photo by |
Kembali lagi dengan topik yang cukup
serius, bahkan di tulisan ini bawa nama Allah. Ya saya harap bisa bermanfaat,
ya! Tambahin, kritik, ngoreksi jadi hal yang sangat halal di setiap tulisan
saya, kok!
Oke, di ‘Oh Gini Rasanya Kerja Part
1’ saya udah pernah cerita kalau jadi freelance
writer yang datengnya tulisan nggak selalu setiap waktu. Nah, saya juga
punya kerjaan tetap, sebagai contentwriter
tetap di ngalam.co.
Baca juga: Oh, Gini Rasanya Kerja - Part 1
Media tempat saya bekerja sebagai contentwriter, ngalam.co |
Ngalam.co adalah sebuah media
nostalgi kota Malang, di mana pemiliknya adalah sesosok yang asli Malang dan
merantau ke Jakarta dan sukses di sana. Intinya sih website ini memang pembacanya generasi lawas
yang pengin kangen-kangenan sama Malang. Awalnya agak susah, karena kontennya
nggak gampang, bahkan deadlinenya sering bikin saya mengeluh dan mau menyerah
aja.
Alhamdulillahnya saya punya teman
diskusi, Arif, teman membuang lelah dan bahagia, dia selalu bilang, “Kamu
maunya gimana? Tapi dari kerjaan itu kamu jadi bisa beli apa-apa sendiri, kan?
Nggak bergantung sama Ayahmu terus.”
Pandangannya sederhana sih: bisa beli apa-apa sendiri. Saya mencoba
mencerna dalam-dalam apa yang diucapkan Arif dan menyadari bahwa saya
mendapatkan banyak hal dari kerjaan ini, nggak hanya itu. Diajarin hal-hal
seputar: menulis, SEO, mengembangkan media, manajemen media dan saya
mendapatkan bonus yang dibilang Arif, bonus-bonus tersebut adalah: saya jadi
kenal lebih dalam soal Malang yang sebelumnya saya hanya tau ‘remah-remahnya’
daerah ini, terus dapet gaji yang bisa dipake diri sendiri dan modal bisnis
saya (yang kalau nggak ada kerjaan ini…. Mungkin bisnis tersebut harus berhenti
karena nggak kuat modalinnya).
Tapi semenjak saya punya gaji saya
mendadak jadi orang yang pelit tanpa saya sadari, mungkin saldo emang jadi
banyak, tapi perasaan nggak tenang tiap mikirin uang (padahal uangnya tetep
ada, bahkan hampir nggak pernah dipake, biasanya dibuat beli buku dan jajan
tipis-tipis).
Namun kemarin, 19 Februari 2016… saya akhirnya tau
mengapa hati nggak tenang tiap mikirin uang. Saya disadarkan lewat sepasang
sepatu dan Arif.
Arif dan saya, sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu. |
Bermula dari saya dan Arif abis lihat
pameran UKM kampus, dilanjutkan ngopi unyu di sebuah kedai kopi bernama Maxx
Coffee yang ada di Lippo Plaza Batu (Kota Batu). “Ke Sport Station dulu, yuk,” ujar Arif, yaaaa dia emang suka
lihat-lihat sepatu. Saya lihat sepatu dengan wajah yang flat, benar-benar ‘melihat-lihat
saja tanpa ada perasaan ingin membeli’.
“Diskon 40% lho, beli sepatu baru
sana lho, kan uangnya banyak,” goda Arif.
“Uangnya ya ada, tapi kan pake-nya
mikir-mikir juga. Huffttt. Tapi aku sejak Januari kemarin mau beli sepatu sih,
soalnya sepatu ini nggak bisa dipake sering-sering (warnanya putih, karena nurutin Ibu yang mau anaknya pake sepatu yang
lebih cewek, tapi jadinya malah salah warna dan nggak nyaman dipake). Tapi
butuh banget ya, Rif aku beli sepatu?” Ya pokoknya banyak pertimbangan yang kesimpulannya:
saya bukannya bisa membagi uang dengan
baik tapi malah pelit abis.
“Iya, kamu itu lho, ada uang kok
sepatunya gitu.”
“Jadi kamu selama ini nggak suka
sama sepatuku yang ini, Rif? Teganyaaaa!” *sambil
marah bercanda*
“Iya, nggak kayak anak muda.” (ANJERRRRR,
jengkelin, tapi saya ketawa dan mulai merasa dia benar)
“Hahahaha, tapi nggak papa kali
nggak beli sepatu lagi, kan sederhana….”
“Halah… sederhana…. Aku dulu gitu
Meg, kalau ada uang nggak tak pake buat belanja kayak sekarang, langsung beli
ini itu, karena kalau nggak gitu ya uangnya habis buat makan, tiba-tiba abis.
Akhirnya nggak dapet apa-apa.”
Menimbang-nimbang, mulai merasa diri
sendiri pelit, mulai merasa nggak bisa ngatur keuangan dan atas nama kebutuhan…
akhirnya saya bilang, “Iya deh beli, ah kan Arif bikin jadi belanja! Tapi ya
emang butuh sih…”
Tapi sialnya... sepatu yang saya
pengin nggak ada ukurannya, daripada kekecilan dan nggak nyaman dipake serta
jadi gampang rusak, saya nggak jadi beli di sana. Tapi Arif bilang, “Ayok wes,
ke Sport Station lainnya, daripada kamu berubah pikiran lagi nanti.”
Kami lanjut ke beberapa tempat yang
jaraknya cukup jauh, ibarat dari ujung ke ujung. Di Sport Station di kawasan
Dinoyo dan Malang Town Square juga nggak nemu warna dan ukuran yang cocok.
“Santai, pelan-pelan. Jangan
terburu-buru, lihat-lihat dulu. Ini mau kemana lagi? Tak temenin, gak papa.
Setia kok aku hahahahaha,” kata Arif.
Meskipun nyepiknya Arif agak
menggelikan akhirnya saya lanjut ke tempat selanjutnya yang juga agak jauh.
Selain diajarin cara menggunakan uang yang bijaksana, saya juga diajarin beli
sepatu sendiri, saya emang paling payah urusan belanja baju dan sepatu (padahal
cewek ya?).
Di Malang City Point dapet yang
cocok tapi ukurannya kebesaran 1 ukuran beruntungnya tetep nyaman, tapi Arif
bilang, “Coba lihat di sebelah, tapi jalannya pelan-pelan, ya.” Dia mulai lelah hihi….
Dan ternyata di mall sebelah malah
nggak ada satu pun, sebelum balik lagi ke Malang City Point Arif bilang, “Nanti
coba pake dua-duanya dulu, cocok atau nggak.” Yaaaaah panjang ceritanya sampai
akhirnya fix beli.
Poin cerita di sini bukan saya punya
sepatu baru, bukan…. Tapi saya diajarkan mengelola uang, di perjalanan pulang
saya pun akhirnya sadar sesuatu dan bilang ke Arif, “Iya ya… Rasulullah aja bilang
kalau setiap uang yang kita punya harus dibagi, buat dirinya sendiri, sedekah
sama ditabung.” Terlalu boros emang gak baik, terlalu hemat juga nggak baik.
Meskipun saldo berkurang tapi
perasaan saya lega, nggak tau.. lega aja. Emang segala petunjuk dari Al-Qur’an
dan Hadits emang nggak pernah salah. *mantaaaaapsssss*
Saya pun langsung browsing dan
ternyata emang bener soal mengelola uang. Nih ceritanya:
Dengan langkah gontai, laki-laki itu datang menghadap Rasulullah. Ia
sedang didera problem finansial; tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya.
Bahkan hari itu ia tidak memiliki uang sepeserpun.
Dengan penuh kasih, Rasulullah mendengarkan keluhan orang itu. Lantas
beliau bertanya apakah ia punya sesuatu untuk dijual. “Saya punya kain untuk
selimut dan cangkir untuk minum ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu.
Rasulullah pun kemudian melelang dua barang itu. “Saya mau membelinya
satu dirham ya Rasulullah,” kata salah seorang sahabat.
“Adakah yang mau membelinya dua atau tiga dirham?” Inilah lelang pertama dalam Islam. Dan lelang itu dimenangkan oleh seorang sahabat lainnya.
“Saya mau membelinya dua dirham”
“Adakah yang mau membelinya dua atau tiga dirham?” Inilah lelang pertama dalam Islam. Dan lelang itu dimenangkan oleh seorang sahabat lainnya.
“Saya mau membelinya dua dirham”
Rasulullah memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut. “Yang
satu dirham engkau belikan makanan untuk keluargamu, yang satu dirham kau
belikan kapak. Lalu kembalilah ke sini.”
Setelah membelikan makanan untuk keluarganya, laki-laki itu datang
kembali kepada Rasulullah dengan sebilah kapak di tangannya. “Nah, sekarang
carilah kayu bakar dengan kapak itu…” demikian kira-kira nasehat Rasulullah.
Hingga beberapa hari kemudian, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah dan
melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya. Ia tak lagi
kekurangan uang untuk menafkahi keluarganya.
Salman Al Farisi punya rumus 1-1-1. Bermodalkan uang 1 dirham, ia
membuat anyaman dan dijualnya 3 dirham. 1 dirham ia gunakan untuk keperluan
keluarganya, 1 dirham ia sedekahkan, dan 1 dirham ia gunakan kembali sebagai
modal. Sepertinya sederhana, namun dengan cara itu sahabat ini bisa memenuhi
kebutuhan keluarganya dan bisa sedekah setiap hari. Penting dicatat, sedekah
setiap hari.
Belajar bijaksana membagi gaji hari
ini membuat saya makin jadi semangat kerja, karena bakal dapet sekaligus: buat
diri sendiri (dan keluarga), modal bisnis (yang nanti juga dapet lebih lagi) dan
sedekah (apalagi ini, dapet lebih lebih lebih). Beberapa minggu saya menunda
bersedekah, ah nanti aja ah, tapi sampai akhirnya saya kebetulan ada uang lebih
dan iseng sedekah… nggak lama setelah itu saya dapet whatsapp dari editor
freelance writer dan dapet orderan lagi setelah sekian lama menunggu. Sedekah
emang hal yang luarrrr biasa.
Sejak dapet gaji saya pernah
berpikir, “Gilak, di Malang tiap parkir motor 2.000. Abis berapa yak, sehari.”
Saya pun pernah menyampaikan hal tersebut ke Arif ketika harus mampir sana dan
sini buat cari sepatu, tapi Arif bilang, “Anggep aja sedekah.” Rasanya ploooong
gitu, tiap bayar parkir jadi bahagia hahaha. Tapi Arif nggak sepasrah itu sih,
waktu itu saya disuruh bayar parkir 1.000 karena biasanya di sana 1.000, eh Pak
Parkir ini minta 2.000. Arif bilang, “Kok 2.000, Pak? Biasanya 1.000?”
Yah begitu lah, saya dapet banyak
hal dari Arif. GAK USAH GE ER RIF KALAU BACA, BIASA AJAAAAAA! But anyway, thanks a lot! Yooook, terus belajarrrrr!
Tiap dapet gaji nggak lagi mikir
yang berat harus menyimpan uang dengan baik, karena semuanya udah ada porsinya masing-masing
dan seimbang. Meskipun nabungnya jadi nggak bisa banyak tapi pikiran jadi lebih
tenang.
Sebenernya pelajaran hidup satu ini saya
dapatkan di mata pelajaran Agama Fiqih, tapi ilmunya sekadar lewat…. karena
waktu itu belum pernah punya uang sendiri dengan jumlah yang besar setiap
bulannya, nggak pernah dikasih uang bulanan juga, selalu mingguan. Ya memang
benar, pembelajaran paling ‘ngena’ itu ya dari pengalaman hidup itu sendiri.
Kalau misalnya ada sesuatu hal yang bikin ngerasa ‘aku kok nggak pernah
bahagia” mungkin kata ustadz-ustadz itu benar: “Kamu hanya kurang menghadirkan Allah
menjadi bagian dalam hidupmu.” Mantaaaaaap, tapi itu sih yang saya rasakan
perlahan-lahan ketika saya mulai dewasa. Semoga tulisan ini bermanfaat yah!
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances