Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub adalah kedai kopi yang barnya terbuka dan aku bisa duduk-duduk di depan bar tersebut—orang menyebut ini sebagai coffee slow bar, pasti menyenangkan kalau bisa ngopi sambil ngobrol. Hanya itu saja yang aku ketahui dan cukup untuk membawaku pergi ke sana.
Aku baru punya kesempatan ke Tiger Cub ketika pada suatu siang baru saja selesai bekerja untuk mengurus acara di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Ini waktu yang tepat untuk ke Tiger Cub meskipun aku masih perlu naik MRT lagi untuk pergi ke sana agar tidak dijebak dan dikerjain kemacetan Jakarta. Lebih mudah untuk turun di MRT terdekat, yaitu MRT Fatmawati, lalu jalan kaki ke Tiger Cub yang cukup ditempuh kira-kira 5 menit saja.
Aku datang ke Tiger Cub bersama seorang teman bernama Gerardine. Pintu berwarna cokelat hangat, dinding putih polos, dan papan tanda hitam bertuliskan “Tiger Cub” adalah yang kami temui ketika pertama kali sampai di Tiger Cub. Kami masuk dan saat itu tidak ada siapa-siapa selain seorang abang-abang penyeduh kopi yang berpakaian kaus lengan panjang dengan motif bergari merah marun dan putih. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat serasi dengan kehangatan dan kesederhanaan bar kopi Tiger Cub.
Bar kopi Tiger Cub berwarrna coklat, tidak terlalu gelap maupun terang, dan tidak terlalu tinggi. Aku bisa duduk di depan bar tanpa takut jatuh karena kursinya rendah. Ada rak dinding cukup besar yang diisi beragam cangkir kopi yang manis. Kompornya selalu menyala untuk memasak air panas dari ceret yang besar. Aku tidak menemui kettle atau ceret-ceret canggih di sana.
Begitu saja sudah cukup membuatku jatuh cinta dengan tempat ini.
Aku dan Gerardine duduk persis di depan tempat penyeduh kopi membuatkan setiap pesanan. Aku tidak ingat persis apa yang kami obrolkan saat itu, yang pasti aku dan Gerardine sibuk mengomentari setiap detail Tiger Cub yang lucu dan menggemaskan.
“Ya ampun lucu sekali cangkirnya.”
“Waaah, apple pie! Aku belum pernah makan apple pie!”
Tampaknya kami lebih pantas disebut bocah yang dipaksa menghadapi kedewasaan.
Aku pun izin ke abang-abang penyeduh kopi untuk merekam karena jelas ini harus aku ceritakan di akun Tamasya Kedai Kopi. Setiap kali bertamasya, aku tidak selalu merekam siapa yang membuatkanku kopi. Aku lebih banyak mendengar gut feeling untuk memutuskan aku akan merekam dan menceritakan penyeduhnya atau tidak. Firasatku hari itu mengatakan dia tidak terganggu dengan kehadiran kami, jadi itu sudah cukup membuatku berani untuk merekamnya dan mengatakan, “Kita belum kenalan, loh, aku Mega.”
“Aku Ridwan,” katanya pendek.
Seperti pada kunjungan-kunjungan pada umumnya, kalau firasatku berkata baik, aku biasanya akan menanyai akun Instagram setiap penyeduh atau barista yang aku temui. Sebab aku merasa secangkir kopi itu menjadi istimewa tidak hanya karena tempat dan kopinya, tetapi juga siapa yang membuatnya.
“Aku follow, ya,” kataku ketika tahu akun Bang Ridwan.
“Udah nggak usah di-follow,” jawabnya.
“Follow lah, biar aku gak lupa,” kataku.
Aku follow setiap orang bukan karena aku butuh followers. Itu hanya caraku agar ingat siapa orang yang pernah aku temui. Kalau tidak, biasanya aku akan lupa pada setiap orang yang pernah kutemui.
Aku mulai melihat-lihat sekitarku. Ada ragam racikan teh yang membuat aku dan Gerardine kembali menjadi bocah ketika melihatnya. Saat Bang Ridwan menyeduh teh Nico Ruby, reaksi kami tak jauh berbeda, “Waaah, warnanya cantik sekali.”
Nico Ruby mengeluarkan warna merah keunguan karena diseduh. Perpaduan teh hijau, bunga telang, chamomile, raisin, anggur, dan potongan buah stroberi membuat rasanya ajaib. Aku tidak pernah mencicipi teh seperti itu sebelumnya.
Aku juga melihat kopi yang digunakan adalah Wisang Kopi. Satu roastery yang jelas aku ingat sebab dahulu tiap ke Jakarta selalu mampir ke Wisang Kopi. Aku juga tidak tahu persis apa yang membuatku selalu kembali ke Wisang Kopi padahal di Jakarta punya banyak pilihan mengopi. Tetapi ujung-ujungnya Wisang Kopi selalu jadi tujuan bertemu teman ketika di Jakarta.
“Kopinya dari Wisang Kopi semua, ya?” tanyaku.
Jawaban dari Bang Ridwan kemudian membuatku tahu bahwa Tiger Cub dengan Wisang Kopi memang satu kepemilikan. Mendengar itu aku jadi spontan menceritakan momen-momen lucu yang sangat berharga di Wisang Kopi sambil menikmati kopi yang dibuat oleh Bang Ridwan. Kopi pertama yang aku nikmati adalah Gayo Kenawat yang disajikan panas di cangkir harimau. Kopi kedua, Frinsa Lactic Natural yang ketika dibuat dingin sangat manis dan menyegarkan.
Saking manisnya aku sampai menggumam berkali-kali, “Huhu enak sekali.”
Begitu saja momen mengopi hari itu. Ketika sampai rumah, aku setidaknya tahu tiga hal. Pertama, jelas aku akan datang lagi ke Tiger Cub. Kedua, ternyata pemilik Tiger Cub dan Wisang Kopi adalah orang yang sama. Ketiga, Bang Ridwan adalah penyeduh kopi yang menyenangkan dan punya senyum yang manis meskipun dia tidak begitu banyak berekspresi hari itu.
Perihal poin ketiga aku punya momen memalukan. Saat itu seorang teman dekat akhirnya juga mengunjungi Tiger Cub ketika Bang Ridwan sedang menyeduh kopi. Kemudian temanku mengirim pesan, “Lo suka mas-mas manis ya, Meg.” Aku tertawa keras-keras membacanya sampai pipiku kesakitan. Dia adalah teman yang tahu betul siapa mas-mas manis di setiap kedai kopi yang aku kunjungi.
Kadang-kadang aku berkelakar tentang orang manis yang kutemui dengan, “Dia manis tetapi terlalu rapi, sepertinya dia gay.” Temanku kadang juga menanggapi sekenanya dengan, “Iya, kayaknya dia gay.” Bagiku sebagai orang yang sudah punya suami, menganggap orang manis adalah gay jadi cara paling praktis untuk segera melupakan orang tersebut. Itu hanya sebagai taktik self-control belaka.
Tentu aku menulis terus terang begini karena sudah mendiskusikan panjang kali lebar dengan suamiku perihal, “Apakah aku boleh menganggap seseorang itu manis?” Kesimpulan kami sama, itu hal yang biasa-biasa saja untuk dilakukan. Tidak ada yang spesial. Kita tidak pernah bisa mengontrol isi pikiran kita yang spontan, kita cuma bisa mengontrol aksi setelah bertemu orang yang kita anggap menarik.
Suamiku sendiri juga tidak pernah masalah aku ngopi dengan siapa saja walau berdua sekalipun. Dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk memastikan itu hanya acara ngopi-ngopi biasa bukan sebuah kencan. Ya, padahal aku bisa juga melakukan hal-hal tolol, tetapi dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk mengambil keputusan selayaknya perempuan yang pintar.
Jelang beberapa bulan setelah kunjungan pertama ke Tiger Cub, aku kembali ke sana bersama Gerardine. Kami kembali bukan karena Bang Ridwan manis, tapi karena kami rindu saja dengan suasananya dan berencana kembali mampir sepulang kerja. Hari itu aku juga mengajak anakku yang berusia 3 tahun karena taman di samping Tiger Cub adalah ide yang bagus untuk menghabiskan waktu bersama.
“Nanti kita lari-larian ya, Gama. Tempatnya ada tamannya gitu, deh,” kataku pada Gama.
“Ya, ya, ya! Lari lari lari!” kata Gama sambil menggambarkan gerakan lari-lari dengan jari-jarinya yang kecil.
Setiba di Tiger Cub, suasana lebih ramai daripada ketika pertama kali kami ke sana. Aku, Gerardine dan Bang Ridwan kali ini lebih bisa membicarakan banyak hal. Gama juga tampak senang bermain dengan kucing sampai dia benar-benar kelelahan dan tidur di pangkuanku ketika hari semakin gelap.
Aku masih melihat Bang Ridwan sebagai penyeduh kopi yang menyenangkan. Kini aku bahkan melihatnya seperti betul-betul mencintai pekerjaannya karena dia menyapa setiap pelanggannya. Meskipun kali ini dia lebih banyak bercanda dan meledekku, “Tuh, emak lu capek, Gama.”
Bisa kubilang hari itu suasana Tiger Cub mungkin punya energi yang lebih ajaib dari sebelumnya. Gerardine tiba-tiba bertemu seorang teman. Obrolan dengan pelanggan kopi lainnya juga menyenangkan meskipun kami tak saling kenal.
Saat itu seorang pelanggan yang bertanya apakah ada menu dengan susu, kalau aku tidak salah ingat, ya. Tiger Cub tidak punya, semua menunya dibuat secara manual dan tidak ada yang dengan susu. Aku juga baru sadar saat itu.
Kemudian pelanggan tersebut mulai bertanya apa minuman manis yang bisa dipesan. Frinsa Lactic Natural kalau disajikan dingin sebenarnya manis. Tetapi setiap orang punya persepsi manis berbeda, jadi aku cukup mengerti mengapa itu tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pelanggan yang lebih sering minum kopi dengan susu atau kopi yang manis dengan gula.
Bang Ridwan kemudian merekomendasikan menu Bilateral Coffee Ice. Sebuah menu yang aku juga pesan, sih. Kopi hitam yang disajikan dingin dengan sirup blueberry. Aku sebut itu “minuman lucu yang menyenangkan”.
Perpaduan kopi hitam dingin yang sering kita temukan di kedai kopi adalah kopi hitam yang dipadukan dengan lemon. Menu dingin ini bisa membangunkan mata yang ngantuk sebab sibuk mengernyitkan dahi karena saking asamnya minuman tersebut. Tetapi kopi hitam yang dipadukan dengan sirup blueberry dan kamu masih bisa merasakan potongan kecil blueberry-nya adalah perpaduan yang cerdas. Aku masih bisa merasakan kopinya yang pekat tetapi juga punya manis dengan sedikit asam dari buah blueberry yang menyenangkan.
“Kawin gitu kopi dan manisnnya,” kata Bang Ridwan. Sejujurnya aku paling malas mendeskripsikan makanan atau minuman dengan kata ‘kawin’ karena di otakku setiap mendengarkan kata itu selalu muncul pemikiran, “Emang makanan atau minumannya ngapain, kok, jadi kawin?” Tetapi aku paham konteksnya jadi sepakat dengannya.
Malam itu ditutup oleh pertemuanku dengan Mas Cubung, pemilik Tiger Cub. Kami pernah bertemu di Wisang Kopi, tetapi karena ingatanku yang buruk, aku sih tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Kami saling menertawakan kejadian di Wisang Kopi pada 2018 lalu dan lebih banyak membicarakan tentang bagaimana menjalani kehidupan menjadi orang tua yang ugal-ugalan. Itu obrolan yang menyenangkan.
Hari itu aku senyum lebih banyak dan lebih lama. Hatiku penuh dengan kehangatan hanya dengan mengunjungi kedai kopi. Saking menyenangkannya hari itu, membuatku sadar apa yang berbeda jika tidak sedang depresi.
Ketika tidak sedang depresi, lebih mudah melihat dan menyadari sisi baik dan momen menyenangkan setiap harinya. Ketika sedang depresi, sangat mudah untuk punya kesimpulan sia-sia untuk melanjutkan kehidupan.
Ketika tidak sedang depresi, aku bisa berpikir, memang betul sangat melelahkan mengajak anak bekerja. Tetapi kalau tidak ada dia, jelas kali ini tidak semenyenangkan seperti hari ini.
Ketika sedang depresi, aku bisa berpikir, aku tidak tahu apakah sanggup melalui hari-hari melelahkan bekerja sambil mengasuh anak. Setiap berangkat kerja bersama anak, aku selalu dihantui rasa cemas berlebihan yang membuat kepalaku sakit dan sering berujung dengan menyakiti kepalaku sendiri.
Tahun lalu untuk bangun tidur saja terasa berat, setiap pagi selalu ada rasa sesak yang menyelimuti dadaku setiap bangun tidur. Tetapi lihat diriku hari ini, tersenyum lebar-lebar karena hari ini begitu menyenangkan meskipun enam bulan terakhir aku dibuat babak belur.
Terima kasih Gerardine, Bang Ridwan, kucing Tiger Cub, Mas Cubung, dan siapa saja yang kutemui di Tiger Cub karena membuatku sanggup untuk meyakini bahwa kegilaan dan rasa sakit adalah bagian dari risiko kehidupan. Tetapi karena keduanya adalah kepastian, aku akan menyambut setiap kebaikan yang datang dengan penuh syukur selagi aku masih diberi Tuhan kebaikan tersebut. Terima kasih sudah meyakinkanku bahwa segila-gilanya kehidupan, selalu ada momen-momen manis yang patut kita syukuri.
Mendadak aku ingat potongan paragraf di buku anak berjudul 'Le Petit Prince',
Of course I’ll hurt you. Of course you’ll hurt me. Of course we will hurt each other. But this is the very condition of existence. To become spring means accepting the risk of winter. To become presence, means accepting the risk of absence.
Temukan Penulis
biasanya penulis lebih banyak mengoceh di sini