Showing posts with label Melbourne. Show all posts

Pagi itu nggak hanya dikejutkan dengan lensa kamera yang sebelumnya tersiram kopi dengan naasnya ternyata bisa dipake lagi, tapi menjad...


Pagi itu nggak hanya dikejutkan dengan lensa kamera yang sebelumnya tersiram kopi dengan naasnya ternyata bisa dipake lagi, tapi menjadi pagi yang agak sedih karena harus buru-buru ke bandara untuk terbang ke Sydney. Langkah di pagi hari itu membuat saya berdoa semoga ini bukan kopi terakhir yang saya nikmati di Melbourne. Semoga bisa kembali ke sini, atau bahkan bisa melanjutkan kuliah di sini.


Tidak jauh-jauh dari Quest Carlton on Finlay, tepat di sebrang, ada sebuah kios yang pagi-pagi banget udah buka. Tepatnya pukul 4.47 pagi waktu setempat, udah buka dong kiosnya! Kali ini saya mencoba kopi yang enggak diketahui oleh banyak orang, letaknya ada di dekat taman (Argyle Square) di sana, dan apakah rasa kopi yang bahkan bukan dari kedai kopi ternama sama enaknya?

Akhirnya saya pesan dan diberi bonus gak perlu bayar $0,5 hahaha. Pagi itu dingin sekali, ya kedai kopi mana sih yang buka jam empat pagi? Dan saat itu bukan cuma saya yang antri, ada dua sampai tiga orang lainnya.


Saya sempat ngobrol dengan baristanya, soal apa orang peduli dengan flavor notes di kopinya? Baristanya bilang untuk beberapa orang memang bertanya. Lalu kopi saya sudah tiba! Masih sama, dominan caramel sweet. Dengan begini, saya enggak pernah menemukan cappuccino yang enggak saya suka, semuanya enak!

Dari enam kedai kopi, enggak ada yang gak enak! Yang paling spesial memang masih Patricia Coffee Brewers dan urutan kedua Market Lane Coffee yang punya cappuccino dengan cenderung rasa yang fruity dan soft. Lainnya pasti caramel sweet, enggak pernah nemuin cappuccino yang pahit atau rasa kacang tanah. Kecuali saat mencoba cappuccino yang dipesan Ayah yang khas Turki dan tentu saja itu kan prosesnya sudah berbeda.


Selepas dari Parco Canteen, cukup berat untuk ke Sydney. Melbourne bener-bener bisa bikin jatuh cinta. Sebenarnya ya, rasa kopi yang enak bisa kok tetap didapatkan di Indonesia, atau bahkan Kota Malang. Hanya saja kita perlu cari tahu mana kedai kopi yang peduli pada ragam rasa pada kopi.

Tapi, ada beberapa hal yang susah didapat di Indonesia. Yaitu, akses buku yang enggak semudah di Melbourne. Duh rasanya gampang banget deh kalau mau cari buku-buku yang lagi dibutuhkan di sana, ya asal ada uang juga sih hahaha #menangiz. Tapi di Melbourne kata Kak Didi, seorang teman, banyak juga yang jualan buku dengan harga 1$ saja dan enggak perlu ditanya lagi kan untuk akses perpustakaannya? Dan rasanya, sebelum pergi ke perpustakaan.. nyempetin ngopi terlebih dahulu kayaknya jadi gambaran sebuah pagi yang sempurna bagi saya.


Yah intinya, saya hanya berdoa hari itu bukan jadi hari terakhir saya bisa menikmati kopi di Melbourne. Aamiin. 

Location:



Tamasya Kedai Kopi di hari ketiga enggak berhenti sampai Seven Seeds Specialty Coffee , tapi lanjut ke Market Lane Coffee yang ada di Qu...


Tamasya Kedai Kopi di hari ketiga enggak berhenti sampai Seven Seeds Specialty Coffee, tapi lanjut ke Market Lane Coffee yang ada di Queen Victoria Market. Arahnya agak berlawanan dari Seven Seeds Coffee, jadi saya seperti harus kembali ke apartment untuk bisa ke Queen Victoria Market. Tapi karena udara Melbourne yang dingin, jalanan yang relatif sama (enggak naik turun dan teratur), bikin jalan kaki sebagai traveler enggak bakal merasa cepat capek.

Ok, ini masuk ke bagian yang bikin cukup ngangenin. Ada enggak sih kalian yang kangen ke sebuah tempat sampe berasa pengin nangis tiap nulis momen tersebut? Saya di antaranya huhuhu.


Queen Victoria Market adalah salah satu tempat yang ngangenin! Berderet-deret ruko seperti ingin saya datengin semua, orang-orang sibuk berlalu lalang, dan menjadi tempat yang paling sering saya datangi. Dan akhirnya sempat juga main ke Market Lane Coffee.

Perjalanan Tamasya Kedai Kopi di Melbourne lainnya: klik di sini.


Kedai kopi yang enggak terlalu besar, dengan bar yang kecil, dan beberapa tempat duduk yang mengelilingi kedai. Jadi enggak ada meja yang ada di tengah-tengah lalu lalang dan kebanyakan pelanggan memang pesan untuk take away. 


Kalau soal ambience kedai kopi, dari Brunetti, Brother Baba Budan, Patricia Coffee Brewers, Seven Seeds Specialty Coffee, Market Lane Coffee dan Parco Coffee (6 kedai yang saya datangi selama di Melbourne).. paling suka sih Market Lane. Suasana yang bright, enggak remang, suasana paling pas kalau untuk menulis dan ngopi saat pagi hari.

Sebenarnya Marke Lane Coffee punya enam tempat di Melbourne, gila sih banyak banget. Tapi saya hanya mendatangi salah satu cabangnya saja, jadi enggak tahu Market Lane Coffee di tempat lain apakah juga memiliki ambience yang mirip atau tidak.


Di sini saya sempat ngobrol dengan barista, tapi karena saya ngomongnya belibet, jadi saya tulis pakai bahasa Indonesia saja ya.

                 Saya   : "Kalau di Melbourne, apakah penentuan kopinya sesuai dengan musim? Kalau
                              musim dingin begini, kedai kopi lebih memilih kopi dengan flavor notes caramel 
                              sweet?"
                 Barista: "Hmm.. enggak. Pemilihannya bergantung biji kopi dari Negara mana
                               yang sedang panen saja."


Lalu saya memesan cappuccino dengan seasonal espresso-nya dengan 70% Airuma (Brazil) dan 30% El Fuerta (Bolivia), flavor notes yang ditulis adalah hazelnut, cherry dan apricot. Bagi saya yang enggak pernah mencoba kopi dengan rasa yang seperti hazelnut, cherry dan apricot, langsung tertarik dong. 

Enggak berekspektasi bakal tahu rasa cherry dan apricot-nya sih, soalnya enggak pernah makan dua buah itu sebelumnya. Apricot juga lagi enggak musim, jadi di Melbourne pun agak susah nyarinya. Yang saya temukan di setiap supermarket selalu hanya makanan bayi yang punya rasa apricot. Bahkan enggak ada makanan normal atau sirup yang memiliki rasa apricot. 

Tapi overall suka banget sama cappuccinonya! Fruity, sweet dan hazelnut-nya terasa banget! Jadi kacang hazelnut, almond dan berbagai kacang lain rasanya berbeda. Kalau kalian belum pernah makan hazelnut, nah cobain aja makan selai nutella, karena hazelnut-nya terasa banget. Atau banyak juga minuman manis yang pakai sirup hazelnut.



Selain seasonal espresso, ada juga 'guest espresso'-nya. Dengan 100% Marimbus (Brazil) dan flavor notes red apple, milk, chocolate. Penasaran banget sih! Belum pernah tahu cappuccino dengan red apple itu seperti apa. Nanti lah jalan-jalan ke kedai kopi di Indonesia juga pasti ada kok kedai kopi yang concern banget dengan flavor notes dalam cappuccinonya.


Ada yang menarik dan mungkin bisa jadi inspirasi kedai kopi lainnya, Market Lane Coffe menjual coffee sacks dengan 5$. "All proceeds donated to the Santa Clara Scholarship programme, an awesome non-for-profit organization dedicated to improving the quality of life & education of coffee farming families." Ini yang saya pelajari juga di kelas praktikum Public Relations, suatu barang akan layak dijual mahal karena cerita di balik barang tersebut. Sekaligus bisa membuat pelanggan seperti saya melihat bahwa Market Lane bukan hanya kedai kopi yang fokus pada rasa, tapi juga bertanggung jawab dengan apa yang ia lakukan di dunia kopi. 

Semua orang jualan kopi, dan hal-hal yang seperti ini menurut saya yang perlu diapresiasi. Kedai kopi yang mulai bertanggung jawab, peduli pada lingkungan dan hal-hal positif lainnya membuat saya tentu saja rela kalau setiap hari ke sana dibandingkan kedai kopi yang cuma jualan kopi aja. 



Selepas dari Market Lane saya lanjut ke toko sebelahnya, ada Books For Cooks. Dan di sini lah bencana di mulai, saya sok ide masukin cup kopinya ke tas kamera karena tas kamera saya itu terbagi jadi dua bagian yang sama datarnya. Jadi ya kalau enggak banyak gerak.. dia gak bakal tumpah.


Nah bodohnya, ya saya banyak gerak lah, kan jalan kaki terus! Selain ke Books For Cooks, saya sempetin juga ke Priceline, drugstore di Australia untuk beli skincare dan make-up. Sepulang dari situ, lensa kamera saya rusak karena tumpahan kopi. Tapi sekarnag udah baik-baik aja kok! Hehehe :'D Masih beruntung! 

Jadi kalau lensa kamera kamu ketumpahan lensa, diemin aja dulu. Kalau saya langsung ambil hair dryer, terus masukin beras enggak sampe setengah hari, terus didiemin dua hari. Pertama-tama masih kotor banget ada kopinya, terus lama-lama bisa kembali normal! Soalnya sebelumnya bener-bener enggak bisa dipake sama sekali. Tapi ya semoga lensa kamera kalian selalu selamat di berbagai waktu ya!


Market Lane Coffee sebenarnya jadi tujuan akhir selama di Melbourne, besoknya saya harus ke Sydney huhuhu. Tapi! Besok paginya saya mencoba ke kedai kopi di depan apartment, tungguin ceritanya di postingan selanjutnya!


Instagram: @marketlane
Lokasi:

Menurut bucketlist Tamasya Kedai Kopi   hari ketiga di Melbourne, sebenarnya ada Aunty's Peg atau Padre dan keinginan kembali ke Pa...


Menurut bucketlist Tamasya Kedai Kopi hari ketiga di Melbourne, sebenarnya ada Aunty's Peg atau Padre dan keinginan kembali ke Patricia Coffee Brewers yang lebih pengin dipenuhi. Tapi jarak yang cukup jauh, waktu yang sedikit dan dollar yang menipis menjadi sebab saya sebaiknya ke kedai kopi yang jaraknya sangat dekat dengan apartment kami saat itu, Quest Carlton on Finlay, yakni Seven Seeds Specialty Coffee.

Cukup 12 menit jalan kaki untuk menuju Seven Seeds Specialty Coffee. Ini menjadi bagian yang cukup dirindukan dari Melbourne, pergi ke coffee shop cukup jalan kaki. Tanpa ke banyak tempat yang terkenal pun yang membutuhkan beberapa menit untuk pergi ke sana, enggak susah untuk menemukan coffee shop di kanan-kiri dalam hitungan lima menit (semoga tidak berlebihan hahaha).

Setiba di Seven Seeds, saya langsung jatuh cinta banget sih sama dinding berwarna biru, garis-garis yang merupakan identitas dari coffee shop ini dan tulisan elegan dari namanya. Enggak ada neon box, hanya identitas cat dan nama dalam dinding. Warna birunya favorit sih! :'D
Seven Seeds memang bukan tipikal kedai kopi yang saya suka, terlalu luas bagi saya. Saya menyukai ruang-ruang yang minimalis, enggak terlalu besar, intimate dan cahaya lampunya enggak hangat. Mungkin karena saya adalah orang yang lebih banyak menghabiskan waktu di kedai kopi dengan sendiri saja, jadi enggak mengutamakan tempat luas.



Mengingat Brother Baba Budan menggunakan biji kopi dari Seven Seeds untuk seluruh kopinya, dan di sana saya sudah pesan cappuccinonya (di Seven Seeds kalau pesan cappuccino juga diberi bubuk coklat), akhirnya saya pesan secangkir kopi seduh (metode) dripnya dengan biji kopi Maria Enelia, Erazo Huila, Colombia.

Meskipun drip, enggak bisa dibilang manual juga sih haha. Pouringnya udah pake mesin.
Pada saat itu (Juni 2018), saya belum begitu bisa memahami rasa dalam kopi terutama untuk kopi seduh drip baik dalam metode apapun, V60, Aeropress, dsbnya. Pengetahuan rasa saya masih lingkaran paling dalam Coffee Taster's Flavor Wheel: sweet, floral, fruity dan semacamnya.

Foto dari foodiotkk.com, sayangnya enggak dapet foto kartu ini yang proper. Dan kayaknya ketinggalan di apartment waktu mau lanjut ke Sydney :( 
Namun saat kopi tiba, barista mengantarkan kopinya dengan sebuah kartu penjelasan dari biji kopi yang sedang kita nikmati. Bagi saya, ini benar-benar memberi ruang untuk kita bisa menghargai kopi. Mengetahui bagaimana biji kopi yang kita minum, edukasi bahwa untuk apresiasi kopi yang kita minum bukan lah dalam ragam 'enak' semata tapi ada ragam karakter rasa yang berbeda, dan meskipun kita enggak banyak tahu soal sensory, paling tidak kita tahu. Bagi saya, ini yang paling berkesan sih dari Seven Seeds Specialty Coffee.

Untuk Maria Eneli, Erazo Huila, Colombia, sendiri.. saya merasakan kopi yang bener-bener soft, clean parah, dan manis banget yang lebih ke arah buah alias fruity. Di kartu penjelasannya sendiri (sayangnya saya enggak tahu ya apa nama kartunya, atau emang gak ada nama khususnya?), di kolom tastes like: ada cherry, plum dan honeycomb. Sedangkan di diagram looks like: sweetness-nya tinggi banget, acidity-nya tinggi juga (tapi bagi saya lebih kuat rasa manisnya) disusul aftertaste yang panjang.


Sesuap croissant yang setiap saya makan kayak enggak habis-habis karena saking gedenya lalu disusul menyeruput kopi seduh dripnya, pagi itu jadi sempurna. Ternyata sarapan kopi dan croissant almond enak banget! Asal croissant-nya enggak gede-gede amat. Tapi kalau boleh memilih, saya mau sarapan kopi sama pizza aja hahaha, mana ada orang sarapan pake pizza. Atau croissant yang rasanya lebih ke asin dan gurih dibandingkan yang manis seperti saat saya pesan.

Tempat yang luas enggak membuat Seven Seeds isinya adalah orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu di dalam juga sih. Banyak juga yang pesan untuk take away dan beberapa di antaranya membawa keep-cup-nya sendiri. Dan senang juga sempat melihat suasana mbak-mbak yang begitu happy selama memotret gelas kopi sekali pakainya. Rasanya mau ngeledekin, "Girang amat, mba~." Tapi ya tentu saja hanya di batin.

Selepas dari pengalaman berharga mengopi di sana (plus pas di sini kuota internet saya habis, sangat ber-ke-san), saya melanjutkan perjalanan ke Victoria Market, untuk menuju ke Books For Cooks dan Marketlane Coffee Labs. Nantikan perjalanan selanjutnya, ya!

Instagram: @7seedscoffee

Lokasi:



Sebenarnya udah dua bulan yang lalu pergi ke Melbourne dan Sydney, Australia. Tapi rasa sedih pengin balik lagi, sering banget mimpi ke M...

Sebenarnya udah dua bulan yang lalu pergi ke Melbourne dan Sydney, Australia. Tapi rasa sedih pengin balik lagi, sering banget mimpi ke Melbourne, dan mencoba cari cara untuk bisa ke sana masih belum hilang. Enggak cuma cari cara untuk balik sih, cari cara buat move on juga saya lakukan. Mulai dari Agustus kemarin ke Solo dan Yogyakarta meskipun menjadi perjalanan yang sangat singkat, dan Oktober sudah beli tiket Ubud Writers & Readers Festival yang diselenggarakan di Bali. Mungkin, Bali bisa bikin saya jatuh cinta lalu bersikap biasa aja tentang Melbourne.


Melbourne bisa jadi salah satu representasi dari sebuah kota yang pengin saya tinggali. Kota itu enggak ramai, tapi begitu banyak coffee shop yang susah banget buat nemuin kopi yang enggak enak. Dan satu lagi, perpustakaan besar, banyak sekali toko buku yang secara spesifik menjual buku sesuai tema (Books For Cooks salah satunya), dan banyak tempat untuk bisa mendapatkan buku dengan harga murah.

Sebab belum move on yah karena waktu ke sana enggak bisa puas dengan jalan-jalan, saya pergi bareng Ayah dan seorang dosen lainnya. Kali ini agendanya memang bukan buat jalan-jalan. Sampai saat hari saya pengin balik ke Patricia Coffee Brewers karena saking jatuh cintanya dengan coffee shop yang ini, enggak bisa.


Setelah Tamasya Kedai Kopi ke Brother Baba Budan, saya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke Patricia Coffee Brewers. Di sepanjang jalan menuju ke lokasi, banyak banget orang yang bawa kemasan take away kopi atau keep cup-nya sendiri. Hingga di sebuah tembok yang semuanya serba hitam, saya masih bingung, mana ya Patricia Coffee Brewers?


Ternyata ya bangunan berwarna hitam dan enggak ada tanda kalau dia Patricia Coffee Brewers kecuali di pintunya yang tentu saja dipenuhi orang antri membeli kopi itu lah tempatnya. Banyak banget yang antri sampai saya agak ragu, terusin pesan kopinya gak yah? Ikut antri gak yah? Banyak banget!


Berpikir kalau belum tentu bisa balik lagi, akhirnya saya mencoba untuk antri sambil memotret suasana antrinya yang bener sih kalau Melbourne terkenal dengan coffee culturenya. Sampai akhirnya saya kedapetan waktu untuk pesan kopi, yay! Saya pesan cappuccino dengan memilih salah satu dari dua coffee beans yang digunakan, sayangnya saya udah lupa nama coffee beans-nya apa.


Berbeda dari cappuccino Brunetti dan Brother Baba Budan yang cenderung caramel sweet, di Patricia Coffee Brewers ini lebih ke fruity, ringan banget, huhu pokoknya enak! Masih ingat kalau sempat merasa ada hint of orange-nya, alias ada rasa jeruknya. Selepas pesan kopi, ya saya seperti orang lainnya, langsung pergi meneruskan jalan-jalan lihat Melbourne sambil sumringah akhirnya dapet cappuccino yang bener-bener saya cari di sini.


Sebenernya bisa kok nongkrong lucu di lokasi, tempatnya kecil sih sebenernya, tapi penuh dengan menusia itu lho yang bikin saya mending menikmati cappuccino-nya dengan jalan-jalan. Melbourne yang tadinya 9 derajat enggak kerasa deh kalau di tangan kita udah pegang cappuccino kesukaan kita.



Sejauh ini, Patricia Coffee Brewers emang coffee shop yang paling favorit! Kalau ke sini, mending sekalian pesan coffee beans-nya deh, biar enggak nyesel kayak saya huhuhuhuhu. Melbourne, Patricia Coffee Brewers, kita bakal ketemu lagi kok suatu hari nanti. Amin.

Lokasi:

Seorang teman pernah bertanya, "Apa beda kopi Indonesia dengan yang ada di luar negeri?" Sering saya berpikir, jawaban dari o...


Seorang teman pernah bertanya, "Apa beda kopi Indonesia dengan yang ada di luar negeri?" Sering saya berpikir, jawaban dari orang awam seperti saya akan cenderung dipenuhi ego dibandingkan dilengkapi dengan data dan pengetahuan cukup. Tapi, semoga post kali ini akan bisa menjawab sedikit dari pertanyaan itu. Setidaknya dari perbedaan cappuccino yang ada di Australia dengan yang ada di Indonesia. 

Tapi sebelumnya, saya bukan expert. Tulisan ini berdasarkan observasi langsung di lokasi, mencicipi beberapa cappuccino di beberapa tempat dan sedikit membaca di beberapa media lain tentang kopi di Australia, khususnya di Melbourne.

Di hari kedua, pukul 7 pagi, saya langsung menuju Brother Baba Budan dengan jalan kaki. Letaknya di Little Bourke St, sekitar 20 menit dari tempat tinggal saya. Tapi jalan-jalan di Melbourne dengan suhu 4-9 derajat celcius, enggak bakal bikin keringetan meskipun jalan-jalan jauh. 


Hari pertama menikmati pagi di Melbourne, di mana banyak sekali orang jalan kaki berlalu lalang sambil membawa cup kopi. Hingga akhirnya sampai di Brother Baba Budan, sebuah kedai kopi yang kecil dan sangat hangat suasananya.

Ruangannya sedikit gelap karena lampu yang warm, ditambah suasana interior dominan kayu dan pasti yang paling diingat adalah atap yang dipenuhi kursi-kursi kayu menggantung. Hanya cukup 12-15 orang di dalamnya, tapi karena kebutuhan orang Melbourne dalam mengopi berbeda dengan Indonesia, kedai kopi yang kecil tidak masalah.


Jika di Melbourne, orang lebih banyak mengopi untuk dibawa pulang/kerja, mereka pasti pesan untuk take-away baik dengan cup yang sudah disediakan atau membawa keep cup-nya sendiri. Sedang kalau di Indonesia, khususnya di Malang dan kota pendidikan lainnya (karena setiap kota sebenarnya punya karakter konsumen yang berbeda-beda), mengopi adalah kebutuhan bersosialisasi. Ngopi ya untuk nongkrong, jadi punya kedai kopi dengan ruangan yang luas seringkali dibutuhkan.


Seperti pagi itu, meski kecil dan masih pagi, Brother Baba Budan dipenuhi pelanggan yang sedang antri menunggu kopinya datang. Saat kopinya sudah datang, ia akan langsung pergi.

Setelah kemarin mencoba cappuccino di Brunetti, saya kembali memesan cappuccino di sini. Sekitar 4$ sudah bisa mendapatkan satu cangkir cappuccino dan bubuk coklat di atasnya. Melihat cappuccino yang di atasnya ada bubuk coklat bagi saya sebenarnya sedikit asing, karena jadinya mirip dengan mocha karena ada rasa coklatnya.

Lalu saat iseng browsing, saya menemukan komentar seperti ini di tripadvisor saat ia ke Brunetti: 'Ordered some cappuccinos, just warm and no chocolate sprinkled on top, you would think Brunetti would know how to make a cappuccino!" dan memberikan satu bintang saja.

Cappuccino di Brunetti memang tidak pakai bubuk coklat di atasnya, tapi saat saya mencoba beberapa cappuccino di tempat lain, memang kebanyakann menggunakan bubuk coklat tepat di atas foam. Beberapa orang yang pernah ke Melbourne juga bilang ke saya, sebaiknya pesan latte saja karena tidak ada bubuk coklat di atasnya.


Saya simpulkan, di Melbourne memang karakter cappuccinonya diberi bubuk coklat di atasnya. Serta kebanyakan memiliki rasa yang cenderung caramel sweet, tapi tidak semua. Sedang kalau di Indonesia, hanya sedikit tempat yang melakukan hal itu, lebih banyak yang seperti Brunetti, tidak pakai bubuk coklat. 

Untuk rasa, ternyata tetap dominan caramel sweet. Pak Sivaraja, pemilik Amstirdam Coffee, yang pernah hidup di Melbourne pernah bilang kalau saat winter memang kebanyakan coffee shop memilih biji kopi yang akan membuat cappuccinonya cenderung rasa coklat, caramel dan manis. Tapi saya belum menanyakan langsung ke barista-barista di sana, jadi belum bisa memastikan hal ini.


Sedang kalau cappuccino di Malang, Jawa Timur, tidak terlalu banyak yang punya cappuccino yang bener-bener enak. Anggap saja semua kopi itu enak, tapi kalau mencari yang bikin saya kembali lagi dan cocok dengan apa yang pengin saya coba, engggak semua punya. Karena di Malang cenderung cappuccino itu pahit, atau rasanya full kacang, atau ditambah sedikit asam. Nah jika dibandingkan dengan yang bisa keluar rasa caramel sweet, lalu ada rasa biskuitnya, atau rasa-rasa lainnya.. ya saya lebih suka yang rasanya rich semacam ini.

Notes.
Karakter cappuccino yang 'rich' bukan dari flavor tambahan. Tapi bergantung karakter biji kopi yang dipilih. Nah dari biji kopi tersebut lah yang memiliki rasa-rasa tersembunyi secara natural. 

Tapi mungkin belum banyak yang memiliki preferensi rasa cappuccino yang seperti yang saya suka. Sehingga banyak kedai kopi (tidak semua) lebih banyak memilih apa yang diminta kebanyakan konsumen. PR selanjutnya, kalau di Malang, harga cappuccino di atas 20.000 IDR itu ya udah dianggap mahal, karena konsumennya banyak mahasiswa. Jadi untuk membuat cappuccino yang rich itu tadi enggak gampang kalau pakai biji kopi yang mahal tapi dijualnya murah. 

Di Brother Baba Budan, selalu pakai biji kopi dari Seven Seeds Coffee, termasuk cappuccinonya yang menggunakan Espresso Blendnya. Saya menikmati cappuccino sambil melihat suasana pagi yang sibuk sekali. Tapi kerennya, barista hanya perlu sekitar lima menit saja membuat cappuccinonya.


Sebenarnya mengumpulkan cup kopi di setiap kedai kopi di Melbourne nampaknya menyenangkan. Tapi saya bukan orang yang suka mengoleksi hal semacam itu, saya lebih memilih menyimpannya dalam blog seperti ini, dan berharap suatu saat kembali lagi.

Selesai menikmati satu cangkir cappuccinonya, saya beranjak. Perjalanan #TamasyaKedaiKopi hari itu belum berakhir, saya melanjutkan ke Patricia Coffee Brewers. Nantikan tulisan selanjutnya yah! 

Setelah menghabiskan waktu di Lygon St dan mencicipi cappuccino Brunetti yang cenderung caramel sweet, saya jalan kembali ke apartment ...


Setelah menghabiskan waktu di Lygon St dan mencicipi cappuccino Brunetti yang cenderung caramel sweet, saya jalan kembali ke apartment karena sudah waktunya masak untuk makan malam. Eh, tapi.. tapi... di tengah jalan menemukan sebuah toko yang tak terlalu besar, isinya begitu banyak teh dan rempah, namanya Gewürzhaus.


Tak mau memusingkan diri dengan cara membacanya, saya langsung masuk ke toko tersebut, melupakan tanggung jawab memasak sejenak. Pertama kali masuk rasanya tidak bisa berhenti melihat ini dan itu. ASTAGA INI TOKO KEREN BANGEEET!!1!1!!!!


Begitu banyak rempah, dan beberapa penjaga sibuk mencari ini dan itu. Jika dilihat dari klaimnya, mereka menyediakan 350 single origin rempah, dedaunan, garam, lada, teh dan gula dari seluruh dunia dan rasanya tidak bisa denial. Emang beneran banyak banget. Selain bertujuan untuk menyediakan bahan dasar dengan kualitas yang bener-bener berkualitas, Gewürzhaus bertujuan agar para pecinta masakan bisa membuat resep-resep dan tradisi baru.



Sejauh ini, terlihat kalau Melbourne menjadi kota yang begitu peduli dengan makanan dan masakan. Kalau ke setiap toko buku, pasti deh buku tentang makanan itu begitu banyak, hampir di setiap toko buku! Bahkan mereka punya toko buku bernama Books For Cooks, toko buku yang cukup besar dan isinya hanya buku tentang makanan! Gi-la!


Saking excited-nya, langsung membeli lebih dari 11 teh dan langsung merogoh kocek 76.50$. Tentu saja setelah dari  Gewürzhaus langsung bangkrut eyke, tapi jadi enggak bingung lagi mau bawain oleh-oleh apa buat temen-temen tertentu. Bagi saya, oleh-oleh itu sifatnya tidak mutlak harus beli setiap traveling. Tapi ketika sedang ada rezeki dan udah lama pengin beri hadiah teman-teman terdekat, traveling jadi momen pas untuk membelikan oleh-oleh.

Saya tidak tahu banyak soal rempah atau teh, tapi semoga foto-foto ini bisa membuat kalian terpenuhi rasa ingin tahunya atau bagi yang sedang akan ke Melbourne.. saya rasa wajib hukumnya dateng ke sini. Setidaknya untuk tahu begitu banyaknya rempah dan mencium aroma yang begitu spicy. 



Ada empat jenis teh yang saya beli dari sana, ada Cold & Flu, Moroccan Mint Tea, Heavenly Good Luck Tea dan Alkalise & Detox Tea. Yang baru saya coba adalah Heavenly Good Luck Tea, rasa teh dan rempah yang begitu 'pedas' sekaligus 'hangat' bikin langsung jatuh cinta dan membelinya tiga kemasan sekaligus.

Saat di kasir, sempat ngobrol dengan kasirnya. Cerita sedikit kalau sebenarnya enggak sengaja menemukan toko ini dan belajar bagaimana membaca Gewürzhaus seharusnya. Dan makna dari Gewürzhaus adalah rumah rempah.  Mba-mba kasirnya juga cerita kalau pernah ke Bali. Kalau menurut data, Australia adalah Negara yang sering datang ke Indonesia untuk berwisata. Jika tidak salah ingat, Australia urutan kedua setelah China. Bahkan Bapak supir taxi yang saya temui aja bilang kalau baruuuu aja dari Bali. Cerita dua orang ini membuat saya termotivasi apapun pekerjaannya, traveling is a must! 


Di Gewürzhaus juga yang membuat saya menyimpulkan secara cepat, orang-orang Melbourne baik-baik doooong. Mereka akan memastikan kita sudah ditanya: butuh bantuan apa? Kalau kita bilang cuma mau lihat-lihat, mereka akan jawab: oh ok, kalau butuh bantuan bisa ke aku ya. Ini sih salah satu yang bikin kangen Melbourne.

Suatu saat nanti, pasti kembali ke Melbourne, dan pastinya kembali datang ke Gewürzhaus. Pasti :)

Gewürzhaus Herb & Spice Merchant
Instagram: @gewurzhaus
Website: https://gewurzhaus.com.au/

Location: