sophiamega

Tak jauh-jauh dari mengoceh soal buku dan hidup

banner image
  • Home
  • Tentang aku

Bagaimana caranya bikin konten untuk keperluan pribadi ketika sebetulnya juga punya pekerjaan, bayi, dan juga perlu mengurus domestik rumah? Ini pertanyaan yang selalu kuhindari sebab aku tak pernah benar-benar tahu jawabannya sehingga sering ragu menjawab. Tetapi kali ini aku mencoba ingin membagikan caraku mengatur waktu jadi kreator konten.

STRATEGI WAKTU 01:

CARI WAKTU FOKUS

Pada strategi waktu aku mencari waktu yang membantuku benar-benar fokus untuk menuntaskan satu konten hingga upload, meski hanya memiliki 2-3 jam saja.

Instagram & Tik Tok

Untuk mengelola konten Instagram dan Tik Tok, aku tidak punya perencanaan yang rapi atau bahkan sesederhana daftar ide konten. Aku hanya meluangkan atau menyediakan waktu kosong meski hanya dua atau tiga jam, tidak selalu setiap hari juga, tetapi yang jelas di waktu itu impulsif saja penginnya bikin konten apa.

Aku tidak terlalu memerhatikan tampilan feed Instagram yang rapi, jadi bergantung hari itu terpikir bikin konten yang seperti apa. Kalau Tik Tok, sebab harus tampil depan kamera, biasanya aku sempatkan ketika aku sedang bikin video YouTube. Jadi selepas bikin video YouTube, kan masih dandan tuh, sekalian deh bikin video Tik Tok. Memang jadinya belum mampu rutin Tik Tok, tetapi aku tidak masalah karena Tik Tok bukan prioritasku.

YouTube

YouTube jadi platform yang cukup challenging, soalnya perencanaannya kudu rapi, seperti kapan mau bikin videonya, kapan ngeditnya, kapan upload-nya. Yang perlu dilakukan sangat banyak. Tapi berikut ini yang membantuku:

  1. Aku akan memilih satu hari khusus untuk membuat konten YouTube.
  2. Selama menunggu jadwal hari membuat konten, aku akan mencicil yang lain, seperti membuat rangkuman video dan berlatih bicara.
  3. Lalu aku akan mengedit kontennya lewat ponsel saja karena kalau harus duduk di depan laptop terus-menerus itu membuat proses pembuatan kontennya gak segera selesai karena aku juga harus menemani anakku.
Hal yang membantuku untuk rutin upload YouTube adalah mengingat aku ingin upload seberapa sering. Dulu sih aku penginnya 2 konten setiap minggu, tapi sekarang aku baru punya tanggung jawab baru di pekerjaan. Jadi aku perlu mengubahnya. Mengingat target membantuku untuk bersemangat, tapi jangan lupa membuat target yang masuk akal dengan kemampuan.

STRATEGI WAKTU 02:

CARI CARA CEPAT MEMBUAT KONTEN


Memotret dengan kamera lebih memakan waktu daripada memotret dengan ponsel. Ketika memotret dengan kamera, ada proses pemindahan file dan lain-lain. Aku akhirnya memilih mana jalan paling mudah untuk mengeksekusi ide konten. Aku mengabaikan keinginan membuat konten yang sempurna sebab aku tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk melakukan itu. Sehingga aku memilih cara yang paling cepat.

Sejak melahirkan aku juga kesulitan untuk mengedit video di laptop menggunakan Adobe Premiere, jadi aku memilih pakai aplikasi ponsel bernama Inshot saja. Hasilnya mungkin tak sebagus Adobe Premiere, tetapi untuk saat ini aku mengutamakan: 1) yang aku sampaikan bermanfaat; 2) aku rutin upload. Sehingga kualitas konten yang sempurna aku abaikan dahulu.

Di sini aku juga berlatih untuk bisa membuat konten lebih cepat. Misalnya saja menulis blog semacam ini, aku akan menulis cepat saja, nggak banyak pertimbangan bagaimana tulisan baik semestinya dikerjakan. Pertimbangan semacam itu untuk menulis buku saja. Biasanya untuk blog atau caption, aku nggak begitu memikirkannya. Sebelum berlatih membuat konten yang sempurna, aku memilih berlatih membuat konten yang cepat lebih dahulu.

Tetapi untuk mampu mengerjakan dengan cepat nggak tiba-tiba bisa. Kemampuanku menulis dengan cepat dilatih karena aku bekerja sebagai Social Media Specialist dan dulu pernah menjadi Content Writer, jadi aku terpaksa berlatih menulis cepat karena harus berhadapan dengan deadline.

STRATEGI MODEL KONTEN

Mengerjakan konten yang sesuai idealisme pasti menyenangkan, tetapi aku sadar aku nggak selalu bisa melakukannya. Misalnya aku nggak bisa bikin video analisis buku mendalam setiap minggu. Maka aku akan membagi model konten setidaknya menjadi dua: 1) konten yang secara isi mudah dibuat; 2) konten yang mendalam.

Membagi model konten yang mudah dan sulit membantu mengatur waktu agar bisa membuat konten lebih rutin.

BAGAIMANA JIKA STRATEGI DI ATAS TAK BERJALAN SEBAGAI MANA MESTINYA?


Terkadang jadwal pekerjaan berubah, atau mungkin ada tanggung jawab baru yang perlu kita pegang, atau kemarin baru sakit sehingga perlu pulih dulu sehingga tak bisa mengerjakan konten apa-apa. Bagaimana menyikapinya, ya? Aku tidak gelisah dengan tak mampunya aku konsisten.

Kurasa aku cukup mampu untuk tahu kapan aku berhenti dari vakum. Setelah dihadapkan dengan kondisi seperti itu biasanya aku akan coba atur strategi waktu lagi, karena pasti strategi lama nggak bisa bekerja dengan tanggung jawab baru. Entah aku mengurangi target atau mengubah strategi lainnya.

Masalah mengatur waktu jadi kreator konten sudah kutulis, selanjutnya membahas apa lagi, nih?



Bekerja di agency selalu kuhindari karena merasa nggak mampu sama workload-nya dan kayaknya enggak bisa kerja remote. Ditambah sejak menjadi ibu, aku semakin ragu dan menghindari pekerjaan di agency. Sampai bulan Februari 2022, aku diterima bekerja di sebuah agency dengan proses rekruitmen yang cenderung mulus.

Meski menghindari, sebetulnya aku masih coba melamar, sih. Nggak jauh-jauh dari social media specialist atau copywriter. Tapi aku yakin masuk ke tahap wawancara aja enggak bakal kejadian, aku yakin portofolioku enggak bakal dianggap bagus karena aku sama sekali nggak punya pengalaman kerja di agency. Jadi sebetulnya setiap melamar kerja di agency aku selalu “melamar lalu lupakan”, karena nggak bakal keterima juga.

Tapi di bulan Februari ini aku keterima. Tadinya iseng melamar di Glints, terus dipanggil wawancara dengan keadaan berpikir, oh emangnya aku melamar, ya? Lalu ketika akan wawancara, aku mendadak ragu.

Keraguan itu bermacam-macam, mulai dari sebetulnya aku lagi overwhelmed karena suamiku positif COVID-19, aku betul-betul harus berhadapan dengan amarahku yang meletup-letup, dan aku juga yakin meski wawancara pun nggak bakal diterima, dan pasti kerjanya nggak full remote (aku belum berani mencari bekerja yang hybrid atau kerja penuh waktu di kantor karena anakku masih bayi), dan banyak keraguan lain. Sebetulnya aku sudah menyiapkan draft e-mail untuk membatalkan wawancara, tetapi akhirnya aku memilih untuk menghadapinya saja, toh belum tentu keterima.

Wawancara rupanya berlangsung jauh dari apa yang kubayangkan. Tak ada pertanyaan bagaimana kamu mengatur hidupmu karena kamu sudah menjadi seorang ibu. Tak ada pertanyaan mengapa kamu resign dari pekerjaan sebelumnya. Justru muncul pertanyaan yang paling kusuka seperti ‘apa yang paling kamu anggap penting dalam sebuah perusahaan’, ‘hasil kerja apa yang paling membuatmu bangga’, dan ‘pengembangan diri apa yang kamu harapkan dengan melamar pekerjaan di sini’.

Aku menyukai pertanyaan pertama karena kalau ada perusahaan bertanya begini, kupikir itu tanda baik, perusahaannya mementingkan isi kepala karyawannya. Pertanyaan kedua aku juga suka bukan karena aku memiliki hasil kerja yang membanggakan itu, tetapi karena hasil kerja yang paling kusuka itu adalah hasil kerja tahun 2018, sudah terlalu lama. Aku butuh mencari hasil kerja baru yang membanggakanku di tempat baru.

Untuk pertanyaan ketiga membuatku kembali bersemangat karena menjadi ingat dan sadar mengapa sebetulnya aku mencari-cari pekerjaan baru. Pertama, aku sangat butuh ilmu baru dan merasa ilmuku sudah mulai basi, kayaknya di agency aku bisa dapat itu. Kedua, aku lelah bekerja dengan alur kerja yang buruk, aku butuh belajar dari tempat yang memiliki alur kerja yang baik, dan semestinya agency memiliki itu.

Kabar baik selanjutnya, kantornya selama dua tahun ini full remote dan itu yang paling kubutuhkan untuk sementara. Ketika ada brief yang perlu kukerjakan untuk tahapan selanjutnya, aku akan berusaha mengerjakannya sebaik mungkin!

Namun rasa semangat itu dikalahkan rasa kwalahan tak bisa merawat anakku sendirian tanpa bisa delegasi tugas dan ditambah merawat suamiku yang positif COVID-19. Sehari setelah brief kuterima, anakku yang baru berusia 7 bulan kemudian masuk IGD dan ia positif COVID-19. Tetapi justru kejadian itu membuatku kuat, rasa kwalahan itu mendadak hilang dan aku menjadi orang yang begitu kuat menemani anakku di IGD sampai pulang ke rumah untuk isoman. Ini barangkali kali kedua yang seakan memberitahuku bahwa sebetulnya aku kuat dan lagi-lagi anakku lah yang mengingatkannya. Aku menjadi kuat sebab aku tahu yang paling berharga di dunia ini adalah dirinya dan aku harus hidup untuk bisa menemaninya.

Sebetulnya ketika sekeluarga positif COVID-19 (dengan gejala sangat ringan, yaitu hanya demam dan aku bahkan Orang Tanpa Gejala), semua menjadi lebih mudah karena aku bisa mendelegasikan pekerjaan meski tetap memakai masker saat di rumah. Aku akhirnya bisa mengerjakan brief itu dengan baik dan beberapa hari selanjutnya, aku diterima!

Kabar itu memberikan dua kesan. Pertama, ternyata ada orang yang percaya pada kemampuanku setelah aku selalu menerima penolakan dan kegagalan di banyak tempat. Kedua, aku masih takut mengecewakan dan tak lolos masa probation. Tak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, sering mendapat penolakan dan kegagalan memang kombinasi pahit yang mempersulit menjalani hidup. Jadi kali ini aku tak begitu bersemangat selain langsung fokus pada mempelajari apa yang perlu kukerjakan, makanya aku perlu waktu sekitar satu minggu untuk mulai kerja agar ketika aktif kerja di hari pertama aku nggak begitu panik, deg-degan, takut, dan terlalu bodoh.

Ya, akhirnya aku mencoba kerja di agency juga! Tak mau buru-buru memperbarui Linkedin karena takut gagal, jadi sementara aku ingin fokus menghasilkan karya yang akan membuatku tersenyum karena puas pada hasilnya!

Catatan: masa onboarding kulalui dan aku cukup takjub sama alur kerjanya, langsung mencatat banyak hal yang bisa dipelajari, doakan aku, ya!
Foto Greg Rosenke


Pertama kali aku berpikir butuh pertolongan profesional untuk mengetahui apa yang terjadi pada pikiran dan hatiku adalah ketika akhir tahun 2020. Ketika ucapan-ucapan eks-bosku menghantuiku, datang begitu saja lalu membuat hati terasa sesak dan menangis tiba-tiba, sudah begitu menangisnya dramatis sekali. Ucapannya pendek tetapi cukup membuatku sakit hati ampun-ampunan, seperti, ternyata kerjaan lo nggak segitu oknya atau kamu masih niat bekerja di sini enggak, sih? 

Saat itu aku lelah kalau harus tiba-tiba merasakan sakit sebegitunya. Aku mau menyelesaikan ini, aku tidak mau merasakan marah lagi, aku lelah! Lagi pula, aku sudah membaca buku self-help ini itu tetapi tak kunjung tertolong. Mencoba menceritakan perkara ini ke teman, duh, sudah mereka tak bisa memahami permasalahannya, seringkali responnya justru membuat dada yang sesak ini seperti semakin dihimpit ruangan yang sempit. Barangkali orang profesional lah yang memang bisa menolongku.

Pertemuan dengan psikiater pada Desember 2020 lalu cukup membuatku puas, meski terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Namun aku tak pernah lagi datang ke psikiater itu bukan karena tidak cocok, tetapi karena mahal dan antre begitu lama. Belum sembuh sudah miskin duluan. 

Mana urusan begini tak seperti berobat layaknya sakit batuk atau pilek, yang cukup istirahat beberapa kali, minum obat, dan tak perlu biaya mahal. Ada, sih, opsi asuransi, tapi aku begitu malas mencari rekomendasi psikolog atau psikiater yang bisa menggunakan asuransi yang dapat aku akses.

Akhirnya aku konseling lagi dengan rekomendasi konselor yang berbeda, ia bukan psikolog atau psikiater, tetapi konselor yang fokusnya ke permasalahan keluarga, pernikahan, dan semacamnya. Kupikir akan sesuai dengan perkara-perkara yang kupunya, cocok juga dengan kantongku. Kalau sebelumnya kisaran Rp350.000 untuk satu kali sesi yang memakan waktu satu jam, kini cukup Rp150.000 untuk satu kali sesi dengan waktu 50 menit. Tetap mahal, tetapi bisa kubayar dengan bekerja menjadi buruh konten.

——

Meski pernah ke psikiater sebelumnya, ketika akan menghadapi konselor ini, aku juga kebingungan karena harus bercerita seperti apa. Aku punya satu catatan khusus untuk mencatat permasalahanku, kupikir ini akan memudahkanku tahu harus bicara apa ke konselor. Di situ tertulis:

Menuju Terapi
hal-hal yang mengganggu hidup

Cemas:
    1. Setiap abis ngomong, selalu bertanya: salah gak ya aku ngomong gitu? Duuuh ngapain sih Meg? Kadang omongan-omongan yang aku sampaikan zaman dahulu pun teringat begitu saja.
    2. Kalau ada saran dari orang di media sosial untuk melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan, aku langsung panik menghapus. Padahal aku tahu yang aku lakukan benar, tetapi aku bingung sendiri juga dengan diriku sendiri, apa batasan menyuarakan hal benar dan menjaga hati orang lain.
Dendam:
Aku mau orang lain yang menyakitiku tahu dan mengalami rasa sakit yang aku alami.

Menyalahkan diri sendiri:
Ketika ada perdebatan, aku selalu menyalahkan diri sendiri, padahal dia enggak bilang begitu, tapi aku sendiri yang akhirnya berpikir, ya ya ya semua itu salahku, lalu memukul-mukul kepala.

Meskipun sudah aku tulis begitu, ternyata tetap sulit ketika menceritakannya, tidak tahu mengapa. Aku bercerita acak dan agak terbata-bata, seperti mau menyudahinya dan ingin berharap dia tahu begitu saja seperti peramal. Konselor itu lalu bertanya apa harapanku mengikuti konseling ini, aku menjawab, ingin tidak cemas lagi, tidak menyimpan marah karena aku tahu sia-sia menyimpan marah pada mereka, dan berhenti menyalahkan diri sendiri lalu menjadi percaya diri.

Mega ingin memiliki kontrol diri, ya?

Tepat sekali! Aku menginginkan itu! 

Ia lalu bertanya, apakah aku ingin membahas yang sekarang-sekarang saja, atau ke masa lampau? Aku menjawab boleh ke masa-masa lampau, karena kupikir di sana lah letak masalahnya. Aku juga tadi baru bercerita kalau aku sudah memukul-mukul kepalaku sejak aku kecil, kira-kira ketika usia 9 atau 10 tahun, ketika baru saja diomeli ibuku entah karena perkara apa.

Hanya saja memorinya tergambar jelas, aku yang masih kecil itu duduk bersandar di tembok, memukul-mukul kepalaku sambil menangis, dan sesekali membentur-benturkan kepalaku ke tembok. Aku juga cerita, ketika kecil ada satu pikiran yang masih begitu menempel hingga saat ini: mengapa sebelum Ayah Ibu memarahiku, ia tak pernah bertanya ‘kenapa’ padaku?

Pokoknya ceritanya begitu acakadut, sampai aku bingung, sebetulnya aku cerita apa saja, sih. Tapi konselornya begitu pandai menyimpulkan isi kepalaku! Sungguh-sungguh seperti peramal!

Misalnya saja ketika ia memintaku mendeskripsikan ibuku dengan lima kata. Lalu aku menjawab, “Agak sulit sebenarnya mendeskripsikan ibu, karena aku sedang berusaha memaafkannya.” Ia berkata kira-kira begini, cukup menarik ketika dia sebetulnya tak sedang bertanya soal maaf, tapi aku duluan lah yang berpikir aku harus memaafkan itu. Hehehe, betul juga, tapi ya aku bingung juga mengapa begitu?

Konselor itu juga bilang, “Semacam ada yang gak nyambung dalam diri Mega, kamu menceritakan hal-hal yang menyakitkan, tapi kamu ketawa.” Aku mengangguk-angguk padahal aku menahan tawa, IYA, YA, MENGAPA BEGITU, SIH? Aku memang dikit-dikit tertawa, mengucapkan sesuatu yang tak perlu ketawa, tetapi dengan ketawa. Aku sadar itu, tapi aku juga enggak tahu sebabnya. Tuh, kan, peramal dia memang!

Yang paling membuatku terkejut, konselor itu bilang seperti ini, apakah kamu merasakan ketika kamu akan bicara, kamu sudah menduga-duga lawan bicaramu akan berucap apa, lalu ketika kamu mengucapkan itu, kamu merasa, tuh, kan, bener, kan, lalu kamu akhirnya enggak mau bicara lagi?

Aku menyambut perkiraan itu dengan, YA BETUL SEKALI, BAHKAN AKU PERNAH BANGGA SEKALI KARENA MENGANGGAP DIRIKU SELALU BISA MENEBAK BALASAN CHAT DARI ORANG LAIN! Bodoh, bodoh sekali.

Barangkali itu lah yang membuatku gelisah bukan main ketika menerima pesan baru, meeting yang aku tidak tahu agendanya apa, telepon tiba-tiba, dan hal mendadak lainnya. Aku tidak siap kalau belum memiliki persiapan kira-kira nanti akan bicara apa dan mempersiapkan jurus-jurusku agar tidak merespon terlalu bodoh.

Di akhir sesi konseling, ia bilang, bahwa aku sudah begitu ahli dalam urusan logika. Maka sebaiknya ketika bicara dengan dia, lupakan logika itu dan saatnya aku mengeluarkan segala perasaanku. Sebab itu yang tak pernah aku dapatkan sejak dahulu, dipahami atas segala perasaanku. Sejujurnya itu merepotkan, aku harus mengorek-ngorek masa lalu yang aku tak ingat betul kejadiannya, tetapi tak begitu ingat pun rasanya sakit bukan main! Hatiku sesak dan ingin menangis.

Aku juga bilang, “Aku agak sulit ketika bicara, kadang lebih enak ketika ditulis, kayak aku enggak bisa menyampaikan apa yang ada di kepalaku.” Ia menjawab, “Boleh, boleh ditulis, tetapi mungkin bisa mencoba menuangkan apa saja yang ada di kepala.” Ya, ya, menuangkan, akan kucoba.

Konseling itu berakhir karena anakku mau menyusu lagi, aku akan kembali tentunya, tetapi ketika aku sudah gajian nanti. Semoga anakku tidak perlu repot-repot bayar konselor karena ulahku yang tak becus menjadi orang tua huhuhu, soalnya mahal dan merepotkan. Jumpa lagi di cerita konseling selanjutnya, ya. 



ASI (Air Susu Ibu) belum keluar di hari-hari awal kelahiran. Aku tahu pada teorinya akan keluar pada hari ketiga atau keempat. Namun teori itu lenyap ketika pertanyaan "ASI sudah keluar?" dipertanyakan oleh Ayahku, Ibuku dan mertua. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menyerang ketakutanku atas kesehatan anakku.

Apalagi ketika Ayahku mulai bertanya, "Sementara dikasih makan apa?" Aku sudah menjawab bahwa bayi memiliki cadangan makanan sampai tiga hari. Namun aku tak bisa mencegah tangisku pecah diam-diam di hari ketiga. Sudah tak ada yang peduli pada keadaanku setelah operasi, mereka justru tak bisa menenangkan dan malah membuatku khawatir pada hal yang tak perlu dikhawatirkan. Bahkan itu secara daring/online, aku tak membayangkan jika mereka ada di sebelahku.

Dapat dibilang aku benar-benar menyesal memperbolehkan ada telepon dan video call masuk. Harusnya aku batasi saja melalui chat untuk minggu pertama karena di sana lah masa krisis seorang Ibu yang baru melahirkan agar secara fisik dan mental terjaga. Tetapi apa boleh buat, malam itu aku hanya berdoa, semoga ASIku besok keluar.

-----

Tulisan ini adalah lanjutan cerita operasi sc, kalau kamu belum membacanya, silakan klik di sini.

Dalam tulisan ini, aku akan bercerita: 1) pengetahuan dasar tentang menyusui yang aku tahu sebagai orang awam; 2) tahapanku belajar menyusui & memanggil Konselor Laktasi; 3) pertimbangan direct-breastfeeding dan perlu tidaknya stok asi perah; 4) perkara menyusui bisa jadi awal mula baby blues.

Pengetahuan Dasar Menyusui

Salah satu penyebab aku menunda kehamilan adalah aku mau mempersiapkan diri dengan membaca ilmu-ilmu dasar kehamilan dan mengasuh anak dahulu. Ketika aku sudah tahu apa yang kuhadapi, meski sedikit, aku lebih merasa tenang dengan pilihanku hamil dan memiliki anak.

Beruntung, aku bertemu dengan Kak Nia Umar (@housniati), ketua umum AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia). Melalui Instagramnya, ia sering sekali mengedukasi tentang menyusui, darinya aku jadi tahu bahwa menyusui bukan sebatas menempelkan puting, tetapi ada pada koneksi cinta antara Ibu dan anak yang terbangun. Sejak itu aku semakin giat mencaritahu banyak hal, salah satunya tentang menyusui, agar aku lebih siap menghadapi kehidupan menjadi Ibu.

01: ASI akan keluar di hari ke-3 atau 4 setelah melahirkan


Aku mendapatkan penjelasan proses produksi ASI dan bagan di atas melalui buku yang ditulis oleh Citra Ayu Mustika yang berjudul "Anti Kendor Menyusui".

Pada intinya, proses produksi asi ada tiga tahap, aku jelaskan secara sederhana saja, ya.

Tahap pertama, ASI diproduksi ketika hamil.

Tahap kedua, masa krisis di mana hormon "mengacak-acak" produksi ASI sehingga ia tak keluar ketika di hari-hari awal setelah melahirkan. 

Tahap ketiga, ketika ASI dapat diproduksi sesuai kebutuhan bayi atau disebut supply and demand. Jadi kalau tidak ada permintaan (demand), maka ASI tak bisa diproduksi.

Jadi wajar ketika ASI baru keluar dihari ketiga atau keempat. Ketika bayi sudah lahir, langsung rutinkan skin-to-skin dan belajar menyusui agar bayi bisa beri kode ASI dapat diproduksi. Bila ASI belum keluar, aku lebih menyarankan untuk segera mencari konselor laktasi, tahan dulu susu formulanya.

Sebab pada kasusku, ASI tak keluar bukan perkara deras atau tidak, tapi karena ASI-nya mampet dan aku tidak punya pengetahuan bagaimana cara mengeluarkan ASI yang mampet. Perkara ASI nggak keluar ternyata bukan cuma soal ASI banyak atau tidak, makanya perlu konselor laktasi untuk beri penanganan yang tepat.

02: Bingung Puting

Istilah yang aku dapatkan setelah banyak menyimak diskusi soal menyusui adalah bingung puting. Intinya, kalau bayi dikenalkan dengan dot, maka berisiko bingung puting, bayi tak bisa menyusu langsung karena cara menghisap dot dengan puting berbeda.

Pada saat itu aku memang lebih ingin menyusui langsung, jadi di awal, aku sudah berniat untuk menghindari dot. Kalau memang butuh alat untuk memberikan asi perah, aku sudah menyiapkan cup feeder atau sendok (yang ternyata enggak terlalu digunakan dan akan kujelaskan di bagian 'pertimbangan direct-breastfeeding').

Ketika bingung puting, bukan berarti akhir dunia juga. Ada yang namanya relaktasi, sebuah usaha agar bayi mau menghisap puting Ibu kembali.

03: Inisiasi Menyusui Dini (IMD)

Istilah selanjutnya yang selalu diulang-ulang, Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Ini adalah sebuah tahapan setelah bayi baru saja dilahirkan langsung diletakkan pada perut atau dada Ibu untuk menyusui dini. Masa IMD hanya berlaku 30 menit setelah bayi dilahirkan, teorinya bayi diberikan waktu 15-30 menit sampai ia bisa menyusui. Bila IMD dilakukan,  ada banyak manfaat yang bisa didapat, salah satunya melancarkan proses menyusui.

04: Pelekatan

Menyusui bukan sebatas menempelkan puting, tetapi ada ilmu pelekatannya juga, atau cara melekatkan bayi ke tubuh Ibu. Ada caranya agar Ibu bisa menyusui dengan nyaman dan tanpa rasa sakit. Kedengarannya sepele, tetapi ini justru yang tak kalah penting untuk menyukseskan menyusui hingga dua tahun.



Tahapanku Belajar Menyusui & Memanggil Konselor Laktasi ke Rumah

01: IMD

Sejak sebelum melahirkan, aku sudah memastikan ke dokter obgynku di Primaya Hospital Tangerang yang bernama dr. Inneke, perihal adanya IMD. Kata beliau ada. Tetapi aku tak bosan untuk mengingatkan dokter dan perawatnya soal IMD.

Semua orang yang kutanya menjawab IMD selalu jadi proses yang mereka berikan, tetapi hanya ada satu perawat, ia bukan perawat yang ada di ruangan operasi, ia bertugas di administrasi poliklinik yang menjawab bahwa IMD tidak ada. Katanya, "Kayaknya enggak ada soalnya ruangan operasinya kan dingin banget."

Tetapi aku mencoba tenang dan tidak panik saat mendengarnya, kalau pun enggak ada, ya sudah aku harus ikhlas. Toh, abis ini akan ada konselor laktasi yang ke rumah, aku bisa minta bantuan kalau aku kesulitan. Itu saja yang kupikirkan.

Di ruangan operasi, setelah tangisan bayi kudengar, bayi tak langsung berada di sisiku memang. Rupanya ia dibersihkan dan dibedong dahulu, lalu mulutnya disentuhkan ke putingku. Memang tidak lama, tak ada lima menit hahahahah, aku juga tak tahu apakah ia menghisap putingku atau hanya saling bersentuhan. Ya sudah, yang penting ada IMD saja.

Perihal perawat yang bilang tak ada, kupikir itu hanya masalah komunikasi pihak RS saja. Tak mau kuambil pusing. Bisa apa juga aku ~~~

02: Belajar Menyusui di Hari-hari Awal Kelahiran

Setelah enam jam bayi diperiksa, akhirnya kami bisa rawat gabung, di sana lah detik pertama aku belajar menyusui. Beruntung, aku dapat rumah sakit yang perawatnya bukan hanya bilang diisusuin, ya, anaknya' tetapi tak diajari apa-apa. Perawat di RS tersebut tetap mengajariku meski hanya sebentar.

Di tahap ini lah aku menyadari bahwa menyusui benar-benar bukan 'cuma nempelin puting', susah banget! Aku dan suami cukup kesulitan untuk memasukkan puting ke mulut bayi, dari awal hingga akhir kami pegangi puting tersebut agar tetap di mulut bayi. Ada satu malam ketika aku sangat lelah dan tak mampu memegangi putingku sendiri, akhirnya suamiku yang memegangi putingku agar tetap di mulut bayi, sementara itu aku tidur.

Memang belum ada asi yang keluar. Kami terus berusaha dengan landasan berpikir, badanku harus dapat kode kalau asi harus diproduksi (kembali ke teori supply and demand).

Saat di RS, bantal menyusui sangat membantuku. Jadi bawalah bantal menyusui saat ke RS. Meskipun setelah belajar dengan konselor laktasi, aku sangat jarang pakai bantal menyusui hihihi. Tapi ini sangat membantu di awal-awal belajar menyusui. Beberapa orang juga menyarankan untuk membawa alat pompa asi untuk memancing keluarnya si asi.

03: Belajar Menyusui dengan Konselor Laktasi & Ibu Bidan Eva

Jauh sebelum melahirkan, aku memang mencari-cari bidan sekaligus konselor laktasi yang bisa homevisit ke area Tangerang. Pandangan personalku, menggunakan jasa Konselor Laktasi perlu diprioritaskan. Ini berkaitan banget dengan kenyamanan dan tingkat percaya diri orang tua baru, sebab mengasuh bayi baru lahir bisa menjadi pengalaman yang melelahkan atau bahkan traumatis.

Berbekal dengan tagar kolom pencarian di Instagram, bertemu lah aku dengan Bidan Eva (@visitehomebidan di Instagram). Rasanya beban hidupku seakan hilang 50%, karena kalau ada masalah menyusui dan merawat bayi baru lahir, aku tinggal ke Bidan Eva. Aku mengambil paket merawat newborn dan laktasi sebanyak 6x agar benar-benar paham. Setelah pulang dari RS, program yang kuberni nama "Ospek Bapak Ibu Baru" ini pun dimulai. 

Setiap hari aku belajar banyak hal baru soal merawat bayi baru lahir seperti memandikan, menjemur, mengenali bayi alergi, menghadapi bayi kuning, dan lain-lain. Selanjutnya aku akan dapat pijat laktasi dan edukasi soal laktasi.

Payudara Mampet

Di hari pertama, aku belajar memerah asi dengan tangan. Aku tidak tahu cara memerah asi, bingung kok asi tidak keluar, sudah pakai Silicone Breastpump Manual tapi hanya menetes sangat sedikit, terkejut saat Bidan Eva memerah asiku dan dapat banyak sekali. Rupanya payudaraku dalam keadaan bengkak, mampet, dan asi tak bisa menemukan jalan keluar.

Tadinya di RS aku memang diberi obat pelancar ASI, tapi tak kulanjutkan karena aku memang merasa payudaraku penuh sekali. Tetapi anehnya memang tak banyak asi yang keluar. Permasalahan asi rupanya bukan soal deras atau tidak deras saja, ada yang namanya bengkak, mampet, dan lain-lain.

ASI Cukup

ASI satu gelas utuh terkumpul dan Bidan Eva bilang, "ASImu sebanyak ini, loh, jadi enggak ada ceritanya ASImu kurang ya. Ini akeh bianget." Akeh bianget adalah bahasa Jawa dari "banyak banget". Di akhir sesi, Bidan Eva menjelaskan bahwa usaha memerah asi tadi sebetulnya agar payudara yang tadinya mampet dapat kembali lancar dan meningkatkan keyakinan Ibu bahwa ASInya cukup.

ASI ini akan lancar ketika Ibunya tak tertekan, bila terbersit sedikit saja perasaan: ASIku enggak cukup kayaknya, itu bahaya banget! Keyakinan bahwa ASI cukup, menjaga kewarasan diri, dan dukungan positif keluarga jadi faktor utama agar ASI dapat cukup, bukan banyak sampai stok asi di kulkas berlebih, tetapi cukup sesuai kebutuhan bayi.

Pelekatan

Pelakatan menyusui adalah posisi bayi ketika melekat ke badan Ibu untuk menyusui. Seharusnya menyusui tidak sakit dan tidak membuat puting lecet, bila terjadi hal tersebut, maka yang perlu dikoreksi adalah pelekatannya.

Awalnya aku juga mengira pelekatan bukan suatu hal yang sulit, ternyata aku butuh bimbingan Bidan Eva agar proses menyusuiku tidak sakit dan tidak lecet. Di minggu awal, putingku memang lecet akibat belajar menyusui di hari-hari pertama melahirkan saat di RS. Sakit bukan main! Tetapi ya ditahan saja, keinginanku untuk menyusui lebih besar, sementara luka bisa sembuh dengan ASI atau krim khusus puting.

Pikiranku betul, tak ada seminggu, puting lecetku sudah sembuh! Padahal baru kuberi krim khusus puting sekali, sisanya diolesi saja pakai ASI. Lalu minggu ketiga, aku sudah benar-benar nyaman menyusui. 

Sewaktu menyusui sakit dan tidak nyaman, ini berpengaruh banget dengan mood menyusui. Rasanya setiap bayi ingin menyusui, terasa  berat untuk menyusui. Ada perasaan takut sakit, dan terasa lelah sekali. Ketika menyusui sudah nyaman, tak ada rasa sakit yang berarti, duh, menyusui jadi lebih ringan dan membahagiakan.



Posisi menyusui yang biasa kulakukan hampir seluruhnya yang ada di gambar di atas ini, kecuali yang Laid Back Position (belum belajar hahaha). Untuk sekarang aku nyaman banget menyusui dengan posisi Side Lying, bergantian dengan payudara kanan dan kiri. Ini posisi yang memungkinkanku tetap mengASIhi sambil membaca atau menulis.

Menyusui dengan Payudara Kanan & Kiri

Pada awalnya, aku menyusui dengan payudara kiri saja, sebab aku kesulitan menyusui dengan payudara kanan.  Penyebab pertama, karena tak biasa menggendongnya. Kedua, karena ternyata payudaraku sebelah kanan benar-benar penuh dan mampet, jadi bayi juga kesulitan untuk menghisapnya.

Menyeimbangkan menyusui dengan kedua payudara menjadi penting agar salah satu tak jadi bengkak dan agar tak besar sebelah. Butuh waktu sekitar satu minggu agar aku benar-benar nyaman menyusui dengan payudara kanan dan kiri. Perlahan dengan belajar menggendong bsayi menghadap payudara kanan, baru belajar pelekatan menyusui dengan payudara kanan. Kini, menyusui dengan payudara mana pun tak jadi masalah.

Flat Nipple

Hari pertama Bidan Eva ke rumah, ia langsung bilang, "Nanti di akhir pertemuan aku kasih tahu rahasia, ya." Aku kira rahasia yang akan diungkap adalah rahasia menyusui yang super gampang dan bisa sambil kerja dengan mudah (hahahah you wish, Meg!).

Rupanya rahasia yang diungkap adalah, "Sebenarnya putingmu itu datar dan hitungannya sulit banget menyusui. Tapi aku enggak mau kasih tahu di awal karena nanti kamu enggak menyusui dan bilang: iya sih putingku datar. Tapi ternyata bisa, kan?"

Aku cukup kaget mendengarnya, aku tahu bahwa flat nipple atau puting datar itu jadi masalah yang menghambat menyusui secara langsung, tapi aku enggak sadar kalau putingku datar! Ada keberkahan atas ketidaktahuan ternyata. Terima kasih Bidan Eva yang sudah mau menjaga rahasia di awal-awal aku belajar menyusui.

Selain kaget, aku juga jadi terharu. Oh, ternyata ini yang bikin saat aku baru melahirkan sulit banget masukin puting ke mulut bayi? Dan sampai harus suamiku yang memegangi putingku juga? Rasanya ingin peluk suami selama 24 jam hahahah.

Dua minggu pertama menyusui, aku masih harus memegangi payudaraku agar tidak lepas-lepas di mulut bayi. Di minggu ketiga, aku tak lagi perlu melakukan itu lama-lama, cukup beberapa detik pertama dan bayi sudah tahu cara menghisap. Bahkan, kalau sedang beruntung, belum kuarahkan pada mulutnya, ia sudah bisa menghisap sendiri!



Milk Blister

Aku agak bingung menjelaskan hal ini karena enggak terlalu paham, jadi aku lampirkan postingan Kak @housniati soal milk blister di atas. Di payudara kananku sempat ada milk blister, nampaknya karena pelekatan yang salah, lal menyusuinya jadi sakit tapi aku tetap paksakan. Tetapi saat itu langsung dibantu konselor Bidan Eva.

04: Pertimbangan direct-breastfeeding (menyusui secara langsung) atau menggunakan asi perah

Meskipun aku sudah belajar sedikit-sedikit soal menyusui, sebetulnya aku juga tak tahu banyak. Buktinya, aku juga asal saja gitu beli alat menyusui, mulai beli alat pompa manual, wadah asi perah, cup feeder dan lain-lain. Aku beli karena aku kira butuh, itu saja. Rupanya, pada dasarnya aku nggak betul-betul paham konsepnya.

Ketika Bidan Eva datang, aku ditanya, apakah aku bekerja di luar rumah atau di rumah saja. Aku jawab bekerja di rumah saja, dan pekerjaanku sebetulnya tanggung jawabnya tak terlalu berat. Aku bisa mengukur tidak berat karena aku freelancer, jam kerjanya lebih fleksibel. Dengan modal itu, akhirnya aku lebih didukung untuk bisa direct-breastfeeding.

Keputusan direct-breastfeeding (dbf) ini juga karena karakter payudaraku. Aku memiliki payudara dengan stok asi yang cukup banyak dan tipe payudara yang katanya mudah mampet. Kalau dipompa, khawatirnya malah over-supply dan bingung ASI-nya untuk apa. Tujuannya kan ASI cukup, bukan ASI banyak. Pemahaman awamku, supply ASI jadi lebih terkontrol dengan dbf, sesuai permintaan bayi.

Mana, sih, yang lebih ribet antara dbf, stok asi perah dan pemberian susu formula? Ketiganya sama-sama ribet, jadi Ibu dan bayi harus menyesuaikan mana yang risiko ribetnya mau diambil.

DBF = ribetnya lebih ke ruang gerak, bayi jadi harus dibawa kemana-mana, kalau bekerja di rumah jadi lebih mudah. Aku mencari posisi menyusui yang bisa disambi dengan bekerja, karena untuk menyusui bayi baru lahir itu harus sering, setidaknya 2-3 jam sekali. Menyusui langsung seharusnya tidak sakit dan tidak bikin puting lecet, ya. Kalau ada dua hal tersebut, segera koreksi pelekatannya atau konsultasikan dengan konselor laktasi, siapa tahu ada milk blister atau lainnya. 

Stok Asi Perah = perlu kedisiplinan agar bisa memerah asi sesuai stok harian atau disesuaikan dengan kebutuhan bayi. Butuh energi juga untuk rutin membersihkan dan steril peralatan memerah asi. Hal yang cukup tricky di sini adalah media pemberian ASI, sebaiknya memang bukan dot karena berisiko bingung puting dan bayi tidak mau lagi menyusui secara langsung lewat payudara (tetapi bisa relaktasi agar kembali mau menyusui di puting Ibu, ya). Pilih alat pompa asi elektrik pun harus cocok-cocokan ya, karena ada beberapa alat pompa yang bikin sakit.

Susu Formula = bila dokter anak menyarankan pemberian susu formula karena kondisi kesehatan, ya sudah, berarti perlu sufor. Tetapi pastikan pemberian sufor sesuai resep dokter, ya! Kalau tidak ada resep dokter, bisa hubungi konselor laktasi agar dibantu agar masalah menyusuinya dapat teratasi. Tetapi bukan berarti pemberian sufor ini efforless, loh! Menyeduh susu itu butuh energi dan uang, sufor memang tidak murah bunda-bunda ~

Di sini lah akhirnya aku memutuskan untuk ikhtiar menyusui secara langsung. Sama ribetnya dan aku ambil keribetan yang pertama dulu, deh. Jadi, sebelum memutuskan membeli alat pompa elektrik, kamu bisa kenali dulu mana cara menyusui yang ingin kamu jalani, ya! Ibu lain butuh perlengkapan menyusui, belum tentu kamu juga butuh. Berlaku sebaliknya, Ibu lain tidak butuh, belum tentu kamu tak membutuhkannya.

05: Menyusui & Baby Blues

Topik ini sebetulnya aku tak bisa mewakili, sebab selama 3 minggu mengasuh bayi baru lahir, alhamdulillah tak ada perasaan membenci anakku. Pergolakan emosi dan tangisan-tangisanku yang pecah selalu karena lelah merespon orang tua dan mertua.

Mulai dari karena dicekoki mitos setiap hari, gap pengetahuan yang membuatku kesal padahal sudah sering dijelaskan, atau mereka yang selalu menuntut video call sementara aku sedang fokus mengasuh bayi dengan kondisi sangat kelelahan. 

Namun, saat ada Bidan Eva, aku sempat bertanya padanya, "Baby blues itu gimana, sih? Apa karena hormon terus tiba-tiba aja baby blues?"

Rupanya baby blues tak berdiri sendirian karena hormon, faktornya banyak, dan salah satunya karena lingkungan. Mulai dari koreksi dari orang tua atau mertua yang tak ada ujungnya, bikin kita gak nyaman dan takut setiap akan mengasuh bayi. Celetukan dan koreksi A-Z itu bikin Ibu berpikir ia tak mampu mengasuh bayi, dari sini lah cikal bakal baby blues hadir. Kalau tak ada yang menolong, bisa berkelanjutan jadi postpartum depression.

Menyusui juga bisa jadi faktor utama. Menyusui itu enggak tiba-tiba bisa, harus belajar. Kalau belum apa-apa sudah disalah-salahin, tetapi juga gak bantu apa-apa, Ibu juga kesulitan untuk dapat edukasi, eh si bayi udah bingung puting duluan dan tak ada pertolongan, Ibu bisa frustrasi dan jadi membenci diri dan anaknya karena merasa tak berdaya.

Ini bukan salah Ibu dan hormon, tetapi juga orang-orang di sekitar yang mau atau tidak untuk mendukung atau justru menjerumuskan. Mendukung itu ada caranya, jangan sampai omongan dan celetukan kita yang tak dipikir tetap dianggap kepedulian. Niat baik harus bersamaan dengan sikap baik, itu hal mutlak.

Apalagi Ibu baru saja melahirkan, energinya belum optimal, ia baru saja masuk ke babak kehidupan baru sehingga belum stabil, masa kita mengharap Ibu bisa mengerti kalau omongan kita pedas kayak sambal?

Bagi kamu yang membaca ini dan sedang menjadi Ibu, jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya! Kamu sudah berjuang dengan baik, kok! Semoga segera bisa bertemu orang-orang yang tak bosan beri dukungan untukmu.

Tulisan ini dibuat karena aku sendiri banyak tertolong karena Ibu lain yang tak bosan untuk berbagi pengalamannya dalam menyusui. Tetapi mohon dicatat, aku juga orang awam yang sangat bisa salah. Serta ceritaku tak bisa mewakili pengalaman menyusui yang begitu beragam.

Apabila ada kesalahan teori atau hal lain karena aku kurang sensitif dalam menulis, kamu bisa menyampaikannya di kolom komentar dan Instagramku di @sophiamega. Atau kalau masih ada pertanyaan, juga bisa melakukan hal yang sama. Semoga ada manfaat yang bisa diambil melalui tulisan ini! 

----

Kini, ASIku sudah keluar, dan tiap bayiku ingin menyusui kusambut dengan senang, dan sesekali dengan  mengeluh karena aku juga manusia biasa hihi. Ini baru awal perjalanan, semoga aku, suami dan bayiku bisa melalui perjalanan ke depan dengan kuat dan tenang.
Older Posts Home

Topik

  • Di Balik Bar
  • Hamil
  • Konseling
  • Meja Bekerja
  • Melahirkan
  • Menyusui
  • Social Media
  • Tamasya Kedai Kopi
  • Tamasya Ruang Buku
  • Ulasan Buku

Banyak Dibaca

  • Mata di Tanah Melus dan Kepenulisan Buku Anak Okky Madasari
  • Parco Canteen: Gak Pernah Nemu Kopi Gak Enak di Melbourne
  • Obrolan Melukat Hingga 'Ustadz Televisi' di Pura Tirta Empul (Tampak Siring, Gianyar)
banner image

About Me

Sophia Mega adalah Book YouTuber dan Penulis Buku. Buku yang ia tulis adalah 'Lo Ngerti Siapa Gue: Membangun Personal Branding di Media Sosial Tanpa Perlu Jadi Selebgram' (2019) dan 'Mengapa Pernikahan Memuakkan' (2021).

Media Sosialku

  • YouTube
  • Instagram
  • Tik Tok

Featured Post

People Pleaser adalah Dia yang Sulit Bilang Tidak

Copyright © 2016 sophiamega. Created by OddThemes