Showing posts with label Tamasya Kedai Kopi. Show all posts

Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub ad...




Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub adalah kedai kopi yang barnya terbuka dan aku bisa duduk-duduk di depan bar tersebut—orang menyebut ini sebagai coffee slow bar, pasti menyenangkan kalau bisa ngopi sambil ngobrol. Hanya itu saja yang aku ketahui dan cukup untuk membawaku pergi ke sana. 

Aku baru punya kesempatan ke Tiger Cub ketika pada suatu siang baru saja selesai bekerja untuk mengurus acara di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Ini waktu yang tepat untuk ke Tiger Cub meskipun aku masih perlu naik MRT lagi untuk pergi ke sana agar tidak dijebak dan dikerjain kemacetan Jakarta. Lebih mudah untuk turun di MRT terdekat, yaitu MRT Fatmawati, lalu jalan kaki ke Tiger Cub yang cukup ditempuh kira-kira 5 menit saja. 

Aku datang ke Tiger Cub bersama seorang teman bernama Gerardine. Pintu berwarna cokelat hangat, dinding putih polos, dan papan tanda hitam bertuliskan “Tiger Cub” adalah yang kami temui ketika pertama kali sampai di Tiger Cub. Kami masuk dan saat itu tidak ada siapa-siapa selain seorang abang-abang penyeduh kopi yang berpakaian kaus lengan panjang dengan motif bergaris merah marun dan putih. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat serasi dengan kehangatan dan kesederhanaan bar kopi Tiger Cub. 

Bar kopi Tiger Cub berwarrna coklat, tidak terlalu gelap maupun terang, dan tidak terlalu tinggi. Aku bisa duduk di depan bar tanpa takut jatuh karena kursinya rendah. Ada rak dinding cukup besar yang diisi beragam cangkir kopi yang manis. Kompornya selalu menyala untuk memasak air panas dari ceret yang besar. Aku tidak menemui kettle atau ceret-ceret canggih di sana. 

Begitu saja sudah cukup membuatku jatuh cinta dengan tempat ini. 

Aku dan Gerardine duduk persis di depan tempat penyeduh kopi membuatkan setiap pesanan. Aku tidak ingat persis apa yang kami obrolkan saat itu, yang pasti aku dan Gerardine sibuk mengomentari setiap detail Tiger Cub yang lucu dan menggemaskan. 

“Ya ampun lucu sekali cangkirnya.” 

“Waaah, apple pie! Aku belum pernah makan apple pie!” 

Tampaknya kami lebih pantas disebut bocah yang dipaksa menghadapi kedewasaan. 

Aku pun izin ke abang-abang penyeduh kopi untuk merekam karena jelas ini harus aku ceritakan di akun Tamasya Kedai Kopi. Setiap kali bertamasya, aku tidak selalu merekam siapa yang membuatkanku kopi. Aku lebih banyak mendengar gut feeling untuk memutuskan aku akan merekam dan menceritakan penyeduhnya atau tidak. Firasatku hari itu mengatakan dia tidak terganggu dengan kehadiran kami, jadi itu sudah cukup membuatku berani untuk merekamnya dan mengatakan, “Kita belum kenalan, loh, aku Mega.” 

“Aku Ridwan,” katanya pendek. 

Seperti pada kunjungan-kunjungan pada umumnya, kalau firasatku berkata baik, aku biasanya akan menanyai akun Instagram setiap penyeduh atau barista yang aku temui. Sebab aku merasa secangkir kopi itu menjadi istimewa tidak hanya karena tempat dan kopinya, tetapi juga siapa yang membuatnya. 

“Aku follow, ya,” kataku ketika tahu akun Bang Ridwan. 

“Udah nggak usah di-follow,” jawabnya. 

Follow lah, biar aku gak lupa,” kataku. 

Aku follow setiap orang bukan karena aku butuh followers. Itu hanya caraku agar ingat siapa orang yang pernah aku temui. Kalau tidak, biasanya aku akan lupa pada setiap orang yang pernah kutemui. 

Aku mulai melihat-lihat sekitarku. Ada ragam racikan teh yang membuat aku dan Gerardine kembali menjadi bocah ketika melihatnya. Saat Bang Ridwan menyeduh teh Nico Ruby, reaksi kami tak jauh berbeda, “Waaah, warnanya cantik sekali.” 

Nico Ruby mengeluarkan warna merah keunguan karena diseduh. Perpaduan teh hijau, bunga telang, chamomile, raisin, anggur, dan potongan buah stroberi membuat rasanya ajaib. Aku tidak pernah mencicipi teh seperti itu sebelumnya. 

Aku juga melihat kopi yang digunakan adalah Wisang Kopi. Satu roastery yang jelas aku ingat sebab dahulu tiap ke Jakarta selalu mampir ke Wisang Kopi. Aku juga tidak tahu persis apa yang membuatku selalu kembali ke Wisang Kopi padahal di Jakarta punya banyak pilihan mengopi. Tetapi ujung-ujungnya Wisang Kopi selalu jadi tujuan bertemu teman ketika di Jakarta. 

“Kopinya dari Wisang Kopi semua, ya?” tanyaku. 

Jawaban dari Bang Ridwan kemudian membuatku tahu bahwa Tiger Cub dengan Wisang Kopi memang satu kepemilikan. Mendengar itu aku jadi spontan menceritakan momen-momen lucu yang sangat berharga di Wisang Kopi sambil menikmati kopi yang dibuat oleh Bang Ridwan. Kopi pertama yang aku nikmati adalah Gayo Kenawat yang disajikan panas di cangkir harimau. Kopi kedua, Frinsa Lactic Natural yang ketika dibuat dingin sangat manis dan menyegarkan. 

Saking manisnya aku sampai menggumam berkali-kali, “Huhu enak sekali.” 

Begitu saja momen mengopi hari itu. Ketika sampai rumah, aku setidaknya tahu tiga hal. Pertama, jelas aku akan datang lagi ke Tiger Cub. Kedua, ternyata pemilik Tiger Cub dan Wisang Kopi adalah orang yang sama. Ketiga, Bang Ridwan adalah penyeduh kopi yang menyenangkan dan punya senyum yang manis meskipun dia tidak begitu banyak berekspresi hari itu. 

Perihal poin ketiga aku punya momen memalukan. Saat itu seorang teman dekat akhirnya juga mengunjungi Tiger Cub ketika Bang Ridwan sedang menyeduh kopi. Kemudian temanku mengirim pesan, “Lo suka mas-mas manis ya, Meg.” Aku tertawa keras-keras membacanya sampai pipiku kesakitan.  

Kadang-kadang aku berkelakar tentang orang manis yang kutemui dengan, “Dia manis tetapi terlalu rapi, sepertinya dia gay.” Temanku kadang juga menanggapi sekenanya dengan, “Iya, kayaknya dia gay.” Bagiku menyebut orang manis adalah gay jadi cara paling praktis untuk segera melupakan orang tersebut. Itu hanya sebagai taktik self-control belaka. 

Jelang beberapa bulan setelah kunjungan pertama ke Tiger Cub, aku kembali ke sana bersama Gerardine. Kami kembali bukan karena Bang Ridwan manis, tapi karena kami rindu saja dengan suasananya dan berencana kembali mampir sepulang kerja. Hari itu aku juga mengajak anakku yang berusia 3 tahun karena taman di samping Tiger Cub adalah ide yang bagus untuk menghabiskan waktu bersama. 

“Nanti kita lari-larian ya, Gama. Tempatnya ada tamannya gitu, deh,” kataku pada Gama. 

“Ya, ya, ya! Lari lari lari!” kata Gama sambil menggambarkan gerakan lari-lari dengan jari-jarinya yang kecil. 

Setiba di Tiger Cub, suasana lebih ramai daripada ketika pertama kali kami ke sana. Aku, Gerardine dan Bang Ridwan kali ini lebih bisa membicarakan banyak hal. Gama juga tampak senang bermain dengan kucing sampai dia benar-benar kelelahan dan tidur di pangkuanku ketika hari semakin gelap. 

Aku masih melihat Bang Ridwan sebagai penyeduh kopi yang menyenangkan. Kini aku bahkan melihatnya seperti betul-betul mencintai pekerjaannya karena dia menyapa setiap pelanggannya. Meskipun kali ini dia lebih banyak bercanda dan meledekku, “Tuh, emak lu capek, Gama.” 

Bisa kubilang hari itu suasana Tiger Cub mungkin punya energi yang lebih ajaib dari sebelumnya. Gerardine tiba-tiba bertemu seorang teman. Obrolan dengan pelanggan kopi lainnya juga menyenangkan meskipun kami tak saling kenal. 

Saat itu seorang pelanggan yang bertanya apakah ada menu dengan susu, kalau aku tidak salah ingat, ya. Tiger Cub tidak punya, semua menunya dibuat secara manual dan tidak ada yang dengan susu. Aku juga baru sadar saat itu. 

Kemudian pelanggan tersebut mulai bertanya apa minuman manis yang bisa dipesan. Frinsa Lactic Natural kalau disajikan dingin sebenarnya manis. Tetapi setiap orang punya persepsi manis berbeda, jadi aku cukup mengerti mengapa itu tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pelanggan yang lebih sering minum kopi dengan susu atau kopi yang manis dengan gula. 

Bang Ridwan kemudian merekomendasikan menu Bilateral. Sebuah menu yang aku juga pesan, sih. Kopi hitam yang disajikan dingin dengan sirup blueberry. Aku sebut itu “minuman lucu yang menyenangkan”. 

Perpaduan kopi hitam dingin yang sering kita temukan di kedai kopi adalah kopi hitam yang dipadukan dengan lemon. Menu dingin ini bisa membangunkan mata yang ngantuk sebab sibuk mengernyitkan dahi karena saking asamnya minuman tersebut. Tetapi kopi hitam yang dipadukan dengan sirup blueberry dan kamu masih bisa merasakan potongan kecil blueberry-nya adalah perpaduan yang cerdas. Aku masih bisa merasakan kopinya yang pekat tetapi juga punya manis dengan sedikit asam dari buah blueberry yang menyenangkan. 

“Kawin gitu kopi dan manisnnya,” kata Bang Ridwan. Sejujurnya aku paling malas mendeskripsikan makanan atau minuman dengan kata ‘kawin’ karena di otakku setiap mendengarkan kata itu selalu muncul pemikiran, “Emang makanan atau minumannya ngapain, kok, jadi kawin?” Tetapi aku paham konteksnya jadi sepakat dengannya. 

Malam itu ditutup oleh pertemuanku dengan Mas Cubung, pemilik Tiger Cub. Kami pernah bertemu di Wisang Kopi, tetapi karena ingatanku yang buruk, aku sih tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Kami saling menertawakan kejadian di Wisang Kopi pada 2018 lalu dan lebih banyak membicarakan tentang bagaimana menjalani kehidupan menjadi orang tua yang ugal-ugalan. Itu obrolan yang menyenangkan. 

Hari itu aku senyum lebih banyak dan lebih lama. Hatiku penuh dengan kehangatan hanya dengan mengunjungi kedai kopi. Saking menyenangkannya hari itu, membuatku sadar apa yang berbeda jika tidak sedang depresi. 

Ketika tidak sedang depresi, lebih mudah melihat dan menyadari sisi baik dan momen menyenangkan setiap harinya. Ketika sedang depresi, sangat mudah untuk punya kesimpulan sia-sia untuk melanjutkan kehidupan. 

Ketika tidak sedang depresi, aku bisa berpikir, memang betul sangat melelahkan mengajak anak bekerja. Tetapi kalau tidak ada dia, jelas kali ini tidak semenyenangkan seperti hari ini. 

Ketika sedang depresi, aku bisa berpikir, aku tidak tahu apakah sanggup melalui hari-hari melelahkan bekerja sambil mengasuh anak. Setiap berangkat kerja bersama anak, aku selalu dihantui rasa cemas berlebihan yang membuat kepalaku sakit dan sering berujung dengan menyakiti kepalaku sendiri. 

Tahun lalu untuk bangun tidur saja terasa berat, setiap pagi selalu ada rasa sesak yang menyelimuti dadaku setiap bangun tidur. Tetapi lihat diriku hari ini, tersenyum lebar-lebar karena hari ini begitu menyenangkan meskipun enam bulan terakhir aku dibuat babak belur. 

Terima kasih Gerardine, Bang Ridwan, kucing Tiger Cub, Mas Cubung, dan siapa saja yang kutemui di Tiger Cub karena membuatku sanggup untuk meyakini bahwa kegilaan dan rasa sakit adalah bagian dari risiko kehidupan. Tetapi karena keduanya adalah kepastian, aku akan menyambut setiap kebaikan yang datang dengan penuh syukur selagi aku masih diberi Tuhan kebaikan tersebut. Terima kasih sudah meyakinkanku bahwa segila-gilanya kehidupan, selalu ada momen-momen manis yang patut kita syukuri. 

Mendadak aku ingat potongan paragraf di buku anak berjudul 'Le Petit Prince', 

Of course I’ll hurt you. Of course you’ll hurt me. Of course we will hurt each other. But this is the very condition of existence. To become spring means accepting the risk of winter. To become presence, means accepting the risk of absence.

Mengenal LEWI's Organics dari Instagram Story beberapa teman yang langung berhasil bikin pengin cobain. Kelihatannya tempatnya nyaman ba...

Mengenal LEWI's Organics dari Instagram Story beberapa teman yang langung berhasil bikin pengin cobain. Kelihatannya tempatnya nyaman banget buat kerja, banyak tanaman dan kayaknya adem aja gitu. Dulu mungkin trennya bikin coffee shop jadi minimalis, sepertinya di akhir tahun 2019, tren coffee shop penuh dengan tanaman mulai hadir. 

LEWI'S Organics diberi label 'organic' karena ia mendukung kesejahteraan alam dengan bekerja sama dengan petani, pebisnis kecil, dan kreativitas perempuan seperti yang bisa kita baca di depan jendela besar di sebelah kanan pintu coffee shop-nya. Di sana tertulis, "We partner with organic farmer families, women creativity to support family income, small-medium enterprises, cooperatives. We collaborate with nature and promote local wisdom."

Bukan hanya coffee shop, tapi sebetulnya LEWI's Organics juga sebagai toko yang menjual banyak tanaman, kripik buah, anyaman, dan masih banyak lagi. Sempat berpikir, harusnya asik sih kalau juga ada bagian bulk store-nya daripada membeli kripiknya dengan kemasan sekali pakai. 

Aku enggak banyak melihat-lihat, karena ke sana memang hanya untuk ngopi dan bekerja saja. Udah kangen banget minum espresso based, jadi langsung pesan split shot, sebuah menu yang terdiri dari dua minuman, secangkir espresso dan secangkir milk-based (biasanya saya memilih picollo saja daripada cappuccino). Kalian juga bisa menemukan split shot, di banyak coffee shop kok. Di LEWI's Organics, cukup 50.000 IDR untuk menikmati split shot.

Split shotnya enak, enggak pahit pastinya, semoga di hari-hari selanjutnya saat mampir lagi punya banyak experience dengan blend-blend lainnya. Sambil nemenin ngopi, pesan juga Cinnamon Roll, kayaknya sih harganya 25.000 IDR ya, semoga enggak salah. Jadi 75.000 IDR bagiku worth it banget buat nemenin kerjaan.

Oh ya, aku enggak banyak foto meja-mejanya, maaf yah! Di lain kesempatan bakal aku fotoin lagi ya. Tapi aku duduk di meja tinggi yang ada di jendela besar yang ada tulisannya "LEWI'S ORGANICS" karena emang cuma sendirian juga sih.

Kalau sedang ada di Tangerang Selatan, mampir ke sini deh, nyaman banget! Besok-besok mau cicipin kripik buahnya ah!


LEWI'S ORGANICS
PLACE:
Jl. Raya Pd. Kacang Tim. No.11, RT.3/RW.1, Pd. Kacang Bar., Kec. Pd. Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten 15226
INSTAGRAM:
@lewisorganics_id
HOSPITALITY:
Great

Bagiku yang paling berat dari pindah kota adalah meninggalkan coffee shop  andalannya dan harus mencoba mengenali coffee shop yang ada di te...

Bagiku yang paling berat dari pindah kota adalah meninggalkan coffee shop andalannya dan harus mencoba mengenali coffee shop yang ada di tempat tinggal yang baru. Awalnya, agak sulit mencari coffee shop yang punya cappuccino, tempat kerja yang nyaman dan makanan yang ok. Bahkan aku sempat mengira memang tidak ada coffee shop yang ok di daerah tempat tinggalku.


Masih usaha, cari-cari deh di Instagram @eatintangerang, ketemulah dengan sebuah kedai kopi yang kukira bakal cocok banget sama apa yang selama ini dicari: Kedai Kopi Timur Laut. Sampai akhirnya ada beberapa urusan yang membuatku harus ke sana.

Saat tiba di Kedai Kopi Timur Laut yang berada di Kelapa Dua, Kota Tangerang, Banten, sekitar 20 menit dari rumah. Homey banget tempatnya! Memang mengangkat tema khas Indonesia, bukan hanya dari kursi, dan nuansa ruangan, tapi makanannya juga banyak makanan khas Indonesia.

Aku waktu itu memesan Cwi Mie Malang, tuh kan, makin ngerasa homey nggak tuh? Malang adalah kota kelahiranku dan selama 22 tahun menetap di sana. Cwie Mie tuh beda ya dengan pangsit, agak mirip sih memang. Tapi tekstur mie dan bumbunya memang berbeda. Bukan Cwie Mie terbaik yang pernah dicoba karena lebih suka cwie mie kuah hihihi, tetapi tetep enak!

Penentuan coffee shop enak atau enggak biasanya aku lihat dari cappuccinonya. Cocok enggak? Ternyata cocok! Heheh nggak pahit dan yummy! Untuk menu lain yang aku coba ada roti bakar, ya dia seperti roti bakar biasa sih. Kayaknya yang harusnya aku coba makanan tradisional seperti nasi kikil kali ya, karena kelihatannya enak banget dan katanya salah satu menu yang direkomendasikan. Nanti aku coba pastinya!

Saat kondisi sudah lebih baik, aman dari wabah, aku pasti sering-sering mampir sih! Untuk dapat informasi lebih lanjut, kamu bisa cek Instagram mereka di @kedaikopitimurlaut.

Semua foto di atas disondrek dengan kamera HP Xiaomi Note 9 Pro (karena emang lagi males bawa kamera hahahah).



KEDAI KOPI TIMUR LAUT
PLACE:
Ruko The Springs Selatan SPRS 056, Jl. Gading Golf Boulevard, West Pakulonan, Kelapa Dua, Tangerang, Banten 15810
OPEN:
Tue-Sun: 09.00-17.00 WIB
INSTAGRAM:
WORTH TO TRY:
Cappuccino & the traditional food
HOSPITALITY:
Great
AMBIENCE:
Great for lunch and work.
WI FI:
Yup!    



Sewaktu memiliki kesempatan berkunjung ke Bandung pada Mei 2019 lalu, beberapa deretan nama coffee shop sudah ada di tangan. Namun saya...


Sewaktu memiliki kesempatan berkunjung ke Bandung pada Mei 2019 lalu, beberapa deretan nama coffee shop sudah ada di tangan. Namun saya belum cukup yakin di mana coffee shop yang memang betul bisa memberikan pengalaman mencicipi rasa kopi yang menyenangkan.

Paginya, hari terakhir saya di Bandung, sekaligus check out dari hostel yang saya tempati, akhirnya saya memutuskan untuk menutup perjalanan dengan mengopi di Two Hands Full. Kabar-kabar bahwa kopinya memang enak lah yang membawa saya ke sana.

Mungkin selain kopinya, saya juga rindu dengan boneka monyet yang menggantung lucu di bar ini.
Sebetulnya saat saya ke sana, Two Hands Full masih di Jalan Sukajadi No. 206, Bandung Utara. Di sebuah gedung yang cukup lebar dan suasananya cenderung hangat dan gelap. Tipikal kedai kopi yang enak buat ngelamun daripada buat kerja. Tapi saya baru mendengar bahwa 25 Maret 2020 adalah tanggal terakhir Two Hands Full beroperasi di Jalan Sukajadi. Jadi teman-teman yang membaca tulisan ini, bisa menunggu kabar dari Instagram @thfcoffee untuk tahu di mana lokasi baru yang akan mereka tempati.


Ketika mengopi, sebenarnya saya jarang pesan kopi seduh pour over. Tetapi karena ini ke Two Hands Full, maka memesan kopi seduh manual tentu sebuah kewajiban. Maka satu cangkir Kenya Choronginya langsung saya pesan.


Waktu itu saya sudah lupa bagaimana rasanya mencicipi kopi yang sruputan pertamanya bener-bener bikin tersenyum bahagia, but Two Hands Full did it. Kalau dari tasting likes yang ditulis oleh Two Hands Full, Kenya Choronginya memiliki tasting likes blackberry, raisin & cinnamon. Sebab lidah saya nggak peka-peka banget, jadi saya juga enggak ngerti yah, tetapi yang jelas manis banget dan manisnya nggak selesai-selesai, parah sih. 


Kopi-kopi yang rasanya seperti ini bagi saya adalah live saver. Apalagi pagi itu pikiran saya agak penuh, udah menerima chat dan telepon bertumpuk, mencicipi kopi seenak ini bikin langsung lupa kalau punya banyak masalah hidup hahaha.


Apalagi.. waktu perjalanan ke Bandung saat itu adalah masa saya masih baper-bapernya dapet kritik menulis kopi dari teman-teman di Malang, yang memang bagian dari kesalahan saya juga. Bapernya sampai bikin nggak minum kopi dua bulan kali yah. Bapernya sampai sempat berjanji tidak mau menulis tentang kopi lagi. Tetapi saat minum kopi semanis ini, saya jadi ingat lagi kenapa kopi begitu menarik dan harus terus diceritakan.


Tahu bahwa kopinya memang sungguh manis, saya memutuskan harus mencoba espressonya. Kayaknya nggak sanggup kalau harus minum split alias cappuccino/piccolo dengan espresso sekaligus. Tapi saya maunya mencicipi espressonya, jadi ya saya pesan aja espresso.

Eh, kok yang dateng cappuccino dan espresso :) Thanks for the compliments, Two Hands Full! Baik espresso dan cappuccinonya, sama-sama manis! Bahagia banget rasanya <3


Setelah mengulik Instagram @thfcoffee, saya juga jadi punya standar baru dalam menulis atau menarasikan kopi. Mereka bisa menceritakan kopi dengan sudut pandang 'from farm to cup' dengan sangat manis. Jadi punya banyak pekerjaan rumah untuk lebih giat menulis tentang kopi lebih banyak, dan keinginan untuk lebih banyak menulis tentang kopi tertanam lagi.

Ah, sepertinya saya jadi punya bucketlist perjalanan selanjutnya, yaitu mampir ke lokasi baru Two Hands Full nanti! :)

Sekitar pukul enam pagi setidaknya saya harus naik motor untuk mengantarkan Mas Taufiq dari Denpasar ke Bandara Ngurah Rai karena ia ha...


Sekitar pukul enam pagi setidaknya saya harus naik motor untuk mengantarkan Mas Taufiq dari Denpasar ke Bandara Ngurah Rai karena ia harus kembali ke Tangerang. Di hari itu, saya juga sudah berniat harus mampir ke Periplus, tapi karena Periplus yang saya tuju baru buka sekitar pukul sepuluh pagi, saya berpikir.. harus mencari kedai kopi!

Siapa manusia yang ke Bali malah pergi ke kedai kopi dan toko buku? Manusia membosankan itu adalah saya, bernama Sophia Mega.


Saya tidak terlalu mengerti kedai kopi di Bali, yang ada di kepala saya hanya ada: Hungry Birds, Mitos Kopi, Red Spatula Coffee & Roastery, dan beberapa yang agak jauh dari bandara. Di saat yang seperti, google adalah jawaban. Dari sekian kedai kopi, Whale and Co Bali adalah kedai kopi yang sudah buka mulai pukul 08.00, dengan nama yang super gemes, nggak ragu lagi untuk berangkat hehehe.

Sebenarnya kedai kopi minimalis adalah konsep yang keren, tetapi ketika semua memilih konsep ini, agaknya merasa bosan juga boleh ya? Saat ke Whale and Co Bali, kedainya dipenuhi warna biru dan kuning. Tentu ada gambar paus-paus berwarna kuning yang menggemaskan! Rasa riang sudah terasa meskipun baru saja memarkirkan sepeda motor.

Agenda mengopi pagi itu sebenarnya bukan untuk Tamasya Kedai Kopi, tetapi memang untuk menunggu jam buka toko buku yang saya incar dan juga untuk bekerja. Ya gitu kehidupan orang yang kerjanya work from home. Literally kerja di mana aja, kerja kapan aja, kerja pas hari kerja, kerja pas liburan juga hahahaha. Jadi itulah sebab saya tak memotret banyak. Bar Whale and Co Bali saat saya datang meskipun masih cukup pagi sudah terlihat sibuk, suasana yang saya suka untuk sebuah bar kedai kopi.


Saya memesan cappuccino dan Organic Granola, meskipun tak punya bayangan Organic Granola isinya apa saja.


Untuk cappuccinonya (37.000 IDR) memang bukan tipe yang saya suka banget, yang rasanya lembut dan manis. Rasanya memang 'agak tebel' ya, tetapi tidak masalah, saya masih bisa menikmatinya. Kalau bahasa anak Malang, 'los, gak rewel' hahaha.

Ketika Organic Granolanya datang, saya cukup terkejut sebenarnya. Wah, ternyata oatmeal kalau dicampur dengan susu, diberi plain yoghurt dan buah-buahan enak banget ya? Saya sebenarnya tidak terlalu suka oatmeal, suka granola yang gede-gede gitu bentuknya. Satu mangkuk untuk seharga 47.000 IDR bagi saya cukup worth it, karena isinya banyak banget sampai bingung gimana cara menghabiskannya. Sejak mencicipi Organic Granola, saya kepikiran untuk membuatnya sendiri di rumah, meski nyatanya realisasinya nol hahahaha. Memang lebih enak rebahan daripada berusaha memasak sesuatu yaampun.


Ide yang bisa diculik dari Whale and Co Bali adalah ia menyediakan bagi siapa saja yang mau mengambil ampas espresso untuk body scrub! Biasanya teman-teman yang sudah dekat dengan kedai kopi tertentu, bisa dengan enteng meminta ampas espresso ke baristanya. Tapi dengan cara Whale and Co Bali, siapa saja jadi punya kesempatan untuk mencoba, dan jadi salah satu media mengenalkan proses pembuatan kopi.

Ah, satu lagi, hospitality mereka sangat menyenangkan, saya sempat ngobrol sedikit dengan baristanya yang ternyata juga sempat tinggal di Malang hehehe. Semoga bisa kembali mampir ke Whale and Co Bali! :)

Whale and Co Bali
Ruko Sri Kresna, Jl. Kresna, Seminyak, Kuta, Badung Regency, Bali 80361

 

Sewaktu ke Bali tahun lalu, saya melewatkan kesempatan untuk bisa bertamasya ke Mitos Kopi. Pada Juni 2019 lalu, saya sempat mampir ke ...


Sewaktu ke Bali tahun lalu, saya melewatkan kesempatan untuk bisa bertamasya ke Mitos Kopi. Pada Juni 2019 lalu, saya sempat mampir ke Mitos Kopi tapi tak sempat singgah, karena luar biasa penuh. Mitos Kopi merupakan sebuah kedai kopi yang beberapa kali disebut teman di Malang, yang menarik sebenarnya karena bagaimana Mitos Kopi bisa mengubah sebuah ruko yang kecil menjadi tempat yang menyenangkan untuk singgah.

Tahun ini, pada Agustus 2019 lalu, akhirnya ke Mitos Kopi juga, karena Mas Taufiq ingin mengopi bersama kedua teman lamanya, dan salah seorang temannya memang sudah jadi langganan di sana. Kali pertama saya mengopi di Mitos Kopi adalah saat baru saja menyelesaikan acara yang saya buat di Denpasar, Bali. Kelas kecil yang membahas tentang personal branding, dan ternyata lelah sekali. Butuh kopi agar bisa kembali riang menikmati Bali.  


Seperti biasa, saya memesan cappuccino saat itu. Esok harinya sebenarnya saya juga kembali ke Mitos Kopi, dan memesan single origin-nya untuk diseduh manual. Single origin yang ada pada hari itu lebih banyak dari Hungry Bird. Tapi kalau melihat deretan single origin yang diunggah di Instagram @mitoskopi, mereka juga sering menyediakan single origin yang roastery-nya di luar Bali.

Ketika cappuccino datang, tentu difoto terlebih dahulu lalu menikmatinya, saya senang! Sebab menemukan tipe cappuccino yang saya suka! :) Manis (tentu tanpa gula) dan tidak pahit. Single origin yang saya pesan, Eithopia Hungry Bird-nya pun enak! Kesel nggak kalau cuma bilang enak? Sebenarnya kalau urusan single origin saya menakar urusan enak atau tidak enak itu dengan: tidak ada rasa mengganggu dan manis (dan tentu manis dalam artian tanpa gula).


Teman yang menjadi langganan Mitos Kopi merekomendasikan 'es kopi susu'-nya Mitos Kopi, dan Mas Taufiq memesannya. Sebenarnya saya cenderung yang 'biasa-biasa saja' kepada 'es kopi susu'. Es kopi susu kebanyakan itu hilang saat 'sruputan' pertama hingga sudah habis. Saat dinikmati, yang terasa hanya segar, bukan 'habis minum kopi'. Jadi saat di kedai kopi, saya cenderung malas pesan es kopi susu.

Rupanya Mitos Kopi bisa 'mengungkap' mitos yang saya buat sendiri itu tidak benar. Es kopi susu milik Mitos Kopi saat di-'sruput' (a first sip) udah berasa 'rich', jadi rasanya nggak hanya lewat di tenggorokan.

Ketika berada di depan pintu Mitos Kopi, tertulis tagar #ourtasteisnotamyth, yang keren sekali, tetapi tak banyak dibahas di media sosialnya.


Untuk kedai kopi yang kecil, Mitos Kopi adalah kedai kopi yang nyaman. Memang saya cenderung suka dengan konsep kedai kopi yang kecil, tetapi tidak semua kedai kopi kecil bisa mengonsep tempat duduknya menjadi nyaman untuk bekerja dan sekadar nongkrong bersama teman. Hanya saja, saat dua kali saya ke sana, memang cenderung kondusif. Tetapi, kalau tak beruntung, kita bisa kehabisan tempat duduk dan bagi saya hal tersebut tak jadi masalah. Kalau penuh, ya hanya perlu pindah ke kedai kopi lainnya.

MITOS KOPI
Jl. Arjuna No.25, Dauh Puri Kaja, Kec. Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali 80111

Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustu...

Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustus 2019 lalu, saya belum memahami esensi dari mengejar matahari terbit dan terbenam. Bahkan apa esensinya main ke pantai. Ya kalau jalan-jalan pasti hanya mampir ke kedai kopi, toko buku, menikmati kuliner, kalau beruntung datang ke acara-acara budaya yang penuh orang dan banyak jajanan hehehehe.

Karena saya tahu betul kemarin ke Bali adalah bersama orang yang mengerti Bali karena sejak kecil ia di sana, sepertinya akan menyenangkan kalau meminta untuk ditemani mengejar matahari terbit dan terbenam, meskipun saya masih saja mempertanyakan esensinya. Berangkatlah pagi itu bersama Mas Taufiq ke Pantai Sanur, Bali.

Kami datang saat mendung, tapi tidak masalah. Suasananya enak buat duduk-duduk sambil ngobrol dan tidak memotret apapun. Tentu bagi orang seperti saya, akan mengganggu jika momen menyenangkan itu dihabiskan dengan 50% mengambil foto diri atau pemandangan. Beruntung, Mas Taufiq juga memahami hal yang sama, ada banyak momen yang seharusnya memang tak perlu mengeluarkan kamera. Kami duduk berjejeran dan respon pertama saya saat tiba sebenarnya adalah, "Mengapa ada air sebanyak ini? Seram sekali." Tentu Mas Taufiq tidak merespon pertanyaan iseng itu.


Saat kami ingin jalan-jalan ke sisi yang lain, hmm, terlihat ada Ibu-ibu berjualan entah-apa-namanya saat saya pertama kali melihat. Memang, mata saya lebih peka pada makanan daripada pemandangan yang indah. Itu adalah lumpiang (yang sebelumnya saya pikir namanya lumpia)!


Hanya saja yang berbeda, yang membuat saya merasa belum pernah menikmatinya adalah, lumpianya disajikan dengan dipotong-potong. Tidak hanya lumpiang, tapi juga ditambah weci (atau ada yang menyebut ote-ote atau abal-abal). Lalu disiram dengan petis, ketika biasanya saya harus menyocolnya dahulu.


Di kepala hanya terpikir rasanya akan biasa saja, rupanya saya salah, ternyata seporsi lumpiang yang hanya 7.000 IDR tetapi banyak itu ENAK BANGET YA ALLAH MONANGIS GIMANA DONG.


Sebelum menyiapkan pesanan saya, Ibu yang menjual sempat minum obat dahulu. Rupanya Ibu sedang sakit karena anginnya di Bali sedang tidak enak. Semoga senantiasa sehat ya, Bu!



Belum cukup dengan lumpiang, dengan rakus saya membeli gorengan, karena harus menunggu jam buka kedai kopi yang persis di pinggir pantai Sanur: Infinity Coffee Bali. Ketika sudah buka, kami hanya memesan satu cangkir kopi susu panas karena hanya ingin mencicipi dan tidak lama di sana.


Tidak ada ekspektasi yang besar, tapi entah mengapa enak banget kopi susunya. Sepulang dari situ, saya bersemangat menyampaikan ke teman bahwa betapa enak lumpiang dan kopi susu yang baru saya nikmati pagi itu. Lalu teman saya, bernama Ridho, anak asli Bali juga menimpali, "Ya sebenarnya enak karena di pinggir pantai. Apa-apa yang di pinggir pantai itu jadi lebih enak."

Hahahaha apa memang begitu? Kalau iya, sekarang saya jadi mengerti mengapa orang sibuk ke pantai saat bagi saya rebahan di kasur jauh lebih nyaman.

Seluruh foto dibidik oleh Sophia Mega.

Perjalanan ke Perth , Australia pada Juni 2019 lalu sepenuhnya dimodali oleh Ayah saya yang saat itu sedang melakukan penelitian. Meng...


Perjalanan ke Perth, Australia pada Juni 2019 lalu sepenuhnya dimodali oleh Ayah saya yang saat itu sedang melakukan penelitian. Mengetahui Perth jelas jauh berbeda dari Melbourne, yang kalau mau ke satu tempat ke tempat lain nggak bisa bermodal dengan jalan kaki saja, saya sepenuhnya sadar tidak akan banyak bertamasya kedai kopi dalam perjalanan kali ini.

Setidaknya empat cangkir kopi yang pernah saya nikmati selama setidaknya lima hari di Perth. Dua kali menikmati cappuccino dan piccolo di Basement Cafe, Curtin University, satu cappuccino di DOME, dan yang akan saya ceritakan, salah satu pengalaman yang berkesan adalah saat pergi ke Riverside Bar & Restaurant.

Bar dan restoran tersebut berlokasi di Elizabeth Quay, di mana untuk mengunjunginya saya sempat menikmati perjalanan dengan kapal feri untuk menyebrang dengan harga yang begitu terjangkau (lupa harga tepatnya, yang jelas siapkan uang sen beberapa dolar).

Pengalaman ke Melbourne satu tahun yang lalu membuat saya tidak lagi lupa kalau ke Australia sebaiknya memesan piccolo saja. Sebab cappuccinonya selalu pakai bubuk coklat di atasnya. Oleh karena itu, saya memesan piccolo di Riverside Bar & Restaurant.


Sebelum memesan, saya melihat mereka memiliki dua pilihan coffee blend untuk espresso-basednya yang keduanya di-roasting oleh LOCALE. Pilihan pertama, Seasonal Blend, dengan tasting likes chocolate, raisin dan almond. Sedangkan yang kedua, Organic Blend, milk chocolate, stonefruit, dan nougat. Karena bosan sama cappuccino Perth yang selalu dominan coklat dan karamel, saya coba yang Organic Blend, berharap banyak kalau akan bertemu dengan tipikal kopi yang saya sayang seperti biasanya hahaha.

Meski tidak bisa menggambarkan dengan detail, tapi akhirnya berjumpa dengan kopi yang menyenangkan di Perth, yang rasa piccolonya gak dominan karamel saja. Senang! 

Ditambah suasananya yang berbeda, terlihat ya dari nama barnya, "riverside", memang suasananya 'pinggir kali' alias pinggir sungai. Tapi sungainya begitu luas sampai kita harus menyebrang, yang membuat saya mempertanyakan kembali apa perbedaan sungai, danau, dan laut. 

Meski lensa kamera saya di lokasi jatuh dan rusak, tidak masalah, sebab kopi yang enak selalu beri energi lebih *alasan untuk tetap tabah menjalani segala hal: kopi*. 


Lokasi:


Kedai kopi telah membuka ruang-ruang pertemuan yang lebih besar daripada tempat pada umumnya. Pada saat ke restoran, kalau tidak kenal, j...


Kedai kopi telah membuka ruang-ruang pertemuan yang lebih besar daripada tempat pada umumnya. Pada saat ke restoran, kalau tidak kenal, jarang kita akan ada di satu meja yang sama lalu saling menyapa. Tapi dalam kedai kopi, kita merasa tidak masalah berada di meja yang sama bersama orang asing. Lalu tidak lupa berbasa-basi, "Saya duduk di sini, ya."

Sejak mengenal ruang se-"kasual" kedai kopi, saya merasa tidak masalah untuk bertemu dengan orang asing di media sosial meski hanya dimulai ajakan melalui direct message, tanpa perlu bertukar nomor personal terlebih dahulu. Dan begitulah yang terjadi saat di Hungry Bird, yang tepatnya berada di Kuta Utara, Kabupaten Badung. Saya bertemu seorang teman yang saling kenal di Instagram, Kak Sarah, bahkan hari ini saya pun lupa bagaimana awal mula saling mengikuti di Instagram.
Itu Kak Sarah wgwg
Dan meja bar adalah tempat yang memudahkan obrolan berlangsung selama di kedai kopi, sebab kita tidak perlu merasa awkward lalu sibuk saling melihat gawai masing-masing. Fokus saja kepada orang yang membuat kopi, lalu akan selalu ada obrolan menarik yang hadir di meja bar.

Hari itu, tepatnya pada Oktober 2018, saya mencoba dua piccolo dengan dua coffee blend yang berbeda, yaitu Brawa Blend yang cenderung ke coklat dan Canggu Blend yang rasanya lebih ke fruity. Saya masih ingat betul kalau Kak Sarah bisa membedakan aroma kopi dari roasted beans-nya, baik sebelum di-grinding. Memang momen menyenangkan dari Tamasya Kedai Kopi sebenarnya adalah mencicipi dua ragam rasa yang berbeda dari kopi. Apalagi untuk espresso-based, ya. Nggak semua kedai kopi bisa menawarkan pilihan roasted beans yang boleh dibuat untuk piccolo atau cappuccino misalnya.

Dengan memberikan beragam pilihan, sebenarnya kita diajak berkenalan bahwa dua cappuccino bisa berbeda rasa ketika kita pakai dua biji kopi yang berbeda. Menghidupkan rasa penasaran dan apresiasi terhadap ragam rasa sebenarnya bisa dimulai dari sini menurut saya.

Suasana Hungry Bird saat itu sebenarnya cukup padat, terutama di jam makan siang, tapi karena luas jadi tetap terasa lengang. Sebentar saja saya di sana, menikmati dua piccolo bersama Kak Sarah, Mas Ridho dan Bella. Terima kasih atas waktunya! Semoga bisa mampir lagi ke Alterego Canggu, yang sebenarnya masih ada kaitannya dengan Hungry Bird.


Catatan tambahan:


  • Terima kasih Instagram Stories Archived karena saya jadi ingat kopi apa yang sedang saya minum hari itu hahaha.
  • Foto adalah hasil dokumentasi pribadi, boleh digunakan kembali, asal dengan pemberian credit nama saya, Sophia Mega.


Hungry Bird Coffee Roaster

Instagram: @hungrybirdcoffee

Sewaktu bertamasya ke Yogyakarta April 2019 kemarin, sebenarnya memang tidak ada agenda Tamasya Kedai Kopi khusus. Sebab setiap memilik...


Sewaktu bertamasya ke Yogyakarta April 2019 kemarin, sebenarnya memang tidak ada agenda Tamasya Kedai Kopi khusus. Sebab setiap memiliki kesempatan ke Yogyakarta (yang berarti kini kelima kalinya), hampir selalu terlewat mencicipi makanannya.

Agenda singkat dua hari dipenuhi dengan mencicipi makanan baru yang sebelumnya saya belum coba, dan di hari pertama akhirnya memiliki kesempatan Tamasya Kedai Kopi. Dari sekian nama kedai kopi yang ada di bucketlist, yang buka sampai larut hanya ada Space Roastery. Akhirnya saya pergi ke sana, dan itupun membawa laptop untuk mengerjakan beberapa hal. Sepulang dari Yogyakarta, siangnya saya harus bimbingan hahaha.


Setiba di Space Roastery, kita disambut oleh LED neon sign bertuliskan "Same Shit Different Day". Sebenarnya saya datang di waktu yang kurang tepat, Space Roastery sedang dalam tahap pembangunan jika tidak salah. Tapi tidak masalah, bar yang dimilikinya begitu menyenangkan, lengkap dengan dua barista perempuan yang sama menyenangkannya.


Seperti obrolan basa-basi dari dua orang yang saling asing, pertanyaan dari mana pasti muncul. Nggak usah baper ya kalau ditanya begini, sebab ini hanya bagian dari cara komunikasi dua orang mengurangi kecanggungan, hanya saja kalau pertanyaannya kapan lulus - kapan nikah - kapan punya anak - kapan memimpin negara - kapan menghancurkan alam semesta, memang agak mengganggu. Lalu saya bilang kalau dari Malang, sedangkan Mas Taufiq (iya kami bertemu di Yogyakarta, hashtag pejuang LDR) bilang dari Tangerang, mbak barista yang saya lupa tanya namanya merespon, "Lhoh gimana? Ada keperluan di Yogyakarta atau sengaja bertemu untuk melepas rindu?"

"Yang kedua, hehehe," jawab saya santai.



Saya memesan Halu Pink Banana, yang banyak dibicarakan, dan baked cookies yang almond. Sedangkan Mas Taufiq memesan espresso Strawberry Field, saya enggak tahu juga dia terbiasa minum espresso apa enggak, tapi saat mbak barista menanyakan preferensi espresso Mas Taufiq, saya merasa.. oh pasti enak kok espressonya, bukan espresso jahat, hahaha. 

Memberikan pilihan espresso apa yang bisa dicicipi bagi saya nilai lebih bagi sebuah kedai kopi. Saya yakin kedai kopi hari ini selalu eksplor rasa, tapi nggak banyak yang menyuguhkan pengalaman mengeksplor rasa untuk pelanggannya. Dan ketika diberi pilihan begitu, berarti barista dalam kondisi mengerti jenis biji kopi yang ia seduh.


Sebelum kopi datang, saya dan Mas Taufiq berdiskusi soal "kamu kalo ada yang nanya gitu merasa nyaman nggak?", tentu ini soal obrolan personal dari barista tersebut. Saya bilang. "Gak papa sih, cuma pengin obrolannya cepat selesai aja hahahaha." Kebetulan kami adalah orang-orang yang kepribadiannya cenderung lebih besar sisi introversion-nya. Pertanyaan personal bagi yang belum kenal sebelumnya tentu tidak masalah, hanya kadang bingung meresponnya.

Kalau di kedai kopi, saya tergolong orang yang duduk di bar, tapi hanya untuk diam saja dan melihat mbak-mas barista bekerja. Kadang kan ada tuh yang ngajak ngobrol, menanyakan mulai dari biji kopi yang enak sampai bagaimana alam semesta ini bekerja, sedang saya hanya duduk anteng, paling memotret sana dan sini. 

Selepas obrolan itu, tidak lama kopi datang. Asyik!


Halu Pink Banana yang muncul jadi perbincangan orang ini akhirnya saya cicipi juga, mereka mencatat flavor notes/taste likes-nya Banana dan Peach. Saat suhu masih panas, saya enggak mengingat rasa apa-apa dari lidah saya yang kemarin baru terbakar karena makan bakso terlalu panas hahahahah, hanya terasa buah-buahan banget aja. Setelah ia mulai dingin, mengingatkan pada sale pisang. 

Meskipun tahun lalu saya intens makan buah peach hanya untuk mencoba mengenali bagaimana rasa buah peach, tetap saja buah itu cukup asing untuk benar-benar diingat. Paling yang diingat sensasi segar saat buah mulai kita gigit, juicy sekali, uuuhhhh jadi pengin makan buah peach. 

Saya lebih sumringah ketika mencicipi espresso Strawberry Field-nya! Enaaakkkkk meski tidak bisa terlalu mendeskripsikan rasa enaknya. Yang jelas dominasinya bukan manis yang panjang, tapi kecut manis seger lucu gitu. Saya yakin 'mbak-mas kopi-kopian' kalau baca ulasan ini kesel, kalau nggak ngerti rasa kopi di3m aJ@h d3cH m3nd1Nk qAmu tUh. Saya hanyalah manusia basic yang suka kafein aja kok mbak-mas hahaha.

Penyempurna dari dua rasa kopi yang menyenangkan malam itu adalah baked cookies! Seneng bangeeeet kalau kedai kopi menyediakan cookies yang dihangatkan, jadi lembut saat dimakan, bukan cookies yang kering, ya. Meskipun saya suka kopi, bukan berarti bisa menikmati kopi sendirian, harus ada pendampingnya. Bagi saya croissant atau sejenis pastry nggak jadi favorit untuk pendamping mengopi, karena pastry cenderung kering, dikasih kopi jadi bikin haus hahahaha. 

Jadi bagi saya kopi dan baked cookies adalah kecintaan! Salah satu perpaduan yang pas!

Perpaduan favorit saya yang kedua adalah dengan cake yang teksturnya lembut, bukan yang spongy. Mau rasa apa aja, coklat, lemon, atau apapun kalau teksturnya lembut, uuuhhh jadi bikin nikmat kopinya. Tapi enggak tahu kenapa banyak kedai kopi yang lebih memilih cake-nya bertekstur spongy, jadi sedih huhuhu. Sama perpaduan yang saya suka selanjutnya tapi agak aneh adalah kopi dengan pizza hahahaha, tapi kopi dan baked cookies bersatu tak bisa dikalahkan. Cookies aja udaaaahhh.


Dari segi Meja Bekerjanya memang agak disayangkan di bagian dalam yang ber-AC tidak ada tempat yang nyaman untuk bekerja, hanya ada di luar yang lebih 'meja bekerja friendly'. Untungnya tempatnya luas banget, dan meskipun hari itu termasuk padat, bagi saya cukup aman untuk bekerja. Pelanggan-pelanggannya begitu menyenangkan. Tapi jangan khawatir, sepertinya saat saya datang Space Roastery sedang menyiapkan kedai kopinya untuk lebih nyaman lagi.

Jadi, terima kasih Space Roastery! Pengalaman yang menyenangkan!

Space Roastery ~ Yogyakarta
Instagram: https://www.instagram.com/space.roastery/
Maps: