Showing posts with label Bali. Show all posts

Sekitar pukul enam pagi setidaknya saya harus naik motor untuk mengantarkan Mas Taufiq dari Denpasar ke Bandara Ngurah Rai karena ia ha...


Sekitar pukul enam pagi setidaknya saya harus naik motor untuk mengantarkan Mas Taufiq dari Denpasar ke Bandara Ngurah Rai karena ia harus kembali ke Tangerang. Di hari itu, saya juga sudah berniat harus mampir ke Periplus, tapi karena Periplus yang saya tuju baru buka sekitar pukul sepuluh pagi, saya berpikir.. harus mencari kedai kopi!

Siapa manusia yang ke Bali malah pergi ke kedai kopi dan toko buku? Manusia membosankan itu adalah saya, bernama Sophia Mega.


Saya tidak terlalu mengerti kedai kopi di Bali, yang ada di kepala saya hanya ada: Hungry Birds, Mitos Kopi, Red Spatula Coffee & Roastery, dan beberapa yang agak jauh dari bandara. Di saat yang seperti, google adalah jawaban. Dari sekian kedai kopi, Whale and Co Bali adalah kedai kopi yang sudah buka mulai pukul 08.00, dengan nama yang super gemes, nggak ragu lagi untuk berangkat hehehe.

Sebenarnya kedai kopi minimalis adalah konsep yang keren, tetapi ketika semua memilih konsep ini, agaknya merasa bosan juga boleh ya? Saat ke Whale and Co Bali, kedainya dipenuhi warna biru dan kuning. Tentu ada gambar paus-paus berwarna kuning yang menggemaskan! Rasa riang sudah terasa meskipun baru saja memarkirkan sepeda motor.

Agenda mengopi pagi itu sebenarnya bukan untuk Tamasya Kedai Kopi, tetapi memang untuk menunggu jam buka toko buku yang saya incar dan juga untuk bekerja. Ya gitu kehidupan orang yang kerjanya work from home. Literally kerja di mana aja, kerja kapan aja, kerja pas hari kerja, kerja pas liburan juga hahahaha. Jadi itulah sebab saya tak memotret banyak. Bar Whale and Co Bali saat saya datang meskipun masih cukup pagi sudah terlihat sibuk, suasana yang saya suka untuk sebuah bar kedai kopi.


Saya memesan cappuccino dan Organic Granola, meskipun tak punya bayangan Organic Granola isinya apa saja.


Untuk cappuccinonya (37.000 IDR) memang bukan tipe yang saya suka banget, yang rasanya lembut dan manis. Rasanya memang 'agak tebel' ya, tetapi tidak masalah, saya masih bisa menikmatinya. Kalau bahasa anak Malang, 'los, gak rewel' hahaha.

Ketika Organic Granolanya datang, saya cukup terkejut sebenarnya. Wah, ternyata oatmeal kalau dicampur dengan susu, diberi plain yoghurt dan buah-buahan enak banget ya? Saya sebenarnya tidak terlalu suka oatmeal, suka granola yang gede-gede gitu bentuknya. Satu mangkuk untuk seharga 47.000 IDR bagi saya cukup worth it, karena isinya banyak banget sampai bingung gimana cara menghabiskannya. Sejak mencicipi Organic Granola, saya kepikiran untuk membuatnya sendiri di rumah, meski nyatanya realisasinya nol hahahaha. Memang lebih enak rebahan daripada berusaha memasak sesuatu yaampun.


Ide yang bisa diculik dari Whale and Co Bali adalah ia menyediakan bagi siapa saja yang mau mengambil ampas espresso untuk body scrub! Biasanya teman-teman yang sudah dekat dengan kedai kopi tertentu, bisa dengan enteng meminta ampas espresso ke baristanya. Tapi dengan cara Whale and Co Bali, siapa saja jadi punya kesempatan untuk mencoba, dan jadi salah satu media mengenalkan proses pembuatan kopi.

Ah, satu lagi, hospitality mereka sangat menyenangkan, saya sempat ngobrol sedikit dengan baristanya yang ternyata juga sempat tinggal di Malang hehehe. Semoga bisa kembali mampir ke Whale and Co Bali! :)

Whale and Co Bali
Ruko Sri Kresna, Jl. Kresna, Seminyak, Kuta, Badung Regency, Bali 80361

 

Sewaktu ke Bali tahun lalu, saya melewatkan kesempatan untuk bisa bertamasya ke Mitos Kopi. Pada Juni 2019 lalu, saya sempat mampir ke ...


Sewaktu ke Bali tahun lalu, saya melewatkan kesempatan untuk bisa bertamasya ke Mitos Kopi. Pada Juni 2019 lalu, saya sempat mampir ke Mitos Kopi tapi tak sempat singgah, karena luar biasa penuh. Mitos Kopi merupakan sebuah kedai kopi yang beberapa kali disebut teman di Malang, yang menarik sebenarnya karena bagaimana Mitos Kopi bisa mengubah sebuah ruko yang kecil menjadi tempat yang menyenangkan untuk singgah.

Tahun ini, pada Agustus 2019 lalu, akhirnya ke Mitos Kopi juga, karena Mas Taufiq ingin mengopi bersama kedua teman lamanya, dan salah seorang temannya memang sudah jadi langganan di sana. Kali pertama saya mengopi di Mitos Kopi adalah saat baru saja menyelesaikan acara yang saya buat di Denpasar, Bali. Kelas kecil yang membahas tentang personal branding, dan ternyata lelah sekali. Butuh kopi agar bisa kembali riang menikmati Bali.  


Seperti biasa, saya memesan cappuccino saat itu. Esok harinya sebenarnya saya juga kembali ke Mitos Kopi, dan memesan single origin-nya untuk diseduh manual. Single origin yang ada pada hari itu lebih banyak dari Hungry Bird. Tapi kalau melihat deretan single origin yang diunggah di Instagram @mitoskopi, mereka juga sering menyediakan single origin yang roastery-nya di luar Bali.

Ketika cappuccino datang, tentu difoto terlebih dahulu lalu menikmatinya, saya senang! Sebab menemukan tipe cappuccino yang saya suka! :) Manis (tentu tanpa gula) dan tidak pahit. Single origin yang saya pesan, Eithopia Hungry Bird-nya pun enak! Kesel nggak kalau cuma bilang enak? Sebenarnya kalau urusan single origin saya menakar urusan enak atau tidak enak itu dengan: tidak ada rasa mengganggu dan manis (dan tentu manis dalam artian tanpa gula).


Teman yang menjadi langganan Mitos Kopi merekomendasikan 'es kopi susu'-nya Mitos Kopi, dan Mas Taufiq memesannya. Sebenarnya saya cenderung yang 'biasa-biasa saja' kepada 'es kopi susu'. Es kopi susu kebanyakan itu hilang saat 'sruputan' pertama hingga sudah habis. Saat dinikmati, yang terasa hanya segar, bukan 'habis minum kopi'. Jadi saat di kedai kopi, saya cenderung malas pesan es kopi susu.

Rupanya Mitos Kopi bisa 'mengungkap' mitos yang saya buat sendiri itu tidak benar. Es kopi susu milik Mitos Kopi saat di-'sruput' (a first sip) udah berasa 'rich', jadi rasanya nggak hanya lewat di tenggorokan.

Ketika berada di depan pintu Mitos Kopi, tertulis tagar #ourtasteisnotamyth, yang keren sekali, tetapi tak banyak dibahas di media sosialnya.


Untuk kedai kopi yang kecil, Mitos Kopi adalah kedai kopi yang nyaman. Memang saya cenderung suka dengan konsep kedai kopi yang kecil, tetapi tidak semua kedai kopi kecil bisa mengonsep tempat duduknya menjadi nyaman untuk bekerja dan sekadar nongkrong bersama teman. Hanya saja, saat dua kali saya ke sana, memang cenderung kondusif. Tetapi, kalau tak beruntung, kita bisa kehabisan tempat duduk dan bagi saya hal tersebut tak jadi masalah. Kalau penuh, ya hanya perlu pindah ke kedai kopi lainnya.

MITOS KOPI
Jl. Arjuna No.25, Dauh Puri Kaja, Kec. Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali 80111

Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustu...

Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustus 2019 lalu, saya belum memahami esensi dari mengejar matahari terbit dan terbenam. Bahkan apa esensinya main ke pantai. Ya kalau jalan-jalan pasti hanya mampir ke kedai kopi, toko buku, menikmati kuliner, kalau beruntung datang ke acara-acara budaya yang penuh orang dan banyak jajanan hehehehe.

Karena saya tahu betul kemarin ke Bali adalah bersama orang yang mengerti Bali karena sejak kecil ia di sana, sepertinya akan menyenangkan kalau meminta untuk ditemani mengejar matahari terbit dan terbenam, meskipun saya masih saja mempertanyakan esensinya. Berangkatlah pagi itu bersama Mas Taufiq ke Pantai Sanur, Bali.

Kami datang saat mendung, tapi tidak masalah. Suasananya enak buat duduk-duduk sambil ngobrol dan tidak memotret apapun. Tentu bagi orang seperti saya, akan mengganggu jika momen menyenangkan itu dihabiskan dengan 50% mengambil foto diri atau pemandangan. Beruntung, Mas Taufiq juga memahami hal yang sama, ada banyak momen yang seharusnya memang tak perlu mengeluarkan kamera. Kami duduk berjejeran dan respon pertama saya saat tiba sebenarnya adalah, "Mengapa ada air sebanyak ini? Seram sekali." Tentu Mas Taufiq tidak merespon pertanyaan iseng itu.


Saat kami ingin jalan-jalan ke sisi yang lain, hmm, terlihat ada Ibu-ibu berjualan entah-apa-namanya saat saya pertama kali melihat. Memang, mata saya lebih peka pada makanan daripada pemandangan yang indah. Itu adalah lumpiang (yang sebelumnya saya pikir namanya lumpia)!


Hanya saja yang berbeda, yang membuat saya merasa belum pernah menikmatinya adalah, lumpianya disajikan dengan dipotong-potong. Tidak hanya lumpiang, tapi juga ditambah weci (atau ada yang menyebut ote-ote atau abal-abal). Lalu disiram dengan petis, ketika biasanya saya harus menyocolnya dahulu.


Di kepala hanya terpikir rasanya akan biasa saja, rupanya saya salah, ternyata seporsi lumpiang yang hanya 7.000 IDR tetapi banyak itu ENAK BANGET YA ALLAH MONANGIS GIMANA DONG.


Sebelum menyiapkan pesanan saya, Ibu yang menjual sempat minum obat dahulu. Rupanya Ibu sedang sakit karena anginnya di Bali sedang tidak enak. Semoga senantiasa sehat ya, Bu!



Belum cukup dengan lumpiang, dengan rakus saya membeli gorengan, karena harus menunggu jam buka kedai kopi yang persis di pinggir pantai Sanur: Infinity Coffee Bali. Ketika sudah buka, kami hanya memesan satu cangkir kopi susu panas karena hanya ingin mencicipi dan tidak lama di sana.


Tidak ada ekspektasi yang besar, tapi entah mengapa enak banget kopi susunya. Sepulang dari situ, saya bersemangat menyampaikan ke teman bahwa betapa enak lumpiang dan kopi susu yang baru saya nikmati pagi itu. Lalu teman saya, bernama Ridho, anak asli Bali juga menimpali, "Ya sebenarnya enak karena di pinggir pantai. Apa-apa yang di pinggir pantai itu jadi lebih enak."

Hahahaha apa memang begitu? Kalau iya, sekarang saya jadi mengerti mengapa orang sibuk ke pantai saat bagi saya rebahan di kasur jauh lebih nyaman.

Seluruh foto dibidik oleh Sophia Mega.

Kedai kopi telah membuka ruang-ruang pertemuan yang lebih besar daripada tempat pada umumnya. Pada saat ke restoran, kalau tidak kenal, j...


Kedai kopi telah membuka ruang-ruang pertemuan yang lebih besar daripada tempat pada umumnya. Pada saat ke restoran, kalau tidak kenal, jarang kita akan ada di satu meja yang sama lalu saling menyapa. Tapi dalam kedai kopi, kita merasa tidak masalah berada di meja yang sama bersama orang asing. Lalu tidak lupa berbasa-basi, "Saya duduk di sini, ya."

Sejak mengenal ruang se-"kasual" kedai kopi, saya merasa tidak masalah untuk bertemu dengan orang asing di media sosial meski hanya dimulai ajakan melalui direct message, tanpa perlu bertukar nomor personal terlebih dahulu. Dan begitulah yang terjadi saat di Hungry Bird, yang tepatnya berada di Kuta Utara, Kabupaten Badung. Saya bertemu seorang teman yang saling kenal di Instagram, Kak Sarah, bahkan hari ini saya pun lupa bagaimana awal mula saling mengikuti di Instagram.
Itu Kak Sarah wgwg
Dan meja bar adalah tempat yang memudahkan obrolan berlangsung selama di kedai kopi, sebab kita tidak perlu merasa awkward lalu sibuk saling melihat gawai masing-masing. Fokus saja kepada orang yang membuat kopi, lalu akan selalu ada obrolan menarik yang hadir di meja bar.

Hari itu, tepatnya pada Oktober 2018, saya mencoba dua piccolo dengan dua coffee blend yang berbeda, yaitu Brawa Blend yang cenderung ke coklat dan Canggu Blend yang rasanya lebih ke fruity. Saya masih ingat betul kalau Kak Sarah bisa membedakan aroma kopi dari roasted beans-nya, baik sebelum di-grinding. Memang momen menyenangkan dari Tamasya Kedai Kopi sebenarnya adalah mencicipi dua ragam rasa yang berbeda dari kopi. Apalagi untuk espresso-based, ya. Nggak semua kedai kopi bisa menawarkan pilihan roasted beans yang boleh dibuat untuk piccolo atau cappuccino misalnya.

Dengan memberikan beragam pilihan, sebenarnya kita diajak berkenalan bahwa dua cappuccino bisa berbeda rasa ketika kita pakai dua biji kopi yang berbeda. Menghidupkan rasa penasaran dan apresiasi terhadap ragam rasa sebenarnya bisa dimulai dari sini menurut saya.

Suasana Hungry Bird saat itu sebenarnya cukup padat, terutama di jam makan siang, tapi karena luas jadi tetap terasa lengang. Sebentar saja saya di sana, menikmati dua piccolo bersama Kak Sarah, Mas Ridho dan Bella. Terima kasih atas waktunya! Semoga bisa mampir lagi ke Alterego Canggu, yang sebenarnya masih ada kaitannya dengan Hungry Bird.


Catatan tambahan:


  • Terima kasih Instagram Stories Archived karena saya jadi ingat kopi apa yang sedang saya minum hari itu hahaha.
  • Foto adalah hasil dokumentasi pribadi, boleh digunakan kembali, asal dengan pemberian credit nama saya, Sophia Mega.


Hungry Bird Coffee Roaster

Instagram: @hungrybirdcoffee

Ketika akan bertamasya di Bali dalam satu minggu, untuk tempat tinggal langsung tertuju pada hostel. Sebenarnya kalau urusan tempat tin...


Ketika akan bertamasya di Bali dalam satu minggu, untuk tempat tinggal langsung tertuju pada hostel. Sebenarnya kalau urusan tempat tinggal, gampang banget untuk dapetin tempat tinggal yang terjangkau dan bagus di Bali. Tapi karena seminggu, harus cari yang paling terjangkau tapi tetap nyaman. Dalam kesempatan ini akhirnya memberanikan diri untuk mencoba pengalaman baru, yakni tinggal di hostel.

Ada banyak rekomendasi dari teman, tapi ternyata saya udah jatuh cinta duluan dengan Ubud Tropical (Jalan Raya Andong) karena foto-fotonya yang ada di internet. Yasudahlah, saya pesan saja Mix Dormitory (4 Bed) untuk 6 malam dengan 631.800 IDR. Yah sekitar 100rb-an lah ya per-malamnya, ada kok kalau mau cari yang 80rb-an, tapi karena sudah jatuh cinta jadi ya tetap di sini.

Kenyamanan 4 Bed

Jadi di Ubud Tropical menyediakan berbagai pilihan ruangan dengan spesialisasi dormitory atau tipe kamar besar yang ada banyak tempat tidur (dan biasanya bertingkat), simpelnya seperti asrama. Mulai dari yang satu kamar 10 kasur (mix gender), 6 kasur (female only), 4 kasur (mix gender), 2 kasur, private tent, dan family tent. 

Sebab yang female only atau khusus perempuan kehabisan ruangan, jadi ya agak nekat juga sih ambil yang mix gender alias kita bisa saja satu ruangan dengan macam-macam gender. Tapi karena hanya 4 kasur saja, jadi lebih enggak berantakan kamarnya, lebih terkondisi dengan baik dan nyaman-nyaman aja sih. Enggak bayangin kalau harus 10 orang dalam satu kamar, kalau untuk saya sendiri rasanya harus beprikir ratusan kali untuk satu kamar dengan begitu banyak orang. Apalagi harganya rata-rata sama (yang 6 dan 4 kasur), kecuali yang 10 orang memang beda sekitar 10-20rb lah per-malamnya.


Kenyamanan Kasur

Meskipun batas privasinya hanya gorden saja, tapi cukup oke kok. Enggak pernah ada cerita aneh-aneh dengan privasi yang sebatas gorden ini. Di dalam kasur sudah ada colokan, lampu, bantal dan selimut. Setiap hari juga ada yang bersih-bersih sekadar menata kasur kita.

Rasanya Berada di Mix Dormitory

Kebanyakan yang stay memang dari luar Negeri, meski sempat berkenalan dengan salah satu orang yang juga datang ke Bali untuk Ubud Writers & Readers Festival 2018 (ia berada di Female Dormitory yang 6 orang), tapi hanya ia saja yang nampaknya dari Indonesia.

Sekamar dengan mix gender dengan batas privasi yang hanya gorden ternyata gak ada masalah kok. Mereka semua cenderung cuek dan ramah terbatas (hanya beri senyum). Sempat juga membawa banyak barang, ribet ambil kartu untuk buka kunci, mereka cukup membantu untuk lebih gesit mengambil kartunya biar saya bisa masuk. Kebetulan kemarin meski pernah semua kasur diisi cowok semua, keadaan aman terkendali (dan meski saya pakai jilbab juga, alhamdulillah hahaha, sempat takut dilihatin gitu sih).

Ada sih kejadian gak enak, biasanya saya atur suara alarm ke volume yang paling kecil. Tapi semalam saya lupa, akhirnya.. saya diprotes sama mba-mba di atas kasur saya untuk segera mematikan. Huhu deg-degan juga rasanya ~ maaf ya mba~.


Kenyamanan Loker

Banyak teman yang bilang soal hati-hati dengan barang bawaan, ini cukup bikin pusing sih. Ada yang bilang harus menyimpan barang-barang penting di loker, tapi ada juga yang bilang kalau bisa dipeluk barang-barang penting kita. Bahkan mereka menyarankan untuk bawa gembok sendiri. Enggak bisa membayangkan kalau tidur harus memeluk barang-barang penting, apalagi saya membawa laptop dan kamera dengan beberapa lensa. Pusing juga.

Tapi akhirnya saya ke Bali dengan cuek terhadap hal itu, terlalu banyak yang harus dipikirkan dan berakhir pasrah dengan tidak membawa gembok sama sekali. Eh syukurnya, di Ubud Tropical ini lokernya ada di ruangan kita, terus kita dikasih kunci, jadi barang bawaan aman terkendali! :) 


Kolam Renang

Kolam renang memang tidak cukup besar, tapi cukup menyenangkan dengan kita berada di hostel low budget bisa sekadar berendam dan renang. Saya pun sempat merasakannya sekali hwehehehe, seneng banget!


Free Breakfast & Dapur

Sarapan selalu disediakan roti untuk bisa kita makan secara gratis. Ada dapur juga jika ingin memasak, saya sempat masak mie goreng. Ada juga kulkas untuk menyimpan banyak makanan, cuma ya gitu... terlalu banyak makanan di sana jadi agak takut tercampur dengan berbagai makanan yang enggak tahu itu di sana sejak kapan. Tapi kebersihan oke kok! :) 

Kamar Mandi

Kamar mandinya ada di luar dengan empat ruangan, cukup bersih dan tidak ada isu yang dipermasalahkan. 

Laundry

Laundrynya cukup murah, dihitung per-pakaian sih (bergantung apakah itu kemeja, kerudung, dsbnya). Harganya cenderung terjangkau, per-pakaiannya yaa mulai dari 2.000-5.000 IDR lah. Selesainya juga cepat, sehari sudah bisa kita ambil baju dengan keadaan bersihnya, membayarnya bisa langsung atau di akhir saat checkout. Saya sempat laundy 3x karena memang sengaja bawa baju sedikit biar enggak berat bawa baju selama seminggu di Bali. 

Karyawan

Karyawan cukup kooperatif membantu kita, tapi catatan: jangan pernah bertanya soal ojek online. Mereka cukup sensitif dengan ini, mereka pasti akan merekomendasikan transportasi yang konvensional. Saya sendiri emang sudah dipinjami motor oleh saudara di Denpasar, tapi ini kejadian sama teman saya. Dia bilang, baru kali ini ke hotel yang sensitif dengan hal semacam ini.

Catatan lagi, agak susah pakai ojek online. Tapi saya pernah sekali naik ojek konvensional dan baik banget. Dia udah kasih biaya sebelum berangkat dengan 25.000 IDR saja, sambil menunjukkan jalan yang mau saya tuju. Katanya, "Biar besok Mbak ke sini udah tahu jalannya." Sebab waktu itu saya memutuskan pakai ojek karena jalannya cukup ribet hwehehe. 


Parkir

Parkir juga aman kok, tapi kalau sebelum tidur pastikan udah kunci setir dan helmnya disimpan dengan baik di jok ya (untuk motor). Jangan lupa lubang kuncinya kalau motor matic juga ditutup. Untuk savety saja. Sebenarnya Bali cenderung aman kok, yang kurang aman biasanya helm yang bagus hahaha, tapi sejauh ini meski parkir di mana pun syukurnya aman terkendali. 

Semoga review dari Ubud Tropical ini bisa membantu kalian selama bertamasya di Bali dengan harga yang terjangkau tapi tetap nyaman ya! Yang jelas... suasana hostel ini cukup bikin kangen dan pengin balik ke Ubud sih. Sampai jumpa Bali, kamu beri kesan yang berarti sekali! x) 

Hari ketiga di Bali (tepatnya sedang di Ubud), membawa saya pergi ke Pura Tirta Empul yang berada di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Keti...


Hari ketiga di Bali (tepatnya sedang di Ubud), membawa saya pergi ke Pura Tirta Empul yang berada di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Ketika tahu bahwa di sana ada kegiatan ibadah bernama 'melukat', upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia, saya langsung memastikan bahwa saya akan ke sana.

Butuh 30 menit hingga 1 jam untuk dapat ke Pura Tirta Empul menggunakan sepeda motor dari hostel yang saya tinggali (Ubud Tropical di Jalan Raya Andong Petulu). Berbekal google maps dan rasa tidak sabar kenapa google maps-nya enggak segera bilang, "Your destination will be on the right." Akhirnya tiba juga.

Cukup bayar 15.000 IDR saja untuk masuk, pastikan sudah pakai 'sarong' yang dipinjamkan di lokasi sebelum masuk pura dan bagi yang perempuan sedang tidak menstruasi. Sebab kalau menstruasi jadi enggak bisa masuk pura, karena kan ini tempat ibadah untuk umat beragama Hindu, jadi harus dalam keadaan bersih.

Bli W: "From Malaysia?"
Saya: "Oh bukan, dari Indonesia, Malang, Jawa Timur."
Bli W: "Sendirian?"
Saya: "Iya..."
Bli W: "Kenapa sendirian?"
Saya: "Memang ingin sendiri."
Bli W: "Atau karena enggak ada yang diajak? He he he enggak-enggak, Dek. Saya memang suka bercanda orangnya."

Solo traveling itu enggak enaknya pas lagi makan sama capek aja, enggak ada temen ngobrol.  Solusinya biasanya nelpon kekasih saat sedang di jalan mencari makan, cukup membantu menghilangkan sepi. Selebihnya begitu menyenangkan, salah satunya fokus pada apa yang saya lihat dan lebih ada dorongan untuk bisa ngobrol dengan orang lokal.

Sebelum 'melukat' atau upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia, ada beberapa tahap sebelumnya, memberikan sesajian di tempat yang berada di depan pura (dan juga di atas pancuran Tirta Empul). Tahap-tahap inilah yang tak terlalu saya pahami, sehingga tulisan di sini mungkin kurang tepat jika kalian sedang mencari tahapan, sejarah dan ritualnya. Tapi tulisan kali ini lebih banyak menceritakan perjalanan pemahaman terhadap apa yang saya lihat.



Pertama kali masuk, saya mencoba untuk melihat secara keseluruhan tanpa menyimpulkan dahulu. Benar-benar melihat bagaimana prosesinya tanpa browsing dan bertanya dengan orang lokal. Proses membersihkan pikiran dan jiwa ini membuat saya teringat pada kebiasaan yang akhir-akhir ini saya lakukan saat mandi. Sebelumnya proses mandi rasanya yang penting bersih dan wangi, tapi selama Oktober terlalu banyak yang membuat pusing dan menghidupkan prasangka-prasangka tak baik. Imbasnya pada produktivitas dan kesehatan diri.

Semua bermula dari pagi dan memulai kegiatan terasa begitu berat (atau baisa disebut malas). Akhirnya, saat mandi, saya selalu mencoba untuk sekaligus mensugesti diri. Mengusap wajah dan setiap bagian tubuh dengan berbicara dalam batin: yuk abis ini semangat lagi buat melanjutkan pekerjaan, membuat selepas mandi begitu terasa menyegarkan daripada biasanya. Jika sedang banyak energi dan pikiran negatif dalam diri, cobain deh!

Awalnya, saya kira semua pancuran sama saja. Saya mencoba untuk berbicara dengan orang lokal, ternyata setiap kolam dan pancuran memiliki makna berbeda.


Sebelumnya, kita harus punya tujuan sebelum 'melukat' yang tentu berhubungan dengan pembersihan pikiran dan jiwa. Enggak harus setiap hari juga sih, bergantung niat dalam diri. Cara beribadahnya mencakupkan kedua tangan, membasuh muka tiga kali (hingga seluruh rambut, bahkan ketika melihat tour guide menjelaskan, ada ketentuan tak boleh pakai ikat rambut) lalu minum sekali di setiap pancuran. Terus kita sampaikan lah doanya.

Ini bisa dilakukan oleh siapa pun dengan agama apapun. Memang terkesan 'ritual' khusus dalam agama Hindu, ada beberapa prinsip yang mungkin jauh berbeda (yang mungkin bagi sebagian orang takut mengubah 'aqidah'-nya), tapi ketika mendalami makna 'melukat' itu sendiri.. rasanya mau sekali untuk bisa ikut melukat. Atau setidaknya menerapkan apa yang mencoba mereka lakukan 'membersihkan pikiran dan jiwa' dalam setiap ibadah yang kita yakini.

Kolam pertama. 
Tirtha Pembersihan (14 pancuran)

Pancuran 1-10
Tirta Berpergian Jauh, Tirta Penyakit Kulit, Tirta Ketenangan Jiwa, Tirta Rematik, Tirta Gigi, Tirta Sakit Tulang, Tirta Asmara, Tirta Ketenangan Emosi, Tirta Penyakit Saluran Nafas, dan Tirta Rambut.
Intinya.
Bagian ini fokus pada pembersihan pikiran dan badan.

Pancuran 11-12
Tirta Pengentas I dan Tirta Pengentas II
Intinya
Hanya untuk orang yang sudah mati, kremasi. Harus diskip.

Pancuran 13
Tirta Sudamala.
Inrinya
Kalau kata orang lokal, ini untuk yang sering mimpi buruk. Huhu mendengar fakta itu, jadi ingin ikut melukat! :( Enggak enak tahuuuu sering mimpi gigi rontok semua hahaha.

Untuk kolam kedua dan ketiga, karena tak banyak bertanya pada orang lokal, kalian bisa coba cari tahu lebih banyak di postingan ini: Sejarah Pura Tirta Empul.



Setelah puas memotret dan bertanya pada orang lokal, sekaligus memotret anak kecil bernama Ayunda yang merupakan anak Gianyar, saya memutuskan untuk segera kembali. Mungkin ada kali yah 30 menit hingga 1 jam hanya untuk mengamati dan belajar. Saat mengembalikan sarong, kembali juga bertemu dengan Bli W. Saya sempat salah ngomong, dan di situ lah percakapan dimulai.

Bli W sederhana saja bertanya 'bagaimana' dan 'apakah puas memotret', nah saya menjawab, "Sudah, cuma masih banyak pertanyaan." Yang saya maksud itu bukan mempertanyakan yang aneh-aneh, saya cuma kesel karena belum tahu setiap pancuran itu namanya apa (padahal kalau mau googling itu ya ada). Setelah saya menyampaikan 'banyak pertanyaan', sedikit terasa Bli W berbicara dengan rasa kekhawatiran. 

Beliau berusaha meyakinkan bahwa melakukan ibadah ini boleh-boleh saja untuk semua orang dengan latar belakang agama apapun.  Bahwa ada makna yang begitu berarti dari pembersihan pikiran dan jiwa. Obrolan itu lalu tiba pada Bli W yang mempertanyakan mengapa ustadz-ustadz di TV (dengan menyampaikan tak ada niat menjelekkan agama islam, ia juga bilang tak semuanya) bilang bahwa akan masuk surga jika 'melakukan hal buruk' pada yang tidak muslim.

Bli W: "Kalau saya bilang adik akan masuk surga, apa percaya?"
Saya: "Ya percaya-percaya aja." (Serius saya enggak tahu arah pembicaraannya kemana)
Bli W: "Kok bisa? Begini, hanya perbuatan orang tersebut yang bisa mengantarkan dia masuk surga (bukan ucapan orang lain)."

Ooooh ke sini arah pembicaraannya ~ Iya, saya sepakat dong, cuma enggak mudeng aja di awal. Saya jadi bertanya-tanya, iya ya kok bisa umat muslim (khususnya di Indonesia) berpikir bahwa jika tidak muslim maka tidak baik? Bahkan kita dengan mudah lho bertanya apakah artis A agamanya islam? Yaaah sayang dong kalau gak beragama islam.


Nampaknya semua bermula di sekolah dasar, kita dididik bahwa orang yang beragama lain segala amal perbuatannya itu sia-sia dan tidak akan masuk surga. Kalau bicara ini pada orang dewasa, tahu mana yang baik dan tidak, rasanya kita akan lebih bijaksana. Tapi jika ke anak kecil, bisa beda lho, menanamkan intoleransi yang secara enggak sadar ugkapan sederhana tersebut bisa membangun karakter tak menghargai agama orang lain.

Sepertinya apa yang terjadi akhir-akhir ini, soal intoleransi beragama, begitu membuat ada perasaan takut dan ketidakamanan beragama. Jadi gimana, apa ya masih mau menghina dan menjelek-jelekkan agama orang lain? Lupa kalau kita ini sama manusianya? Lupa kalau niat sama perbuatan harus sejalan? Niatnya dakwah tapi menyakiti hati orang lain apa ya tetap menjadi baik hasil akhirnya?

Daripada menanamkan pemahaman praktis bahwa agama kita yang paling baik, gimana kalau kembali memahami bagaimana beragama yang baik?

Rasanya cukup sedih menjadi orang asing yang berjilbab lalu diajak bicara soal 'pemimpin agama' yang rupanya membuat hati mereka sedih. Selama perjalanan pulang, rasanya saya menyesal.. kenapa enggak bilang aja kalau dari Malaysia.... Biar enggak malu huhuhuhuhu.



"Saya kagum lho Pak dengan ibadah yang seperti ini, rasanya begitu khusyuk." Lagi-lagi memang tidak baik menyampaikan sesuatu yang sepotong-sepotong. Persepsi orang macam-macam, yang saya maksud di sini sebenarnya... orang yang beragama Hindu harus melewati ritual panjang menjadi salah satu ibadah tak wajibnya. Ritual yang kompleks itu sering membuat malu kalau solat empat rakaat aja malas hwahahaha. 

Beliau lalu menjawab, bahwa orang ibadah khusyuk dan tidak khusyuk itu selalu ada di agama orang lain. Sesuatu yang putih di luar, belum tentu dalamnya putih, bisa jadi hitam. Kayak telur, luarnya putih dalamnya kuning. 

Pembicaraan ditutup dengan: ambil baiknya, buang buruknya. Dan begitu pula lah kita semestinya hidup dalam setiap obrolan-obrolan, mewaraskan diri untuk tahu bahwa semuanya itu hanya diskusi, bukan sebuah tempat mencari pembenaran. Lebih pada proses saling mendengarkan, menyimpulkannya di rumah saja.


Perjalanan kali ini cukup memberi makna, rasanya ingin kembali lagi. Terima kasih alam semesta dan penciptaNya karena sudah menghadirkan hari yang begitu baik dengan orang-orang yang positif sekali.