Di lantai satu, ada bar terbuka yang bikin bebas ngobrol dengan barista sambil menikmati kopinya. Foto: Sophia Mega Ingin mendengar cer...

Mmmm Coffee Malang
Di lantai satu, ada bar terbuka yang bikin bebas ngobrol dengan barista sambil menikmati kopinya. Foto: Sophia Mega
Ingin mendengar cerita dari satu kedai ke kedai lain terkadang nggak sejalan dengan rasa mager. Kalau udah nyaman sama satu, jadi malas beranjak ke tempat lain. Padahal hal tersebut nggak baik juga, karena banyak kedai kopi yang perlu dijelajahi. Bukan sekadar menikmati kopi lalu sudah, namun di setiap kedai kopi selalu ada hal yang bisa membuat saya menjadi lebih bersemangat mulai dalam hal berkarya, mendapat perspektif baru dan memberi rasa nyaman bagi diri sendiri.

Seperti yang sudah pernah saya tulis di Tumblr (daily.sophiamega.com), kedai kopi bukan sekadar menjual kopi enak lalu sudah. Namun ada idealisme di sana, ada ruh yang berbeda di setiap kedai, ada hati yang hanya diungkapkan melalui kedai dan setiap cangkirnya. Seperti kemarin malam, saya memutuskan untuk beranjak dari kemageran dan mengajak seorang teman—Nina untuk menikmati kopi di Mmmm Coffee.

Iya, Mmmm Coffee.

The 4M's of Espresso
Kalau ada neon box satu ini, kamu sudah sampai di Mmmm Coffee! Foto: Sophia Mega.
Ini kedua kalinya saya mampir untuk menikmati kopinya, ya saya memang terbiasa untuk datang lebih dari sekali untuk bisa menceritakan semuanya. Rupanya, Mmmm bukan sekadar nama agar orang yang datang memiliki impression ‘Mmmm’ setelah menyesap kopinya. Rupanya, Mmmm punya makna dan kepanjangan lain yang membuat saya mengangguk sambil bersuara kecil ‘Ooooh gitu’ ketika mendengar cerita Mas Gandhi, pemilik Mmmm Coffee.

Mmmm berasal dari Itali untuk mendeskripsikan faktor yang membuat espresso enak, atau sebutan khususnya adalah The Four M’s (of Espresso). Jadi faktor yang membuat espresso enak tersebut ada Mmmm: M—Macinazione, yang berarti seberapa baik grinding-nya. M—Miscela, seberapa asik taste coffee blend-nya. M—Macchina, apa udah menemukan mesin atau tools yang baik dan nyaman? Dan M—Mano, baristanya. Selengkapnya, definitely you can check it out by click this article: The 4M’s of Espresso.

Waaaah, bisa gitu ya ternyata!

Dari luar, Mmmm Coffee memang sudah terasa suasana kedai kopi di luar negeri. Sebenernya saya nggak terlalu paham karakteristik interior coffee shop di setiap Negara, kalau kalian ada referensi bacaan, please leave comment below ya! Yang jelas, taste interior Mmmm Coffee memang digarap secara serius oleh kakak Mas Gandhi yang lebih paham interior.

Interior coffee shop malang
It is a porta filter! Foto: Sophia Mega
Interiornya detail. Bukan sekadar memberikan bar terbuka, dapat memilih biji kopi yang mau tidak mau harus berinteraksi dengan barista atau sekadar cangkir yang unik dan kursi yang nyaman. Ketika membuka pintu, perhatikan gagang pintunya.. bahkan dari gagang pintunya saja menggunakan portafilter. Full AC yang akan bikin nyaman banget di sana (meski hal tersebut bikin kopi yang kita minum jadi cepet dingin). Suasana warm, nyaman dan asik banget buat me time, bersama kekasih atau meeting dengan kolega.

Mmmm Coffee
Di sini juga ada beberapa cake manis. Kelihatan dari atas kan? Foto: Sophia Mega.
Mas Gandhi juga bercerita, kedai kopi yang nggak rame (atau noise terlalu banyak) bukan kedai yang diinginkan. “Kamu ke Mmmm, bukan ke resto, orang yang datang ke Mmmm ya untuk mengopi,” terangnya. Tapi Mas Gandhi juga nggak mau kedainya terkesan eksklusif atau elegan dengan desain yang minimalis putih, makanya suasananya begitu warm dengan dominasi warna coklat, nyaman banget.

Suasana warm tapi sejuk, kopi yang dibuat oleh barista yang memiliki passion, nggak terlalu noise dan bebas asap rokok merupakan tipikal kedai kopi favorit Mega benget deh! Semua itu lengkap ada di Mmmm Coffee. “Have a good time, have a good coffee,” kata Mas Gandhi.

Jual kopi luar negeri malang
Mas Gandhi mendapatkan biji kopi dari luar negeri ini kebanyakan dari teman-temannya yang liburan ke luar negeri. Foto: Sophia Mega.
Awal mengopi di Mmmm Coffee agak bingung, “Kok nggak ada manual brewing-nya ya?” Ada kok, tapi memang nggak ada di menu. Langsung aja ngomong ke Mas Gandhi—yang memang satu-satunya barista di sana kalau mau menikmati varian biji kopi yang disediakan. Jajaran biji kopi dari luar negeri memang lebih banyak di sini, tapi ada juga kok yang dari Nusantara. Mas Gandhi pun mengungkapkan bahwa hal tersebut bukan tanda ia anti dengan biji kopi lokal.

Filter Coffee
Diseduh dengan V60. Foto: Sophia Mega
Di sini lah saya jadi tau apa yang membuat biji kopi dari luar Negeri keren-keren dan bagaimana karakter kopi Afrika. Dari sekian biji kopi yang ada, bisa dibilang rata-rata datang dari Afrika. Katanya, rasanya sih aman dan saya sepakat dengan itu. Tiga kali menikmati kopinya, saya sudah mencoba kopi dari Nicaraguay, Guatemala dan Eithopian. Sempat juga menyeruput kopi dari Kenya milik Ersa (dia akhirnya menyusul mengopi bersama saya dan Nina), teman mengopi kemarin malam juga, semua punya karakter yang hampir sama, aftertaste manis yang terasa banget, asam dan pahitnya cenderung seimbang atau bahkan tipis atau soft.

Cangkir kopi unik
Kopi pertama yang saya minum di sini, saat rapat bersama External Relation Kelas Inspirasi Malang. Foto: Sophia Mega

Kopi dari Nicaraguay, kopi pertama yang saya nikmati di sini beraroma berry, tapi saya nggak terlalu yakin apakah rasanya ada ‘berry’-nya, karena saya nggak pernah makan berry. Mas Alvin (@alvinlndx), seorang home brewer yang saya kenal dari Nusantara Coffee Festival 2016, bilang kalau mau kenal karakter kopi lebih dalam, sering-sering makan buah aja, jadi yaaaa kalau nggak tau, saya nggak akan memaksa mendeskripsikan ya hahaha.

Vlog: Nusantara Coffee Festival 2016

me time di kafe malang
Teman mengopi saat me time banget gak nih fotonya? Foto: Sophia Mega
Sedangkan Guatemala aromanya floral-floral gitu, Nina bilang, “Kayak ada aroma madunya gitu, lucu ya Meg, hutan-hutan gitu pokoknya.” Juicy sekali, clean dan manisnya ada bangeeet, pahitnya tipis, asamnya soft. Sedangkan Eithopian membuat saya bingung, karena aromanya yang membingungkan, “Sa ini aromanya apa sih?” tanya saya pada Ersa.

Dia bilang, “Jahe gitu nggak sih?” Ya, sepakat, Eithopian ini semacam rempah gitu jatuhnya. Anyway, kami hanya lah sekadar penikmat kopi yang mencoba mencari tau teka-teki dari biji kopi yang unik dengan batas pengetahuan kami. Namanya juga belajar.

Dari Mas Gandhi, saya jadi tau kalau memang biji kopi lokal dengan luar Negeri.. ya emang beda. Secara flavor, memang bisa dibandingkan, tapi kalau di luar Negeri bibitnya memang baik. Sedangkan, Ersa menambahkan, bahwa kurangnya petani lokal adalah malasnya ‘peremajaan’ pohon kopi. Pohon yang udah tua, tetep aja dipanen, padahal ya.. kualitasnya kan juga bisa berkurang. Yaaa begitu lah kopi, prosesnya begitu panjang.

keep cup di malang
Mas Gandhi hobi koleksi Keep Cup. Duuuh lucu-lucuuu, pengin dibawa pulang ajaaa. Foto: Sophia Mega
Di Instagram saya sempat cerita kalau harga kopi di sini emang mahal, untuk kopi yang diseduh manual seperti Nicaraguay, Kenya dan sebagainya bisa dinikmati dengan IDR 45.000. Sedikit fantastis mendengarnya, tapi kalau mampir, pasti ngerasa kalau dengan harga sekian worth it banget. Suasana yang syahdu dan bisa ngobrol dengan nyaman. Ersa pun mengiyakan, ada kenikmatan sendiri ketika menikmati kopi meski harganya agak mahal tapi suasana ‘mengopi’nya dapet, jadi nggak nyesel, jadi nggak berasa dirampok.

mochaccino enak
Kalau Cappuccino dan teman-temannya rata-rata harganya ID 25.000-an

Nina memesan White Mocha Latte, katanya rasa kopinya unik. Tapi yang jelas enak, saya suka tipikal Mocha yang coklatnya masih bisa kita aduk dan dirasakan secara ‘kasar’. Harganya IDR 28.000, tapi percaya lah, membeli kopi di sini bukan sekadar mahal karena ‘brand’ yang dilakukan oleh beberapa kedai kopi yang ‘udah gede dan kalian pasti tau beberapa namanya’, tapi emang dapet kok ‘menikmatinya’.

Boneka-boneka natal dengan gemas menghiasi kedai kopi tersebut. Kegemasan yang tak mungkin kami sia-siakan untuk menikmati waktu dengan berfoto-foto lucu di sana. Eh iya, Wi Fi-nya lancar, kalau mau nugas bisa lah di sini.

Mmmm Coffee ini sedikit rawan untuk terlewat, saya jelaskan sedikit. Lokasinya dekat dengan Alun-alun Kota Malang, sebaiknya lewat depan Mall Olympic Garden, lalu lurus saja hingga perempatan alun-alun belok kiri. Pelan-pelan aja, lokasinya di kiri jalan, neon box ‘Mmmm’ yang cukup unik dan nggak terlalu terlihat bisa-bisa bikin terlewat. Kalau udah terlewat, harus muter dan itu cukup jauh. Jadi pelan-pelan aja ya.

@ersafs
Ersa, penggembala kopi. Foto: Agnina Rahmaddinia.
Banyak obrolan seru di kedai kopi ini, terutama dengan Ersa dan Nina. Kami membicarakan foto yang baik, ketekunan adalah kunci, sedikit rasan-rasan, mengingatkan saya agar tidak sungkan dan banyak lah.

@niagnina
Nin, sudah ku tepati janji mengopinya kan? Foto: Sophia Mega
"Aku kira segampang itu mencintai kopi, karena selama ini aku cuma tau cappuccino, caffe latte, dsbnya. Paling yang jahat cuma Americano sama Machiato. Ternyata kopi semurni itu, dari biji kopi yang semacam diperas lalu dinikmati langsung dan kemurnian itu yang bikin susah untuk mencintainya," ungkap Nina saat perjalanan pulang. Hahaha bisa aja sih, tapi Ersa dan Nina jadi teman mengopi asik malam itu.


Teman mengopi terbaik itu sederhana kok: yang bisa diajak ngobrol beneran, nggak dikit-dikit HP-an. Sederhana kan? Yuk lah mengopi bersama!

buku nasionalisme pandji progiwaksono
Cappuccino Mmmm Coffee Malang. Foto: Sophia Mega

Mmmm Coffee
Jalan Basuki Rahmat 19 Malang
Instagram: @mmmm.mlg
Wi Fi and stekker available

[KOLING JOGJA] Yang saya percaya, kedai kopi atau bahkan kopi keliling akan selalu bisa bercerita dengan cara yang berbeda. Foto: Sophia M...

KOLING JOGJA
[KOLING JOGJA] Yang saya percaya, kedai kopi atau bahkan kopi keliling akan selalu bisa bercerita dengan cara yang berbeda. Foto: Sophia Mega

Sederhana yang menjadi alasan datang dan mencari di mana Koling Jogja berada, menemukan di explore Instagram. Mencari kedai kopi dan akun kopi menjadi salah satu rutinitas di beberapa waktu tertentu. Tak perlu membuang waktu untuk sekadar memencet follow dan menuliskannya pada deretan list kedai kopi yang belum sempat didatangi saat menemukan sebuah tempat penyeduh kopi yang rajin ‘bercerita’.

Bercerita tak selalu dengan caption panjang di akun Instagram-nya, seperti Koling Jogja. Mereka memang cukup rajin bercerita tentang bagaimana tantangannya menyeduh kopi dengan konsep berkeliling dari satu ke tempat lainnya dengan jujur dan bahasa yang sederhana. Tapi Koling menyampaikan cerita dengan cara yang berbeda.

Kami—saya dan Arif, datang ke Bank Indonesia Jogja untuk mencari Koling—Kopi Keliling Jogja. Awalnya saya agak putus asa, apa iya bisa menemukan Koling di sini? Berdasarkan post Instagram, mereka memang terakhir berada di sini, tapi dengan lokasi yang cukup luas dan dipenuhi bis-bis besar… saya hanya berharap berhasil menemukannya.

Kopi Keliling Jogja
Kopi Keliling Jogja. Foto: Sophia Mega
Ternyata ada! Tepatnya di balik bis besar. Ketika berhasil menemukannya, saya spontan mengatakan, “Lah iniiii!” Sampai membuat Mas Asep ikut menyapa, “Nyariin toh Mbak?”

Booth keliling punya desain yang mewah dan asik banget bagi saya, ada beberapa menu yang bisa kita nikmati. Ada Kopi Arabica 10K, Robusta 6K, Blend (Murni 6K, Susu 10K) dan V60 (Arabica 12K, Robusta 8K dan Blend 10K). Awalnya ingin membeli Blend Susu, tapi Arif langsung menyela, “Aku beli Blend Susu, kamu V60 aja.” Emang suka gitu nih anak huhuhu. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli V60 Blend.

Bahasa dari menunya memang begitu sederhana. Kita tidak perlu memilih jejeran single origin, tak masalah, karena treatment melayani penikmat kopi di jalan dengan di kedai tentu berbeda. Apalagi tujuan dari Koling sendiri agar segala kalangan bisa menikmati kopi, siapa pun yang mereka temui di jalan.

Membuat foamed milk-nya pun manual seperti ini. Foto: Sophia Mega
Setelah balik dari Koling, melalui Whatsapp saya ngobrol dengan Mas Dayu—pemilik Koling. Tanpa berpikir, Mas Dayu langsung memberikan kontaknya. Padahal saya hanya blogger biasa yang ingin mendengar cerita dari berbagai kedai kopi di Indonesia (penginnya sih gitu).

Mendengar ceritanya, ah makin jatuh cinta dengan kedai kopi dengan apapun konsepnya namun dibangun melalui passion, bukan sekadar memanfaatkan pasar yang lagi doyan-doyannya menyeduh kopi. Jatuh cinta karena mereka selalu punya cerita, selalu punya pesan yang ingin disampaikan melalui kopinya.

Mas Dayu sempat menyampaikan tentang harapannya mengenai budaya mengopi di Indonesia, “Budaya itu butuh proses dan proses itu bukan hanya melalui kedai, melalui jalanan yang menyapa semua orang. Koling dimulai di jalanan.”

Waktu saya datang, yang sibuk menyeduh ada Mbak Fatimah dan Mas Asep. Foto: Sophia Mega
Mas Asep dan Mbak Fatimah sibuk menyeduh, saya sibuk memotret dan melihat pelanggan lain menikmati kopi dengan cara yang lain. Agak susah lho menemukan kopi dengan kualitas baik di tengah keramaian, kalau di tempat semacam Bank Indonesia Jogja (sangat dekat dengan Malioboro) ya paling kopi sachet adanya. Saya tergelitik menahan tawa ketika ada anak kecil melihat toples berisi biji kopi lalu bilang kepada temannya, “Ini lho, kacang.”

Duh, Deeeek hahahaha, polos banget.

Serius amat sih... Foto: Sophia Mega.

Melihat Bapak-bapak yang mungkin tak terlalu akrab dengan kopi Arabika lalu memesan kopi Robusta. Atau gerombolan Bapak-bapak yang memesan lalu bingung melihat menunya, karena di sana tidak ada menu ‘kopi hitam’.

Mengopi berdua sama yang tersayang emang terbaik. Halah apasih. Foto: Sophia Mega


Ah akhirnya datang juga pesanannya!

Menyeruput V60 Blend dari Koling dengan khidmat, anjir nikmat! He he he. Bahkan saat saya menulis ini—sebulan sesudah menyeruput kopinya, masih ingat dan tergambar jelas rasanya. Karakternya sama seperti yang saya suka, asam dan pahit yang seimbang. Yah, pokoknya enak! Lalu saya mencoba Blend Susu milik Arif dan enak juga! Duh, dibawa pulang ke Malang bisa nggak sih?

Maaf lho ya saya komentarnya masih antara ‘enak’ dan ‘nggak cocok’ aja. Belum termasuk Coffee Snob hahaha. Kudu belajar cupping dan memahami kopi lebih dalam lagi sepertinya, biar tulisan ini semakin berwarna. Tapi setidaknya semoga tulisan di sini bisa dibaca oleh siapa pun dan makin ngerti kopi dengan bahasa yang sederhana, ya!

Kami menghabiskan menyeduh dengan mengobrol, saya ngobrol dengan beberapa tim Koling sebelum Mas Dayu datang dan terburu-buru mau memindahkan mobil dan booth karena mau pindah ke Alun-alun. Sedangkan Arif malah ngobrol sama supir bis, semenjak dia jadi tour leader jadi makin akrab dengan supir-supir bis, ajaib memang.

Mas yang sudah baik hati memperbolehkan saya membayar hanya Rp15.000. Ngerepoti memang. Foto: Sophia Mega
Koling memang hanya bisa kalian temukan di beberapa ikon budaya Jogja, seperti yang saya bilang tadi, Koling bercerita lewat cara yang lain. Dengan berada di berbagai ikon Jogja seperti Bank Indonesia, Alun-alun Kidul, Tugu Yogyakarta dan Sekaten. Ada nilai budaya yang ingin Koling angkat dari setiap cup kopinya. Rajin aja cek akun Instagram @kolingjogja, insyaAllah mereka selalu berkabar sedang ada di mana.

Baru aja berkenalan, eh saya udah di-follback oleh akun @kolingjogja. Makasih lho Mas! He he he. Bahkan ketika seharusnya saya membayar Rp20.000 untuk dua cup kopi, karena kami adanya Rp15.000 dan uang seratus ribu utuh (sedangkan mereka nggak ada kembalian), akhirnya saya bayar Rp15.000. Baru dateng, ngerepotin, dasar Mega.

Niatnya, kami ingin menutup perjalanan dengan satu cup Blend Susu Koling. Tapi apalah daya, mereka sedang tidak ada di Jogja di hari terakhir saya di sana, mereka sedang ada meeting di Semarang. Kalau kalian domisili Jogja dan Semarang, mampir lah ke @kolingjogja atau @kolingsemarang. Tenang, nggak akan bikin maag kok. Kopi yang diolah dengan baik tidak akan membuat maag atau deg-degan.

Maturnuwun Mas Dayu dan tim Kopi Keliling! Bikin kangen! Foto: Sophia Mega
Mampir, menyeruput kopi sambil menikmati ikon-ikon unik di kota Jogja dan Semarang. Menikmati kopi dengan suasana yang berbeda dan keramahan Koling melayani tamunya. Terima kasih Koling, bikin rindu Jogja aja sih! Tanggung jawab hayo! Kapan-kapan pasti akan mampir untuk sekadar menikmati kopinya lagi.

Saat memotret tulisan 'Open' saya malah bikin talinya copot huhu. Untung ada Bapak ini yang baik sekali hehe. Foto: Sophia Mega. ...

Klinik Kopi
Saat memotret tulisan 'Open' saya malah bikin talinya copot huhu. Untung ada Bapak ini yang baik sekali hehe. Foto: Sophia Mega.
Kalau bukan karena kopi mungkin rencana ke Jogja kemarin nggak akan terwujud. Kalau bukan karena Klinik Kopi rencana ke Jogja kemarin hanya menjadi wacana dan tinggal menjadi kenangan semata. Kalau bukan karena keduanya, mungkin bukan Jogja yang menjadi tujuan utama.

“Gak papa kok aku ke Jogja sehari aja, abis ke Klinik Kopi terus pulang,” ucap saya  menerima keadaan bahwa tiket kereta yang kami pesan ternyata pas banget kami UTS. Tapi syukurlah kami bisa memajukan jadwal tiket kereta yang kami pesan dan bisa lebih lama di Jogja, mendengarkan cerita langsung dari Jogja.

Sesampainya di Jogja, setelah istirahat untuk beberapa jam, kami menyiapkan diri ke Klinik Kopi dengan sepeda motor sewaan. Waktu di jalan, saya memastikan lagi di Google di mana lokasi Klinik Kopi berada, tapi saya merasa janggal karena tulisannya hari ini closed. “Lho kok closed?”

Agak nggak percaya, saya pastikan ke akun Instagram @klinikkopi dan lantas, “Laaaah iya, ini kan hari Minggu astaga! Tutup dooong, gimana nih?” Padahal kami sudah agak jauh dari tempat menetap kami, kalau nggak salah udah di kawasan Sawojajar, Jogja. Singkat cerita setelah panik dan bingung mau kemana, kami mampir ke Studio Kopi dan baru esoknya ke Klinik Kopi.

Berdasarkan di akun Instagram Klinik Kopi, lokasi kedai satu ini emang masuk gang dan agak susah dicari. Untungnya sebelumnya kami mampir ke Smile Coffee & Tea, jadi diberi arahan jelasnya, lokasi dua kedai ini memang gak berjauhan kok,. Dan ternyata emang gangnya kecil, tapi asal dengan GPS nggak bakal bingung-bingung banget kok.

mas pepeng
Mas Pepeng, yang punya Klinik Kopi. Foto: Sophia Mega.
Ada banyak alasan yang membuat saya penasaran banget dengan Klinik Kopi. Pertama kali mengetahui kedai kopi satu ini dari Mbak Ama—travel blogger simplesillyjourney.com, “Meg coba deh buka akun Instagram @klinikkopi, mereka selalu bikin caption edukasi, panjang sih,”

Dari cerita-cerita yang disampaikan melalui caption tersebut lah yang bikin saya makin suka dan penasaran dengan kedai satu ini. Panjang sih emang, tapi nggak bosenin dan jadi selalu punya hal dan pengetahuan baru. Hal yang paling membuka mata saya adalah ketika salah satu post, Klinik Kopi memiliki harapan jika semua orang tak hanya sekadar mengopi di kafe. Tapi terbiasa menyeduh kopi dari rumahnya sendiri, sampai pada akhirnya mereka terbiasa dengan takaran mana yang disuka, nggak perlu teori-teori yang rumit.

Klinik Kopi hanya menyediakan kopi Indonesia dan diseduh dengan V60. Foto: Sophia Mega.
 Sejak saat itu lah saya yang awalnya malas belajar, langsung pulang ke rumah, mengambil Frenchpress yang entah dapat dari mana dan nggak dipake, langsung nyoba meski selalu gagal sih hahaha. Tapi setidaknya mencoba.

“Kalau aku sampai di Klinik Kopi, aku mau check in dan captionnya cuma emot senyum aja. Udah gitu aja,” ucap saya ke Arif. Saking bahagianya, saking rasa penasaran itu akhirnya terjawab. Alay emang. Saya emang udah kadung cinta sama cerita-cerita yang disampaikan di media sosial, saya baru menemukan Klinik Kopi yang rajin mengedukasi melalui media sosialnya. Norak!

Menunggu, tapi nggak ada Wi Fi, ya! Foto: Sophia Mega.
Pas banget, karena saya nggak suka gitu ngopi tapi sibuk hapean. Mending pulang aja, ngopi sendiri-sendiri hehehe. Foto: Sophia Mega.
Saya datang pukul empat sore, tepat saat Klinik Kopi baru buka. Padahal baru buka, eh udah ramai aja, udah antri. Kalau nggak salah, kami dapat urutan ketiga kalau nggak keempat. Sambil duduk di tempat lesehan dan nggak ada Wi Fi, ada kok minuman pembuka untuk menunggu. Di sini juga dipisahkan untuk orang yang merokok dan nggak, nah ini saya suka banget hehehe.

“Ah, akhirnya giliran kami!”

Ya, Klinik Kopi memang memesannya antri satu persatu karena nggak ada menu jadi kudu ngobrol sama Mas Pepeng, barista di Klinik Kopi. Pertanyaan pertama yang ia tanyakan adalah, “Biasa ngopi di mana?”

biji kopi klinik kopi
Biji kopi di Klinik Kopi. Foto: Sophia Mega.

Yah saya jawab di kedai-kedai lokal Malang, tapi banyak lho yang jawab dengan, “Starbucks.” Sejak saya ngerti single originnya Starbucks nggak enak (sorry to say, tapi Frappuccinonya enak banget), saya udah maleees banget ke Starbucks. Padahal dulu selalu pengin ke sana, sampe di Malang baru ada Starbucks, saya belum pernah sama sekali ke sana. Kedai kopi lokal masih selalu juara kok!

Mas Pepeng bertanya mau kopi yang seperti apa atau suka dengan kopi yang asamnya seperti apa. Sebenarnya saya suka dengan yang pahit dan asam seimbang, tapi karena di akun Instagram Klinik Kopi selalu menceritakan kopi dengan aftertaste manis, jadi pengin tahu karena selama ini belum coba. Alhasil saya mencoba Kopi Bu Nur.

Kopi di sini selalu diseduh dengan air yang panasnya 80 derajat dengan V60, saya lupa sebutan tekniknya apa, yang jelas Mas Pepeng nggak menggunakan teknik pour over biar tetap menjaga Bodyguard dari kopinya sendiri. Yang jelas teknik ini bikin kopi tersebut cocok diperut Arif, karena perut Arif sama kopi tuh gampang rewel. Sedangkan saya sendiri cocok-cocok aja.

Banyak yang dari luar negeri ke Klinik Kopi. Foto: Mohammad Arif.
Di sini jangan harap ada Cappuccino atau bahkan Latte Art, Mas Pepeng bilang, “Ini kan Indonesia, kalau Cappuccino dan semacamnya dari Italia, nggak perlu deh,” ucapnya pada salah satu pelanggan dari... entah Negara mana. Kalau nggak salah di sini juga nggak ada gula deh, jadi tamu diajak untuk menikmati kopi itu sendiri, tanpa gula.

Kopi Bali Kintamaninya Klinik Kopi buat saya yang paling favorit! Foto: Sophia Mega.
Nggak lupa dengan dua kue dari Dapur Tetangga. Menikmati perpaduan asam dan manis Kopi Bu Nur dengan kue yang manis. Arif dengan Kopi Batak Tolu yang begitu ia suka. Lokasinya sejuk dan bikin nyaman. Sayangnya, saya nggak bisa sekadar ngobrol banyak dengan Mas Pepeng karena udah banyak banget yang antri. Bagi saya ngobrol saat pesan tadi kurang banyak.

Kami menikmati kopi dan kue di tempat roasting dan ngobrol dengan seorang mas-mas yang ternyata juga jauh-jauh dari Malang untuk ke Klinik Kopi. Bahkan, sama-sama dari kampus yang sama. Kebetulan sekali.

Sepulang dari sana saya membawa biji kopi Bali Kintamani, mereka hanya jual biji ya, karena kata Mas Pepeng kalau beli bubuk itu ibarat kita udah masak mie tapi makannya masih besok-besok. Dengan sekitar 225 gram, kita bisa membelinya dengan harga Rp120.000.

Kue dari Dapur Tetangga. Foto: Sophia Mega.
Bayarnya di sini nih. Foto: Sophia Mega.
Kopi di sini cukup Rp15.000 saja kok, bedanya dengan kedai lainnya yang satu porsi bisa 2-3 gelas, di sini hanya secangkir saja. Kue dari Dapur Tetangga bisa dinikmati dengan Rp10.000. Kami cukup bingung gimana bayarnya, eh ternyata bayarnya tuh dimasukin ke sebuah tempat gitu, jadi kita secara mandiri menghitung dan memasukkan ke tempat seperti foto di atas.

Perjalanan kami ditutup dengan senyuman puas ngopi di Jogja. Kami pulang dengan bahagia, meski sempet pengin mampir lagi ke salah satu tempat ngopi yang menurut saya paling berkesan selama di Jogja. Hehe iya, ada yang lebih berkesan, di post selanjutnya ya! Kalau ke Jogja, kalian harus mampir ke Klinik Kopi dan ratusan kedai kopi lainnya.