 2006 di Jakarta (tapi asal mereka beda-beda) hanya punya satu album, Rasuk. Tapi mereka tuh juga mengeluarkan musik-musik semacam Empati Tamako, Nyiur, Saija dan Tuah Sebak yang hanya menjadi demo di album kedua. Susah banget menurut saya buat dapetin informasi terbaru dari mereka. Cek di google images dengan keyword 'trees & wild' aja yang keluar foto pepohonan, saya kan jadi sedih :(. Atau saya aja yang terlalu kudet alias kurang update.

Trees & Wild. Motretnya gak bisa deket dan emang lagi enjoy sama musik, jadi gak terlalu banyak motret hehe. 


Bahkan saya nggak tau sejak kapan Trees & Wild ini ganti nama dan sebabnya apa nggak tau deh. Mereka pun lebih sering perform di luar negeri daripada di Indonesia. Nah ketika mereka perform di Malang nih, saya nggak terlalu tau musiknya, yang saya tau dari setlist musiknya ada Empati Tamako, meskipupn gitu tetep bisa menikmati sih, karena musiknya asik banget.

Buat saya, mereka punya performance yang unik. Saya suka Trees & Wild karena ketika mereka main musik nggak hanya sekadar untuk menghibur aja, tapi mengajak pendengar atau penonton masuk ke dalam musik itu. Passionate banget sama musiknya.

Berbeda dengan band lainnya, dari sekian setlist musiknya itu tadi buat kalian yang nggak tau musiknya mungkin akan mengira bahwa mereka hanya perform satu musik yang sangat lama. Karena mereka tuh menyampaikan musiknya semacam kayak ‘mendongeng’ gitu sih, satu musik ke musik lainnya menyambung dengan asik banget, nggak kayak medley atau mashup lho ya yang setiap perpindahan musik atau penggabungan musiknya kelihatan banget, tapi ini smooth banget gitu.

Yang bikin beda lagi dari Trees & Wild ini, karena musiknya menjadi sebuah musik utuh dalam sebuah performance-nya mereka jarang atau hampir nggak pernah interaksi dengan penonton dan buat saya ya itu cara mereka agar penikmat musiknya masuk ke dalam musik itu. Ya setiap musisi punya cara dan karakternya masing-masing.



Agak gak enak sih sebenernya menikmati musik Trees & Wild dalam sebuah konsep di swimming pool. Selain stage-nya jadi jauh, motretnya lebih susah dan susah dapet tempat pw (posisi wenak). Saya lebih suka menikmati musik dengan duduk sih, pengin banget bisa ada di jazz concert atau indie concert yang ada di kafe atau tempat indoor tapi duduk. Atau ada lagi nih yang asik, jazz gunung, jadi performancenya ada di atas gunung, next time saya harus ke sana!  

Soal konsep acara saya nggak terlalu paham sih, judul acaranya tuh kan “THE LIVING ROOM”. Tapi saya nggak tau soal ini hehe. Mungkin temen-temen yang paham soal ini (atau soal-soal lain yang saya kurang paham di post ini bisa membantu saya).

Saya sama Arif nih emang sama-sama suka Payung Teduh, tapi kan Payung Teduh sama Trees & Wild tuh beda jauh. Musik Payung Teduh yang mendayu-dayu dan mesra kalau Trees & Wild mendayu-dayu asik. Didukung lagi Arif emang nggak tau soal Trees & Wild, jadi dia bingung gitu di lokasi hihi. Maafkan daku Arif, buat saya sih lebih baik sendiri, tapi ya saya cewek, kalau pulang sendirian ya takut juga hehe. Tapi, terima kasih banyak sudah menemani!

Asyiknya lagi, di sini saya ketemu Mas Momon untuk pertama kalinya! Kata Mas Momon (selama ini hanya komunikasi via online), “Aku selalu nonton mereka ketika di Surabaya, nah tau mereka tampil di Malang aku kaget juga.” Wehehehe, terima kasih Mas Momon udah mengenalkan dengan musik lainnya. Saya masih sering dengerin Fleet Foxes dan King of Convenience yang disarankan Mas Momon.

Thanks Homeband Fisip UB! 
Kalau ada Trees & Wild di Malang, pasti saya akan datang! Ya meski agak impossible sih hehe. Ada juga keinginan buat main-main keluar negeri cuma buat lihat mereka. Ya someday lah, aamiin aamiin! Terima kasih Homeband Fisip UB yang udah mengundang indie band sekeren ini dan berani mengundangnya yang mungkin aja di Malang nggak banyak yang tau, kalian keren!

Ditunggu album keduanya Trees & Wild! Kalau udah rilis pasti saya akan beli albumnya, jangan susah-susah makanya dapetinnya! Oh ya, kalau kalian mau dengerin musiknya Trees & Wild di Youtube banyak kok, coba cek channel 'thewknd', di sana banyak musik indie yang live perform dan musiknya jernih dibandingkan liveperform lainnya. (Coba cari The Venopian Solitude, asik dan unik juga tuh)

Salah satunya bisa kalian cek Trees & Wild- Empati Tamako di bawah ini:


Kalau di Malang ada sih sebuah store untuk musik-musik Indie, lokasinya di sebelah kafe Kalampoki Quayhouse, ada REKARECORDS. Saya pernah sekali datang dan beli album kompilasi dari Banda Neira, Layur dan Gardika Gigih. Saya beli album 'Kita Sama-sama Suka Hujan'. Kalau kalian suka musik indie, yuk share juga indie band mana yang kalian suka! :) 

Ketika di SMA, banyak yang bilang, “Masih enak di SMP lho, santai banget sekolahnya.” Saya nggak setuju, karena saya merasa sangat b...



Ketika di SMA, banyak yang bilang, “Masih enak di SMP lho, santai banget sekolahnya.” Saya nggak setuju, karena saya merasa sangat bersyukur, di SMA saya dapet suasana yang baru, lebih asyik dan lebih positif. Ketika saya akan kuliah, semua bilang, “Beda banget lho kuliah, masih enak SMA,” Lagi-lagi ungkapan itu, ketika saya di kuliah, saya malah merasa lebih bahagia, karena mata kuliahnya gak sebanyak ketika saya di SMA.

Akhirnya saya mulai nggak percaya dengan frasa ‘masih-enakan-waktu-itu-lho’. Kemudian saya baca beberapa blogger yang udah nggak kuliah lagi dan mulai bekerja. Mereka bilang, kerja nggak lebih enak daripada kuliah, ketika pulang kuliah, kalian akan banyak kegiatan, tapi ketika pulang kerja, beda lagi. Iya, itu carita dari blognya Bang Ucup, di rahmanucup.blogspot.com.

Karena saya udah nggak percaya dengan frasa tersebut, dalam batin saya pun berkata, “Ada apa sih orang-orang ini, selalu ingin ada di zaman lampau. Ibarat grammar bahasa inggris, mereka ini lebih suka past tense. Ibarat asmara, mereka ini bagian dari sekumpulan orang yang susah move on.”

Apasih.

Nggak lama dari baca ceritanya, saya pun akhirnya bekerja. Ya, saya kuliah sambil kerja. Niatnya sih belajar nulis, belajar manajemen media dan sekaligus cari uang jajan tambahan. Poin pertama sama kedua itu saya butuh banget, yang ketiga? Itu apalagi, hwahahaha. 

Pertama saya jadi contentwriter di ngalam.co dan di perjalanan saya kerja di sana, tiba-tiba ada yang nge-chat saya di Facebook nawarin kerjaan, freelance contentwriter. Agak serakah ya sebenernya punya kerjaan dua, tapi percaya lah, kerjaan contentwriter itu sebenernya enak, bisa kerja dimana pun, nggak enaknya cuma satu: tertekan oleh deadline.

Nah, kali ini saya mau ceritain pengalaman kerja jadi freelance contentwriter. Karena dua kerjaan saya ini meskipun sama-sama contentwriter, ada pengalaman yang berbeda. Tiba-tiba saya di-chat seseorang lewat Facebook. Chat-ya kayak gini nih:

Bisa dibilang ini salah satu asyiknya jadi blogger dan aktif di media sosial. Bukan kita yang datang kepada pekerjaan, tapi pekerjaan yang datang kepada kita. Tapi tugasnya adalah: konsisten nulis dan berkarya, maka orang akan melihat kita.

Awalnya saya agak ragu, ada apa gerangan orang ini memanfaatkan Facebook sebagai medianya? Mengapa tidak e-mail? Jangan-jangan ini penculikan!!!! Ya gak gitu juga sih. Tapi di chat tersebut ada website yang cukup kredibel lah, kayaknya perusahaannya udah cakep banget nih manajemennya. Akhirnya saya respon, respon dan respon lagi, fix, saya jadi freelance contentwriter mereka.

Pertama-tama, saya dikirimi banyak referensi soal: SOP perusahaan mereka dan bagaimana seharusnya menulis. Dalam batin saya, “Anjirrrr, detail banget.” Ilmu saya pun bertambah, ternyata kalau nulis artikel tuh harus tau siapa pembacanya, kata-katanya harus gimana, mencari sumber tuh harus kayak gimana dan masih banyak lagi. Cakep buat media punya saya nanti! *aamiin*

Di awal, ada beberapa miss-communication. Pikiran saya udah yang, “Duh, jangan-jangan gak dapet orderan lagi nih.” Tapi enggak, editor saya ini malah jawab dengan, “Sementara ini gapapa, kan sekarang lagi bangun komunikasi.” Jadi kita nih sebagai contentwriternya makin asyik nulisnya, nggak tertekan atau ada beban bakal diomelin, tapi malah diajarin.

Selain saya jadi tau bagaimana seorang penulis dibayar, jadi dari dua kerjaan yang saya punya ini saya nerima gaji yang berbeda. Di ngalam.co saya digaji perbulan dengan mekanisme yang udah dijabarkan, sedangkan di freelance ini bayarnya per-artikel per-100 kata. Saya kan lagi ngembangin media nih, tapi bingung, nggak tau gimana sih bayar penulis tuh, dari sini deh saya dapet ilmu manajemen dan perhitungannya secara langsung. Hihihi.

Tau gak saya di freelance ini nulis apa? Hmm, kalau kalian sering baca blog ini mungkin kalian tidak akan menduga bahwa saya harus menulis: tentang resep. Ketika saya dijelaskan oleh editor, saya ketawa banget, “Serius nih nulis resep? Astagaa!!!” Di antara tulisan saya ada yang dipublish di resepkoki.co, cuma di sana gak ada nama penulisnya sih, tapi di antara artikelnya kalian bisa baca beberapa di bawah ini:

Tapi banyak manfaat ketika saya diminta nulis tentang hal seputar yang ada di dapur, jelas, saya cewek dan ujung-ujungnya pasti yang jago masak itu lebih sexy daripada yang hobi ngabisin duit suaminya. Ada momen-momen lucu ketika menulis.

E-mail pembawa berkah (re: uang jajan)

Di bulan Januari saya dapet orderan ‘7 tulisan plus plus’, kalau ‘plus plus’ itu identik dengan yang ‘ena-ena’, ini enggak, panjang-panjang banget deh artikelnya, tapi ya berimplikasi dengan besar transferannya sih. Nah salah satu artikelnya adalah: Tips Menata Kulkas.

Saya baca dong berbagai referensi dan ada tips: jangan simpan bawang di kulkas, selain meningkatkan pembusukan akan menggangu makanan lainnya, dan jangan juga disimpan di lemari karena aroma dari bawang sangat menyengat. Saya nulis malam hari dan langsung lari bergegas ke kulkas dan mengambil bawang saya dan menyimpannya di dapur. Hahahaha, ketahuan banget jarang di dapur sampe nggak ngerti bawang tuh seharusnya disimpan di mana.

Dari kerjaan ini saya jadi tau gimana sih masak cumi-cumi, cara membeli ayam yang sehat dan tidak berformalin dan banyak hal yang bermanfaat banget buat bekal saya sebagai ibu yang dirindukan oleh suami dan anak-anaknya karena sedapnya masakan di rumah. Eaaaaa.



Setelah kirim semua artikel, editor selalu kirim revisi, yang kadang-kadang harus dibenahi total. Ya maklum, namanya juga belajar, ketika nulis artikel saya lemah di kata-kata persuasif, tulisan cenderung flat.

Dan yang terakhir, meskipun fee-nya bisa dipake buat ngopi tipis-tipis, kalau orderan tulisan yang selesai satu hari biasanya dapet 100rb, kalau yang selesai dua hari, kayak orderan di bulan Januari ini kira-kira dapet 200rb lah. Nulis aja, bisa dimana pun, nggak perlu jago masak asal bisa tahan bosen baca berbagai sumber referensi. Tapi yang berat adalah: deadline.

Orderan bulan Januari ini diberi hari Kamis siang dan harus selesai Sabtu sebelum jam 12. Saya lagi UAS, tapi karena mata kuliahnya rilek, saya terima tuh, karena kalau dihitung-hitung bisa kok selesai dan sempet belajar. Intinya: kerja sama kuliah sama-sama jalan seimbang.

TAPI KETIKA LIHAT DETAIL ORDERANNYA, pusing pala Barbie. Butuh sabar banget deh nulisnya, bikin punggung saya pegel. Sampe Arif bilang ke saya, “Kamu kok jadi tertekan akan kerjaan kamu. Tidur jadi keganggu, kuliah tetep nomor satu lho.”

Wehehehe, pantes kok si Arif bilang gitu, karena kalau capek pasti yang kena dia, kalau ngeluh jatuhnya ke dia. Awalnya saya berpikir juga, “Jangan-jangan aku terlalu memaksakan diri, ini bukan kerja keras, tapi memaksakan diri.”

ngalam.co

Nah, ini ada kaitannya nih sama kerjaan saya yang di ngalam.co. Saya sempet minta resign, saya nggak kuat sama deadline dan permintaan kontennya. Tapi, pihak ngalam.co nggak memperbolehkan saya resign, tapi diberi banyak keringanan. Sampe akhirnya saya ketemu Mas Rio, beliau founder Wearemania sekaligus yang membimbing saya di ngalam.co.

“Kamu lho, Meg kenapa mau nyerah? Jangan dulu lah. Kamu cuma perlu skill aja buat nulis bisa cepet, satu jam bisa nulis 5 sampai 10 tulisan. Gaya nulis kamu itu emang bercerita banget, beda sama penulis online yang terbiasa re-writing, nanti biar Mas Tomi ajarin kamu. Jangan nyerah dulu, pengalaman kayak gini nggak banyak didapetin orang, manfaatnya nggak sekarang memang, 5 tahun lagi kamu bisa dapetin.”

Ah, masih banyak deh nutrisi-nutrisi semangat yang dikasih Mas Rio. Akhirnya saya sadar, bahwa kerja tuh emang nggak enak, enak kuliah! Mahasiswa itu pekerjaan paling rilek, nerima ilmu di kelas, ngerjain tugas, terus ujian. Kalau gagal bisa mengulang, deadline bisa negoisasi sama dosen, kelas bisa kosong karena negoisasi, kalau masuk kelas bisa titip absen atau bolos, nggak ada yang marah, ancaman terbesar ya IPnya aja nggak bagus.



Dari sini saya jadi tau, kerja itu emang awalnya nggak ada yang enak, apalagi yang kurang skill kayak saya ini. Tapi ketika saya diberi kesempatan kayak gini, seharusnya nggak nyerah dan memperbaiki dan mengembangkan skill. Mungkin sekarang saya merasa berat dengan deadline, tapi bisa jadi, satu tahun lagi saya punya skill nulis satu jam dengan 5-10 artikel seperti penulis online yang udah senior kan? Ah, ini bukan soal memaksakan diri, tapi soal jam terbang aja!

Saya jadi setuju dengan apa yang dibilang Bang Ucup, ya emang kerja tuh nggak sepenuhnya enak kok. Asik sih, apalagi saya kerja karena passion, tapi ada yang beda lah intinya daripada kuliah. Dari kerja, emang sih uang jajan jadi makin banyak, tapi beda lho rasanya sama dikasih sangu orang tua dan gaji kita. Rasanya malah menghargai uang itu untuk ditabung untuk hal yang lebih besar daripada sekadar minum-minum lucu di kafe.

Yah, buat kalian yang masih mahasiswa, coba deh kerja. Selain pengalaman jadi banyak, banyak nilai-nilai kehidupan, rasa syukur, dan hal lain yang bisa kita dapatkan. Kalau nggak mau terlalu berat sebagai pekerja tetap, cobain deh freelance.

Eh iya, terakhir nih dari pengalaman kerja jadi freelance, yang konyol adalah sekitar satu bulan lebih lah kira-kira saya berkomunikasi dengan editor saya ini. Namanya yang saya tau adalah Yoky, panggil saja Kak Yoky, meskipun beliau sudah berkeluarga. Ketika kirim e-mail, di awal selalu saya panggil, “Dear Mrs. Yoky.” Eh tiba-tiba… Kak Yoky whatsapp saya, “Btw, saya Mr. lho bukan Miss/ Mrs.” ANJIRRRR, saya langsung bales dengan heboh: “ASTAGA, SAYA KIRA SELAMA INI BERINTERAKSI DENGAN SEORANG PEREMPUAN.” Hwahahaha, maafkan saya Kak Yoky dan terima kasih sudah memberi kesempatan saya belajar banyak.

Tips menulis.
Saya bakal nulis pengalaman kerja lainnya selain freelance ini. Tungguin aja ya di post selanjutnya, ada pengalaman kerja sebagai contentwriter tetap di perusahaan dan bekerja di startup yang waktu itu belum ada gajinya. Mungkin aja bermanfaat buat kalian, sampai jumpa di post selanjutnya, ya! 

Halo 2016! Sesuai janji saya di post sebelumnya, meskipun beberapa minggu kemarin saya diperbudak rutinitas sampai nggak bisa menikma...



Halo 2016! Sesuai janji saya di post sebelumnya, meskipun beberapa minggu kemarin saya diperbudak rutinitas sampai nggak bisa menikmati yang saya lakukan, tapi saya akan tetep share acara apa aja sih yang kemarin saya datangi atau bahkan jadi bagian dari kepanitiaannya. Hehe tenang aja, sekarang, sejak akhir Desember kemarin sih, saya udah nggak jadi budak rutinitas lagi, udah rilek alias relaks. Tapi kalau jadi budak cinta kamu, aku sih rela.

Event yang pertama akan saya share adalah event dari Kelas Inspirasi Malang 3. Sebelumnya saya udah pernah sih nulis tipis-tipis soal komunitas ini, here they are:


Nah, tulisan kali ini adalah agenda utama dari Kelas Inspirasi Malang. Jadi, Kelas Inspirasi ini sebuah komunitas yang sebenarnya program kerjanya hanya satu: Hari Inspirasi. Hari di mana komunitas ini dibagi beberapa kelompok untuk datang ke sekolah dasar dengan tujuan tidak lebih dari: menginspirasi.

Inspirasi apa yang kami bagikan? Inspirasi bahwa cita-cita itu tidak hanya dokter, guru, polisi, tentara, pilot atau insinyur. Memang bukan nominal uang lah yang bisa kami bagikan, namun kami berbagi bahwa mereka bisa bermimpi lebih berani lagi. Setiap anak spesial, setiap anak memiliki kesempatan yang sama.

Mungkin, beberapa teman yang belum terlalu tahu tentang Kelas Inspirasi akan membayangkan bahwa komunitas ini akan datang ke sekolah-sekolah dasar untuk mengajar mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia dan yang lain. Hehehe, bukan dooong. Kami punya konsep yang berbeda. Ya, kami ada di depan kelas untuk mengajak bermain dalam rangka mengenal berbagai macam profesi.

Emang penting menambah mereka wawasan tentang cita-cita? Penting! Pada kenyataannya, masih ada anak-anak sekolah dasar yang ketika ditanya, “Nanti cita-citanya mau jadi apa?” Mereka menjawab dengan: “kuli” atau “petani bunga”. Ya gitu, di sana kuli dan petangi bunga udah keren banget bagi mereka. Sebagai pondasi anak-anak, rasanya pintar tuh urusan belakangan deh, tapi percaya diri dan berani bermimpi malah menjadi hal yang lebih utama.

Itu tadi sekilas tentang apa sih sebenarnya Kelas Inspirasi. Langsung cuss ke teknis atau acaranya kuy!

Modal saya untuk Hari Inspirasi.
Jadi yang perlu disiapkan di Hari Inspirasi itu ada 3 relawan, nggak semuanya ngajar. Ketiga relawan tersebut adalah: Relawan Pengajar, Relawan Fotografer/ Videografer dan Relawan Fasilitator. Untuk Relawan Pengajar harus punya pekerjaan minimal dua tahun, karena di lokasi akan menceritakan bagaimana asyiknya profesi mereka. Agar gerakan ini bisa didengar ke semua daerah, akhirnya harus ada Relawan Fotografer atau Videografernya dong. Bayangkan kalau di setiap daerah ada kegiatan ini dan rutin, mulai dari daerah besar hingga terkecil bikin gerakan ini, saya yakin pendidikan Indonesia akan membaik perlahan.

Lalu saya relawan apa? Ya, saya Relawan Fasilitator. Yang menyediakan tempat, membuka komunikasi dengan sekolah dan membantu Relawan Pengajar dan Relawan Fotografer dan Videografernya. Kalau dihitung-hitung di Rombel (Rombongan Belajar) 52—rombel kelompok saya ada 9 Relawan Pengajar (tapi yang fix ada 7 aja), 2 Relawan Fotografer, 1 Relawan Videografer dan 3 Relawan Fasilitator, Sekolah dasar sasaran kami adalah MI Miftakhul Ulum di kota madya Malang, masih di kota tapi suasananya desa banget.

Dari paling belakang ya, yang udah kayak menyatu dengan banner itu Kak Taufiq, Relawan Videografer kita.
Barisan nomor 2 dari kiri ada: Bu Ika, Kak Yanti, Bu Monica (fotografer), Kak Anna, Kak Ama & Pak Sapto.
Barisan terakhir dari kiri ada: saya, Kak Amel (fotografer) dan Kak Retno.
Yang kurang ada Mbah Jo & Bu Suli dan Mas Adhit (fasilitator) yang motret foto ini hahahaha.
Ketujuh relawan pengajar tersebut adalah:
  • Pak Sapto, pemilik English course
  • Kak Yanti, wirausaha, pemilik minimarket
  • Kak Anna, peniliti
  • Kak Retno, supervisor Matahari
  • Bu Ika, dosen bahasa inggris
  • Mbah Jo & Bu Suli, budayawan

Beberapa hari sebelum hari H yaitu 21 November 2015, kami ngobrol, membuka komunikasi di group whatsapp. Hingga akhirnya H-1, kami janji bertemu di rumah saya. Asyiknya lagi ada satu relawan pengajar, Kak Yanti, yang menginap di rumah saya. Saya fine-fine aja kalau ada yang menginap karena di rumah sendirian, kalau kamu pengin ke Malang dan nggak ada tempat tinggal coba ngobrol dulu deh sama saya, insya Allah saya temani (girl only). Nah masalahnya, saya nggak pernah ketemu nih sama Kak Yanti ini jadi saya agak bingung gimana menyambut dan ngajak ngobrolnya.

Relawan Fasilitator, dari kiri: Kak Ama, Mas Adhit dan saya. Mereka berdua ini sering banget debat. Saya muncul dengan, "Duh nggak mau ikut berantem, aku moderator pokoknya!!!" Saya yang paling sering nggak muncul di group dengan alasan sok sibuk, tapi saya baca dari awal kok. Saya tanggung jawab atas ke-sok-sibuk-an ini. 
Saya udah ngambek ke partner relawan fasilitator, Kak Ama, “Mbak, aku nggak mau ditinggal. Pokoknya harus bermalam di sini juga! Harus!!!!” Tapi ternyata tidak se-awkward itu, malah asyik banget hehe. Kak Yanti ini seorang wirausaha minimarket gitu, seingat saya punya 3 anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Dari Kak Yanti yang jauh-jauh dari Bogor ini saya dapet cerita banyak banget, terutama soal kehidupan berkeluarga, mendidik anak dan pengalamannya.

Asyiknya lagi, yang akhirnya tidur di rumah ada Kak Ama, Kak Yanti dan Kak Anna. Kak Anna sempet masakin sayur sop gitu. Karena saya sendirian di rumah dan belum bisa masak, seneng banget dimasakin sayur sop dan makanan rumahan lainnya. Rinduuuuuuu!!!

Paginya, dengan sepeda motor kami berangkat ke MI Miftakhul Ulum, sekitar 20-30 menit akhirnya kami sampai di sana. Hari Inspirasi di Rombel 52 dibuka dengan upacara, sambil menulis nama saya di nametag dengan, Nama: Sophia Mega, Profesi: Terinspirasi, dalam batin terus mensugesti diri sendiri agar acara kali ini lancar. Ini Hari Inspirasi pertama saya!

Ketika di lapangan, ada sekumpulan adek-adek yang mungkin kalau orang awam lihat mereka adalah anak-anak nakal. Saya kebetulan punya adek cowok, jadi saya biarkan dan cukup disenyumin aja. Terus Kak Ama sempet negur biar ‘gak nakal’, lalu Mbah Jo, relawan kami yang profesinya budayawan mengingatkan, “Biarkan aja, mereka anak-anak.” Saya kagum banget dengan Mbah Jo dan Bu Suli, bisa banget paham dengan anak kecil.

Setelah upacara selesai, Relawan Pengajar langsung ke ruangan masing-masing, Relawan Fotografer dan Videografer menyesuaikan tempatnya dan Relawan Fasilitator siap dengan stopwatch, rundown acara dan diselingi menyiapkan award semacam sertifikat serta pohon cita-cita untuk penutup Hari Inspirasi kali ini.

Mbah Jo berhasil bikin dedek-dedek kelas 1 jadi fokus.

Dari sekian kelas, yang paling aktif jelas kelas 1! Yang paling berkesan ada dua anak, duh lupa namanya, mereka berdua pengin jadi penari kuda lumping, cita-cita yang cukup unik. Akhirnya mereka diminta nari di depan. Kelas yang paling pecah dan Mbah Jo bisa menaklukkan dengan menggunakan sedotan yang dipotong lalu bisa bersuara, bingung jelasinnya hahaha, yang jelas itu berhasil banget bikin mereka fokus, belajar dan bermain dengan asyik.

Aksi percobaan Kak Anna yang sempet bilang ke saya, "Duh Meg, percobaannya banyak, aku bingung mau pake yang mana." 


Di kelas 4 ada yang jago karate, salah satu relawan fotografer saya, Bu Monica menyampaikan, potensinya sebenarnya bagus, tapi kalau nggak bener-bener dibina, malah jadi jagoannya kampung dan nggak jadi atlit karate. Semoga jadi atlit karate ya, Dek! Di kelas 4 ini juga ada anak kembar yang tadinya nggak tau peneliti itu apa, karena Kak Anna dengan segala percobaannya akhirnya memiliki cita-cita peniliti lho! Awesome, selamat Kak Anna!

Kak Yanti yang paling paham soal ice breaking. 
Kak Yanti ini jauh-jauh dari Bogor lho. Ternyata banyak relawan pengajar yang emang mengincar tempat-tempat jauh untuk sekalian travelling. Kak Yanti ini udah ikut 11 kali Kelas Inspirasi. Hwaw, leh ugha. 

Yang agak bikin sedih adalah adik-adik di kelas 6 SDnya, yang menurut saya cukup hopeless. Semua cowok yang ada suka main bola, nggak ada yang salah dari suka main bola, karena adik saya pun suka main bola dan penggila Tsubasa. Tapi yang ada di pikiran mereka adalah, cita-cita mereka pemain bola, ketika dia ada di lapangan, yaudah dia udah jadi pemain bola. Ketika dikenalkan sekolah bola mereka nggak percaya gitu. Intinya di kelas 6, mereka udah makin takut bermimpi, seakan-akan nggak ada harapan, mental yang mereka punya adalah: “Ya udah lah ya, liat aja nanti.”

Mereka nggak ada pikiran untuk melanjutkan ke jenjang SMP/MTs, bahkan ketika diingatkan untuk tidak menikah dini mereka semua hening. Kata para relawan pengajar nih, di kelas 6 SD ini tatapan mata mereka kosong, bukan berbinar-binar seakan ada harapan baru, berbeda dengan tingkatan kelas lainnya. Kami sama-sama nggak tahu apa penyebabnya, apakah orang tua yang tidak mendukung terus belajar di jenjang selanjutnya, atau guru-guru yang hanya ‘mengajar lalu pulang’, atau pengaruh sinetron-sinetron alay di televisi Indonesia.
Miss Ana yang sempat membuat kami menerka-nerka dengan, "Kalau supervisor bakal jelasin apa ya di kelas?"
“Ternyata, banyak ya yang belum dapet pendidikan yang baik,” pikir saya. 

Bahkan di lingkungan kota sendiri, Malang yang katanya Kota Pendidikan, keadaan anak didik bangsanya seperti ini. Adek saya yang ada di kota, sekolah di tempat yang bagus, ujung-ujungnya dia waktu menjelang UAS malah stres karena beban sekolah. Yang jauh dari kota nggak dapet pendidikan yang baik, yang ada di kota dapet pendidikan yang terlalu menuntut. Kalau udah gini, peran orang tua yang nomor satu deh pokoknya. Ntar kalau punya anak harus bener-bener jadi temennya! Lah… malah mikirin nikah. Hahaha.

Pohon cita-citanya pas yang ada di belakang saya. 
Penutup acara ini adalah menuliskan cita-citanya di sticker daun dan menempelkannya di pohon cita-cita. Ada yang mau jadi peneliti, guru, dan sebagainya. Yang unik, ada yang mau jadi: KERA SAKTI! Entah harus bahagia karena dia imajinasinya tinggi atau prihatin. Duh deeeeek. 

Yak, lagi-lagi yang motret ini Mas Adhit. Dari kiri ada saya, Kak Ama dan Kak Taufiq yang lagi sok asik ngajarin gimana caranya pake kamera dan ngasih tau tipis-tipis asiknya jadi fotografer dan videografer. 
Alhamdulillah acara lancar! Bisa dibilang 90% lah. Kan setiap relawan bakal rolling beberapa kali tuh tiap kelas, ya ada perombakan, tapi nggak bikin jalannya acara berantakan, cuma pas jam istirahat aja kami pada bingung ini kapan selesainya, kurang komunikasi sama pihak sekolah. Overall yang lainnya udah oke, terima kasih Kak Ama yang udah solid dan Mas Adhit yang udah mau ngisi kelas yang kosong meskipun nggak genah alias ngawur, semoga mereka masih mau jadi fotografer hahaha.

Sebenernya banyak banget cerita yang ada di Hari Inspirasi ini, tahun 2016 ini saya bakal ikut Relawan Fasilitator pokoknya! Tungguin Kelas Inspirasi Malang 4 lho ya! Tapi ada kata-kata yang paling saya ingat dari Bu Suli, “Anak-anak itu nggak ada yang nakal. Naik meja, pukul-pukul meja, itu bukan nakal. Kecuali melakukan hal kriminal.”


Bener, anak-anak itu nggak nakal, malah dari hal-hal yang iseng dan kadang annoying itu lah yang bisa dikembangkan. Daripada anak diam yang nggak bisa apa-apa yang katanya, “Duh, diemnya anaknya, pinter banget.” Jangan pernah dimarahi, tapi ditemani. Anak-anak bukan pendengar yang baik, anak-anak peniru yang baik. Setiap anak spesial, setiap anak punya kesempatan yang sama. 

Buat kamu yang pengin ikutan Kelas Inspirasi, kepoin aja sosmednya, hampir tiap daerah ada kok. Yang di Malang bisa kepoin IGnya: @klsinspirasimlg dan kelasinspirasimalang.org. Sampai jumpa di Kelas Inspirasi Malang 4 ya! 

Sumber foto: yang ada efek fisheye-nya dari Kak Amel, lainnya Mas Adhit. Thankss!