Showing posts with label Yogyakarta. Show all posts

Sewaktu bertamasya ke Yogyakarta April 2019 kemarin, sebenarnya memang tidak ada agenda Tamasya Kedai Kopi khusus. Sebab setiap memilik...


Sewaktu bertamasya ke Yogyakarta April 2019 kemarin, sebenarnya memang tidak ada agenda Tamasya Kedai Kopi khusus. Sebab setiap memiliki kesempatan ke Yogyakarta (yang berarti kini kelima kalinya), hampir selalu terlewat mencicipi makanannya.

Agenda singkat dua hari dipenuhi dengan mencicipi makanan baru yang sebelumnya saya belum coba, dan di hari pertama akhirnya memiliki kesempatan Tamasya Kedai Kopi. Dari sekian nama kedai kopi yang ada di bucketlist, yang buka sampai larut hanya ada Space Roastery. Akhirnya saya pergi ke sana, dan itupun membawa laptop untuk mengerjakan beberapa hal. Sepulang dari Yogyakarta, siangnya saya harus bimbingan hahaha.


Setiba di Space Roastery, kita disambut oleh LED neon sign bertuliskan "Same Shit Different Day". Sebenarnya saya datang di waktu yang kurang tepat, Space Roastery sedang dalam tahap pembangunan jika tidak salah. Tapi tidak masalah, bar yang dimilikinya begitu menyenangkan, lengkap dengan dua barista perempuan yang sama menyenangkannya.


Seperti obrolan basa-basi dari dua orang yang saling asing, pertanyaan dari mana pasti muncul. Nggak usah baper ya kalau ditanya begini, sebab ini hanya bagian dari cara komunikasi dua orang mengurangi kecanggungan, hanya saja kalau pertanyaannya kapan lulus - kapan nikah - kapan punya anak - kapan memimpin negara - kapan menghancurkan alam semesta, memang agak mengganggu. Lalu saya bilang kalau dari Malang, sedangkan Mas Taufiq (iya kami bertemu di Yogyakarta, hashtag pejuang LDR) bilang dari Tangerang, mbak barista yang saya lupa tanya namanya merespon, "Lhoh gimana? Ada keperluan di Yogyakarta atau sengaja bertemu untuk melepas rindu?"

"Yang kedua, hehehe," jawab saya santai.



Saya memesan Halu Pink Banana, yang banyak dibicarakan, dan baked cookies yang almond. Sedangkan Mas Taufiq memesan espresso Strawberry Field, saya enggak tahu juga dia terbiasa minum espresso apa enggak, tapi saat mbak barista menanyakan preferensi espresso Mas Taufiq, saya merasa.. oh pasti enak kok espressonya, bukan espresso jahat, hahaha. 

Memberikan pilihan espresso apa yang bisa dicicipi bagi saya nilai lebih bagi sebuah kedai kopi. Saya yakin kedai kopi hari ini selalu eksplor rasa, tapi nggak banyak yang menyuguhkan pengalaman mengeksplor rasa untuk pelanggannya. Dan ketika diberi pilihan begitu, berarti barista dalam kondisi mengerti jenis biji kopi yang ia seduh.


Sebelum kopi datang, saya dan Mas Taufiq berdiskusi soal "kamu kalo ada yang nanya gitu merasa nyaman nggak?", tentu ini soal obrolan personal dari barista tersebut. Saya bilang. "Gak papa sih, cuma pengin obrolannya cepat selesai aja hahahaha." Kebetulan kami adalah orang-orang yang kepribadiannya cenderung lebih besar sisi introversion-nya. Pertanyaan personal bagi yang belum kenal sebelumnya tentu tidak masalah, hanya kadang bingung meresponnya.

Kalau di kedai kopi, saya tergolong orang yang duduk di bar, tapi hanya untuk diam saja dan melihat mbak-mas barista bekerja. Kadang kan ada tuh yang ngajak ngobrol, menanyakan mulai dari biji kopi yang enak sampai bagaimana alam semesta ini bekerja, sedang saya hanya duduk anteng, paling memotret sana dan sini. 

Selepas obrolan itu, tidak lama kopi datang. Asyik!


Halu Pink Banana yang muncul jadi perbincangan orang ini akhirnya saya cicipi juga, mereka mencatat flavor notes/taste likes-nya Banana dan Peach. Saat suhu masih panas, saya enggak mengingat rasa apa-apa dari lidah saya yang kemarin baru terbakar karena makan bakso terlalu panas hahahahah, hanya terasa buah-buahan banget aja. Setelah ia mulai dingin, mengingatkan pada sale pisang. 

Meskipun tahun lalu saya intens makan buah peach hanya untuk mencoba mengenali bagaimana rasa buah peach, tetap saja buah itu cukup asing untuk benar-benar diingat. Paling yang diingat sensasi segar saat buah mulai kita gigit, juicy sekali, uuuhhhh jadi pengin makan buah peach. 

Saya lebih sumringah ketika mencicipi espresso Strawberry Field-nya! Enaaakkkkk meski tidak bisa terlalu mendeskripsikan rasa enaknya. Yang jelas dominasinya bukan manis yang panjang, tapi kecut manis seger lucu gitu. Saya yakin 'mbak-mas kopi-kopian' kalau baca ulasan ini kesel, kalau nggak ngerti rasa kopi di3m aJ@h d3cH m3nd1Nk qAmu tUh. Saya hanyalah manusia basic yang suka kafein aja kok mbak-mas hahaha.

Penyempurna dari dua rasa kopi yang menyenangkan malam itu adalah baked cookies! Seneng bangeeeet kalau kedai kopi menyediakan cookies yang dihangatkan, jadi lembut saat dimakan, bukan cookies yang kering, ya. Meskipun saya suka kopi, bukan berarti bisa menikmati kopi sendirian, harus ada pendampingnya. Bagi saya croissant atau sejenis pastry nggak jadi favorit untuk pendamping mengopi, karena pastry cenderung kering, dikasih kopi jadi bikin haus hahahaha. 

Jadi bagi saya kopi dan baked cookies adalah kecintaan! Salah satu perpaduan yang pas!

Perpaduan favorit saya yang kedua adalah dengan cake yang teksturnya lembut, bukan yang spongy. Mau rasa apa aja, coklat, lemon, atau apapun kalau teksturnya lembut, uuuhhh jadi bikin nikmat kopinya. Tapi enggak tahu kenapa banyak kedai kopi yang lebih memilih cake-nya bertekstur spongy, jadi sedih huhuhu. Sama perpaduan yang saya suka selanjutnya tapi agak aneh adalah kopi dengan pizza hahahaha, tapi kopi dan baked cookies bersatu tak bisa dikalahkan. Cookies aja udaaaahhh.


Dari segi Meja Bekerjanya memang agak disayangkan di bagian dalam yang ber-AC tidak ada tempat yang nyaman untuk bekerja, hanya ada di luar yang lebih 'meja bekerja friendly'. Untungnya tempatnya luas banget, dan meskipun hari itu termasuk padat, bagi saya cukup aman untuk bekerja. Pelanggan-pelanggannya begitu menyenangkan. Tapi jangan khawatir, sepertinya saat saya datang Space Roastery sedang menyiapkan kedai kopinya untuk lebih nyaman lagi.

Jadi, terima kasih Space Roastery! Pengalaman yang menyenangkan!

Space Roastery ~ Yogyakarta
Instagram: https://www.instagram.com/space.roastery/
Maps:



Sibuk baca, banyak ngopi. Foto: Sophia Mega. Tamasya Kedai Kopi kali ini merupakan perjalanan Februari lalu, tapi karena Sophia Mega in...

Sibuk baca, banyak ngopi. Foto: Sophia Mega.
Tamasya Kedai Kopi kali ini merupakan perjalanan Februari lalu, tapi karena Sophia Mega ini sok-sok mau dipublish nanti (entah kapan), sampe kelupaan nulisnya. But here I am, ada cerita baru lagi dari kedai kopi yang tidak sengaja bertemu di kota yang selalu saya rindukan, Yogyakarta. 

Awalnya kami (rame-rame banget) nggak ada niat ke kedai kopi kali ini, ada satu kedai yang menurut teman saya, Yusril, asik untuk dikunjungi. Sayangnya saat kami sampai di tujuan awal, kedainya udah tutup. Buru-buru cari tempat pengganti, mengingat kami nggak lama di Jogja, yay akhirnya sampai di sebuah rumah teduh bernama Dongeng Kopi.

Turun dari mobil taksi online, lihat ada tulisan 'sibuk baca banyak ngopi', feeling saya ini bakal jadi kedai kopi favorit nomor dua setelah Koling Jogja. 


Mas Renggo Darsono (kiri), salah satu pemilik Dongeng Kopi. Foto: Sophia Mega.
Bermodalkan Google aja, nggak pake memastikan di Instagram, beruntung lah kami yang dapet pengganti yang lebih asyik dan lebih worth it. Mas Renggo Darsono, salah satu pemilik dari Dongeng Kopi juga lagi ada di kedai, kebetulan lagi diwawancara oleh media lain.

Perpaduan sastra dan kopi menjadi 'Dongeng Kopi' yang awalnya hanya cuitan tentang kopi dari alter @dongengkopi yang merupakan seorang perempuan paruh baya yang suka bersajak di Twitter pada tahun 2012 lalu. Baru lah tahun 2014 lahir kedai kopi ini, banyak banget kata-kata manis di dindingnya. Buat yang suka baca buku sambil ngopi, belieeeveeee meeeee you will love it!

Nggak hanya jatuh cinta dengan suasananya, tapi juga idealisme yang mereka bawa. Selain kampanye #StopKopiSobek (kopi sobek = kopi instan), Dongeng Kopi juga punya mimpi untuk menjadikan kedai kopi ini sebagai tempat lahirnya tokoh-tokoh besar seperti negarawan, politisi dan lainnya. 

Dongeng Kopi emang selalu jadi ruang untuk komunitas, mulai dari bedah buku, pameran fotografi, kelas mendongeng, menyeduh kopi sendiri, kelas menyeduh sampai kelas menulis. "Tempat yang tidak seberapa, jadi ruang-ruang generasi yang sehat," kata Mas Renggo yang ramah banget diajak ngobrol. 

Kata-kata yang paling saya suka dari Dongeng Kopi, "Yang dibicarakan akan menguap, yang ditulis akan mengabadi." Bikin makin semangat menulis! 
 

(Thank you @sherenregina & @dyo_lazu sudah mau difoto-foto)
 
Suasananya emang kayak rumah banget karena banyak sekat ruangan yang nggak dihilangkan. Bisa jadi, Dongeng Kopi gambaran rumah yang saya impikan. Pertama kali masuk akan disambut oleh bar penyeduh kopi dengan banyak pilihan biji kopi, ruangannya luas dengan dominasi kayu, ada juga bagian dinding yang dipenuhi dengan koran-koran yang warnanya sudah semakin pudar tapi makin terlihat autentik dan 'ruang anak sastra' banget serta tempat favorit saya adalah.. halaman belakang! 

Punya rumah yang halaman belakangnya luas yang bukan sekadar hiasan, tapi nanti akan ada kursi-kursi untuk jadi tempat menulis adalah bayangan atau impian dari dulu, duh betapa syahdunya nulis di sana. Parah banget, apalagi sore itu suasana Jogja lagi mendung, ngopi di halaman belakang Dongeng Kopi bikin nggak mau balik ke Malang.

V60 - Suroloyo, hand in frame: @sherenregina. Foto: Sophia Mega
Masih inget banget kalau di Dongeng Kopi saya punya kesempatan untuk menikmati kopi single origin milik Yogyakarta, Kopi Suroloyo. Diseduh oleh mas penyeduh yang saya lupa namanya, yang punya janji kita akan saling follow di Instagram tapi gak difollow-follow huhu, saya lupa detail rasanya, tapi ujungnya manis. 

Manis kayak semua kenangan yang ada di Jogja. Iya, terserah kamu, Meg, iya. 

Unik di sini, biasanya kopi akan ditemani dengan biskuit manis, tapi di Dongeng Kopi kami disuguhi semacam kripik pisang, tapi lebih tebel dan manis. Banyak banget single origin yang bisa dipesan di sini, tapi jangan pernah melewatkan coldbrew atau kopi dinginnya. 


Selain rasanya yang 'keluar' banyak, gak cuma 'seger' atau manis aja. Seinget saya keluar fruitynya. Pokoknya harus dicoba!
Mas Fito yang sedang menyeruput kopinya. Foto: Sophia Mega.
Tamasya kali ini bersama teman-teman yang beberapa baru pertama kali mencoba kopi yang diseduh manual. Tapi makin seru, makin asyik untuk diajak ngobrol soal rasanya. Kapan-kapan harus ngopi bareng lagi!
Indiebook Corner! Foto: Sophia Mega.
Ruang di sudut kanan Dongeng Kopi, yang membawa hawa 'pengin beli semua', akhirnya ada lima buku yang semua bukunya belum ada yang dibaca. Dongeng Kopi nggak sendirian, tapi berkolaborasi dengan Indie Book Corner, di lantai dua ada zona khusus untuk Indie Book Corner, semacam tempat ngantor mereka.

Dari lima buku tersebut, satunya adalah buku yang udah saya cari lama, Raden Mandasia. Saya mager untuk beli online, lebih suka langsung ke toko, waktu lihat ada bukunya langsung rada teriak, "Laaaah ini!"

Mungkin mas-mas yang jaga toko agak geli dengan tingkah laku itu huhuhu. Lalu novel Pedro Paramo yang saya beli karena ada mas-mas yang ngajak ngobrol, "Kamu suka baca novel?" Saya jawab baru-baru ini suka dan langsung direkomendasikan untuk beli novel tersebut. Yowis, mungkin beneran asik dan saya bisa membacanya, semoga segera terbaca semua! Nanti reviewnya ada di channel Youtube yah! 



Jogja, Jogja.. kenapa selalu ngangenin? Masih banyak kedai kopi yang memadukan buku dan kopi di Jogja seperti Blanco Coffee & Book, Lir Shop Yogyakarta, Kafe Luk Coffee & Book, Roti Papi Yogyakarta dan mungkin masih banyak lainnya. Sayangnya saya belum mengunjungi semuanya, mungkin itu alasan untuk kembali ke sana.
Pasti balik lagi ke Jogja, semoga tahun 2017 ini ada kesempatan kembali lagi, ya! Sampai jumpa lagi Jogja, ku selalu merindukanmuuuuu. 

UPDATE:
Dongeng Kopi Jogja udah gak di daerah Wahid Hasyim lagi, udah mau pindah (11 Mei 2017). Info selengkapnya bisa ke Instagram @dongengkopi. 

----
Dongeng Kopi
Jalan KH Wahid Hasyim No. 3, Condongcatur, Depok, 
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 
Instagram: @dongengkopi
Harga: single origin 25K, coffee milk based 17-27K.

Kedua kali menikmati cup kopi dengan suasana Yogyakarta yang selalu bikin rindu. Foto: Sophia Mega. Kenapa Yogyakarta selalu bikin kang...

kolingjogja
Kedua kali menikmati cup kopi dengan suasana Yogyakarta yang selalu bikin rindu. Foto: Sophia Mega.
Kenapa Yogyakarta selalu bikin kangen? Kali ini merupakan ketiga kalinya mampir ke Yogyakarta, sepulang dari sana tetep kangen, tetep pengin balik lagi. Apalagi kalau kangennya ditemani dengan lagu Kla Project- Yogyakarta sambil makan Bakpia Pathok. Waduh, makin bikin kangen. Solo trip ke sana masih jadi target yang harus terwujud!


penyeduh kopi jogja
Mas Dhika. Foto: Sophia Mega.
Seperti yang sempat saya ceritakan di post ‘Koling Jogja, Menikmati Budaya Kota di Setiap Cupnya’, saya masih terus kangen Coffee Blend-nya Koling. Ketika tau salah satu destinasi kota dari Study Excursie jurusan saya yang dilaksanakan oleh teman-teman himpunan Februari 2017 lalu adalah Yogyakarta, tujuan nomor satu buat saya adalah: “Pokoknya harus ke Koling Jogja!”


kopi keliling indonesia
Mas Kusuma (kiri), dan Mas Dhika (kanan). Foto: Sophia Mega.
Sebenernya bukan soal sekadar kopinya enak atau enggak. Ada experience tersendiri menikmati kopi di ikon kota, di Bank Indonesia Yogyakarta. Mas-mas penyeduh kopinya selalu ramah, bahkan Mas Dhika senantiasa sabar ketika mengirim pesan ke saya untuk minta hasil fotonya tapi tak kunjung-kunjung dikirim. Maaf ya Mas Dhika, abis nulis ini pasti dikirim kok, tapi nggak banyak foto yang bagus huhuhu.

Saya pesan dua cup, satu Blend Susu dan coklat panasnya. Tetap nikmat dengan suasana Yogyakarta. Pertama kali saya main ke Yogyakarta, saya ngerasa, “Kok kota ini panas banget ya? Lebih panas dibandingkan Surabaya.” Kedua dan ketiga kali presepsi itu udah terbuang, panas sih, tapi tetep ada angin sepoi-sepoi yang bikin kangen Yogyakarta.

coffee blogger indonesia
Jangan loepa foto. Masa gak punya foto terus? :(

Ada Mas Kusuma dan Mas Dhika yang siap menyeduh kopi sore itu. Dua mas-mas yang asik diajak ngobrol (meski pada akhirnya saya ribet sendiri dengan kamera analog yang sempat jatuh, jadinya malah ngomel A-Z karena takut kamera analognya kenapa-kenapa). Kapan-kapan kalau ke Yogyakarta semoga bisa bersua kembali, atau kalau lagi ke Malang berkabar lho ya!

Salah satu yang buat saya suka dengan budaya mengopi adalah: semua orang bisa cepat akrab dan disatukan dengan kopi. Main dari kedai ke kedai, hampir nggak pernah saya menemukan orang yang enggan untuk diajak ngobrol, bahkan ngajak ngobrol duluan, apalagi kalau di Yogyakarta. Kesempatan kali ini saya sempatkan juga ke Dongeng Kopi Jogja, orang-orang di sana juga nggak kalah ramahnya, bahkan saya dianterin ke Indomart terdekat buat ambil uang karena saya nggak ada cash. Baru kenal udah ngerepotin, oalah Meg, Meg.


coffee indonesia
Masih manual, termasuk pembuatan foam milk. Tapi kayaknya bakal berkembang sih, bakal lebih asik nih. Ditunggu ya kabarnya @kolingjogja! Foto: Sophia Mega.
Koling Jogja lebih asik buat difoto waktu malam hari sih, banyak bokeh yang asik untuk diabadikan. Susah-susah gampang gitu motret Koling, apalagi yang masih belajar kayak saya ini. Kapan-kapan harus ke sana lagi laaah buat motretin mas-mas penyeduh lebih bagus lagiiii.


Sudah terwujud ngopi lagi di Koling Jogja, sepulang dari sana @kolingjogja repost foto saya dengan caption manis. Huhuhu, mas-mas Yogyakarta ini manis-manis ya, halah. Maturnuwun kopi dan coklat yang enak, besok-besok kalau ke Yogyakarta pasti mampir. Lokasi mereka nggak hanya ada di Bank Indonesia Yogyakarta kok, mereka ada di beberapa spot: Alun-alun Kidul, Jec dan Superindo Pawirotaman.


kusuma koling jogja
Maturnuwun Mas Kusuma & Mas Dhika! Foto: Sophia Mega
Kalau mau lebih tau cerita dan konsep lengkap dari Koling Jogja, bisa baca tulisannya di sini ya. Saya emang penginnya kalau udah nulis satu kedai terus gak berhenti di satu tulisan itu aja, kalau ada cerita baru pasti saya ceritakan. Menurut saya, cerita di kedai kopi nggak berhenti di satu tulisan, apalagi kalau #TemanMengopi-nya berganti-ganti. Sementara, teman-teman bisa cek ceritanya di Instagram dengan tagar #TemanMengopi. Selanjutnya semoga senantiasa ada kesempatan dan waktu untuk sekadar bercerita di sini, biar manfaat obrolannya nggak berhenti di saya, tapi juga di teman-teman pembaca.

Sebenernya banyak banget kedai kopi yang belum sempat dituliskan ceritanya. Terus stay tuned di Instagram untuk informasi tulisan terbaru atau sering-sering saja mampir ke sini. Sampai jumpa di cangkir selanjutnya dan dadaaah! 

[KOLING JOGJA] Yang saya percaya, kedai kopi atau bahkan kopi keliling akan selalu bisa bercerita dengan cara yang berbeda. Foto: Sophia M...

KOLING JOGJA
[KOLING JOGJA] Yang saya percaya, kedai kopi atau bahkan kopi keliling akan selalu bisa bercerita dengan cara yang berbeda. Foto: Sophia Mega

Sederhana yang menjadi alasan datang dan mencari di mana Koling Jogja berada, menemukan di explore Instagram. Mencari kedai kopi dan akun kopi menjadi salah satu rutinitas di beberapa waktu tertentu. Tak perlu membuang waktu untuk sekadar memencet follow dan menuliskannya pada deretan list kedai kopi yang belum sempat didatangi saat menemukan sebuah tempat penyeduh kopi yang rajin ‘bercerita’.

Bercerita tak selalu dengan caption panjang di akun Instagram-nya, seperti Koling Jogja. Mereka memang cukup rajin bercerita tentang bagaimana tantangannya menyeduh kopi dengan konsep berkeliling dari satu ke tempat lainnya dengan jujur dan bahasa yang sederhana. Tapi Koling menyampaikan cerita dengan cara yang berbeda.

Kami—saya dan Arif, datang ke Bank Indonesia Jogja untuk mencari Koling—Kopi Keliling Jogja. Awalnya saya agak putus asa, apa iya bisa menemukan Koling di sini? Berdasarkan post Instagram, mereka memang terakhir berada di sini, tapi dengan lokasi yang cukup luas dan dipenuhi bis-bis besar… saya hanya berharap berhasil menemukannya.

Kopi Keliling Jogja
Kopi Keliling Jogja. Foto: Sophia Mega
Ternyata ada! Tepatnya di balik bis besar. Ketika berhasil menemukannya, saya spontan mengatakan, “Lah iniiii!” Sampai membuat Mas Asep ikut menyapa, “Nyariin toh Mbak?”

Booth keliling punya desain yang mewah dan asik banget bagi saya, ada beberapa menu yang bisa kita nikmati. Ada Kopi Arabica 10K, Robusta 6K, Blend (Murni 6K, Susu 10K) dan V60 (Arabica 12K, Robusta 8K dan Blend 10K). Awalnya ingin membeli Blend Susu, tapi Arif langsung menyela, “Aku beli Blend Susu, kamu V60 aja.” Emang suka gitu nih anak huhuhu. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli V60 Blend.

Bahasa dari menunya memang begitu sederhana. Kita tidak perlu memilih jejeran single origin, tak masalah, karena treatment melayani penikmat kopi di jalan dengan di kedai tentu berbeda. Apalagi tujuan dari Koling sendiri agar segala kalangan bisa menikmati kopi, siapa pun yang mereka temui di jalan.

Membuat foamed milk-nya pun manual seperti ini. Foto: Sophia Mega
Setelah balik dari Koling, melalui Whatsapp saya ngobrol dengan Mas Dayu—pemilik Koling. Tanpa berpikir, Mas Dayu langsung memberikan kontaknya. Padahal saya hanya blogger biasa yang ingin mendengar cerita dari berbagai kedai kopi di Indonesia (penginnya sih gitu).

Mendengar ceritanya, ah makin jatuh cinta dengan kedai kopi dengan apapun konsepnya namun dibangun melalui passion, bukan sekadar memanfaatkan pasar yang lagi doyan-doyannya menyeduh kopi. Jatuh cinta karena mereka selalu punya cerita, selalu punya pesan yang ingin disampaikan melalui kopinya.

Mas Dayu sempat menyampaikan tentang harapannya mengenai budaya mengopi di Indonesia, “Budaya itu butuh proses dan proses itu bukan hanya melalui kedai, melalui jalanan yang menyapa semua orang. Koling dimulai di jalanan.”

Waktu saya datang, yang sibuk menyeduh ada Mbak Fatimah dan Mas Asep. Foto: Sophia Mega
Mas Asep dan Mbak Fatimah sibuk menyeduh, saya sibuk memotret dan melihat pelanggan lain menikmati kopi dengan cara yang lain. Agak susah lho menemukan kopi dengan kualitas baik di tengah keramaian, kalau di tempat semacam Bank Indonesia Jogja (sangat dekat dengan Malioboro) ya paling kopi sachet adanya. Saya tergelitik menahan tawa ketika ada anak kecil melihat toples berisi biji kopi lalu bilang kepada temannya, “Ini lho, kacang.”

Duh, Deeeek hahahaha, polos banget.

Serius amat sih... Foto: Sophia Mega.

Melihat Bapak-bapak yang mungkin tak terlalu akrab dengan kopi Arabika lalu memesan kopi Robusta. Atau gerombolan Bapak-bapak yang memesan lalu bingung melihat menunya, karena di sana tidak ada menu ‘kopi hitam’.

Mengopi berdua sama yang tersayang emang terbaik. Halah apasih. Foto: Sophia Mega


Ah akhirnya datang juga pesanannya!

Menyeruput V60 Blend dari Koling dengan khidmat, anjir nikmat! He he he. Bahkan saat saya menulis ini—sebulan sesudah menyeruput kopinya, masih ingat dan tergambar jelas rasanya. Karakternya sama seperti yang saya suka, asam dan pahit yang seimbang. Yah, pokoknya enak! Lalu saya mencoba Blend Susu milik Arif dan enak juga! Duh, dibawa pulang ke Malang bisa nggak sih?

Maaf lho ya saya komentarnya masih antara ‘enak’ dan ‘nggak cocok’ aja. Belum termasuk Coffee Snob hahaha. Kudu belajar cupping dan memahami kopi lebih dalam lagi sepertinya, biar tulisan ini semakin berwarna. Tapi setidaknya semoga tulisan di sini bisa dibaca oleh siapa pun dan makin ngerti kopi dengan bahasa yang sederhana, ya!

Kami menghabiskan menyeduh dengan mengobrol, saya ngobrol dengan beberapa tim Koling sebelum Mas Dayu datang dan terburu-buru mau memindahkan mobil dan booth karena mau pindah ke Alun-alun. Sedangkan Arif malah ngobrol sama supir bis, semenjak dia jadi tour leader jadi makin akrab dengan supir-supir bis, ajaib memang.

Mas yang sudah baik hati memperbolehkan saya membayar hanya Rp15.000. Ngerepoti memang. Foto: Sophia Mega
Koling memang hanya bisa kalian temukan di beberapa ikon budaya Jogja, seperti yang saya bilang tadi, Koling bercerita lewat cara yang lain. Dengan berada di berbagai ikon Jogja seperti Bank Indonesia, Alun-alun Kidul, Tugu Yogyakarta dan Sekaten. Ada nilai budaya yang ingin Koling angkat dari setiap cup kopinya. Rajin aja cek akun Instagram @kolingjogja, insyaAllah mereka selalu berkabar sedang ada di mana.

Baru aja berkenalan, eh saya udah di-follback oleh akun @kolingjogja. Makasih lho Mas! He he he. Bahkan ketika seharusnya saya membayar Rp20.000 untuk dua cup kopi, karena kami adanya Rp15.000 dan uang seratus ribu utuh (sedangkan mereka nggak ada kembalian), akhirnya saya bayar Rp15.000. Baru dateng, ngerepotin, dasar Mega.

Niatnya, kami ingin menutup perjalanan dengan satu cup Blend Susu Koling. Tapi apalah daya, mereka sedang tidak ada di Jogja di hari terakhir saya di sana, mereka sedang ada meeting di Semarang. Kalau kalian domisili Jogja dan Semarang, mampir lah ke @kolingjogja atau @kolingsemarang. Tenang, nggak akan bikin maag kok. Kopi yang diolah dengan baik tidak akan membuat maag atau deg-degan.

Maturnuwun Mas Dayu dan tim Kopi Keliling! Bikin kangen! Foto: Sophia Mega
Mampir, menyeruput kopi sambil menikmati ikon-ikon unik di kota Jogja dan Semarang. Menikmati kopi dengan suasana yang berbeda dan keramahan Koling melayani tamunya. Terima kasih Koling, bikin rindu Jogja aja sih! Tanggung jawab hayo! Kapan-kapan pasti akan mampir untuk sekadar menikmati kopinya lagi.

Saat memotret tulisan 'Open' saya malah bikin talinya copot huhu. Untung ada Bapak ini yang baik sekali hehe. Foto: Sophia Mega. ...

Klinik Kopi
Saat memotret tulisan 'Open' saya malah bikin talinya copot huhu. Untung ada Bapak ini yang baik sekali hehe. Foto: Sophia Mega.
Kalau bukan karena kopi mungkin rencana ke Jogja kemarin nggak akan terwujud. Kalau bukan karena Klinik Kopi rencana ke Jogja kemarin hanya menjadi wacana dan tinggal menjadi kenangan semata. Kalau bukan karena keduanya, mungkin bukan Jogja yang menjadi tujuan utama.

“Gak papa kok aku ke Jogja sehari aja, abis ke Klinik Kopi terus pulang,” ucap saya  menerima keadaan bahwa tiket kereta yang kami pesan ternyata pas banget kami UTS. Tapi syukurlah kami bisa memajukan jadwal tiket kereta yang kami pesan dan bisa lebih lama di Jogja, mendengarkan cerita langsung dari Jogja.

Sesampainya di Jogja, setelah istirahat untuk beberapa jam, kami menyiapkan diri ke Klinik Kopi dengan sepeda motor sewaan. Waktu di jalan, saya memastikan lagi di Google di mana lokasi Klinik Kopi berada, tapi saya merasa janggal karena tulisannya hari ini closed. “Lho kok closed?”

Agak nggak percaya, saya pastikan ke akun Instagram @klinikkopi dan lantas, “Laaaah iya, ini kan hari Minggu astaga! Tutup dooong, gimana nih?” Padahal kami sudah agak jauh dari tempat menetap kami, kalau nggak salah udah di kawasan Sawojajar, Jogja. Singkat cerita setelah panik dan bingung mau kemana, kami mampir ke Studio Kopi dan baru esoknya ke Klinik Kopi.

Berdasarkan di akun Instagram Klinik Kopi, lokasi kedai satu ini emang masuk gang dan agak susah dicari. Untungnya sebelumnya kami mampir ke Smile Coffee & Tea, jadi diberi arahan jelasnya, lokasi dua kedai ini memang gak berjauhan kok,. Dan ternyata emang gangnya kecil, tapi asal dengan GPS nggak bakal bingung-bingung banget kok.

mas pepeng
Mas Pepeng, yang punya Klinik Kopi. Foto: Sophia Mega.
Ada banyak alasan yang membuat saya penasaran banget dengan Klinik Kopi. Pertama kali mengetahui kedai kopi satu ini dari Mbak Ama—travel blogger simplesillyjourney.com, “Meg coba deh buka akun Instagram @klinikkopi, mereka selalu bikin caption edukasi, panjang sih,”

Dari cerita-cerita yang disampaikan melalui caption tersebut lah yang bikin saya makin suka dan penasaran dengan kedai satu ini. Panjang sih emang, tapi nggak bosenin dan jadi selalu punya hal dan pengetahuan baru. Hal yang paling membuka mata saya adalah ketika salah satu post, Klinik Kopi memiliki harapan jika semua orang tak hanya sekadar mengopi di kafe. Tapi terbiasa menyeduh kopi dari rumahnya sendiri, sampai pada akhirnya mereka terbiasa dengan takaran mana yang disuka, nggak perlu teori-teori yang rumit.

Klinik Kopi hanya menyediakan kopi Indonesia dan diseduh dengan V60. Foto: Sophia Mega.
 Sejak saat itu lah saya yang awalnya malas belajar, langsung pulang ke rumah, mengambil Frenchpress yang entah dapat dari mana dan nggak dipake, langsung nyoba meski selalu gagal sih hahaha. Tapi setidaknya mencoba.

“Kalau aku sampai di Klinik Kopi, aku mau check in dan captionnya cuma emot senyum aja. Udah gitu aja,” ucap saya ke Arif. Saking bahagianya, saking rasa penasaran itu akhirnya terjawab. Alay emang. Saya emang udah kadung cinta sama cerita-cerita yang disampaikan di media sosial, saya baru menemukan Klinik Kopi yang rajin mengedukasi melalui media sosialnya. Norak!

Menunggu, tapi nggak ada Wi Fi, ya! Foto: Sophia Mega.
Pas banget, karena saya nggak suka gitu ngopi tapi sibuk hapean. Mending pulang aja, ngopi sendiri-sendiri hehehe. Foto: Sophia Mega.
Saya datang pukul empat sore, tepat saat Klinik Kopi baru buka. Padahal baru buka, eh udah ramai aja, udah antri. Kalau nggak salah, kami dapat urutan ketiga kalau nggak keempat. Sambil duduk di tempat lesehan dan nggak ada Wi Fi, ada kok minuman pembuka untuk menunggu. Di sini juga dipisahkan untuk orang yang merokok dan nggak, nah ini saya suka banget hehehe.

“Ah, akhirnya giliran kami!”

Ya, Klinik Kopi memang memesannya antri satu persatu karena nggak ada menu jadi kudu ngobrol sama Mas Pepeng, barista di Klinik Kopi. Pertanyaan pertama yang ia tanyakan adalah, “Biasa ngopi di mana?”

biji kopi klinik kopi
Biji kopi di Klinik Kopi. Foto: Sophia Mega.

Yah saya jawab di kedai-kedai lokal Malang, tapi banyak lho yang jawab dengan, “Starbucks.” Sejak saya ngerti single originnya Starbucks nggak enak (sorry to say, tapi Frappuccinonya enak banget), saya udah maleees banget ke Starbucks. Padahal dulu selalu pengin ke sana, sampe di Malang baru ada Starbucks, saya belum pernah sama sekali ke sana. Kedai kopi lokal masih selalu juara kok!

Mas Pepeng bertanya mau kopi yang seperti apa atau suka dengan kopi yang asamnya seperti apa. Sebenarnya saya suka dengan yang pahit dan asam seimbang, tapi karena di akun Instagram Klinik Kopi selalu menceritakan kopi dengan aftertaste manis, jadi pengin tahu karena selama ini belum coba. Alhasil saya mencoba Kopi Bu Nur.

Kopi di sini selalu diseduh dengan air yang panasnya 80 derajat dengan V60, saya lupa sebutan tekniknya apa, yang jelas Mas Pepeng nggak menggunakan teknik pour over biar tetap menjaga Bodyguard dari kopinya sendiri. Yang jelas teknik ini bikin kopi tersebut cocok diperut Arif, karena perut Arif sama kopi tuh gampang rewel. Sedangkan saya sendiri cocok-cocok aja.

Banyak yang dari luar negeri ke Klinik Kopi. Foto: Mohammad Arif.
Di sini jangan harap ada Cappuccino atau bahkan Latte Art, Mas Pepeng bilang, “Ini kan Indonesia, kalau Cappuccino dan semacamnya dari Italia, nggak perlu deh,” ucapnya pada salah satu pelanggan dari... entah Negara mana. Kalau nggak salah di sini juga nggak ada gula deh, jadi tamu diajak untuk menikmati kopi itu sendiri, tanpa gula.

Kopi Bali Kintamaninya Klinik Kopi buat saya yang paling favorit! Foto: Sophia Mega.
Nggak lupa dengan dua kue dari Dapur Tetangga. Menikmati perpaduan asam dan manis Kopi Bu Nur dengan kue yang manis. Arif dengan Kopi Batak Tolu yang begitu ia suka. Lokasinya sejuk dan bikin nyaman. Sayangnya, saya nggak bisa sekadar ngobrol banyak dengan Mas Pepeng karena udah banyak banget yang antri. Bagi saya ngobrol saat pesan tadi kurang banyak.

Kami menikmati kopi dan kue di tempat roasting dan ngobrol dengan seorang mas-mas yang ternyata juga jauh-jauh dari Malang untuk ke Klinik Kopi. Bahkan, sama-sama dari kampus yang sama. Kebetulan sekali.

Sepulang dari sana saya membawa biji kopi Bali Kintamani, mereka hanya jual biji ya, karena kata Mas Pepeng kalau beli bubuk itu ibarat kita udah masak mie tapi makannya masih besok-besok. Dengan sekitar 225 gram, kita bisa membelinya dengan harga Rp120.000.

Kue dari Dapur Tetangga. Foto: Sophia Mega.
Bayarnya di sini nih. Foto: Sophia Mega.
Kopi di sini cukup Rp15.000 saja kok, bedanya dengan kedai lainnya yang satu porsi bisa 2-3 gelas, di sini hanya secangkir saja. Kue dari Dapur Tetangga bisa dinikmati dengan Rp10.000. Kami cukup bingung gimana bayarnya, eh ternyata bayarnya tuh dimasukin ke sebuah tempat gitu, jadi kita secara mandiri menghitung dan memasukkan ke tempat seperti foto di atas.

Perjalanan kami ditutup dengan senyuman puas ngopi di Jogja. Kami pulang dengan bahagia, meski sempet pengin mampir lagi ke salah satu tempat ngopi yang menurut saya paling berkesan selama di Jogja. Hehe iya, ada yang lebih berkesan, di post selanjutnya ya! Kalau ke Jogja, kalian harus mampir ke Klinik Kopi dan ratusan kedai kopi lainnya.