 |
Suasana Nomaden Coffee saat malam hari. Foto: sophiamega |
Selalu jatuh cinta dengan kedai
kopi yang punya banyak cerita. Sepulang dari mendengar cerita dari pemilik atau
baristanya untuk bahan blog, selalu ada senyum puas dan rasa segera ingin
menulis—meski waktu sudah menunjukkan jam satu pagi. Ada kebahagiaan yang susah
diungkapkan dengan kata, karena sebenarnya ini hanya lah ritual mengopi dari
satu tempat ke tempat lain, menyimak ceritanya, lalu menuliskannya di blog yang
pembacanya juga tak seberapa.
Sama seperti malam ini, kali
ketiga bertamu ke Nomaden Coffee—Pasar Tawangmangu, akhirnya saya punya kesempatan
berbincang dengan pemiliknya. Akrab dipanggil ‘Mas Satya’, akhirnya ia punya
waktu berbagi cerita setelah merampungkan makan malamnya karena kedai sudah closing untuk menyeduh puluhan cangkir
kopi. Ini waktunya kembali mendengar, menyimak dan berbagi cerita untuk pembaca
di blog—yang tentu memberikan kebahagiaan untuk diri saya sendiri.
 |
Satya, pemilik sekaligus penyeduh kopi di Nomaden Coffee. Ia masih menikmati proses penyeduhan kopinya, makanya masih setia menyeduh di kedainya. Foto: sophiamega. |
Impresi yang paling saya ingat
dari Mas Satya adalah, setiap saya motret, ia selalu perhatian. “Mau difoto ya,
Mbak? Tak taruh mana ini cangkirnya?” Perhatian semacam itu yang saya maksud,
peka dalam mengambil posisi ketka mau difoto. Hahahaha, sebenarnya nggak papa
natural aja, karena ya itu tantangannya motret penyeduh kopi, memang menunggu
momen. Tapi kalau semua penyeduh kopi dan barista seperti Mas Satya ini, wah ya
saya seneng, saya jadi ada kesempatan menepikan atau menambahkan sedikit barang agar fotonya semakin asik.
Nomaden Coffee memang tak serta
merta ada di Pasar Tawangmangu yang saat ini ditempati dan dikenal dengan tagar
#ngopidipasar-nya. Tahun 2014 merupakan awal di mana Mas Satya memberanikan
diri menggowes sepedanya untuk menyeduh kopi, konsep ini dikenal dengan ‘Coffee Bike’. Di Malang sendiri ada
beberapa penyeduh kopi yang memulai dengan konsep ini, seperti Kopi Pancal dan
Brewcycle Malang.
 |
Semua menggunakan manual brewing dan pour over menjadi alat seduh yang Nomaden Coffee selalu gunakan. Foto: sophiamega. |
Sampai pada District Coffee yang
mempercayakan operasional penyeduhan kepada Nomaden Coffee, kolaborasi begitu
lah sederhananya. Masih tetap berkolaborasi hingga saat ini kok, tapi akhirnya
Nomaden Coffee bisa membuka kedainya di Pasar Tawangmangu setelah dua tahun
sejak pertama kali ia ada.
Berjalan cukup lama membuat Mas
Satya tetap yakin meskipun tempatnya di pasar dan cukup tersembunyi. Di balik
itu ada pengalaman berbeda yang menurut saya ditawarkan dari Nomaden Coffee.
Mungkin penikmat kopi terbiasa menyeruput kopinya di ‘kafe’, tapi kini mereka
berteman dengan suasana merakyat dan setiap cangkir kopinya yang nikmat.
 |
Suasana dalam kedai, foto: Andrea Tya. |
Kopi yang pertama kali saya
nikmati di sini adalah Bali Kintamani bersama Teman Mengopinya Mbak Andrea,
katanya ada citrus jeruk, brown sugar dan
coklatnya tipis. Pertama kali sruput, duh nikmat.. meskipun saya masih
menerka-nerka, “Ini mananya yang brown
sugar sama coklatnya?”
 |
Taufiq Anam. Foto: sophiamega |
Kemarin, Mas Taufiq yang sempat
menjadi Teman Mengopi saya di Jakarta Selatan datang ke Malang, ya ngopi dong
kita, bareng sama Mas Adhit juga. Kopi tubruk Bali Kintamani jadi pilihannya,
penasaran deh kalau di-tubruk gitu
gimana rasanya.. dan ternyata enak banget! Citrus jeruknya lebih terasa
dibandingkan pakai filter.
A
little note: kalau
ada yang belum tau kopi tubruk dengan kopi filter please leave comment below ya! Saya pengin tau juga apakah pembaca
blog saya udah paham nih dengan istilah-istilah ini. Kalau belum paham,
selanjutnya saya buatkan tulisan khusus. Jangan maloe-maloe, dulu saya juga gak
tau.
 |
Nomaden Coffee. Foto: sophiamega |
Sekali waktu, saya diberi
kesempatan mencoba beberapa kopi yang baru diseduh karena saya ingin tau beda
rasa kopi yang cenderung citrus jeruk
dengan citrus mangga. Sempat
merasakan kopi Banjar Negara yang soft, asam
dan citrusnya ringan banget tapi manisnya rada panjang. Semoga yang saya
rasakan benar ya hahaha, karena saya masih pemulaaaaa banget buat peka dengan
setiap rasanya.
Maturnuwun Mas Satya atas saran
biji kopi dan keterbukaannya. Asiknya di sini, Mas Satya dan teman penyeduh
lainnya (Mas Yus, Mas Firman, dll) bisa terbuka untuk share rasa kopinya. Jadi saya bisa belajar deh setelah sekian lama
selalu memohon-mohon para pecinta kopi untuk mendeskripsikan rasanya. Kalau di
sini saya bisa luwes tanya apa saja dan belajar banyak hal.
 |
Kopi Susu Filter. Foto: sophiamega. |
Di sini tetap ada kopi susu (bisa
tubruk atau filter) dan green tea lho, jadi nggak perlu khawatir yang memang tidak
terbiasa dengan kopi. Kalau mau sambil menikmati jajanan, Nomaden Coffee memang tidak menyediakan, paling ya gorengan atau
cemilan kripik. Tapi di sebelahnya ada Serigala Food (jualan spaghetti gitu),
boleh lah pesan di toko sebelah. Masih di area yang sama ada pecel enak dengan
porsi besar yang bisa dinikmati, tanya aja Mas Satya atau yang lain di mana
pecel yang enak di deket situ, pasti nanti ditunjukin.
Berhijrah menjadi salah satu
makna di balik nama ‘Nomaden Coffee’, ingin selalu ke arah yang lebih baik.
Yang tadinya Mas Satya bekerja, akhirnya membuka usaha sendiri. Awalnya Nomaden
Coffee dengan konsep Coffee Bike-nya,
kini dengan konsep pasarnya. Tak berhenti di situ saja, Mas Satya memiliki
harapan agar bisa lebih lama di Pasar Tawangmangu ini, kalau bisa memiliki hak
milik tokonya sendiri. Kemudian membuka kopi pasar di kota lain—yang tentunya
dengan konsep dan sistem yang rapi dan lebih matang. Berkembang ke roastery—memperbanyak produksi biji juga
menjadi harapannya.
Mendengar harapan tersebut,
tentu saja saya menyambut dengan aamiin dalam hati. Tapi yang jelas, semua
penyeduhnya harus peka dengan orang-orang seperti saya yang mau motret dan
ingin tau banyak soal kopi ya, Mas! :p *ooo banyak maunya kamu, Meg*
 |
Thank you Mbak Andrea! |
Ada lebih banyak cerita yang
Mas Satya sampaikan, tapi cerita tersebut nggak berhenti dengan pemiik dan kedainya
dong. Teman Mengopi saat saya bertamu di sini juga nggak kalah punya cerita
seru. Kali pertama ke sini, saya ditemani oleh mbak-mbak yang selalu perhatian
dan penuh kasih sayang pada saya, Mbak Andrea. Pokoknya kalau ke tempat kuliner
bersama Mbak Andrea, soal rasa, proses pembuatannya, aman lah! Bahan tulisan
saya lebih banyak dan lebih detail.
Mbak Andrea jauh lebih dewasa
dibandingkan saya dari segi umur dan pemikiran, yah itu lah kenapa saya selalu
banyak bertanya padanya. Mulai kenapa kita harus S2, rules kesopanan, bercerita tentang orang tua sampai kisah mantan.
Rumpik ya, tapi pemikiran saya jadi lebih diluaskan. Jangan lupa terus ajak
Mega mengopi ya Mbak, mwah!
 |
Yuk temani mengopi! Foto: sophiamega. |
Kopi, Teman Mengopi dan cerita
yang tak ada habisnya membuat saya tak akan bosan dan ingin kembali ke Nomaden
Coffee. Merayakan hari dengan berbagai single
origin kopi, teman terbaik dan cerita, lalu menuliskannya, untuk
sering-sering bersyukur karena telah menemukan apa yang membuat saya bahagia. Cheers!
Nomaden Coffee, Ps. Tawangmangu, Jl. Tawangmangu No.G17. Buka pukul 13.00-22.00 WIB. Harga Rp8.000-Rp15.000. Instagram @nomadencoffee.
Temukan Penulis
biasanya penulis lebih banyak mengoceh di sini