Filosofi Kopi: Nggak Cuma Belajar Kopi, Tapi Passion Sekaligus Entrepreneurship

Ada dua hal yang sering saya rindukan selain datang ke event: toko buku dan bioskop. Dua hal itu yang sering bikin saya lebih suka beli buku daripada pinjem buku, dan alasan kenapa saya males nonton di laptop dan lebih memilih pergi ke bioskop, meskipun sendirian.

Dan menjelang UN yang akan berlangsung lusa, saya udah pergi ke dua tempat tersebut di minggu ini! Niat awal cuma mau lihat buku-buku baru, ternyata malah bawa majalah Le Mariage, ya toko buku memang begitu, suka menggoda. Dan hari ini saya baru aja nonton Filosofi Kopi di bioskop.

Filosofi Kopi—film kekinian, se-kekinian budaya ngopi beberapa tahun terakhir di kalangan anak muda. Rasanya kalau kamu ngopi itu gaul banget. Kalau di Instagram kamu ada foto cup dari Starbucks, fix, kamu hits. Bisa dibilang, momennya pas nih Filosofi Kopi, film yang diadaptasi dari kumpulan cerpen Dee dirilis tahun ini.

Film ini menceritakan tentang dua cowok yang bersahabat udah lama dan ngerintis kafe Filosofi Kopi, Jody (Rio Dewanto) dan Ben (Chicco Jerikho). Jody lebih ke manajemennya dan Ben emang penikmat atau bisa dibilang ‘gila’ banget sama kopi. Ben lah yang jadi barista utama di Filosofi Kopi.

Ben

Saya suka banget dengan karakter Ben, dia ‘ngotot’, seperti yang sering dia bilang, “Gue gak pernah bercanda soal kopi!” Ketika Jody dan Ben meeting tentang permasalahan Wi Fi yang akan dipasang di kafe, Ben jelas-jelas nolak! Keren!

Emang bener, sekarang anak muda ngopi untuk nongkrong tapi malah sibuk sama gadgetnya, entah selfie atau stalking mantan. Check in sih boleh, untuk berbagi cerita dan tempat recommended, atau mungkin dia foodblogger atau suka motret, nggak masalah. Tapi kalau ke bawa dari awal sampai akhir, sayang banget.

Karena menurut saya sendiri, meskipun bukan penikmat kopi tapi hanya sekedar suka, saya mengakui kopi itu bukan sekedar tentang rasanya, tapi momennya.

Easy Latte yang saya rasakan di The Ego Coffee di event: "The Ego Coffee: Karena Bekerja dengan Passion Pasti Beda Hasilnya!" emang enak rasanya, berasa bisa ngerasain kalau Mas Fazza enjoy bikin kopi. Tapi karena hari itu saya sama Mbak Isna lagi nugas dan kami belum dekat, rasa Easy Latte itu masih kalah nikmat dengan kopi yang saya rasakan di Excelso.

Bukan soal brand, tapi karena saya disuapin satu sendok Toraja Coffee punya Ayah. Jadi yang lebih diinget nikmatnya Toraja Coffee, meskipun hanya satu sendok. Ya itu tadi, karena momennya. Saya yakin minum kopi sama kamu juga pasti lebih enak Toraja Coffee siang itu, kecuali kalau kamu suapin sih, apalagi kalau kamu sama saya udah halal. Eh.

Dari Filosofi Kopi bisa belajar banyak tentang kopi, sedikit banyak gimana cara bikinnya. Tapi karena bukan penikmat kopi, saya lebih fokus ke belajar tentang problematika ketika punya partner bisnis yang sering nggak sepaham dan gimana cara menggabungkan kekurangan masing-masing biar jadi solid.

Ben yang all out banget sama kopi, waktunya dihabiskan untuk kopi, juga bikin makin sadar apa yang bener-bener pengin saya pelajari. Karena selama ini masih terus belajar dan sering nggak fokus. Expert di satu hal atau setengah-setengah yang bikin nggak dapet apa-apa.

Satu hal lagi yang mengharukan: perbedaan antara hati dan obsesi yang hasilnya selalu nggak bohong. Nggak hanya kopi yang cita rasanya bergantung dengan peraciknya, semua karya juga begitu. Innamal a’malu binniyat, semuanya bergantung dengan niatnya. Kalau awalnya baik, ujungnya juga akan menjadi baik, mungkin udah hukum alam?

Penulis pun begitu. Saya melihat ini dari Raditya Dika, ada yang pernah mention dia: Gimana sih Bang jadi penulis yang terkenal? Raditya Dika jawab tinggal pilih jadi penulis atau terkenal aja.

Dan emang karyanya semakin dia dewasa semakin keren, tulisannya makin bagus, kerasa banget kalau dia bener-bener menikmati menulis. Koala Kumal, buku yang terbaru sukses bikin ngakak nggak wajar, dan endingnya bikin nangis bombay. Padahal itu buku komedi.

Saya belajar banyak tentang passion dan mental entrepreneur yang keren abis, dan masih banyak lagi yang bisa kamu ambil manfaat dari film Filosofi Kopi. Filosofi Kopi—film Indonesia yang wajib bikin kamu makin bangga dengan Indonesia, yang berhasil bikin emosi saya kebawa, ikut mellow.

Keluar bioskop sampai udah ada di kamar saya senyum terus, ya gini film yang keren. Yang bikin penontonnya nggak nyesel dan masih baper—bawa perasaan bahkan ketika udah sampai di rumah.

Yang bikin penontonnya keluar bioskop bilang, “Kampret, gue nggak nyesel bayar 50.000 Cuma demi ini!” Manusia Setengah Salmon, Ghost Protocol: Mission Impossible, X-Men: Days of Future, dan beberapa film lainnya bikin saya gitu tuh! Bahkan Merry Riana saya tonton dua kali, pertama bareng mantan kakak saya, kedua sendirian.

Ada juga film yang saya kecewa karena nonton di bioskop, ada Annabelle yang ternyata nggak serem padahal saya benci film horror dan Di balik 98 yang alur filmnya kurang dapet meskipun konsepnya udah kreatif sih.

Ada Chelsea Islan-nya juga lho! Hehehe.

Ah ya gitu deh, yang bikin bioskop selalu ngangenin. Selanjutnya bakalan nonton film Guru Bangsa Tjokroaminoto, semoga Ayah—yang ngajakin nggak memberi harapan palsu semata ya.

Berhubung saya belum baca buku Filosofi Kopi-nya Dee, jadi nggak bisa komentar banyak tentang ini. Tapi kamu bisa lihat review film ini dari sudut pandang penikmat kopi, pembaca, penulis, dan pemiliki kedai kopi di sini: Review Filosofi Kopi- Bukan Sekedar Film, Tapi Juga Harapan.

Ada Jullie Estelle juga (kiri), dan Rio Dewanta (kanan).

Ah, Filosofi Kopi, kamu bikin saya punya janji traktir kopi nih ke temen yang nemenin nonton siang hari ini. Abis ini kayaknya kita minumnya nggak kayak biasa, udah kayak Ben huahahaha, dihirup dulu aromanya, terus diseruput dalem-dalem. Sampai jumpa ya, kamu!

Fix deh, Filosofi Kopi super-super keren! Mas Angga Dwimas Sasongko dan tim.. saya tunggu karya luar biasa lainnya, ya! Kapan-kapan asik kali ya kalau bisa dateng ke press screening film-film Indonesia, aamiin. Pokoknya, bangga film Indonesia!