Pernikahan 5 tahun yang kujalani kemarin ternyata tak membuatku tahu apa arti mencintai dan dicintai. Nyatanya, aku tidak tahu apa itu cinta...

Pernikahan 5 tahun yang kujalani kemarin ternyata tak membuatku tahu apa arti mencintai dan dicintai. Nyatanya, aku tidak tahu apa itu cinta sampai hari ini. Tetapi aku mencari-cari bagaimana rasanya dicintai sampai mengira pernikahan adalah tempat menemukan keabadian cinta.


Barangkali seorang pembaca bukuku mampu mengendus keputusasaanku dalam cinta sampai ia bertanya, "Perempuan sepertimu kupikir tak akan buru-buru menikah. Ada banyak hal yang bisa kamu kerjakan. Lalu mengapa kamu memilih menikah?" Saat itu aku tak tahu jawabannya. Namun hari ini aku tahu persis mengapa aku mengambil keputusan nekad bernama pernikahan saat tak tahu apa-apa tentang cinta.


Perempuan yang tak pernah mengenal cinta tak akan punya cita-cita yang muluk. Ia hanya ingin memiliki rumah yang hangat. Ia ingin mengenal bagaimana rasanya dicintai, kehangatan yang ia cari-cari sejak lahir di dunia. Tetapi yang tidak aku tahu sebelumnya, menikah saat tak tahu apa itu cinta adalah petaka yang sesungguhnya.


Aku dibesarkan oleh pengabaian, maka kupikir itu adalah cinta.

Aku diasuh oleh kesendirian, maka sendirian adalah bagian dari cinta.

Aku tak mengenal bahwa cinta menawarkan perasaan dipahami dan dimengerti, sebab cinta yang kutahu, aku lah yang paling bertanggung jawab memahami dan mengerti.


Kemudian aku tumbuh besar dengan rasa familiar pada pengabaian dan kesendirian. Begitulah bagaimana seharusnya aku dicintai. Maka mudah untukku mencintai orang-orang yang memilih abai dan meninggalkanku sendirian. Aku hanya perlu menyalahkan diriku yang seharusnya lebih sanggup menghadapi hari-hariku sendirian. Begitulah cinta yang kukenal.


Saat bertemu cinta yang hangat dan aman, aku kebingungan. Rasanya lebih mudah menerima penolakan daripada penerimaan. Aku menolak rasanya karena bagiku ini terlalu indah untuk aku rasakan. Cinta yang layak diberi untukku tidak yang seperti ini. Cinta yang semacam ini sebaiknya untuk orang lain. 


Ternyata pengabaian dan kesendirian berhasil membesarkanku bersama rasa tak layak untuk dicintai. Tak cukup berharga untuk dicintai. Tetapi setidaknya, kini aku mulai mengerti perlahan mengerti mana yang cinta dan mana yang bukan.




Hari ini aku mendapat kabar kalau aku menderita penyakit kronis bernama “hyper-independence” atau kelewat mandiri sampai tak pernah tahu car...


Hari ini aku mendapat kabar kalau aku menderita penyakit kronis bernama “hyper-independence” atau kelewat mandiri sampai tak pernah tahu cara minta tolong karena merasa tak butuh. Pemeriksaan pertama adalah ketika aku konseling untuk bertanya, “Kenapa aku terganggu saat ada istri kasih kode suaminya minta belikan sesuatu? Aku nggak suka lihat itu. Kenapa harus minta? Tetapi kenapa juga aku tidak bisa minta?”


“Karena ketika kamu kecil, kamu terbiasa memaknai kalau minta dibelikan sesuatu pasti nggak dituruti,” itu sebuah informasi baru untukku. Setelah sesi konseling pun, aku masih belum tahu apa penyakitku. Ini memang bukan penyakit yang bisa disimpulkan dengan satu kali pemeriksaan.


Semakin hari penyakit itu semakin parah. Aku bisa mual ketika suamiku membelikan baju untukku untuk pertama kalinya setelah 4 tahun menikah. Tubuhku menolak dan aku pun berusaha keras untuk bilang, “Aku mau beli sendiri.” Ketika akhirnya ia membayar bajunya, aku justru merasakan kekalahan.


Bukan hanya perkara baju, perihal makan pun juga. Ketika kami makan bersama dan suamiku baru gajian, ia bilang, “Aku saja yang membayar.” Tetapi aku justru menolak dengan tegas, “Tidak usah, aku saja.” Setelah makan aku pun kebingungan, kenapa aku menolak dibayari, sih?


Penyakit ini ternyata membuatku tak masalah pada relasi cinta yang menuntutku terus memberi dan mengerti sebab aku sendiri menolak untuk diberi. Penyakit ini juga seperti membuat mata, hati, dan otakku rabun pada bagaimana seharusnya aku layak dicintai. Jika seseorang memberikanku cinta yang sedikit, aku tak masalah, sebab aku terbiasa menerima sedikit bahkan tak sama sekali.


Aku kelewat terlambat menyadari penyakitku sampai semua sudah terasa terlalu menyakitkan. Aku yang terbiasa memberi, kini berusaha meminta. Lalu permintaan-permintaan kecilku terdengar jadi sebuah tuntutan karena aku sebelumnya tak pernah meminta. Atau barangkali aku meminta pada orang yang tak punya kemampuan untuk memberi apa yang aku butuhkan.


Sampai akhirnya kini tak ada lagi yang mampu kuberi. Sisa-sisa cinta yang ada akan kutanam, kuberi pupuk, dan kusiram untuk diriku yang ternyata kerap kulupakan bahkan kuabaikan.

Orang-orang mengutukku agar diam dan tidak lagi menulis. Padahal mereka hanya tidak nyaman mendengar cerita yang selama ini lebih sering dis...

Orang-orang mengutukku agar diam dan tidak lagi menulis. Padahal mereka hanya tidak nyaman mendengar cerita yang selama ini lebih sering disembunyikan dalam selimut. Cerita-cerita itu terlalu memalukan untuk dibagikan. Konsumsi publik hanya untuk hal-hal baik yang membanggakan.


Namun apa yang sebetulnya membuat malu dan bangga? Beban apa yang kita tanggung sebenarnya sampai hanya mau merasakan kebanggaan dan menyembunyikan rasa malu? Terkadang jawaban baru muncul ketika ada pertanyaan tepat di saat yang pas seperti malam itu.


Kata-kata awalnya sulit keluar dari mulutku. Tubuhku kaku dan penuh ragu. Setiap ditanya, aku harus minta maaf karena kepalaku sering berputar-putar pada bayangan. Satu demi satu kata akhirnya mulai keluar dari mulutku seiring dentuman musik yang semakin kencang.


Tubuhku jadi siap untuk menumpahkan segala cerita akibat dentuman bass yang menggetarkan tubuh karena kami duduk di sebuah meja kecil dan tepat di bawah kami adalah pengeras suaranya. Mau tak mau aku harus berteriak untuk berbicara. Otot-otot leherku yang tadi kaku sekarang menyerah menahan setiap cerita.


Secangkir koktail juga terlibat. Rasa yang kuat, sedikit asam, dan rempah yang menambah layer rasa menghangatkan tubuh. Semua menjadi tepat karena temanku juga telah siap dengan sekumpulan pertanyaan di kepalanya yang amat kubutuhkan untuk membuka kesadaran-kesadaran baru.


“Apakah kamu pernah menyesal menikah muda?” tanyanya.


“Tidak juga. Mungkin karena aku jadi bisa menulis buku tentang itu. Akhirnya setiap pengalaman jadi ada artinya karena dituliskan,” jawabku tanpa ragu.


“Jadi apakah kamu merekomendasikan pernikahan untukku?” temanku seperti punya sekantong pertanyaan bagus yang kusukai.


“Hmm, untuk apa takut kalau kita melihat gagal dan berhasil hanya sebagai sekadar pengalaman? Yang membuat kita takut pada pernikahan adalah karena kita takut gagal. Manusia yang gagal dianggap memalukan. Tetapi kalau kita melihat setiap pengalaman tanpa penilaian, semuanya hanya sekadar pengalaman. Setiap pengalaman hanya perlu dialami dan dirasakan,” aku sedikit heran bisa bicara banyak tanpa terlalu keras berpikir.


Suara konselorku mendadak menggema di kepala, “Kita terbiasa hidup dengan makna, bukan dengan fakta.” Aku tersenyum lebar-lebar mendengar gema suara itu. Jika kita melihat setiap pengalaman sekadar sebagai fakta, kita tak akan repot-repot menilai apakah itu keberhasilan atau kegagalan. Tanpa penilaian, barangkali kita hidup dengan ketenangan sebab tak dihantui mengejar rasa bangga dan menghindari rasa malu.


Maka itu artinya hidup ini hanya untuk mengalami dan menjalani. Beberapa orang lainnya memilih menuliskan kata—sepertiku karena percaya pada kekuatan cerita agar tak teralienasi oleh diri dan pengalamannya. Aku juga akan terus menulis karena hanya dengan itu aku mampu bertahan hidup. Tak apa menjadi berhasil atau gagal, semua hanya sebatas menjadi cerita.


Perihal orang yang mengutukku, tak masalah. Aku berpegangan pada Ibu Sisun* yang berkata, “..Perempuan yang angkat suara akan dibenci. Aku, yang memang sudah kadung dibenci, tidak peduli soal itu. Orang-orang yang paham tentang cara menjaga dirinya akan sebisa mungkin menghindari sorotan publik. Tapi, pada akhirnya, tetap harus ada orang yang menceritakan kisah perempuan generasiku.”


*Ibu Sisun adalah tokoh fiksi pada novel ‘Dunia Sisun’ karya perempuan penulis Korea Selatan bernama Shim Sisun 

  Trigger warning: self-harm ”Ketika kita tahu diri punya masalah, gimana cara kamu tahu harus ngapain dulu?” tanya seorang teman ketika kam...


 Trigger warning: self-harm


”Ketika kita tahu diri punya masalah, gimana cara kamu tahu harus ngapain dulu?” tanya seorang teman ketika kami sedang menikmati es krim bersama.


Pertanyaan yang bagus. Saking bagusnya aku hanya bisa menjawab, “Aku juga tidak pernah tahu karena kesadaran selalu datang belakangan.”


Perihal kesepian misalnya. Aku butuh 4 tahun untuk tahu bahwa apa yang sebenarnya sedang kualami adalah kesepian yang obatnya bukan kehadiran orang lain. Obat dari kesepian ini adalah seseorang yang mau mengerti, peduli, dan menyayangi sehingga aku tak perlu berusaha sendirian.


Kemarin aku meledak lagi dan setiap hal jadi masalah buatku. Setelah kutelusuri lebih dalam seakan ada benang merah di balik setiap amarahnya. Setiap ledakan itu selalu dipancing oleh perasaan sendirian seakan tak ada yang bisa diandalkan.


Ledakan pertama terjadi di sebuah siang Desember 2024, seorang petugas PDAM datang untuk menyegel air karena suamiku lupa membayar. Setelah membereskan perdebatan dengan petugas tersebut, aku menangis karena kelelahan. Kemudian aku mengomel panjang ke suami hingga menyilet tanganku sampai 20 kali sayatan sebab suamiku tak kunjung mengerti dan sibuk membela diri. Padahal sepanjang hidup aku tidak pernah menyakiti diri dengan silet.


Jika boleh mengulang waktu, aku tidak ingin mengomel panjang dan cukup bilang, “Aku tahu faktanya tidak ditinggal sendirian mengurus rumah, tetapi entah kenapa rasanya seperti aku tak punya siapa-siapa untuk diandalkan mengurus rumah ini.”


Pada sebuah pagi di Januari 2025 aku meledak lagi. Itu hari pertama bekerja setelah libur panjang dan aku baru sadar terlalu banyak yang harus dikejar. Suara “kenapa aku harus mengurus ini sendirian” sayup-sayup terdengar. Itu juga hari pertama anakku belajar toilet training dan suamiku sedang kelelahan. Lalu begitu saja suara “haruskah aku menjalani ini sendirian?” terdengar kembali.


Kali ini aku tidak menyakiti diri dengan membenturkan kepala atau menyilet tanganku. Namun kali ini aku menuliskan semua hal yang kupermasalahkan menjadi tontonan warganet di Instagram Story. Aku benar-benar tidak tahu mana yang lebih baik dari menyakiti atau mempermalukan diri. Jelas tak ada yang lebih baik, tetapi aku juga belum tahu bagaimana meledak lebih aman lagi.


Aku ingat betul setiap perasaan “sendirian” datang, dadaku sangat sakit dan punggung bagian atas nyeri. Rasa nyerinya berbeda dari nyeri setelah mengetik berjam-jam. Rasa nyerinya cukup sulit untuk bisa dijelaskan.


Saking lelahnya aku beradu mulut dengan suamiku perihal “ia membiarkanku sendirian dan kesepian”, aku akhirnya menyerah berdebat. “Kita tiduran aja ya. Kita ngobrol sambil pelukan. Tapi tolong pukul agak keras punggung bagian atasku biar terasa sampai dada,” kataku.


“Kita gak perlu ambil keputusan apa-apa dan pelukan gini aja boleh?” kataku padahal aku sendiri yang baru menyulut emosi kami berdua atas persoalan-persoalan yang sungguh tak jelas apa masalahnya.


Suara-suara yang menggema di telingaku sebetulnya telah memberiku tanda bahwa aku punya luka dalam hal “dibiarkan sendirian”. Aku jelas tak tahu dari mana asalnya, tak ingat dan tak ingin tahu juga. Tetapi aku tahu setiap perasaan sendiri muncul, sakit di dada dan punggungku sama persisnya, dan aku selalu meledak.


Rasa sakit semacam itu juga biasa aku rasakan setiap kali baru konseling menceritakan masa kecil. Konseling membahas Ayah Ibu bagiku topik yang paling melelahkan karena aku tak punya ingatan yang kuat tentang masa kecilku. Tetapi setiap kali baru konseling, aku akan sesenggukan dan minta dipeluk erat agar rasa sakit di dada dan punggungku mereda.


Kemarin aku juga menemukan cara baru untuk menyembuhkan rasa sakit di dada itu. Sebenarnya saat itu aku hanya sedang mengopi dengan teman, kebetulan saja mereka sepasang suami istri. Tetapi aku tahu betul mengopi malam itu seperti membawaku pada memori “mengopi bersama Ayah Ibu dalam versi lebih baik”.


Aku lumayan bingung ketika aku sedang menggendong anakku yang tertidur, temanku berkata, “Tasnya dibawain aja.” Lalu ketika anakku tertidur, mereka juga berkata, “Anaknya aku gendong aja sini gantian.” Aku juga bisa makan dengan tenang karena anakku diajak lihat ikan dan aku bisa menghabiskan bakmi hingga habis tanpa mendengar omelan anakku.


Kalau aku terlalu cengeng, pasti aku menangis di depan mereka. Sebab setelah mengopi malam itu, hatiku yang kemarin sakit mendadak hangat dan terasa penuh. Aku merasa tidak sendirian.


Saat itu aku menjadi yakin bahwa apa yang sebenarnya memancing ledakanku. Bukan pernikahanku yang membuatku merasa sepi, tetapi rasa duka atas kehilangan cinta dan kasih sayang yang tak kudapatkan sehingga aku harus tumbuh mandiri dengan lebih cepat. 


Persoalannya, aku masih terus berharap mendapatkan cinta dan kasih sayang tersebut ketika telah dewasa. Akibatnya, setiap aku tidak dapat cinta kasih yang aku harapkan, aku terus mencari-cari seakan bisa kudapatkan. Aku juga tidak tahu bagaimana memproses rasa duka ini, tetapi tak apa, akan kutunaikan selangkah demi selangkah. 


Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 t...

Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 tahun, sisanya belakangan. Menikah dan melahirkan selalu jadi target besar yang lebih penting dipikirkan daripada punya karir atau impian besar.


Setidaknya begitu yang diajarkan oleh orang tua, guru, bibi, atau bahkan teman sesama perempuan. Nasihat yang belakangan Ibuku lontarkan juga masih sama, “Kamu S2 dulu aja baru punya anak kedua.” Padahal aku ingin punya satu anak saja.


Punya seorang suami yang mau belajar membagi peran dengan setara, seorang anak laki-laki, pekerjaan remot, dan beberapa hobi di usia 27 tahun terasa seperti memenangkan lotre. Aku seperti punya segalanya yang “semestinya dimiliki perempuan”. Tetapi perempuan memang diberi kutukan “harus terus merasa kurang”. Menikah dan punya satu anak belum sepenuhnya cukup, kami masih punya beban “memiliki anak kedua” dan tetap cemerlang di usia 30 tahun.


Pertanyaan “anak kedua” bukan membuatku cemas dipaksa punya anak lagi. Aku hanya takut menyakiti orang yang bertanya karena aku paling malas repot-repot berbohong. Ibu Mertuaku saja sampai kapok menanyai anak kedua padaku karena katanya, “Ibu takut dibuat status sama Mega.”


Terakhir kali bibiku bertanya tentang anak kedua juga berujung tidak menyenangkan. Aku pura-pura tidak dengar jadi dia mati kutu obrolannya tak ada yang merespon. Aku hanya kasihan pada mereka yang ingin setia menjadi mitra patriarki dengan berprofesi sebagai polisi moral untuk memastikan setiap perempuan harus punya minimal 2 anak.


Usia 30 tahun membuatku takut karena banyak lowongan kerja hari ini yang membatasi usia dalam keterangan semacam “wanita maksimal 27 tahun”. Seakan hidup akan berhenti setelah usia 27 tahun dan kita tidak perlu lagi cari uang untuk sesuap sashimi atau secangkir kopi spesialti”. Kekhawatiranku itu masih sepele dan masuk akal, sebab aku punya seorang teman yang gelisah tidak bisa masuk Forbes 30 Under 30 karena telah berusia 30 tahun. Aku jelas bengong dan bergumam, “Mengapa aku tidak pernah terpikir ingin masuk ke dalam daftar Forbes 30 Under 30, ya?”


Mengkhawatirkan usia bertambah dan merindukan usia muda selalu jadi formula paling tepat untuk membuat kita tidak berbahagia. Tepat seperti yang Haemin Sunim tulis dalam bukunya “When Things Don’t Go Your Way”, tarik-menarik antara “grasping” atau “ingin memiliki” atas hal yang kita dambakan dan “resisting” atau “menolak”atas hal yang kita miliki membuat kita nggak menemukan ketenangan dan kedamaian. Dalam persoalan usia muda dan tua, kita terbiasa menolak fakta bahwa kita tidak lagi muda dan menginginkan masa lalu yang jelas mustahil kita miliki.


Mengapa kita mendambakan menjadi muda saat ia tidak memiliki satu hal yang berharga: kedewasaan?


Aku sempat ingin memutar hidupku kembali menjadi perempuan berusia 22 tahun. Mestinya pada usia itu aku tidak mengambil keputusan A, B, dan C. Ketika melihat perempuan seumuranku, kadang pikiran ‘apakah ada keputusan hidup yang salah kuambil jadi aku tak bisa melakukan ini itu?’ terlintas. Barangkali ini definisi bertengkar dengan diri sendiri yang paling tepat.


Aku mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbeda pada diriku untuk menemukan perspektif yang lebih membantu.


“Apakah kalau aku memilih tidak menikah dan mengejar impianku maka kehidupanku selamat? Tidak juga. Bisa juga aku sibuk pacaran dan terus-menerus bertemu laki-laki brengsek yang mengacaukan kehidupanku karena aku tidak pernah tahu apa hal yang perlu dibereskan dalam diriku. Kesialan selalu ada di mana-mana.”


“Apakah kalau aku memilih pekerjaan yang baik dengan jabatan keren maka kehidupanku akan baik? Tidak juga. Bisa juga karena aku tidak pernah bertemu dengan berbagai macam pemimpin lalu aku jadi menjadi pemimpin yang buruk itu.”


Kesialan betul-betul ada di mana-mana. Itu sebab aku tersenyum lebar-lebar ketika membaca potongan kalimat ‘Selama kita dapat menerima kebenaran dengan cukup kuat bahwa beberapa kesialan tak terhindarkan, kita tidak perlu lagi merasa khawatir’ dalam buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” pada halaman 6. Hidup tidak pernah berarti baik jika kita mengambil keputusan paling tepat sekalipun. Kebahagiaan tidak pernah betul-betul datang dari luar diri kita.


Usia 22 tahunku memang tak mewajibkanku mencari uang untuk keluarga. Uang dari bekerja hanya untuk jalan-jalan, minum kopi, dan membeli buku yang mustahil dibaca seluruhnya. Tetapi aku punya otak kecil yang tak berfungsi karena masih dihantui luka-luka masa lalu sehingga membuatku mengambil banyak keputusan sembrono.


Usia 27 tahun juga tak berarti buruk atau baik. Tanggung jawab di sana sini dan aku masih perlu berlatih sanggup kecewa. Jika tidak punya kesanggupan kecewa, luka-luka masa lalu menuntutku untuk mengambil keputusan sembrono lagi.


Sayangnya aku masih banyak mengambil keputusan semborono karena belum sanggup memahami lanjutan kalimat dari buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” yang tadi. “Kita juga tidak perlu merindukan hal-hal yang kita anggap mustahil selama kita dapat melihat jelas bahwa hal tersebut sia-sia.” Barangkali sia-sia bukan kata yang tepat, “tidak diperlukan” mungkin lebih tepat.


Seperti ajaran OmGe, psikologku yang saat ini kucurigai mengajarkan kami Filsafat Kuno, bahwa mengapa kecewa pada hal-hal yang tidak kita perlukan? Menjadi dewasa adalah saat di mana kita tidak lagi berpikir hal yang kita sukai versus tidak sukai, tetapi hidup dengan keputusan-keputusan hal yang kita perlukan dan tidak perlukan.


Aku memang masih sembrono meski tiga tahun lagi berusia 30 tahun. Tetapi 27 tahun terasa lebih baik karena aku lebih sanggup belajar dewasa dari sebelumnya. Maka aku tidak sabar menemui diriku di usia 30 tahun yang belajar sedikit lebih banyak dari sebelumnya.                                                                     

Tiga hal yang aku pelajari tentang kesepian, pertama, kita kerap tidak sadar sedang kesepian. Kedua, ketidaksadaran rasa sepi yang hadir bis...

Tiga hal yang aku pelajari tentang kesepian, pertama, kita kerap tidak sadar sedang kesepian. Kedua, ketidaksadaran rasa sepi yang hadir bisa mengantarkan pada petaka. Ketiga, sepi bisa hadir di tengah keramaian hingga dalam pernikahan sekalipun.


Pertemuanku dengan konsekuensi-konsekuensi buruk lah yang menampar dan memaksaku sadar bahwa ada kesepian yang perlu ditemui, diterima, dan pada akhirnya dipeluk erat.


Awalnya memang hanya bermula dari obrolan-obrolan yang menghangatkan hati setiap baru bertemu orang tertentu. Ada perasaan diterima dan dimengerti yang seakan mengisi kekosongan meskipun sebenarnya tak ada obrolan yang benar-benar spesial. Aku hanya tahu itu perasaan yang menyenangkan untuk dimiliki, maka aku terus mencari, menunggu, dan mengharapkannya.


Persoalannya, aku mencari-cari hal yang tidak pernah ada.


“Mega, hatimu itu seperti bocor. Setiap diisi sesuatu, dia akan bocor. Rasa sakit yang kamu rasakan dari kekosongan itu bukan kemarahan, tetapi kehilangan atas apa-apa yang tidak pernah kamu miliki,” kata seorang konselor. Singkat, padat, dan membuatku membeku.


Kehilangan akan apa yang membuatku begini? Kalau jawaban itu ingin aku temukan, artinya aku harus menemui Mega yang barangkali saat itu masih berusia 9 tahun. Bukan sebuah pertemuan yang mudah untuk dilakukan.


Aku sering menyerah menemui anak kecil itu karena dia lebih sering menolak membuka mulut. Setiap harus mengingat-ingat apa yang terjadi, ia biasanya akan menjawab “tidak tahu” atau “lupa”. Awalnya aku mempercayai jawaban itu, tetapi kini aku mulai curiga bahwa dia cuma menyembunyikan hal-hal yang terlalu sulit untuk dibicarakan.


Anak kecil itu lebih sering hadir tiba-tiba dan semaunya sendiri. Hadir dalam pecahan tangis yang tidak jelas asalnya. Hadir dalam ledakan emosi yang membuatku menyakiti diri. Tetapi setiap aku paksa duduk dan menceritakan segalanya, lagi-lagi dia diam.


Aku menyerah menemui anak kecil itu dan mulai menemui psikolog bernama Om Ge yang lebih mau disebut “teman belajar relasi”. Aku menemuinya karena ia mau membantuku tanpa perlu mengorek-ngorek cerita Mega kecil. 


“Apakah there’s no such a thing kesepian dalam pernikahan? Itu cuma akunya, ya?” tanyaku.


“Rasa kesepian ada, nyata. Tetapi karena itu soal rasa, berarti urusannya sama diri sendiri. Rasa itu hadir karena Mega belum bersahabat dengan diri sendiri. Jadi masih minta orang lain untuk menyamankan Mega,” jawab Om Ge.


27 tahun hidup dan aku baru mengenal konsep “bersahabat dengan diri sendiri”, jelas aku tidak mengerti. 


“Bersahabat sama diri sendiri itu gimana?” tanyaku.


“Tergantung apa yang Mega mau dari sosok sahabat,” jawab Om Ge.


“Yang nyemangatin aku, yang nemenin aku kalau aku sedih, yang bisa jadi teman ngobrol ini itu,“ kataku tetap bingung mempertanyakan apakah bisa seseorang melakukan itu untuk diri sendiri.


“Ya, jadilah sosok itu buat diri sendiri,” singkat, padat, dan entah.


Kujawab “oke” meskipun tak tahu aku bisa mulai dari mana untuk menjadi “sosok” itu. Namun lirik dan musik Jason Ranti barangkali boleh disebut penyelamat.


Lagipula hidup

Sebebas itu

Jadilah apapun yang kamu rindu

Kalau saja ia yang sekarang

Lebih menerima dirinya yang dahulu

Kalau saja esok ia lebih rela akan kejadian yang sekarang

Kalau saja pasrah adalah nama tengahnya

Dan ikhlas adalah alas kakinya

Dan bebas adalah nama sambungnya

Dan terserah semua yang gila-gila

—Jalan Ninja, Jason Ranti


Aku mulai melangkah dengan memegang kata “jadilah apapun yang kamu rindu”. Untuk menjadi apa yang aku rindu, artinya adalah menjadi Mega yang hidup bersama tulisan-tulisannya dan sisanya mengalir begitu saja. Tidak perlu dicari-cari atau dinanti-nanti, kapan pun hal baik dan hal buruk hadir, biar saja ia lewat begitu saja. Keduanya pasti hadir hanya untuk berhenti sejenak, saat tugasnya selesai, ia akan pergi sesuai waktunya.


Lalu sejak aku memutuskan memilih hadir seutuhnya untuk diriku, aku mulai mengerti apa arti bersahabat dengan diri sendiri. Artinya aku menemani diriku di setiap langkah yang kuambil, bukan jadi musuh dalam diri sendiri. Menemani artinya aku hadir pada setiap impianku dari hari ke hari tanpa perlu ada yang memberikan keyakinan bahwa aku mampu melakukannya atau tidak. Hal yang jauh lebih penting lagi, aku memilih percaya pada diriku, bukan justru meragukan diri sendiri.


Kini aku mulai mengerti arti lirik ‘ternyata sepi teman abadi’ dalam lagu “Manhattan-Blok M” dari Jason Ranti. Sepi ada, nyata, dan dapat kita rasakan kapan saja. Tetapi kita tak perlu khawatir, sebab teman terbaik dalam keabadian sepi adalah diri sendiri.  

Aku mencoba mengingat-ingat lantas apa yang membuatku begitu yakin hubungan pernikahan ini akan sangat tepat dan aku tidak tolol-tolol amat ...


Aku mencoba mengingat-ingat lantas apa yang membuatku begitu yakin hubungan pernikahan ini akan sangat tepat dan aku tidak tolol-tolol amat karena terburu-buru menikah?


Aku tidak pernah lupa bagaimana pertama kali aku jatuh cinta padamu, sih. Malam itu kita pergi ke kedai kopi yang biasa aku datangi. Itu bukan kencan tetapi sekadar “menemui orang yang jauh-jauh datang dari Tangerang ke Malang”. Aku menemuimu dengan membatin kesal, “Buat apa, sih, aku harus menemui orang ini?”


Barangkali Tuhan yang menggeretku malam itu untuk jatuh cinta padamu, tepatnya pada suaramu yang teduh. Sejak saat itu kita jadi dekat walaupun terpaut oleh jarak, kamu di Tangerang dan aku di Malang, tetapi aku mencintaimu karena kamu selalu mengangkat telepon kapanpun aku membutuhkanmu untuk sekadar mendengarkanku menangis. Aku bahkan pernah menelponmu ketika kamu kerja hanya karena aku menumpahkan kopi di lensa kameraku. Kamu tidak mengucap banyak, hanya mendengarkan, dan begitu saja sudah cukup.


Aku mencintaimu karena setiap pesan ‘are you okay?’ yang kamu kirim. Aku mencintaimu karena kita bisa mendiskusikan dan menghargai banyak hal walaupun kamu tidak membaca buku-buku feminisme sekalipun. Aku mencintaimu karena kamu memilih memasak bersamaku meskipun kamu tidak bisa memasak. Padahal kamu punya pilihan untuk menganggap memasak adalah urusan perempuan dan tugasmu hanya merokok sambil menunggu masakan siap disantap seperti laki-laki misoginis kebanyakan.


Kecocokan membuatku yakin bahwa kita hadir di dunia untuk satu sama lain. Tetapi yang kini baru aku ketahui adalah kecocokan juga bisa jadi petaka pada hubungan kita.


Aku terbiasa melakukan banyak hal sendiri dan kamu menganggap tidak ada yang salah dengan sendirian. Sampai ketika aku depresi sekalipun aku tetap memilih pergi ke rumah sakit sendirian dengan mengajak anak. Saat itu aku menganggap semua ini biasa dilakukan dan menjadi pulih adalah tanggung jawabku semata. Padahal pergi ke psikiater sambil anakmu menangis jelas melelahkan. Aku sering kewalahan harus mendengarkan apa yang dikatakan psikiater atau anakku yang menangis.


Sampai aku tidak sadar mengambil tanggung jawab terlalu banyak dan kamu membiarkan semuanya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan memohon-mohon tiap ingin bergiliran mengganti popok dan memandikan anak. Kamu juga merasa tidak ada yang salah dengan tidak sadar apa perbedaan “melakukan” dengan “membantu” dalam pengasuhan dan tugas domestik.


Aku merasa keromantisan adalah hal yang basi, begitu pun juga kamu, sebab kita sama-sama dibesarkan di keluarga yang gagap mengungkapkan kepedulian dan rasa sayang. Sehingga ketika aku menangis kamu tidak pernah tahu harus berbuat apa. Bahkan kamu kerap tidak tahu aku menangis padahal kita tidur di kasur yang sama. Dulu aku menganggap semua ini biasa saja sebab aku tahu kalau emosi adalah urusanku pribadi.


Kita juga saling cocok sebab kita menikah ketika satu sama lain belum sanggup dewasa.


Ini bukan lagi soal apakah aku si anxious karena merasa perlu kepastian bahwa hubungan kita baik-baik saja sehingga selalu ingin menyelesaikan masalah saat itu juga. Kemudian bisa meledak ketika kamu tidak mau menyelesaikan masalah. Juga bukan apakah kamu si avoidant yang kerap merasa tidak nyaman ketika ada masalah dan lebih memilih tidak mau membahasnya sampai sering aku geret untuk duduk di sebelahku, menatap mataku, dan memaksamu untuk bicara.


Kamu selalu bilang, “Lebih baik aku diam karena kalau bicara aku pasti salah.”

Kamu juga sering memberikan solusi-solusi penyelesaian masalah yang tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang kita hadapi. Kamu melakukannya hanya agar masalah kita selesai walaupun solusinya tidak nyambung sama sekali.


Ketika hari ini aku ditampar kesadaran bahwa aku tidak mau lagi menjalani hubungan yang dilandasi atas ketidakpedulian, kamu kesulitan menerima fakta bahwa kamu punya andil besar dalam membiarkanku menjalani tanggung jawab dalam kesendirian. Kita membicarakan banyak hal seakan itu penting. Padahal itu tak lebih dari saling menyakiti karena kita saling meminta daripada saling memberi. 


“Kamu udah sampai kayak gitu, ya, padahal cuma karena kurang perhatian,” katamu membuat aku mempertanyakan apakah meminta perhatian adalah sebuah kesalahan dan tidak mendapat kasih sayang adalah tanggung jawab.


“Aku itu capek kerja,” katamu dan menolak fakta bahwa pasanganmu bekerja di tiga tempat berbeda sambil mengasuh anak.


Kamu memilih untuk tidak mengerti apa yang aku rasakan yang tadinya membuatku mengutuk diri karena merasa berlebihan atas semua ini. Tetapi aku kemudian sadar bahwa ketidakmauan dan ketidakmampuanmu untuk mengerti justru jadi sebuah bukti bahwa sudah semestinya aku pergi.


Pada sebuah malam di taman kecil kedai kopi di Cilandak Barat, aku mengisap Djarum Super entah berapa banyak padahal aku bukan perokok aktif. Bertindak tolol ketika hidup kacau balau memang selalu jadi ide yang bagus. Aku ditemani temanku bernama Gerardine yang juga sedang dikerjain Mercury Retrogade dan Full Moon Aquarius. Kami bertemu karena sadar saling butuh pelukan yang erat karena menghadapi laki-laki avoidant dan menyadari kenyataan bahwa kami sebetulnya sekadar manusia-manusia kesepian. 


Malam itu cukup menyadarkanku bahwa selama ini aku sudah cukup berjuang maka kini waktunya berserah. Pada kemungkinan terburuk sekalipun, let go, let God.


Tuhan barangkali tahu kapan waktu paling tepat menolongku. Pada keprasahan kita saling memeluk dan kamu mengucapkan kata ‘maaf’ dan aku hanya tidak berhenti menangis. “Aku nggak tahu kenapa sulit untuk bilang maaf,” katamu.


Aku tidak tahu bagaimana hidup akan membawaku selanjutnya, tetapi aku berterima kasih pada Tuhan yang mengizinkan semua ini terjadi. Setidaknya aku sadar bahwa aku bukan buru-buru menikah, tetapi kita hanya menikah saat sama-sama tidak sanggup dewasa. Setidaknya hari ini kita belajar lagi apa artinya mencintai sebagai orang dewasa.


Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub ad...




Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub adalah kedai kopi yang barnya terbuka dan aku bisa duduk-duduk di depan bar tersebut—orang menyebut ini sebagai coffee slow bar, pasti menyenangkan kalau bisa ngopi sambil ngobrol. Hanya itu saja yang aku ketahui dan cukup untuk membawaku pergi ke sana. 

Aku baru punya kesempatan ke Tiger Cub ketika pada suatu siang baru saja selesai bekerja untuk mengurus acara di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Ini waktu yang tepat untuk ke Tiger Cub meskipun aku masih perlu naik MRT lagi untuk pergi ke sana agar tidak dijebak dan dikerjain kemacetan Jakarta. Lebih mudah untuk turun di MRT terdekat, yaitu MRT Fatmawati, lalu jalan kaki ke Tiger Cub yang cukup ditempuh kira-kira 5 menit saja. 

Aku datang ke Tiger Cub bersama seorang teman bernama Gerardine. Pintu berwarna cokelat hangat, dinding putih polos, dan papan tanda hitam bertuliskan “Tiger Cub” adalah yang kami temui ketika pertama kali sampai di Tiger Cub. Kami masuk dan saat itu tidak ada siapa-siapa selain seorang abang-abang penyeduh kopi yang berpakaian kaus lengan panjang dengan motif bergari merah marun dan putih. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat serasi dengan kehangatan dan kesederhanaan bar kopi Tiger Cub. 

Bar kopi Tiger Cub berwarrna coklat, tidak terlalu gelap maupun terang, dan tidak terlalu tinggi. Aku bisa duduk di depan bar tanpa takut jatuh karena kursinya rendah. Ada rak dinding cukup besar yang diisi beragam cangkir kopi yang manis. Kompornya selalu menyala untuk memasak air panas dari ceret yang besar. Aku tidak menemui kettle atau ceret-ceret canggih di sana. 

Begitu saja sudah cukup membuatku jatuh cinta dengan tempat ini. 

Aku dan Gerardine duduk persis di depan tempat penyeduh kopi membuatkan setiap pesanan. Aku tidak ingat persis apa yang kami obrolkan saat itu, yang pasti aku dan Gerardine sibuk mengomentari setiap detail Tiger Cub yang lucu dan menggemaskan. 

“Ya ampun lucu sekali cangkirnya.” 

“Waaah, apple pie! Aku belum pernah makan apple pie!” 

Tampaknya kami lebih pantas disebut bocah yang dipaksa menghadapi kedewasaan. 

Aku pun izin ke abang-abang penyeduh kopi untuk merekam karena jelas ini harus aku ceritakan di akun Tamasya Kedai Kopi. Setiap kali bertamasya, aku tidak selalu merekam siapa yang membuatkanku kopi. Aku lebih banyak mendengar gut feeling untuk memutuskan aku akan merekam dan menceritakan penyeduhnya atau tidak. Firasatku hari itu mengatakan dia tidak terganggu dengan kehadiran kami, jadi itu sudah cukup membuatku berani untuk merekamnya dan mengatakan, “Kita belum kenalan, loh, aku Mega.” 

“Aku Ridwan,” katanya pendek. 

Seperti pada kunjungan-kunjungan pada umumnya, kalau firasatku berkata baik, aku biasanya akan menanyai akun Instagram setiap penyeduh atau barista yang aku temui. Sebab aku merasa secangkir kopi itu menjadi istimewa tidak hanya karena tempat dan kopinya, tetapi juga siapa yang membuatnya. 

“Aku follow, ya,” kataku ketika tahu akun Bang Ridwan. 

“Udah nggak usah di-follow,” jawabnya. 

Follow lah, biar aku gak lupa,” kataku. 

Aku follow setiap orang bukan karena aku butuh followers. Itu hanya caraku agar ingat siapa orang yang pernah aku temui. Kalau tidak, biasanya aku akan lupa pada setiap orang yang pernah kutemui. 

Aku mulai melihat-lihat sekitarku. Ada ragam racikan teh yang membuat aku dan Gerardine kembali menjadi bocah ketika melihatnya. Saat Bang Ridwan menyeduh teh Nico Ruby, reaksi kami tak jauh berbeda, “Waaah, warnanya cantik sekali.” 

Nico Ruby mengeluarkan warna merah keunguan karena diseduh. Perpaduan teh hijau, bunga telang, chamomile, raisin, anggur, dan potongan buah stroberi membuat rasanya ajaib. Aku tidak pernah mencicipi teh seperti itu sebelumnya. 

Aku juga melihat kopi yang digunakan adalah Wisang Kopi. Satu roastery yang jelas aku ingat sebab dahulu tiap ke Jakarta selalu mampir ke Wisang Kopi. Aku juga tidak tahu persis apa yang membuatku selalu kembali ke Wisang Kopi padahal di Jakarta punya banyak pilihan mengopi. Tetapi ujung-ujungnya Wisang Kopi selalu jadi tujuan bertemu teman ketika di Jakarta. 

“Kopinya dari Wisang Kopi semua, ya?” tanyaku. 

Jawaban dari Bang Ridwan kemudian membuatku tahu bahwa Tiger Cub dengan Wisang Kopi memang satu kepemilikan. Mendengar itu aku jadi spontan menceritakan momen-momen lucu yang sangat berharga di Wisang Kopi sambil menikmati kopi yang dibuat oleh Bang Ridwan. Kopi pertama yang aku nikmati adalah Gayo Kenawat yang disajikan panas di cangkir harimau. Kopi kedua, Frinsa Lactic Natural yang ketika dibuat dingin sangat manis dan menyegarkan. 

Saking manisnya aku sampai menggumam berkali-kali, “Huhu enak sekali.” 

Begitu saja momen mengopi hari itu. Ketika sampai rumah, aku setidaknya tahu tiga hal. Pertama, jelas aku akan datang lagi ke Tiger Cub. Kedua, ternyata pemilik Tiger Cub dan Wisang Kopi adalah orang yang sama. Ketiga, Bang Ridwan adalah penyeduh kopi yang menyenangkan dan punya senyum yang manis meskipun dia tidak begitu banyak berekspresi hari itu. 

Perihal poin ketiga aku punya momen memalukan. Saat itu seorang teman dekat akhirnya juga mengunjungi Tiger Cub ketika Bang Ridwan sedang menyeduh kopi. Kemudian temanku mengirim pesan, “Lo suka mas-mas manis ya, Meg.” Aku tertawa keras-keras membacanya sampai pipiku kesakitan. Dia adalah teman yang tahu betul siapa mas-mas manis di setiap kedai kopi yang aku kunjungi. 

Kadang-kadang aku berkelakar tentang orang manis yang kutemui dengan, “Dia manis tetapi terlalu rapi, sepertinya dia gay.” Temanku kadang juga menanggapi sekenanya dengan, “Iya, kayaknya dia gay.” Bagiku sebagai orang yang sudah punya suami, menganggap orang manis adalah gay jadi cara paling praktis untuk segera melupakan orang tersebut. Itu hanya sebagai taktik self-control belaka. 

Tentu aku menulis terus terang begini karena sudah mendiskusikan panjang kali lebar dengan suamiku perihal, “Apakah aku boleh menganggap seseorang itu manis?” Kesimpulan kami sama, itu hal yang biasa-biasa saja untuk dilakukan. Tidak ada yang spesial. Kita tidak pernah bisa mengontrol isi pikiran kita yang spontan, kita cuma bisa mengontrol aksi setelah bertemu orang yang kita anggap menarik. 

Suamiku sendiri juga tidak pernah masalah aku ngopi dengan siapa saja walau berdua sekalipun. Dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk memastikan itu hanya acara ngopi-ngopi biasa bukan sebuah kencan. Ya, padahal aku bisa juga melakukan hal-hal tolol, tetapi dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk mengambil keputusan selayaknya perempuan yang pintar. 

Jelang beberapa bulan setelah kunjungan pertama ke Tiger Cub, aku kembali ke sana bersama Gerardine. Kami kembali bukan karena Bang Ridwan manis, tapi karena kami rindu saja dengan suasananya dan berencana kembali mampir sepulang kerja. Hari itu aku juga mengajak anakku yang berusia 3 tahun karena taman di samping Tiger Cub adalah ide yang bagus untuk menghabiskan waktu bersama. 

“Nanti kita lari-larian ya, Gama. Tempatnya ada tamannya gitu, deh,” kataku pada Gama. 

“Ya, ya, ya! Lari lari lari!” kata Gama sambil menggambarkan gerakan lari-lari dengan jari-jarinya yang kecil. 

Setiba di Tiger Cub, suasana lebih ramai daripada ketika pertama kali kami ke sana. Aku, Gerardine dan Bang Ridwan kali ini lebih bisa membicarakan banyak hal. Gama juga tampak senang bermain dengan kucing sampai dia benar-benar kelelahan dan tidur di pangkuanku ketika hari semakin gelap. 

Aku masih melihat Bang Ridwan sebagai penyeduh kopi yang menyenangkan. Kini aku bahkan melihatnya seperti betul-betul mencintai pekerjaannya karena dia menyapa setiap pelanggannya. Meskipun kali ini dia lebih banyak bercanda dan meledekku, “Tuh, emak lu capek, Gama.” 

Bisa kubilang hari itu suasana Tiger Cub mungkin punya energi yang lebih ajaib dari sebelumnya. Gerardine tiba-tiba bertemu seorang teman. Obrolan dengan pelanggan kopi lainnya juga menyenangkan meskipun kami tak saling kenal. 

Saat itu seorang pelanggan yang bertanya apakah ada menu dengan susu, kalau aku tidak salah ingat, ya. Tiger Cub tidak punya, semua menunya dibuat secara manual dan tidak ada yang dengan susu. Aku juga baru sadar saat itu. 

Kemudian pelanggan tersebut mulai bertanya apa minuman manis yang bisa dipesan. Frinsa Lactic Natural kalau disajikan dingin sebenarnya manis. Tetapi setiap orang punya persepsi manis berbeda, jadi aku cukup mengerti mengapa itu tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pelanggan yang lebih sering minum kopi dengan susu atau kopi yang manis dengan gula. 

Bang Ridwan kemudian merekomendasikan menu Bilateral Coffee Ice. Sebuah menu yang aku juga pesan, sih. Kopi hitam yang disajikan dingin dengan sirup blueberry. Aku sebut itu “minuman lucu yang menyenangkan”. 

Perpaduan kopi hitam dingin yang sering kita temukan di kedai kopi adalah kopi hitam yang dipadukan dengan lemon. Menu dingin ini bisa membangunkan mata yang ngantuk sebab sibuk mengernyitkan dahi karena saking asamnya minuman tersebut. Tetapi kopi hitam yang dipadukan dengan sirup blueberry dan kamu masih bisa merasakan potongan kecil blueberry-nya adalah perpaduan yang cerdas. Aku masih bisa merasakan kopinya yang pekat tetapi juga punya manis dengan sedikit asam dari buah blueberry yang menyenangkan. 

“Kawin gitu kopi dan manisnnya,” kata Bang Ridwan. Sejujurnya aku paling malas mendeskripsikan makanan atau minuman dengan kata ‘kawin’ karena di otakku setiap mendengarkan kata itu selalu muncul pemikiran, “Emang makanan atau minumannya ngapain, kok, jadi kawin?” Tetapi aku paham konteksnya jadi sepakat dengannya. 

Malam itu ditutup oleh pertemuanku dengan Mas Cubung, pemilik Tiger Cub. Kami pernah bertemu di Wisang Kopi, tetapi karena ingatanku yang buruk, aku sih tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Kami saling menertawakan kejadian di Wisang Kopi pada 2018 lalu dan lebih banyak membicarakan tentang bagaimana menjalani kehidupan menjadi orang tua yang ugal-ugalan. Itu obrolan yang menyenangkan. 

Hari itu aku senyum lebih banyak dan lebih lama. Hatiku penuh dengan kehangatan hanya dengan mengunjungi kedai kopi. Saking menyenangkannya hari itu, membuatku sadar apa yang berbeda jika tidak sedang depresi. 

Ketika tidak sedang depresi, lebih mudah melihat dan menyadari sisi baik dan momen menyenangkan setiap harinya. Ketika sedang depresi, sangat mudah untuk punya kesimpulan sia-sia untuk melanjutkan kehidupan. 

Ketika tidak sedang depresi, aku bisa berpikir, memang betul sangat melelahkan mengajak anak bekerja. Tetapi kalau tidak ada dia, jelas kali ini tidak semenyenangkan seperti hari ini. 

Ketika sedang depresi, aku bisa berpikir, aku tidak tahu apakah sanggup melalui hari-hari melelahkan bekerja sambil mengasuh anak. Setiap berangkat kerja bersama anak, aku selalu dihantui rasa cemas berlebihan yang membuat kepalaku sakit dan sering berujung dengan menyakiti kepalaku sendiri. 

Tahun lalu untuk bangun tidur saja terasa berat, setiap pagi selalu ada rasa sesak yang menyelimuti dadaku setiap bangun tidur. Tetapi lihat diriku hari ini, tersenyum lebar-lebar karena hari ini begitu menyenangkan meskipun enam bulan terakhir aku dibuat babak belur. 

Terima kasih Gerardine, Bang Ridwan, kucing Tiger Cub, Mas Cubung, dan siapa saja yang kutemui di Tiger Cub karena membuatku sanggup untuk meyakini bahwa kegilaan dan rasa sakit adalah bagian dari risiko kehidupan. Tetapi karena keduanya adalah kepastian, aku akan menyambut setiap kebaikan yang datang dengan penuh syukur selagi aku masih diberi Tuhan kebaikan tersebut. Terima kasih sudah meyakinkanku bahwa segila-gilanya kehidupan, selalu ada momen-momen manis yang patut kita syukuri. 

Mendadak aku ingat potongan paragraf di buku anak berjudul 'Le Petit Prince', 

Of course I’ll hurt you. Of course you’ll hurt me. Of course we will hurt each other. But this is the very condition of existence. To become spring means accepting the risk of winter. To become presence, means accepting the risk of absence.

Jatuh cinta itu mudah. Merawat cinta itu perkara lain. Satu hal lagi yang aku tahu tentang cinta setelah menjalani pernikahan 5 tahun adalah...

Jatuh cinta itu mudah. Merawat cinta itu perkara lain. Satu hal lagi yang aku tahu tentang cinta setelah menjalani pernikahan 5 tahun adalah rumah tangga itu cinta yang perlu dirawat dengan kerja keras. Cinta yang perlu dijaga untuk menghargai komitmen yang telah dibuat sejak pertama kali mengikat janji pada hari pernikahan.


Kita perlu mencintai pasangan dengan lebih keras di pernikahan sebab hari-hari tidak selalu belangsung baik. Kadang kita lebih fokus membagi tugas siapa yang memandikan anak dan mencuci piring daripada menanyai satu sama lain tentang kabar masing-masing. Kita terlalu sibuk berusaha bertahan hidup dengan menjalani banyak peran sekaligus sebagai seorang suami atau istri, ayah atau ibu, pekerja domestik, karyawan dan lain-lain sampai lupa sekadar bertanya, “Kamu gimana keadaannya?” 


Pernikahan membuat kita harus merawat cinta setiap hari, bukan mencintai selagi kita punya waktu. Tidak seperti ketika sekadar naksir dengan orang lain yang kita cuma perlu menanyai kabarnya dan itu sudah lebih dari cukup.


Sayangnya daftar tugas mencintai dalam rumah tangga membuat kita lupa sebetulnya apa yang paling dibutuhkan satu sama lain. Bukan soal rumah yang rapi atau perut yang kenyang. Tetapi soal apakah kita sanggup menemani satu sama lain hingga tua nanti bagaimana pun dunia menceburkan diri kita pada lautan yang dalam. Soal apakah kita sanggup menyayangi dan mengerti satu sama lain meskipun energi telah dihabiskan untuk memahami diri sendiri.


Ketika kita kehabisan energi dan masih harus saling mencintai kadang-kadang berujung menjadi saling menyakiti satu sama lain. Sesederhana keluhan “aku lagi capek” yang aku ucapkan karena bekerja sambil mengurus anak tetapi justru mendapat jawaban “aku juga capek” bisa memperburuk hubungan yang telah dibangun. Aku mulai menyakiti suamiku dengan, “Tetapi lelahnya berbeda.” Padahal seharusnya aku bisa bilang, “Aku tahu kamu capek. Tapi aku boleh dimengerti dulu atas kelelahan yang aku miliki nggak?”


Di sini lah kerja keras itu dibutuhkan dan kadang-kadang aku merasa kerja keras sendirian karena suamiku sangat payah dalam hal memahami perasaan diri dan pasangannya. Aku bisa bilang dia kehilangan kemampuan merasa. Kadang-kadang aku meledeknya dengan, mungkin gara-gara dulu kamu suka mabuk jadi terlatih mati rasa karena itu. Dia sepakat dan kami saling tertawa.


Aku tidak pernah mengenal suamiku ketika dia suka minum. Tetapi aku tahu dia pernah hampir mati karena mabuk dan itu yang membuatnya berhenti minum. Aku mengenal suamiku ketika dia sudah sadar sekaligus mati rasa.


Tetapi aku mengerti bahwa kita saling punya luka masa kecil hanya saja kita merespon dengan cara berbeda. Aku memilihnya sebagai pasangan hidupku dan artinya aku menerima setiap risiko. Bahwa aku akan jadi orang yang paling pertama berusaha memperbaiki hubungan yang telah kita bangun untuk bisa ingat apa artinya menikah dan saling mencintai.


“Boleh nggak kalau aku bilang capek, kamu nggak menjawab ‘aku juga capek’. Kamu boleh cerita juga kamu capek, tetapi dengarkan dulu aku capek kenapa? Sama boleh nggak, kalau aku mengerjakan tugas domestik, kamu mengucapkan terima kasih? Aku tuh nggak butuh dikasih uang atau dibayarin ini itu, tapi aku butuh dihargai dengan kamu melihat apa yang aku kerjakan,” kataku pada hari yang lain.


Aku belajar memberitahu kebutuhanku dan suamiku belajar lebih mengerti perasaanku. Tidak mudah karena mengapa cinta perlu dilakukan dengan kerja keras daripada penuh keindahan? Ya, namanya juga merawat cinta, bukan jatuh cinta.