Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser...


Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser, yang bagiku sekarang itu kurang panas untuk menyeduh kopi kemasan. Aku, yang saat itu mungkin masih usia 7 tahun, sering mencuri-curi untuk menyeruput kopi milik Ayah.


Aku tak pernah tahu apakah Ayah mempertanyakan mengapa kopinya sering tiba-tiba berkurang. Mungkin juga ia sudah tahu kalau pelakunya adalah anak perempuan satu-satunya yang masih kecil itu. Mega, si pencuri kopi, karena sering "ingin menjadi seperti Ayah". 


Ayah yang membuatku familiar dengan kopi. Ia juga yang memperkenalkanku dengan berbagai macam jenis buku dan membuatku terbiasa membaca buku. Sejak kecil aku sering diajak ke toko buku, dan itu membuatku lebih terbiasa menghadapi banyak rak buku dan menelusurinya satu-satu. Aku sejak kecil juga selalu melihat Ayah sibuk dengan komputer atau laptopnya untuk menulis dengan secangkir kopi dan buku-bukunya.


Secara tidak sadar, "aku menjadi Ayah". Sejak mengenal dunia blogging, aku jadi gemar menulis. Ketika menjadi 'anak madrasah' tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) sekitar pada tahun 2015, aku mulai familiar dengan kedai kopi. Sejak saat itu aku sering menghabiskan waktu sendiri di kedai kopi untuk menulis.

 

Baca tulisan pertamaku mencicipi Americano saat kelas 3 SMA:

dW Coffee Shop: Nyaman untuk Blogger


Barangkali tak berlebihan jika aku menyebut Ayah lah yang membawaku menjadi 'Mega yang hari ini'. Mega yang ingin terus menulis dan minum kopi secara berlebihan. Barangkali secara tidak sadar, aku memang ingin "menjadi seperti Ayah", tetapi sayangnya justru ini yang membuat hubunganku dengan Ayah memburuk.


Aku semakin menghindari Ayah sejak pertama kali ia menertawakan kegiatan yang paling aku cintai ketika SMA. "Nulis, kok, di blog. Nulis itu di koran, lah," kata Ayah. Bahkan Idulfitri tahun ini, aku masih mendengar Ayah bercerita tentang hal yang sama, ia masih produktif menulis di koran, dan mengulang nilai yang amat ia percayai, "Tingkatan menulis paling baik itu, ya, menulis di koran."


Ketika SMA, aku tak pernah sadar bahwa ucapan sederhana itu membawaku menjadi orang yang kerap meragukan diriku sendiri. Rupanya komentar-komentar Ayah membawaku pada kebiasaan mencari validasi dari orang lain. Bila orang lain menilai itu buruk, maka aku perlu percaya, sebab aku selalu jadi 'anak kecil yang nggak tahu apa-apa daripada orang lain".


Seseorang bahkan pernah bilang padaku, "Mega, jangan terbiasa langsung lari setiap ada satu kejadian buruk." Komentar itu datang dari bosku ketika aku mengundurkan dari pekerjaan karena aku pernah datang telat bekerja satu kali. Tetapi yang aku ingat, melakukan satu kesalahan sangat mengerikan, memalukan, dan aku merasa tidak berhak atas hal-hal baik tersebut.


Pola itu pun berulang dalam banyak hal, hanya karena satu kritik, aku bisa berhenti melakukan hal yang paling aku cintai. Tahun 2019 aku berhenti menulis tentang kopi karena dikritik banyak orang. Bila aku melihat diriku dengan Mega yang udah lebih dewasa lima tahun saat ini, aku bukan perlu berhenti menulis kopi, tetapi aku hanya perlu belajar bahwa penulis bisa salah dan hanya perlu bertanggung jawab atas kesalahannya. Tetapi aku justru menganggap "karena aku sudah berbuat salah, maka aku tidak layak melakukan apapun tentang ini, karena itu memalukan".


Rasa malu itu familiar pada setiap waktu mencari validasi dari Ayah. Ketika ada satu pencapaian yang aku lakukan sementara tak sesuai dengan standar Ayah, ia kerap meninggalkan komentar dengan sedikit tertawa. Tawaan itu menyakitkan buatku yang masih belajar dewasa. Tawaan itu mengingatkanku bahwa "aku memalukan". Tawaan itu tak aku butuhkan dari sosok yang paling aku nantikanuntuk mendapatkan petunjuk paling bijaksana yang semestinya membantuku menjadi lebih dewasa.


Ayah yang membuatku suka menulis, tetapi ia sendiri juga yang memaksaku untuk mengikuti standarnya dalam 'menjadi penulis'. Meskipun aku 'secara tak sadar' tetap ingin menjadi Ayah, tetapi diriku yang remaja juga punya dorongan untuk tak pernah sepakat dengan Ayah. Aku tetap saja menulis blog dan kini "bisa hidup" dari pekerjaan membuat konten di internet. Aku memilih untuk percaya pada apa yang aku sukai, tetapi ini juga yang membuatku terkesan menjadi "anak keras kepala" hanya karena aku "anak perempuan yang tahu mauku apa".


Ibuku bahkan pernah bilang, "Kamu itu keras kepala seperti Ayahmu. Cuma mau melakukan sesuatu yang cocok dengan rencananya."


Suatu hari aku ingin memperbaiki hubungan dengan Ayah. Aku ingin lebih banyak ngobrol dengannya. Aku mengajaknya mengopi bahkan membuat segmen khusus 'Mengopi Bersama Ayah' di Instagram dan blogku. Tahun 2017, aku memperkenalkannya dengan satu kedai kopi di Kota Malang yang punya kopi enak dengan harga terjangkau: Amstirdam Coffee.


Niat baik memperbaiki hubungan dengan satu hal yang sama-sama kami sukai, yaitu kopi, pun tetap gagal. Setelah mencicipi kopi di Amstirdam Coffee, Ayah bilang tiga hal. Pertama, Ayah suka sekali dengan pertemuannya dengan pemilik Amstirdam Coffee yang merupakan orang India karena ia baru saja melakukan penelitian di India. Bahkan Idulfitri kemarin Ayah masih cerita ingin kembali ke India karena negaranya begitu menarik. Kedua, Ayah sangat suka dengan kopinya, bahkan hingga tahun 2024, ia sangat bergantung dengan biji-biji kopi dari Amstirdam Coffee untuk membuat kopi di kantornya. Ketiga, Ayah justru melarangku pergi ke kedai kopi setelah aku ajak pergi ke sana.


"Jangan sering-sering ke sini, lah," kata Ayah begitu singkat.


Ayah tidak pernah menjelaskan alasannya tetapi yang aku pahami adalah lagi-lagi Ayah menjadi tukang ngatur yang sama sekali nggak asyik. Tetapi aku yang kini banyak membaca buku-buku tentang gender akhirnya memahami maksud Ayah. Aku jadi sadar itu hanya bentuk kekhawatirannya tetapi karena ia begitu gagap untuk menunjukkan kepeduliannya dengan baik, ucapan yang hadir akhirnya dalam versi yang tidak asyik sama sekali.

Amstirdam Coffee saat itu memang masih kecil, sempit, dan tersembunyi. Orang bisa menyebutnya 'hidden gem' atau 'underrated coffee shop' saat itu, hanya saja istilah tersebut belum jadi tren di 2017. Berbeda dengan Amstirdam Coffee hari ini yang berubah menjadi sangat luas, punya beberapa cabang, tetapi ada satu hal yang masih sama ketika aku datangi kembali di tahun 2023: Amstirdam Coffee masih dipenuhi laki-laki.


Melihat suasana Amstirdam Coffee yang gelap (karena malam), kecil, dan tersembunyi barangkali membuatnya khawatir itu bukan tempat aman untuk anak perempuannya. Sayangnya, buku-buku tentang gender juga yang membuatku sadar itu adalah "nasihat yang tidak adil". Untuk membuat anak perempuan mendapatkan lingkungan aman, ia harus dilarang keluar rumah. Bukannya anak laki-laki atau laki-laki dewasa yang dididik untuk tidak menjadi predator.


Selengkapnya tentang cara mendidik anak perempuan dan laki-laki yang tidak adil dapat dibaca di buku 'Akhir Penjantanan Dunia: Psikologi Feminis untuk Pembebasan Laki-laki dan Perempuan'.


Malam Mengopi Bersama Ayah hari itu malah membuatku menyembunyikan diriku dari Ayah. Aku bahkan tak mengundangnya di setiap acara rilis buku-buku terbaruku. Bahkan tak ada nama Ayah di setiap buku yang aku tulis hingga ia begitu kecewa.


Ayah pernah bilang, "Kamu itu Ayah belikan buku-buku, tapi malah nggak ada nama Ayah di bukumu."


Jelas ia amat kecewa karena justru yang aku tulis dalam bukuku adalah nama pacarku (yang kini menjadi suamiku). Saat itu aku sungguh kehilangan orang yang mempercayai setiap yang aku cintai, ketika menemukan pacarku yang menjadi suamiku, aku merasa menjadi "lebih kuat" setiap berkarya karena merasa punya dukungan darinya. Terdengar romantis, tetapi sebenarnya ini juga tak sehat-sehat amat. Mestinya alasanku menulis datang dari diriku, bukan datang dari ada yang mendukungku atau tidak. 


Kini, ketika aku dewasa, aku tetap tak membenarkan nasihat Ayahku. Sebagai anak perempuan, aku tak butuh proteksi semacam itu. Aku justru perlu banyak diajari tentang "aku layak dapat perlakuan baik seperti apa dari orang lain". Sementara aku kehilangan kehadiran Ayah sejak kecil, Ayah sibuk bekerja sampai setiap ia bicara, hanya soal mengatur dan marah karena aku tak pernah sesuai dengan standarnya. Sementara aku dibesarkan oleh Ibu yang juga sudah terlalu lelah menghadapi tiga anaknya sehingga yang aku terima adalah omelan harian.


Aku menjadi dewasa tanpa banyak arahan yang jelas. Aku belajar menjadi dewasa sendirian. Aku tumbuh dewasa dengan rasa sepi yang mengakar. Rasa sepi yang membuatku hampir tak pernah lajang karena aku mudah terkesima setiap ada orang yang memberikan perhatian, dan akuselalu merasa butuh orang lain untuk menghilangkan rasa sepi serta demi menjadi bahagia. 


Dibesarkan di keluarga yang aku perlu menebak-nebak apakah Ayah Ibu sedang marah atau tidak, apakah aku perlu menyamanka mereka sehingga tak marah lagi, membuatku jadi perempuan kodependen. Kodependensi dalam sebuah hubungan adalah ketika aku baru merasa bahagia bila sudah membuat orang lain bahagia. Aku mendapatkan pengetahuan ini dari buku Toxic Relationsh*t yang ditulis oleh Diana Mayorita.


Itu yang membuatku merasa "memiliki pacar membuatku lebih mudah menjadi bahagia" karena aku "mengurus" pasanganku dengan loyal. Sementara aku kerap tak mendapatkan kepedulian yang sama dari pasangan-pasanganku sebelumnya, sebab banyak laki-laki yang memiliki "mommy's issue". Sehingga mereka mencari pasangan yang bisa menjadi pengganti ibu untuk bisa "mengurusnya", bukan kekasih yang dapat diajak hidup bersama dengan prinsip ketersalingan dan kesetaraan. 


Aku tidak menyangka dari keisengan mencicipi kopi Ayah dapat membawaku pada dinamika relasi dengan Ayah yang rumit dan cukup mempersulitku ketika tumbuh dewasa. Aku masih tak megelak bahwa ada banyak kemiripanku dengan Ayah. Aku sejujurnya masih ingin melanjutkan S-2 dan banyak mengajar seperti Ayah. Bahkan ketika aku tidak sadar, aku bisa saja nyeletuk, "Jadi profesor kayak Ayah aja lah." Sebab Ayah selalu menganggap kehidupan paling baik dan keren adalah sekolah tinggi dan menjadi sepertinya.


Aku tahu, Ayah merupakan sosok yang progresif. Ia adalah laki-laki dari Madura yang berjuang untuk sekolah tinggi hingga menjadi profesor. Tetapi tak berarti ia perlu memaksakan standarnya padaku hingga aku selalu merasa gagal dan tak pernah cukup baik. Tak berarti standarnya membuatku kemudian menyimpulkan kehidupanku hari ini begitu gagal.


Aku yang sebentar lagi berusia 27 tahun pun masih terus berusaha mengenali diriku. Aku sedang berusaha keras mengenali apa tujuanku dengan melepas "pencarian validasi Ayah atau Ibu" agar tak terjebak mengejar sesuatu hanya untuk membuat mereka bangga. Bahkan tahun 2023 kemarin aku memaksa diriku untuk tak daftar beasiswa S-2 sama sekali untuk mencoba menelusuri kembali keinginanku melanjutkan kuliah itu 'demi Ayah' atau karena kebutuhan dan kemauanku.


Aku berusaha keras memperbaiki diri yang kerap "ingin dapat hasil sempurna" pada setiap hal yang ingin aku kejar hingga membawaku pada lubang-lubang gelap depresi. Tahun 2023 aku sampai mencoba kembali memperbarui pemahamanku tentang Tuhan. Sebab selama ini aku merasa Tuhan hanya datang untuk memberiku hukuman, dan kalau aku cukup beruntung, kebaikanku yang nggak seberapa itu bisa mengantarkanku pada surga. Aku mencoba mengenali Tuhan yang sebenarnya Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu agar aku tidak berusaha keras sempurna pada setiap hal dan berkali-kali kecewa dengan diri hanya karena "gagal menjadi sempurna".


Aku berusaha keras memperbaiki karakter-karakter bawaan Ayah Ibu dengan bolak-balik psikoterapi atau konseling ke psikolog. Ini perjalanan menjadi dewasa yang tak mudah, tetapi aku yakin layak diperjuangkan meskipun membuatku sangat relevan dengan bercandaan "uang habis hanya untuk sushi dan pergi ke psikolog" atau "self-reward dengan overpriced coffee" hanya karena itu satu-satunya reward dari bekerja keras yang mampu kami bayar hahahahaha.


Perjalanan menjadi dewasa memang tidak mudah. Aku tak banyak bangga dengan sikapku yang kurang baik hanya karena aku belum cukup dewasa. Tetapi aku masih cukup semangat menyambut versi-versi terbaik dalam diriku di tahun-tahun selanjutnya. Aku cuma berharap, aku diberi kasih dan rezeki oleh Tuhan untuk menghabiskan masa tua dengan penuh kebijaksanaan dan secangkir kopi sederhana untuk dihabiskan sambil melamun. Amen for that! 

Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada ...


Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada titik ini ya?

Aku udah dikasih tahu untuk berlatih sadar nggak semuanya perlu “aku” perbaiki. Aku nggak paham sama saran tersebut. Bukannya justru aku harus memperbaikinya ya biar nggak makin hancur kehidupanku?

Sepertinya ada yang nggak beres dengan cara berpikirku. Pertama, soal penghakiman atau penilaian diri. Kedua, soal mengapa aku melihat hidup ini berat sekali sampai aku bingung mana dulu yang perlu aku benahi. Meski sudah tahu perlu belajar nggak semuanya perlu diperbaiki, tapi nggak tahu cara dan maksudnya.

Aku tahu ada yang kurang pas dalam penilaian-penilaian ini. Aku tahu kalau ingin hidup serasa neraka, aku perlu satu kebiasaan, yaitu terlatih dalam menilai. Aku juga tahu kalau kita bisa melatih diri untuk tidak menilai.

Aku sudah mencoba belajar tidak menilai, yang kukira cukup berhasil, tapi ternyata aku cuma lebih ahli “menilai orang lain dengan adil”. Lalu aku menuntut orang lain untuk menilaiku dengan adil. Persoalannya menilai adil itu sulit dan aku kembali kalah pada pemikiran: saat semua orang menilaiku buruk, maka itu benar. Saat dunia menunjukkan hidupku hancur, maka betul aku buruk.

Aku ternyata belum berhasil belajar tidak menilai. Makanya masih sering terjerumus dalam pikiran gelap penghakiman diri.

Aku lalu bertanya pada OmGe, konselorku, “Kalau hidup begitu berat dilalui sampai terasa hancur. Aku harus berbuat apa dulu ya untuk melanjutkan hidup.”

Seperti biasa, jawaban OmGe selalu tepat sasaran. “Kalau mau melanjutkan hidup kan cuma perlu makan, minum, dan main. Apa yang perlu dibenahi? Selain tiga hal itu, namanya keinginan, bukan kebutuhan.”

Kini aku paham bagaimana cara berhenti memperbaiki pada hal-hal yang jelas kontrolnya tidak berada di genggamanku. Caranya adalah menyadari aku sanggup hidup selama cukup makan, minum, dan main. Aku jadi tahu kalau tidak perlu berharap banyak atas kehidupan ini, karena tanpa itu pun, aku tetap bisa melanjutkan hidup.


Melanjutkan hidup kali ini dimulai dengan ke Warung Sunda dan membeli satu porsi seharga sepuluh ribu (tentu aku kaget sekali). Minumnya segelas es teh tawar karena aku perempuan dewasa yang merasa es teh tawar > es teh manis.

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi...

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi itu semua tak segera membuatku berhenti menyangkal kalau diriku tidak baik-baik saja.


Aku merasa masih baik-baik saja. Aku tidak mengalami panic attack maka artinya aku tidak perlu berlebihan dengan kondisiku, kan? Aku tidak punya diagnosa maka berarti baik-baik saja, kan? Bahkan ketika aku menyebut diriku mulai gila, ada yang menyebut itu berlebihan. Seorang teman pun menasihatiku, "Jangan sampai PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), Meg. Itu tidak enak."


Setiap ketakutan, kecemasan, dan sensasi tak nyaman akan tubuhku memang nyata. Tetapi mungkin memang tak seburuk itu?


Orang yang tak punya diagnosa (lebih tepatnya tidak tahu), tak mengalami panic attack, dan tidak PTSD seharusnya tak perlu membicarakan penderitaan hidupnya seakan sedang mencari validasi bahwa dirinya yang paling susah. Orang yang tak punya gangguan jiwa itu tak perlu rutin konseling. Itu hanya menunjukkan kalau dirinya manja dan ketergantungan sehingga tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.


Mungkin aku memang baik-baik saja. 


Penyangkalan ini mengantarkanku pada buku-buku self-improvement yang meyakinkan kalau aku pasti bisa membuat hidupku tidak berantakan. Aku pasti bisa bekerja dengan baik karena yang menghalangiku punya peforma kerja baik adalah diriku yang tak tahu cara mengatur waktu. Bukan aku yang sering terjebak pada ketidakmampuan mengutarakan kesulitan saat bekerja sehingga mengiyakan banyak hal yang membuatku terlihat tidak mampu bekerja.


Aku pasti bisa membuat rumahku tidak berantakan karena semua hanya perlu dimulai dari memiliki rutinitas pagi yang produktif. Nyatanya ada banyak hari yang membuatku tak mampu bangun dari tidur dan hanya menjalani hari sekadar bertahan hidup agar tak didepak dari pekerjaan. Aku masih butuh makan, sehingga satu-satunya yang membuatku bangun tidur pukul sembilan pagi adalah pekerjaanku.


Aku tahu kita bisa memilih untuk tidak tersakiti dan tidak tersinggung. Tetapi aku tak mampu menahan rasa sakit ketika seseorang mengomentariku, "Kok kamu jadi ibu yang seperti itu." Satu kalimat pendek bisa menusuk hatiku dengan tajam. Hariku berubah yang tadinya berwarna biru kelam menjadi hitam pekat. Aku kembali masuk ke dalam pikiran gelap "aku seorang ibu yang gagal".


Aku masih percaya bisa berusaha memperbaiki diri dalam pekerjaan, menjalani peran ibu, menjemput impian-impian kecilku, dan menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sampai akhirnya semua dinding yang aku bangun hancur dalam waktu semalam. Aku tetap buruk di pekerjaan, keuangan tahun ini berantakan, aku tetap jadi ibu yang payah itu, impian-impian kecilku tak kunjung terwujud karena diliputi keraguan, dan aku dipertemukan masalah besar yang kukira tak akan kutemui.


Masalah besar itu seperti menamparku dengan keras. Tamparan itu seperti berkata, "Berhentilah memperbaiki kehidupan. Tak semua perlu kamu perbaiki sekarang. Menyerah lah mengontrol kehidupan. Berserah lah."


Aku tahu cara menyerah pada kehidupan, seperti terpikir ingin menyelesaikan kehidupanku begitu saja. Tetapi aku tidak tahu cara berserah dan pasrah. Mungkin aku bisa belajar berserah dari perlahan berhenti selalu memperbaiki situasi.


Aku menutup buku-buku self-improvement untuk sementara. Selama ini aku hanya fokus memperbaiki diri dan lupa menerima diri dan kehidupan ini. Tanpa penerimaan, aku hanya terus bertemu dengan kekecewaan.


Kini aku belajar menerima bahwa memang diriku dan hidupku sedang berantakan. Aku memang ibu yang payah itu dak tak apa-apa menjadi payah. Aku memang masih belum bisa menjaga tubuhku dan itu tak apa-apa. Nanti aku akan menemukan waktu dan energiku.


Aku belajar berhenti memperbaiki setiap emosi yang kurasakan. Aku memilih merasakan setiap rasa sakit yang membuat hatiku sesak atau frustrasi yang membuat kepala dan tenggorokanku sakit. Aku mengizinkan diriku menangis meski harus berhari-hari. Kalau semua terlalu berat, aku akan tetap konseling dan menutup telinga dari orang-orang yang memilih tak menyediakan ruang di hatinya untuk orang-orang sepertiku.


Kali ini aku mencoba bertahan hidup dengan menerima diri dan sementara itu cukup.



Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucap...


Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucapan bodoh apa saja yang aku katakan ketika sedang live di Instagram sampai mengapa semalam aku mimpi didatangi anjing liar yang berubah jadi manusia. Lalu aku mulai bicara pada diriku sendiri bagaimana kronologi anjing liar itu bisa berubah jadi manusia. Bahkan mimpi pun tak mengizinkanku berhenti berpikir.

Malam ini sepertinya emosi-emosi itu sudah menuntut jadi pusat perhatian. Dia tidak mau diabaikan, apalagi dianggap tidak ada. Aku mendadak ingin berteriak dan menangis sesenggukan. Ada dorongan menyakiti diri dengan genggaman tangan yang kuat tetapi kulawan. Akhirnya aku malah membereskan sprei kasur dengan kasar untuk melepaskan energinya. Lumayan, kasurku jadi rapi. 

Dorongan menyakiti diri itu kemudian berganti menjadi sensasi tubuh di bagian punggung atas yang berharap ada seseorang yang menepuk-nepuknya. Suamiku mencoba menepuk-nepuk punggungku, tetapi aku minta tepat di titik itu untuk menenangkanku. Lalu aku bilang, "Sepertinya aku ingin beli makan. Aku nggak lapar, tapi aku mau makan." Ini dia penyebab nomor satu sulit turun berat badan, setiap stres selalu makan.

Satu hal yang paling aku sadari dari penyebab ledakan emosi malam ini adalah, aku selalu bersikap netral pada sebuah pujian dan prestasi, tetapi sangat rapuh ketika mendapati kekurangan diri. Hatiku tak berbunga-bunga saat seorang kawan bilang, "I give your book solid 5 stars." Tetapi saat menjadi pembicara, pikiranku pergi kemana-mana sampai membuatku berpikir, "Bukuku tipis banget, ya."

Lalu aku harus berkali-kali bicara pada diriku sendiri bahwa tak ada yang salah dari buku yang tipis. Justru itu akan membantu pembaca yang sedang malas membaca buku-buku tebal--sepertiku. Hal yang paling penting dari sebuah buku adalah isinya, dan aku puas dengan apa yang kutulis, lalu mengapa pikiran numpang lewat di saat jadi pembicara itu mengganggu, sih?

Di saat yang lain aku merasa bersalah karena telah melakukan sesuatu yang sesuai prinsipku tetapi mungkin membuat orang lain tidak nyaman. Padahal itu hanya perkara ketika aku ditanya 'bagaimana kabarmu, Mega?' lalu aku menjawab dengan 'sekarang sih sedang diliputi perasaan bersalah apakah aku sedang mengutamakan diriku karena bukuku terbit dan melakukan hobiku, ya begitu kabarku'. Setelah obrolan itu selesai, aku mengutuk diri, kenapa sih harus jawabnya begitu?

Untuk membuat diriku  tenang, aku harus berkali-kali bilang pada diriku bahwa tak ada yang salah menjawab pertanyaan 'bagaimana kabarmu?' dengan jujur. Aku, kan, memilih menjadi jujur sebab kabar yang jujur dari seorang teman pun yang selalu kunantikan. Aku, kan, tidak berharap dipuk-puk orang lain juga? Apaan sih, Meg? 

Ketika suara-suara kecil mengkoreksi diri sendiri bermunculan, suara-suara yang lain tak mau kalah. Muncul suara kesedihan mengapa berat badanku sekarang kembali seperti saat aku hamil. Padahal di waktu yang sama, aku sudah tahu pakaian seperti apa yang kusuka dan membuatku nyaman dengan bentuk tubuh apapun.

Lalu teringat wajah-wajah orang yang paling rajin mengingatkan betapa gendutnya aku dan tak suka kalau mereka dalam keadaan baik-baik saja sementara aku meringkuk di kasur yang baru saja aku rapikan dengan emosi tadi. Aku tidak tahu mengapa perasaan "tidak adil" selalu saja menggema kapanpun pikiranku sedang kosong. Yang kemudian perasaan itu bisa saja menenggelamkanku dalam permainan membandingkan diri dengan orang lain tanpa alasan yang jelas.

Permainan itu jelas membuatku kalah karena berujung pada kesimpulan hidup begitu sia-sia untuk dijalani. Betapapun aku berusaha menjalani kehidupan ini sampai waktuku selesai, tak ada sebuah titik di mana aku merasa melakukan sesuatu dengan baik. Aku selalu dikutuk oleh perasaan payah pada setiap hal yang kulakukan.

Saat ini aku hanya sudah tahu bagaimana selalu hadir setiap suara-suara kecil sialan itu sibuk mengutuk diriku. Tetapi ternyata aku belum benar-benar tahu bagaimana aku bisa menjalani hari-hari dengan fokus tanpa terbayang-bayang oleh suara-suara kecil tersebut. 


Trigger warning: self-harm Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan ta...

Trigger warning: self-harm



Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan tak mampu kubalas, sisanya aku jawab "sebentar ya". Pikiran-pikiran untuk kembali menghilang dan menghindar muncul lagi. Malamnya kembali menyakiti diri entah karena apa. Lalu mengutuk diri karena sudah menyakiti diri.

Aku menulis jurnal untuk mencoba mencari tahu sebenarnya apa masalahku. Setidaknya ada tiga perasaan yang intens. Pertama, merasa sendirian. Kedua, merasa tidak adil karena harus menanggung kesalahan orang lain tetapi ketika aku berbuat salah selalu ada konsekuensi mengerikan di depan mata, minimal dimarahi orang lain. Ketiga, perasaan takut berbuat salah atau bertingkah bodoh selalu menyelinap dan semakin memenuhi isi kepala.

Padahal aku tahu bahwa aku tidak pernah sendirian. Bahwa perasaan tidak adil tersebut belum tentu benar, sebab itu semua terjadi hanya karena aku merasa tak perlu menuding siapa yang salah dan memilih membicarakan bagaimana semuanya perlu dibereskan. Atau perasaan tidak adil tersebut hadir karena aku yang mengizinkan untuk diperlakukan tidak adil oleh orang lain, mestinya aku bisa mengutarakan keberatanku. Bahwa sebenarnya aku tak perlu takut berbuat salah, tak ada yang perlu ditakuti karena berbuat kesalahan-kesalahan bodoh atau karena menunjukkan diri yang suka sekali berisik di internet misalnya.

Lagi-lagi hati dan otak yang tak mau akur. Otaknya mampu berpikir, tetapi hatinya masih menetap pada rasa takut yang lama.

Kemudian aku mulai mengorek-ngorek memori lama. Mengapa aku merasa sendirian? Mengapa aku selalu merasa tidak adil? Mengapa aku selalu takut berbuat salah? Apa karena ketika kecil aku harus menyimpan segalanya sendirian? Apa karena sejak kecil bahkan hingga dewasa kerap harus membereskan pertengkaran orang-orang dewasa yang tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri hingga sering merugikan hidupku? Apa karena sejak kecil aku harus menerima konsekuensi buruk setiap melakukan kesalahan-kesalahan bodoh?

Walau mungkin itu ada hubungannya sekalipun, tak ada gunanya juga diungkit-ungkit. Bagaimana caranya meninggalkan perasaan-perasaan yang mengendap? Bagaimana bisa hidup di sini kini? Be present. Tidak hidup di masa lalu maupun di masa depan? Mungkin jawabannya baru bisa kutemukan di ruang konseling.

Foto  Greg Rosenke Pertama kali aku berpikir butuh pertolongan profesional untuk mengetahui apa yang terjadi pada pikiran dan hatiku adalah ...

Foto Greg Rosenke


Pertama kali aku berpikir butuh pertolongan profesional untuk mengetahui apa yang terjadi pada pikiran dan hatiku adalah ketika akhir tahun 2020. Ketika ucapan-ucapan eks-bosku menghantuiku, datang begitu saja lalu membuat hati terasa sesak dan menangis tiba-tiba, sudah begitu menangisnya dramatis sekali. Ucapannya pendek tetapi cukup membuatku sakit hati ampun-ampunan, seperti, ternyata kerjaan lo nggak segitu oknya atau kamu masih niat bekerja di sini enggak, sih? 

Saat itu aku lelah kalau harus tiba-tiba merasakan sakit sebegitunya. Aku mau menyelesaikan ini, aku tidak mau merasakan marah lagi, aku lelah! Lagi pula, aku sudah membaca buku self-help ini itu tetapi tak kunjung tertolong. Mencoba menceritakan perkara ini ke teman, duh, sudah mereka tak bisa memahami permasalahannya, seringkali responnya justru membuat dada yang sesak ini seperti semakin dihimpit ruangan yang sempit. Barangkali orang profesional lah yang memang bisa menolongku.

Pertemuan dengan psikiater pada Desember 2020 lalu cukup membuatku puas, meski terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Namun aku tak pernah lagi datang ke psikiater itu bukan karena tidak cocok, tetapi karena mahal dan antre begitu lama. Belum sembuh sudah miskin duluan. 

Mana urusan begini tak seperti berobat layaknya sakit batuk atau pilek, yang cukup istirahat beberapa kali, minum obat, dan tak perlu biaya mahal. Ada, sih, opsi asuransi, tapi aku begitu malas mencari rekomendasi psikolog atau psikiater yang bisa menggunakan asuransi yang dapat aku akses.

Akhirnya aku konseling lagi dengan rekomendasi konselor yang berbeda, ia bukan psikolog atau psikiater, tetapi konselor yang fokusnya ke permasalahan keluarga, pernikahan, dan semacamnya. Kupikir akan sesuai dengan perkara-perkara yang kupunya, cocok juga dengan kantongku. Kalau sebelumnya kisaran Rp350.000 untuk satu kali sesi yang memakan waktu satu jam, kini cukup Rp150.000 untuk satu kali sesi dengan waktu 50 menit. Tetap mahal, tetapi bisa kubayar dengan bekerja menjadi buruh konten.

——

Meski pernah ke psikiater sebelumnya, ketika akan menghadapi konselor ini, aku juga kebingungan karena harus bercerita seperti apa. Aku punya satu catatan khusus untuk mencatat permasalahanku, kupikir ini akan memudahkanku tahu harus bicara apa ke konselor. Di situ tertulis:

Menuju Terapi
hal-hal yang mengganggu hidup

Cemas:
    1. Setiap abis ngomong, selalu bertanya: salah gak ya aku ngomong gitu? Duuuh ngapain sih Meg? Kadang omongan-omongan yang aku sampaikan zaman dahulu pun teringat begitu saja.
    2. Kalau ada saran dari orang di media sosial untuk melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan, aku langsung panik menghapus. Padahal aku tahu yang aku lakukan benar, tetapi aku bingung sendiri juga dengan diriku sendiri, apa batasan menyuarakan hal benar dan menjaga hati orang lain.
Dendam:
Aku mau orang lain yang menyakitiku tahu dan mengalami rasa sakit yang aku alami.

Menyalahkan diri sendiri:
Ketika ada perdebatan, aku selalu menyalahkan diri sendiri, padahal dia enggak bilang begitu, tapi aku sendiri yang akhirnya berpikir, ya ya ya semua itu salahku, lalu memukul-mukul kepala.

Meskipun sudah aku tulis begitu, ternyata tetap sulit ketika menceritakannya, tidak tahu mengapa. Aku bercerita acak dan agak terbata-bata, seperti mau menyudahinya dan ingin berharap dia tahu begitu saja seperti peramal. Konselor itu lalu bertanya apa harapanku mengikuti konseling ini, aku menjawab, ingin tidak cemas lagi, tidak menyimpan marah karena aku tahu sia-sia menyimpan marah pada mereka, dan berhenti menyalahkan diri sendiri lalu menjadi percaya diri.

Mega ingin memiliki kontrol diri, ya?

Tepat sekali! Aku menginginkan itu! 

Ia lalu bertanya, apakah aku ingin membahas yang sekarang-sekarang saja, atau ke masa lampau? Aku menjawab boleh ke masa-masa lampau, karena kupikir di sana lah letak masalahnya. Aku juga tadi baru bercerita kalau aku sudah memukul-mukul kepalaku sejak aku kecil, kira-kira ketika usia 9 atau 10 tahun, ketika baru saja diomeli ibuku entah karena perkara apa.

Hanya saja memorinya tergambar jelas, aku yang masih kecil itu duduk bersandar di tembok, memukul-mukul kepalaku sambil menangis, dan sesekali membentur-benturkan kepalaku ke tembok. Aku juga cerita, ketika kecil ada satu pikiran yang masih begitu menempel hingga saat ini: mengapa sebelum Ayah Ibu memarahiku, ia tak pernah bertanya ‘kenapa’ padaku?

Pokoknya ceritanya begitu acakadut, sampai aku bingung, sebetulnya aku cerita apa saja, sih. Tapi konselornya begitu pandai menyimpulkan isi kepalaku! Sungguh-sungguh seperti peramal!

Misalnya saja ketika ia memintaku mendeskripsikan ibuku dengan lima kata. Lalu aku menjawab, “Agak sulit sebenarnya mendeskripsikan ibu, karena aku sedang berusaha memaafkannya.” Ia berkata kira-kira begini, cukup menarik ketika dia sebetulnya tak sedang bertanya soal maaf, tapi aku duluan lah yang berpikir aku harus memaafkan itu. Hehehe, betul juga, tapi ya aku bingung juga mengapa begitu?

Konselor itu juga bilang, “Semacam ada yang gak nyambung dalam diri Mega, kamu menceritakan hal-hal yang menyakitkan, tapi kamu ketawa.” Aku mengangguk-angguk padahal aku menahan tawa, IYA, YA, MENGAPA BEGITU, SIH? Aku memang dikit-dikit tertawa, mengucapkan sesuatu yang tak perlu ketawa, tetapi dengan ketawa. Aku sadar itu, tapi aku juga enggak tahu sebabnya. Tuh, kan, peramal dia memang!

Yang paling membuatku terkejut, konselor itu bilang seperti ini, apakah kamu merasakan ketika kamu akan bicara, kamu sudah menduga-duga lawan bicaramu akan berucap apa, lalu ketika kamu mengucapkan itu, kamu merasa, tuh, kan, bener, kan, lalu kamu akhirnya enggak mau bicara lagi?

Aku menyambut perkiraan itu dengan, YA BETUL SEKALI, BAHKAN AKU PERNAH BANGGA SEKALI KARENA MENGANGGAP DIRIKU SELALU BISA MENEBAK BALASAN CHAT DARI ORANG LAIN! Bodoh, bodoh sekali.

Barangkali itu lah yang membuatku gelisah bukan main ketika menerima pesan baru, meeting yang aku tidak tahu agendanya apa, telepon tiba-tiba, dan hal mendadak lainnya. Aku tidak siap kalau belum memiliki persiapan kira-kira nanti akan bicara apa dan mempersiapkan jurus-jurusku agar tidak merespon terlalu bodoh.

Di akhir sesi konseling, ia bilang, bahwa aku sudah begitu ahli dalam urusan logika. Maka sebaiknya ketika bicara dengan dia, lupakan logika itu dan saatnya aku mengeluarkan segala perasaanku. Sebab itu yang tak pernah aku dapatkan sejak dahulu, dipahami atas segala perasaanku. Sejujurnya itu merepotkan, aku harus mengorek-ngorek masa lalu yang aku tak ingat betul kejadiannya, tetapi tak begitu ingat pun rasanya sakit bukan main! Hatiku sesak dan ingin menangis.

Aku juga bilang, “Aku agak sulit ketika bicara, kadang lebih enak ketika ditulis, kayak aku enggak bisa menyampaikan apa yang ada di kepalaku.” Ia menjawab, “Boleh, boleh ditulis, tetapi mungkin bisa mencoba menuangkan apa saja yang ada di kepala.” Ya, ya, menuangkan, akan kucoba.

Konseling itu berakhir karena anakku mau menyusu lagi, aku akan kembali tentunya, tetapi ketika aku sudah gajian nanti. Semoga anakku tidak perlu repot-repot bayar konselor karena ulahku yang tak becus menjadi orang tua huhuhu, soalnya mahal dan merepotkan. Jumpa lagi di cerita konseling selanjutnya, ya.