Berfoto imut dan endel seperti ini bukan jadi salah satu tips cara bikin konten blog yang kreatif kok. Selamat lah bagi manusia-manusia ...

cara bikin konten blog

Berfoto imut dan endel seperti ini bukan jadi salah satu tips cara bikin konten blog yang kreatif kok. Selamat lah bagi manusia-manusia yang tak hobi selfie. ‘Bikin konten’ bagi para blogger atau youtuber bukan hal yang asing lagi, sering kali mereka malah gak menyebut dirinya ‘blogger dan youtuber’ tapi ‘content creator’.

Sebelum jelasin apa sih content creator itu, bicara dunia per-blogging-an atau bahkan per-youtube-an, banyak yang lebih tanya, "Pake laptop apa sih Kak? Dari Intel Core i3/Intel Core i5/Intel Core i7 Processor, laptop kakak prosesornya udah yang mana?" Iya sih, alat juga penting, apalagi kalau ngomongin soal prosesor, karena semakin besar angka setelah huruf 'i' kecepatan multitaskingnya juga lebih cepat.

Tapi ada yang lebih penting lho: gimana cara bikin konten blog yang kreatif biar pembaca betah dan makin banyak yang baca juga tentunya. 

Laptop apa yang paling baik buat ngeblog? Laptop yang kamu punya sekarang. Kalau gak punya, ada warnet kok hehe.

Sekilas tentang content creator, buat yang belum tau nih, c
ontent creator bertugas membuat konten yang nggak hanya tulisan, tapi bisa foto, kampanye media sosial, video dan lain sebagainya. Cara sederhana menjelaskan content creator adalah: bagaimana netizen masa kini mengubah ‘feeds Instagram’nya jadi secantik mungkin. Mereka berpikir berjuta-juta kali sebelum upload fotonya, harus diedit dulu, dipikirin jadwalnya, biar orang-orang tertarik dipancing apa dulu dan banyak stepnya.

Sebenernya pengguna Instagram yang peduli dengan feeds-nya berarti dia sedang menjadi content creator untuk Instagramnya. Spesial di tulisan kali ini, saya akan berbagi 6 cara bikin konten yang kreatif buat temen-temen yang pengin ngeblog tapi belum tau dari mana.

Tulisan ini spesial ditemani dengan video Coffee Break #2: 6 Cara Bikin Konten Blog, sebelum baca artikel di bawah, bisa nonton video di bawah ini, yak!



Meskipun saya bilang cukup lama nulis di blog ini, tapi sebenernya saya terhitung baru untuk mengembangkan blog gimana biar bisa dibaca banyak orang dan lain sebagainya. Tapi semoga tulisan kali ini bisa tetep bermanfaat ya!

Sederhana aja kok jadi blogger, kita hanya cukup bersenang-senang aja. Tapi ada enam langkah yang bisa memudahkan, keenam hal tersebut adalah:


Paling pertama banget adalah: NIAT & MOOD. Udah ada niat jadi blogger kadang terhalang dengan mood. Nurutin mood gak ada habisnya sih, tapi hal yang paling mudah adalah: cari tau deh apa yang bikin kita ngerasa lebih semangat.

Kalau saya sendiri sering kalau lagi sumpek memilih untuk bersih-bersih atau sekalian aja nulis di luar. Kadang tuh bete gak jelas, lalu saya bilang ke Mbak Putri—teman serumah, “Kok aku bete gini ya Mbak? Kayaknya harus bersih-bersih deh.” Kalau udah bersih, mau kerja kan jadi nyaman gitu. Kalau kalian gimana biar moodnya jadi baik?


Cara menentukan niche blog sebenernya simpel kok, kamu suka apa, ya itu lah niche blog kamu. Suka traveling? Biasanya disebut Travel Blog. Atau kamu mau bebas aja nulis apapun? Personal Blog bisa jadi pilihan. Kalau saya sendiri memfokuskan diri dengan kopi dan buku lalu memberi asal nama dengan Coffee & Book Blogger.


Nggak wajib kok memberi nama setiap segmen, tapi dengan cara ini pembaca bakal lebih inget dengan konten apa yang kita tulis. Kalau mau lebih deket dengan pembaca, atau istilahnya meningkatkan engagement, coba deh iseng-iseng bikin polling di akun media sosial kita. Ajak pembaca ikut serta dalam pembuatan tulisan kita, mereka lebih suka kita nge-review kedai kopi murah atau mahal, atau mereka lebih suka kita nge-review buku apa.


Problematika para blogger adalah ketika kita lupa atau nggak tau mau menulis apa. Caranya emang jangan lupa dicatet setiap ada ide apa, nanti dengan sendirinya kita akan menentukan mana dulu yang lebih penting, lebih bagus atau nggak perlu ditulis.

Saya juga sering tiba-tiba di rumah berpikir, “Kayaknya tadi aku mau nulis apaa gitu kok lupa.” Penyakit lupa di tahun 2017 ternyata tak kenal usia ya? Jadi jangan males untuk menyimpannya dalam catatan.

Pernah tuh, saya dan temen saya—Sarah lagi jalan-jalan di mall, kemudian kami ngobrolin hal yang asik banget. Tiba-tiba saya berhenti dan bilang ke dia, “Aku catet dulu ya Sar obrolan barusan.” Temen deket saya pasti hafal kalau kemana pun saya berada selalu bawa buku catatan. Meskipun ada HP, menulis secara langsung itu lebih melegakan dan menyimpan memori lebih lama. 


Ada beberapa direct message baik di Twitter, Instagram atau LINE yang tanya “Meg kamu pake laptop apa? Kayaknya laptopmu enak banget deh.” Yang langganan tanya tuh ada Fery dan Mbak Ardien, parahnya Mbak Ardien selalu sering kena ‘racun’ dari saya. Akhirnya laptopnya dia sekarang ASUS dan kameranya Sony A5000, hahahaha selamat berkarya dengan peralatan barunya ya, Mbak!

Sekarang saya emang lagi pake ASUS A456U. Hal yang paling saya tuju dan perhatikan sebelum beli laptop adalah: prosesornya. Udah saya bahas kan tadi kalau ada tiga prosesor untuk windows: Intel Core i3/Intel Core i5/Intel Core i7 Processor.

Saya tau banget deh banyak yang nggak paham laptop dan kebingungan mau beli yang mana, semakin dijelasin anak yang paham teknologi, sering kali kita makin bingung mau beli yang mana, ya gak sih?


Gampangnya nih, untuk cari laptop yang multitasking-nya bagus, caranya bisa lihat prosesornya. Waktu mau beli ASUS A456U, saya lihat dengan Intel Core i5nya dia bisa dibeli dengan harga yang cukup terjangkau dibandingkan laptop dengan prosesor yang sama tapi dengan brand yang beda. Asus tuh memang terkenal dengan: murah dan kemampuannya oke. Paling minus-nya trackpad-nya rada nggak nyaman (tapi nggak semua).

Udah nyaman-nyaman aja sih pake yang ini, karena saya lebih sering nulis di rumah. Kalau dibilang pengin beli yang lebih bagus, ya pengin lah! Hahahaha dasar gak pernah puas, saya agak dilema sebenernya mau beli ASUS A456U atau PC aja. Pake PC tuh lebih lega, lebih gede, lebih nggak lemot dan pasti nyaman banget bikin video dan nulis.


Ada sih yang saya pengin, ASUS Vivo All in One V220i. Parah banget sih ini, monitornya lebar (21,5 inci) dan memang PC ini ditujukan buat para penggemar grafis atau visual. Buat blogger apalagi youtuber pasti enak banget. Apalagi dilengkapi dengan kemampuan touchscreen.

Prosesornya memang i5, tapi i5 PC dengan laptop beda banget sih rasanya. Dengan monitor yang lebar dan tampilan yang elegan banget, betah banget deh kalau lagi bikin video.

Ya gitu aja sih soal alat, saya nggak mau bikin kalian makin pusing dalam menentukan mau beli laptop atau PC. Sekarang tinggal: budgetnya seberapa dan butuhnya yang kayak gimana. Kalau ada budget lebih, ASUS Vivo All in One V220i ini emang bikin ngiler sih, tapi satu hal yang harus diingat: jangan sampai terhalang ‘aku mau pake laptop itu dulu baru berkarya’. No, no, no!

Alat bisa belakangan, sambil ngeblog, sambil cari uang dari blog, sambil nabung beli laptop yang mana. Atau kalian jadi Techno Blogger aja biar dapet endorse gadget-gadget gitu! :p


Definisi sukses bagi setiap orang pasti beda-beda, kalau saya sendiri belum ngerasa sukses jadi blogger. Tapi meskipun gitu, saya sukaaaa banget jadi blogger. Kalau lagi capek nulis freelance, saya tinggal kerjaannya dan nulis buat blog hahaha. Ada kenikmatan sendiri aja buat ngeblog.

Tips terakhir yang nggak bisa dilewatkan adalah, jangan bosan dengan prosesnya ya! Emang, di awal tulisannya mungkin nggak asik dibaca, nggak banyak yang baca, atau bahkan banyak yang nggak peduli. Santai, pokoknya kalau mau jadi blogger, harus cinta sama proses deh, kalau enggak.. ya… bakal bosen dan nggak dapet target apa yang diinginkan.

Kadang, saya hidup dengan insecurities, ketakutan dan ketidakpuasan pada diri sendiri. “Meg, kamu ini udah ngeblog lama tapi gini-gini aja.” Ya ada lah rasa belum puas pada diri sendiri, tapi kalau udah cinta sama yang dilakukan, pasti mau kok untuk terus berproses, belajar gimana cara bikin konten yang baik, rajin belajar di Pinterest dan lihatin para blogger lain yang keren.

Jadi gimana? Keenam langkah tersebut udah ada yang pernah coba belum? Kalau udah, share dong berhasil nggak sih. Kalau belum, dicoba yuk! Kalau berhasil atau gagal, jangan malu-malu untuk ngobrol di Instagram atau Twitter ya (@sophiamega)!

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog Asus yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network dan Asus Indonesia.


Beberapa hari lalu saya memberi tantangan kepada teman-teman Instagram untuk #MengopiBersamaAyah—mumpung yang Ayahnya masih bisa meneman...


Beberapa hari lalu saya memberi tantangan kepada teman-teman Instagram untuk #MengopiBersamaAyah—mumpung yang Ayahnya masih bisa menemani. Hanya iseng, nggak ada yang melakukan juga nggak papa, ada yang mulai tergerak menghubungi Ayahnya—saya bersyukur, tapi yang bikin saya makin seneng adalah… yang kasih komentar banyak banget!


Banyak yang bercerita di foto tersebut dengan kisahnya masing-masing. Mulai cerita kemesraannya bersama Ayahnya sampai yang sekadar bilang, “Nggak suka kopi, Meg.” Ada juga yang bilang Ayahnya nggak bisa diajak ngopi gaul, ada juga yang bilang susah.

Iya, emang susah.

Pun saya yang akhirnya berhasil melakukan, awalnya susah. Saya dekat dengan orang tua secara vertikal, nggak secara horizontal. Kami dekat dengan label ‘ayah dan anak’, hampir nggak pernah dengan label ‘teman diskusi’. Setiap keputusan selalu ada perdebatan yang nggak ada ujungnya.

Temen-temen selalu bilang, “Ayahmu selalu gaul ya, Meg?” Padahal di balik penampilan celana jeans dan kemeja yang lengannya selalu ditekuk menjadi tiga perempat itu ada sosok Ayah yang suka ngomel kalau anak cewek satu-satunya ini melakukan hal yang bikin anaknya repot, susah dan semacamnya. Ke pantai nggak boleh lah, keluar kota sendiri harus naik travel lah, dan berbagai rasa sayang yang ditunjukkan dengan cara menyebalkan lainnya.

Di balik quality time keluarga, nggak jarang kami mungkin sibuk bermain hape atau malah membaca buku. Ada beberapa jarak yang susah mendekatkannya, bukan karena salah orang tua saya juga, mungkin emang Allah punya maksud sendiri dari keluarga yang saya punya. Semua orang yang saya ceritakan selalu bilang, “Kamu lah Meg yang paling bisa mendekatkan.” Mungkin karena saya satu-satunya anak yang paling ‘vokal’ alias berisik.

Tapi selama bertahun-tahun, ya gini-gini aja sih.

Apalagi sejak kuliah, saya semakin memberi jarak, semakin jarang pulang—selain karena sofa yang saya tinggali selama kuliah begitu malas untuk ditinggalkan.

Terus apa yang bikin saya berani mengajak mengopi dan pelan-pelan menghapus jarak yang sudah bertahun-tahun tercipta? Karena kapok.

Awal Januari bisa dibilang saya ditampar sebuah fakta bahwa sudah begitu lama menjadi ‘budak cinta’, gitu kata anak-anak masa kini. Bukan dia kok yang salah, saya aja yang terlalu polos, seperti pesannya terakhir, “Jaga diri baik-baik ya, jangan polos-polos,” Saya aja yang menempatkan ‘rasa sayang’ pada waktu dan orang yang salah.

Dia nggak salah kok, dia cowok yang baik dan kami sama-sama masih perlu belajar.

Perasaan menyesal, kapok, trauma, kesel, marah, sedih dan macam-macam lainnya hanya bisa diekspresikan dalam diam. Melamun, pikiran kosong, nggak tau mau ngapain. Sampai ada pesan dari Mas Taufiq—seseorang yang paling berisik nanya keadaan saya pasca-drama putus cinta, “Hargai orang2 sekitarmu, mbak putri ato siapa temen kampus. Bercanda lah. Atau kemana lah. Jgn sendiri.”

Bener juga.

Orang pertama yang saya kontak adalah Ayah. Harusnya ‘rasa sayang’ itu ditempatkan pada waktu dan orang yang tepat, ya orang tua. Seperti yang Mbak Rossyta Martha sering sampaikan, intinya kalau menikah itu akan dihadapkan dengan orang yang sama selama bertahun-tahun, sekarang tempatkan dahulu rasa sayang pada orang yang tepat yang selalu kita temui setiap hari, bertahun-tahun, ya orang tua.

Dengan rasa kapok, sedih dan mata yang udah sembab pesan yang terkirim melalui Whatsapp ke Ayah begitu mengalir, nggak ada beban atau bahkan gengsi. Mas Taufiq kembali berpesan, "Jangan sibuk hapean lho nanti."

Awalnya sempat di-PHP oleh Ayah yang urusannya sebanyak bintang di langit, padahal pagi itu udah dandan, siap untuk ngopi. Tapi Ayah bilang diganti setelah maghrib, setelah bilang ‘nanti siang’ diganti ‘nanti sore’ dan akhirnya ‘abis maghrib ya’. Saya sengaja ajak ke Telescope, kedai kopi yang sering saya datangi, yang setiap personil di dalamnya sudah saya kenal. Ya karena saya juga yang harus traktir, yang murah aja ya Yah hahaha.

Paginya pun udah kirim pesan ke Mas Ambon—salah satu pemilik Telescope kalau mau mampir dan ngajak Ayah. Jadi suasana pasti bakal asik di lokasi dan bener dong. Baristanya waktu itu ada Mbak Tata sama Ersa—temen saya. Semuanya asik diajak ngomong, yang ada Ayah malah sibuk nanya-nanya soal kopi, alat seduh kopi, dan banyak hal lagi lainnya.

Once more, makasih banyak Telescope! Bar kalian memang magis, orang-orangnya asik secara natural. Mwah! 


Di akhir mengopi Ayah tanya, “Ini ada apa sih? Ayah curiga kamu ada apa-apa deh.”

Saya cuma jawab dengan ketawa, “Iya nanti di mobil aja.”

Lalu kami pulang dan di perjalanan akhirnya saya bilang dengan ragu, “Ini perayaan kecil-kecilan aja, aku abis putus hehehe.” Lalu obrolan malam yang tertunda di kedai kopi karena Ayah terlalu excited dengan proses penyeduhan kopi terganti di dalam mobil.

Awalnya susah, awalnya terasa nggak penting, tapi percaya deh, semua jadi beda hanya dari secangkir kopi. 

Foto di Kopi Tjap Giling, oleh Arif Oetomo. Memang baru enam bulan terakhir ini intens pengin belajar soal kopi, kalau dulu sekali dala...

Foto di Kopi Tjap Giling, oleh Arif Oetomo.
Memang baru enam bulan terakhir ini intens pengin belajar soal kopi, kalau dulu sekali dalam seminggu aja ke kedai, sekarang bisa dua atau tiga kali ke kedai. Dateng ke kedai bukan ngopi aja, ya belajar. Belajar ngelatih kepekaan rasa, belajar dengan dengar cerita barista sampai kalau udah deket sama kedainya sesekali nyoba nyeduh kopi sendiri.

Sesering-seringnya ke kedai, nggak pernah sih bayangin setiap hari pergi dari satu kedai ke kedai lainnya. But I did it, finally hehehe. Challenge menarik bagi saya yang super mager ini. Ya, iseng-iseng aja memberi nama challenge-nya dengan #12Hari18Kedai.

Challenge ini berawal dari diminta nge-review 30 kedai oleh manualbrewing.com. Selain seneng karena dibayarin ngopi, seneng juga bisa nulis topik yang saya suka. Dari ke-30 kedai, ternyata saya baru main ke 12 kedai aja, berarti ada 18 kedai yang perlu dikejar. Lewat hashtag tersebut lah yang bisa bikin saya semangat untuk lebih inget deadline dan sharing ke temen-temen lewat Instagram.

Foto di Kopi Letek Batu, oleh Sophia Mega.
Dua belas hari berakhir pada 16 Januari lalu. Kedai-kedai yang saya datangi selama dua belas hari ini ada: Kopi Letek (Batu), Wonten Coffee, Sanger Kopi Aceh, Nomaden Coffee, Telescope, Legipait, Golden Heritage Koffie, Museum Kopi, 8oz Coffee Studio, Risk Coffee Room, Vens Coffee, Kopi Tjap Giling, Kopi Oma Kayu, PM Coffee dan Amstirdam Coffee.

Iya, cuma 15. Ternyata challenge kali ini nggak berhasil lengkap 18 kedai. Banyak hal sih di balik kegagalan challenge ini. Salah satu sebabnya karena kecapean pasca-UAS semester tiga kemarin.

Meskipun nggak lengkap 18 kedai, tapi bener-bener banyak cerita di setiap cangkirnya. Jadi terima kasih manualbrewing.com yang udah kasih kesempatan ini. Dari semua kedai tersebut, ada yang bener-bener saya suka dan pengin kembali, ada juga yaaa yang just-not-a-fan-of-it.

Kopi tuh nggak ada yang nggak enak sih, soal cocok-cocokan aja. Tapi saya coba untuk menulis sejujurnya aja. 

Foto di Sanger Kopi Aceh, oleh Sophia Mega.
Yang just-not-a-fan-of-it, ada Sanger Kopi Aceh, kopinya emang unik luar biasa, tapi terlalu manis. Menurut saya kopi yang terlalu manis itu bikin pusing kepala, dan emang kejadian sih. Wajar kok kalau manis, mungkin mereka cari aman dengan membuat kopinya manis, karena itu kan kopi tubruk ya, dengan gelas terbalik udah nggak bisa lagi ditambahin gula. Nah sedangkan saya emang nggak terlalu suka minuman manis, next time boleh lah minta dikurangi gulanya.

Terus ada Vens Coffee, waktu itu saya pesan V60 Bali Kintamani. Di sana bisa dibilang cukup mahal sih, tapi ya… just-not-a-fan-of-it. Kopi Legipait yang super rempah-rempah itu juga unik luar biasa, saya pesen Kopi Rempah. Lagi-lagi karena nggak biasa pesan Kopi Tubruk jadi nggak cocok aja, tapi suasananya bener-bener ngangenin. Bakal balik lagi ke Legipait, tapi pesen yang wajar-wajar aja deh hahaha. Pisang dan tempe gorengnya bikin kangen!

Foto di Telescope, oleh Sophia Mega. Kanan; Ayah, kiri; Ersa, barista sekaligus teman saya.
Lebih banyak sukanya kok daripada menemukan kopi yang kurang cocok di saya. Banyak cerita yang bener-bener ngangenin dan suatu hal baru buat saya, misalnya #MengopiBersamaAyah.

Putus cinta awal Januari kemarin bikin saya lalu sadar kalau banyak hal yang saya lewatkan karena dikit-dikit jalan berdua. Banyak orang yang saya cuekin cuma karena komitmen, padahal niatnya sekadar teman. Banyak orang yang lupa saya telpon karena keasikan berdua. Banyak yang saya lewatkan, salah satunya ya punya quality time sama keluarga.

Di keluarga saya, kami dekat secara vertikal, bukan secara horizontal. Deketnya ya sebatas orang tua dan anak, jarang curhat, adanya saling debat aja. Challenge ini cukup susah sebenernya, tapi karena lagi kesel-keselnya setahun kemarin melakukan banyak kesalahan, niat untuk nge-chat ngajakin Ayah ngopi pun terlaksana.

Sampai akhirnya kami mengopi, Ayah nanya banyak hal soal kopi, menyenangkan sekali! So, I challenge you guys! Kalau Ayahnya masih ada, ajak ngopi berdua lah. Kalau yang nggak suka ngopi, ya ngeteh. ‘Ngopi’ hanya bersifat ritual aja, terserah minumnya apa.

Foto di Wonten Coffee. Kesayanganquwww.
Cerita #MengopiBersamaAyah yang emang paling berkesan selama dua belas hari ini. Banyak juga sih cerita seru lainnya, banyak hal baru yang saya dapatkan, karena teman mengopinya beda-beda.

Denger dan belajar ke Mbak Andrea sambil ngopi di Pasar Tawangmangu—Nomaden Coffee. Asik nggak tuh ngopi di pasar, terus pulangnya jangan lupa beli pecel yang enak banget dengan harga super terjangkau.

Betapa syedapnya perpaduan kopi dan Tahu Kiwalan (kalau namanya gak salah) di Kopi Tjap Giling. Apalagi kedai ini lokasinya bener-bener di rumah pemiliknya dengan suasana vintage dan nyaman banget.

Terus baru tau ada teknik Imersi di Amstirdam Coffee, juara banget rasanya! Suasana kedainya juga asik banget. Rasanya pengin ngopi di sana tiap pagi sambil nulis atau sekadar membaca.

Atau cerita di Kopi Letek (Batu) yang banyak drama tapi banyak rindunya juga. Wonten Coffee yang jadi tempat pertama ngajakin temen deket saya, Arin dan Sarah beneran ngopi.

Foto di Nomaden Coffee, ngopi di pasar, oleh Sophia Mega.
Banyak banget deh ceritanya, kalau ditulis semua di sini, tulisannya bakal jadi makalah. Kasihan kalian bacanya, setuju nggak kalau cerita-cerita yang paling berkesan dijadiin satu tulisan per kedainya? Kalau setuju, kasih nama kedai yang pengin lebih dulu kalian baca ya! Kalau mau jadi Teman Mengopi, yuk lah, monggo!


Anyway, bikin challenge apa lagi yaaa? Ada ide?