Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 t...

Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 tahun, sisanya belakangan. Menikah dan melahirkan selalu jadi target besar yang lebih penting dipikirkan daripada punya karir atau impian besar.


Setidaknya begitu yang diajarkan oleh orang tua, guru, bibi, atau bahkan teman sesama perempuan. Nasihat yang belakangan Ibuku lontarkan juga masih sama, “Kamu S2 dulu aja baru punya anak kedua.” Padahal aku ingin punya satu anak saja.


Punya seorang suami yang mau belajar membagi peran dengan setara, seorang anak laki-laki, pekerjaan remot, dan beberapa hobi di usia 27 tahun terasa seperti memenangkan lotre. Aku seperti punya segalanya yang “semestinya dimiliki perempuan”. Tetapi perempuan memang diberi kutukan “harus terus merasa kurang”. Menikah dan punya satu anak belum sepenuhnya cukup, kami masih punya beban “memiliki anak kedua” dan tetap cemerlang di usia 30 tahun.


Pertanyaan “anak kedua” bukan membuatku cemas dipaksa punya anak lagi. Aku hanya takut menyakiti orang yang bertanya karena aku paling malas repot-repot berbohong. Ibu Mertuaku saja sampai kapok menanyai anak kedua padaku karena katanya, “Ibu takut dibuat status sama Mega.”


Terakhir kali bibiku bertanya tentang anak kedua juga berujung tidak menyenangkan. Aku pura-pura tidak dengar jadi dia mati kutu obrolannya tak ada yang merespon. Aku hanya kasihan pada mereka yang ingin setia menjadi mitra patriarki dengan berprofesi sebagai polisi moral untuk memastikan setiap perempuan harus punya minimal 2 anak.


Usia 30 tahun membuatku takut karena banyak lowongan kerja hari ini yang membatasi usia dalam keterangan semacam “wanita maksimal 27 tahun”. Seakan hidup akan berhenti setelah usia 27 tahun dan kita tidak perlu lagi cari uang untuk sesuap sashimi atau secangkir kopi spesialti”. Kekhawatiranku itu masih sepele dan masuk akal, sebab aku punya seorang teman yang gelisah tidak bisa masuk Forbes 30 Under 30 karena telah berusia 30 tahun. Aku jelas bengong dan bergumam, “Mengapa aku tidak pernah terpikir ingin masuk ke dalam daftar Forbes 30 Under 30, ya?”


Mengkhawatirkan usia bertambah dan merindukan usia muda selalu jadi formula paling tepat untuk membuat kita tidak berbahagia. Tepat seperti yang Haemin Sunim tulis dalam bukunya “When Things Don’t Go Your Way”, tarik-menarik antara “grasping” atau “ingin memiliki” atas hal yang kita dambakan dan “resisting” atau “menolak”atas hal yang kita miliki membuat kita nggak menemukan ketenangan dan kedamaian. Dalam persoalan usia muda dan tua, kita terbiasa menolak fakta bahwa kita tidak lagi muda dan menginginkan masa lalu yang jelas mustahil kita miliki.


Mengapa kita mendambakan menjadi muda saat ia tidak memiliki satu hal yang berharga: kedewasaan?


Aku sempat ingin memutar hidupku kembali menjadi perempuan berusia 22 tahun. Mestinya pada usia itu aku tidak mengambil keputusan A, B, dan C. Ketika melihat perempuan seumuranku, kadang pikiran ‘apakah ada keputusan hidup yang salah kuambil jadi aku tak bisa melakukan ini itu?’ terlintas. Barangkali ini definisi bertengkar dengan diri sendiri yang paling tepat.


Aku mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbeda pada diriku untuk menemukan perspektif yang lebih membantu.


“Apakah kalau aku memilih tidak menikah dan mengejar impianku maka kehidupanku selamat? Tidak juga. Bisa juga aku sibuk pacaran dan terus-menerus bertemu laki-laki brengsek yang mengacaukan kehidupanku karena aku tidak pernah tahu apa hal yang perlu dibereskan dalam diriku. Kesialan selalu ada di mana-mana.”


“Apakah kalau aku memilih pekerjaan yang baik dengan jabatan keren maka kehidupanku akan baik? Tidak juga. Bisa juga karena aku tidak pernah bertemu dengan berbagai macam pemimpin lalu aku jadi menjadi pemimpin yang buruk itu.”


Kesialan betul-betul ada di mana-mana. Itu sebab aku tersenyum lebar-lebar ketika membaca potongan kalimat ‘Selama kita dapat menerima kebenaran dengan cukup kuat bahwa beberapa kesialan tak terhindarkan, kita tidak perlu lagi merasa khawatir’ dalam buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” pada halaman 6. Hidup tidak pernah berarti baik jika kita mengambil keputusan paling tepat sekalipun. Kebahagiaan tidak pernah betul-betul datang dari luar diri kita.


Usia 22 tahunku memang tak mewajibkanku mencari uang untuk keluarga. Uang dari bekerja hanya untuk jalan-jalan, minum kopi, dan membeli buku yang mustahil dibaca seluruhnya. Tetapi aku punya otak kecil yang tak berfungsi karena masih dihantui luka-luka masa lalu sehingga membuatku mengambil banyak keputusan sembrono.


Usia 27 tahun juga tak berarti buruk atau baik. Tanggung jawab di sana sini dan aku masih perlu berlatih sanggup kecewa. Jika tidak punya kesanggupan kecewa, luka-luka masa lalu menuntutku untuk mengambil keputusan sembrono lagi.


Sayangnya aku masih banyak mengambil keputusan semborono karena belum sanggup memahami lanjutan kalimat dari buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” yang tadi. “Kita juga tidak perlu merindukan hal-hal yang kita anggap mustahil selama kita dapat melihat jelas bahwa hal tersebut sia-sia.” Barangkali sia-sia bukan kata yang tepat, “tidak diperlukan” mungkin lebih tepat.


Seperti ajaran OmGe, psikologku yang saat ini kucurigai mengajarkan kami Filsafat Kuno, bahwa mengapa kecewa pada hal-hal yang tidak kita perlukan? Menjadi dewasa adalah saat di mana kita tidak lagi berpikir hal yang kita sukai versus tidak sukai, tetapi hidup dengan keputusan-keputusan hal yang kita perlukan dan tidak perlukan.


Aku memang masih sembrono meski tiga tahun lagi berusia 30 tahun. Tetapi 27 tahun terasa lebih baik karena aku lebih sanggup belajar dewasa dari sebelumnya. Maka aku tidak sabar menemui diriku di usia 30 tahun yang belajar sedikit lebih banyak dari sebelumnya.                                                                     

Tiga hal yang aku pelajari tentang kesepian, pertama, kita kerap tidak sadar sedang kesepian. Kedua, ketidaksadaran rasa sepi yang hadir bis...

Tiga hal yang aku pelajari tentang kesepian, pertama, kita kerap tidak sadar sedang kesepian. Kedua, ketidaksadaran rasa sepi yang hadir bisa mengantarkan pada petaka. Ketiga, sepi bisa hadir di tengah keramaian hingga dalam pernikahan sekalipun.


Pertemuanku dengan konsekuensi-konsekuensi buruk lah yang menampar dan memaksaku sadar bahwa ada kesepian yang perlu ditemui, diterima, dan pada akhirnya dipeluk erat.


Awalnya memang hanya bermula dari obrolan-obrolan yang menghangatkan hati setiap baru bertemu orang tertentu. Ada perasaan diterima dan dimengerti yang seakan mengisi kekosongan meskipun sebenarnya tak ada obrolan yang benar-benar spesial. Aku hanya tahu itu perasaan yang menyenangkan untuk dimiliki, maka aku terus mencari, menunggu, dan mengharapkannya.


Persoalannya, aku mencari-cari hal yang tidak pernah ada.


“Mega, hatimu itu seperti bocor. Setiap diisi sesuatu, dia akan bocor. Rasa sakit yang kamu rasakan dari kekosongan itu bukan kemarahan, tetapi kehilangan atas apa-apa yang tidak pernah kamu miliki,” kata seorang konselor. Singkat, padat, dan membuatku membeku.


Kehilangan akan apa yang membuatku begini? Kalau jawaban itu ingin aku temukan, artinya aku harus menemui Mega yang barangkali saat itu masih berusia 9 tahun. Bukan sebuah pertemuan yang mudah untuk dilakukan.


Aku sering menyerah menemui anak kecil itu karena dia lebih sering menolak membuka mulut. Setiap harus mengingat-ingat apa yang terjadi, ia biasanya akan menjawab “tidak tahu” atau “lupa”. Awalnya aku mempercayai jawaban itu, tetapi kini aku mulai curiga bahwa dia cuma menyembunyikan hal-hal yang terlalu sulit untuk dibicarakan.


Anak kecil itu lebih sering hadir tiba-tiba dan semaunya sendiri. Hadir dalam pecahan tangis yang tidak jelas asalnya. Hadir dalam ledakan emosi yang membuatku menyakiti diri. Tetapi setiap aku paksa duduk dan menceritakan segalanya, lagi-lagi dia diam.


Aku menyerah menemui anak kecil itu dan mulai menemui psikolog bernama Om Ge yang lebih mau disebut “teman belajar relasi”. Aku menemuinya karena ia mau membantuku tanpa perlu mengorek-ngorek cerita Mega kecil. 


“Apakah there’s no such a thing kesepian dalam pernikahan? Itu cuma akunya, ya?” tanyaku.


“Rasa kesepian ada, nyata. Tetapi karena itu soal rasa, berarti urusannya sama diri sendiri. Rasa itu hadir karena Mega belum bersahabat dengan diri sendiri. Jadi masih minta orang lain untuk menyamankan Mega,” jawab Om Ge.


27 tahun hidup dan aku baru mengenal konsep “bersahabat dengan diri sendiri”, jelas aku tidak mengerti. 


“Bersahabat sama diri sendiri itu gimana?” tanyaku.


“Tergantung apa yang Mega mau dari sosok sahabat,” jawab Om Ge.


“Yang nyemangatin aku, yang nemenin aku kalau aku sedih, yang bisa jadi teman ngobrol ini itu,“ kataku tetap bingung mempertanyakan apakah bisa seseorang melakukan itu untuk diri sendiri.


“Ya, jadilah sosok itu buat diri sendiri,” singkat, padat, dan entah.


Kujawab “oke” meskipun tak tahu aku bisa mulai dari mana untuk menjadi “sosok” itu. Namun lirik dan musik Jason Ranti barangkali boleh disebut penyelamat.


Lagipula hidup

Sebebas itu

Jadilah apapun yang kamu rindu

Kalau saja ia yang sekarang

Lebih menerima dirinya yang dahulu

Kalau saja esok ia lebih rela akan kejadian yang sekarang

Kalau saja pasrah adalah nama tengahnya

Dan ikhlas adalah alas kakinya

Dan bebas adalah nama sambungnya

Dan terserah semua yang gila-gila

—Jalan Ninja, Jason Ranti


Aku mulai melangkah dengan memegang kata “jadilah apapun yang kamu rindu”. Untuk menjadi apa yang aku rindu, artinya adalah menjadi Mega yang hidup bersama tulisan-tulisannya dan sisanya mengalir begitu saja. Tidak perlu dicari-cari atau dinanti-nanti, kapan pun hal baik dan hal buruk hadir, biar saja ia lewat begitu saja. Keduanya pasti hadir hanya untuk berhenti sejenak, saat tugasnya selesai, ia akan pergi sesuai waktunya.


Lalu sejak aku memutuskan memilih hadir seutuhnya untuk diriku, aku mulai mengerti apa arti bersahabat dengan diri sendiri. Artinya aku menemani diriku di setiap langkah yang kuambil, bukan jadi musuh dalam diri sendiri. Menemani artinya aku hadir pada setiap impianku dari hari ke hari tanpa perlu ada yang memberikan keyakinan bahwa aku mampu melakukannya atau tidak. Hal yang jauh lebih penting lagi, aku memilih percaya pada diriku, bukan justru meragukan diri sendiri.


Kini aku mulai mengerti arti lirik ‘ternyata sepi teman abadi’ dalam lagu “Manhattan-Blok M” dari Jason Ranti. Sepi ada, nyata, dan dapat kita rasakan kapan saja. Tetapi kita tak perlu khawatir, sebab teman terbaik dalam keabadian sepi adalah diri sendiri.  

Aku mencoba mengingat-ingat lantas apa yang membuatku begitu yakin hubungan pernikahan ini akan sangat tepat dan aku tidak tolol-tolol amat ...


Aku mencoba mengingat-ingat lantas apa yang membuatku begitu yakin hubungan pernikahan ini akan sangat tepat dan aku tidak tolol-tolol amat karena terburu-buru menikah?


Aku tidak pernah lupa bagaimana pertama kali aku jatuh cinta padamu, sih. Malam itu kita pergi ke kedai kopi yang biasa aku datangi. Itu bukan kencan tetapi sekadar “menemui orang yang jauh-jauh datang dari Tangerang ke Malang”. Aku menemuimu dengan membatin kesal, “Buat apa, sih, aku harus menemui orang ini?”


Barangkali Tuhan yang menggeretku malam itu untuk jatuh cinta padamu, tepatnya pada suaramu yang teduh. Sejak saat itu kita jadi dekat walaupun terpaut oleh jarak, kamu di Tangerang dan aku di Malang, tetapi aku mencintaimu karena kamu selalu mengangkat telepon kapanpun aku membutuhkanmu untuk sekadar mendengarkanku menangis. Aku bahkan pernah menelponmu ketika kamu kerja hanya karena aku menumpahkan kopi di lensa kameraku. Kamu tidak mengucap banyak, hanya mendengarkan, dan begitu saja sudah cukup.


Aku mencintaimu karena setiap pesan ‘are you okay?’ yang kamu kirim. Aku mencintaimu karena kita bisa mendiskusikan dan menghargai banyak hal walaupun kamu tidak membaca buku-buku feminisme sekalipun. Aku mencintaimu karena kamu memilih memasak bersamaku meskipun kamu tidak bisa memasak. Padahal kamu punya pilihan untuk menganggap memasak adalah urusan perempuan dan tugasmu hanya merokok sambil menunggu masakan siap disantap seperti laki-laki misoginis kebanyakan.


Kecocokan membuatku yakin bahwa kita hadir di dunia untuk satu sama lain. Tetapi yang kini baru aku ketahui adalah kecocokan juga bisa jadi petaka pada hubungan kita.


Aku terbiasa melakukan banyak hal sendiri dan kamu menganggap tidak ada yang salah dengan sendirian. Sampai ketika aku depresi sekalipun aku tetap memilih pergi ke rumah sakit sendirian dengan mengajak anak. Saat itu aku menganggap semua ini biasa dilakukan dan menjadi pulih adalah tanggung jawabku semata. Padahal pergi ke psikiater sambil anakmu menangis jelas melelahkan. Aku sering kewalahan harus mendengarkan apa yang dikatakan psikiater atau anakku yang menangis.


Sampai aku tidak sadar mengambil tanggung jawab terlalu banyak dan kamu membiarkan semuanya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan memohon-mohon tiap ingin bergiliran mengganti popok dan memandikan anak. Kamu juga merasa tidak ada yang salah dengan tidak sadar apa perbedaan “melakukan” dengan “membantu” dalam pengasuhan dan tugas domestik.


Aku merasa keromantisan adalah hal yang basi, begitu pun juga kamu, sebab kita sama-sama dibesarkan di keluarga yang gagap mengungkapkan kepedulian dan rasa sayang. Sehingga ketika aku menangis kamu tidak pernah tahu harus berbuat apa. Bahkan kamu kerap tidak tahu aku menangis padahal kita tidur di kasur yang sama. Dulu aku menganggap semua ini biasa saja sebab aku tahu kalau emosi adalah urusanku pribadi.


Kita juga saling cocok sebab kita menikah ketika satu sama lain belum sanggup dewasa.


Ini bukan lagi soal apakah aku si anxious karena merasa perlu kepastian bahwa hubungan kita baik-baik saja sehingga selalu ingin menyelesaikan masalah saat itu juga. Kemudian bisa meledak ketika kamu tidak mau menyelesaikan masalah. Juga bukan apakah kamu si avoidant yang kerap merasa tidak nyaman ketika ada masalah dan lebih memilih tidak mau membahasnya sampai sering aku geret untuk duduk di sebelahku, menatap mataku, dan memaksamu untuk bicara.


Kamu selalu bilang, “Lebih baik aku diam karena kalau bicara aku pasti salah.”

Kamu juga sering memberikan solusi-solusi penyelesaian masalah yang tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang kita hadapi. Kamu melakukannya hanya agar masalah kita selesai walaupun solusinya tidak nyambung sama sekali.


Ketika hari ini aku ditampar kesadaran bahwa aku tidak mau lagi menjalani hubungan yang dilandasi atas ketidakpedulian, kamu kesulitan menerima fakta bahwa kamu punya andil besar dalam membiarkanku menjalani tanggung jawab dalam kesendirian. Kita membicarakan banyak hal seakan itu penting. Padahal itu tak lebih dari saling menyakiti karena kita saling meminta daripada saling memberi. 


“Kamu udah sampai kayak gitu, ya, padahal cuma karena kurang perhatian,” katamu membuat aku mempertanyakan apakah meminta perhatian adalah sebuah kesalahan dan tidak mendapat kasih sayang adalah tanggung jawab.


“Aku itu capek kerja,” katamu dan menolak fakta bahwa pasanganmu bekerja di tiga tempat berbeda sambil mengasuh anak.


Kamu memilih untuk tidak mengerti apa yang aku rasakan yang tadinya membuatku mengutuk diri karena merasa berlebihan atas semua ini. Tetapi aku kemudian sadar bahwa ketidakmauan dan ketidakmampuanmu untuk mengerti justru jadi sebuah bukti bahwa sudah semestinya aku pergi.


Pada sebuah malam di taman kecil kedai kopi di Cilandak Barat, aku mengisap Djarum Super entah berapa banyak padahal aku bukan perokok aktif. Bertindak tolol ketika hidup kacau balau memang selalu jadi ide yang bagus. Aku ditemani temanku bernama Gerardine yang juga sedang dikerjain Mercury Retrogade dan Full Moon Aquarius. Kami bertemu karena sadar saling butuh pelukan yang erat karena menghadapi laki-laki avoidant dan menyadari kenyataan bahwa kami sebetulnya sekadar manusia-manusia kesepian. 


Malam itu cukup menyadarkanku bahwa selama ini aku sudah cukup berjuang maka kini waktunya berserah. Pada kemungkinan terburuk sekalipun, let go, let God.


Tuhan barangkali tahu kapan waktu paling tepat menolongku. Pada keprasahan kita saling memeluk dan kamu mengucapkan kata ‘maaf’ dan aku hanya tidak berhenti menangis. “Aku nggak tahu kenapa sulit untuk bilang maaf,” katamu.


Aku tidak tahu bagaimana hidup akan membawaku selanjutnya, tetapi aku berterima kasih pada Tuhan yang mengizinkan semua ini terjadi. Setidaknya aku sadar bahwa aku bukan buru-buru menikah, tetapi kita hanya menikah saat sama-sama tidak sanggup dewasa. Setidaknya hari ini kita belajar lagi apa artinya mencintai sebagai orang dewasa.


Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub ad...




Tidak ada yang spesial dari mendatangi Tiger Cub Coffee, ya, ini seperti mendatangi tempat baru pada umumnya. Aku datang karena Tiger Cub adalah kedai kopi yang barnya terbuka dan aku bisa duduk-duduk di depan bar tersebut—orang menyebut ini sebagai coffee slow bar, pasti menyenangkan kalau bisa ngopi sambil ngobrol. Hanya itu saja yang aku ketahui dan cukup untuk membawaku pergi ke sana. 

Aku baru punya kesempatan ke Tiger Cub ketika pada suatu siang baru saja selesai bekerja untuk mengurus acara di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Ini waktu yang tepat untuk ke Tiger Cub meskipun aku masih perlu naik MRT lagi untuk pergi ke sana agar tidak dijebak dan dikerjain kemacetan Jakarta. Lebih mudah untuk turun di MRT terdekat, yaitu MRT Fatmawati, lalu jalan kaki ke Tiger Cub yang cukup ditempuh kira-kira 5 menit saja. 

Aku datang ke Tiger Cub bersama seorang teman bernama Gerardine. Pintu berwarna cokelat hangat, dinding putih polos, dan papan tanda hitam bertuliskan “Tiger Cub” adalah yang kami temui ketika pertama kali sampai di Tiger Cub. Kami masuk dan saat itu tidak ada siapa-siapa selain seorang abang-abang penyeduh kopi yang berpakaian kaus lengan panjang dengan motif bergari merah marun dan putih. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi dia terlihat serasi dengan kehangatan dan kesederhanaan bar kopi Tiger Cub. 

Bar kopi Tiger Cub berwarrna coklat, tidak terlalu gelap maupun terang, dan tidak terlalu tinggi. Aku bisa duduk di depan bar tanpa takut jatuh karena kursinya rendah. Ada rak dinding cukup besar yang diisi beragam cangkir kopi yang manis. Kompornya selalu menyala untuk memasak air panas dari ceret yang besar. Aku tidak menemui kettle atau ceret-ceret canggih di sana. 

Begitu saja sudah cukup membuatku jatuh cinta dengan tempat ini. 

Aku dan Gerardine duduk persis di depan tempat penyeduh kopi membuatkan setiap pesanan. Aku tidak ingat persis apa yang kami obrolkan saat itu, yang pasti aku dan Gerardine sibuk mengomentari setiap detail Tiger Cub yang lucu dan menggemaskan. 

“Ya ampun lucu sekali cangkirnya.” 

“Waaah, apple pie! Aku belum pernah makan apple pie!” 

Tampaknya kami lebih pantas disebut bocah yang dipaksa menghadapi kedewasaan. 

Aku pun izin ke abang-abang penyeduh kopi untuk merekam karena jelas ini harus aku ceritakan di akun Tamasya Kedai Kopi. Setiap kali bertamasya, aku tidak selalu merekam siapa yang membuatkanku kopi. Aku lebih banyak mendengar gut feeling untuk memutuskan aku akan merekam dan menceritakan penyeduhnya atau tidak. Firasatku hari itu mengatakan dia tidak terganggu dengan kehadiran kami, jadi itu sudah cukup membuatku berani untuk merekamnya dan mengatakan, “Kita belum kenalan, loh, aku Mega.” 

“Aku Ridwan,” katanya pendek. 

Seperti pada kunjungan-kunjungan pada umumnya, kalau firasatku berkata baik, aku biasanya akan menanyai akun Instagram setiap penyeduh atau barista yang aku temui. Sebab aku merasa secangkir kopi itu menjadi istimewa tidak hanya karena tempat dan kopinya, tetapi juga siapa yang membuatnya. 

“Aku follow, ya,” kataku ketika tahu akun Bang Ridwan. 

“Udah nggak usah di-follow,” jawabnya. 

Follow lah, biar aku gak lupa,” kataku. 

Aku follow setiap orang bukan karena aku butuh followers. Itu hanya caraku agar ingat siapa orang yang pernah aku temui. Kalau tidak, biasanya aku akan lupa pada setiap orang yang pernah kutemui. 

Aku mulai melihat-lihat sekitarku. Ada ragam racikan teh yang membuat aku dan Gerardine kembali menjadi bocah ketika melihatnya. Saat Bang Ridwan menyeduh teh Nico Ruby, reaksi kami tak jauh berbeda, “Waaah, warnanya cantik sekali.” 

Nico Ruby mengeluarkan warna merah keunguan karena diseduh. Perpaduan teh hijau, bunga telang, chamomile, raisin, anggur, dan potongan buah stroberi membuat rasanya ajaib. Aku tidak pernah mencicipi teh seperti itu sebelumnya. 

Aku juga melihat kopi yang digunakan adalah Wisang Kopi. Satu roastery yang jelas aku ingat sebab dahulu tiap ke Jakarta selalu mampir ke Wisang Kopi. Aku juga tidak tahu persis apa yang membuatku selalu kembali ke Wisang Kopi padahal di Jakarta punya banyak pilihan mengopi. Tetapi ujung-ujungnya Wisang Kopi selalu jadi tujuan bertemu teman ketika di Jakarta. 

“Kopinya dari Wisang Kopi semua, ya?” tanyaku. 

Jawaban dari Bang Ridwan kemudian membuatku tahu bahwa Tiger Cub dengan Wisang Kopi memang satu kepemilikan. Mendengar itu aku jadi spontan menceritakan momen-momen lucu yang sangat berharga di Wisang Kopi sambil menikmati kopi yang dibuat oleh Bang Ridwan. Kopi pertama yang aku nikmati adalah Gayo Kenawat yang disajikan panas di cangkir harimau. Kopi kedua, Frinsa Lactic Natural yang ketika dibuat dingin sangat manis dan menyegarkan. 

Saking manisnya aku sampai menggumam berkali-kali, “Huhu enak sekali.” 

Begitu saja momen mengopi hari itu. Ketika sampai rumah, aku setidaknya tahu tiga hal. Pertama, jelas aku akan datang lagi ke Tiger Cub. Kedua, ternyata pemilik Tiger Cub dan Wisang Kopi adalah orang yang sama. Ketiga, Bang Ridwan adalah penyeduh kopi yang menyenangkan dan punya senyum yang manis meskipun dia tidak begitu banyak berekspresi hari itu. 

Perihal poin ketiga aku punya momen memalukan. Saat itu seorang teman dekat akhirnya juga mengunjungi Tiger Cub ketika Bang Ridwan sedang menyeduh kopi. Kemudian temanku mengirim pesan, “Lo suka mas-mas manis ya, Meg.” Aku tertawa keras-keras membacanya sampai pipiku kesakitan. Dia adalah teman yang tahu betul siapa mas-mas manis di setiap kedai kopi yang aku kunjungi. 

Kadang-kadang aku berkelakar tentang orang manis yang kutemui dengan, “Dia manis tetapi terlalu rapi, sepertinya dia gay.” Temanku kadang juga menanggapi sekenanya dengan, “Iya, kayaknya dia gay.” Bagiku sebagai orang yang sudah punya suami, menganggap orang manis adalah gay jadi cara paling praktis untuk segera melupakan orang tersebut. Itu hanya sebagai taktik self-control belaka. 

Tentu aku menulis terus terang begini karena sudah mendiskusikan panjang kali lebar dengan suamiku perihal, “Apakah aku boleh menganggap seseorang itu manis?” Kesimpulan kami sama, itu hal yang biasa-biasa saja untuk dilakukan. Tidak ada yang spesial. Kita tidak pernah bisa mengontrol isi pikiran kita yang spontan, kita cuma bisa mengontrol aksi setelah bertemu orang yang kita anggap menarik. 

Suamiku sendiri juga tidak pernah masalah aku ngopi dengan siapa saja walau berdua sekalipun. Dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk memastikan itu hanya acara ngopi-ngopi biasa bukan sebuah kencan. Ya, padahal aku bisa juga melakukan hal-hal tolol, tetapi dia selalu menganggapku cukup dewasa untuk mengambil keputusan selayaknya perempuan yang pintar. 

Jelang beberapa bulan setelah kunjungan pertama ke Tiger Cub, aku kembali ke sana bersama Gerardine. Kami kembali bukan karena Bang Ridwan manis, tapi karena kami rindu saja dengan suasananya dan berencana kembali mampir sepulang kerja. Hari itu aku juga mengajak anakku yang berusia 3 tahun karena taman di samping Tiger Cub adalah ide yang bagus untuk menghabiskan waktu bersama. 

“Nanti kita lari-larian ya, Gama. Tempatnya ada tamannya gitu, deh,” kataku pada Gama. 

“Ya, ya, ya! Lari lari lari!” kata Gama sambil menggambarkan gerakan lari-lari dengan jari-jarinya yang kecil. 

Setiba di Tiger Cub, suasana lebih ramai daripada ketika pertama kali kami ke sana. Aku, Gerardine dan Bang Ridwan kali ini lebih bisa membicarakan banyak hal. Gama juga tampak senang bermain dengan kucing sampai dia benar-benar kelelahan dan tidur di pangkuanku ketika hari semakin gelap. 

Aku masih melihat Bang Ridwan sebagai penyeduh kopi yang menyenangkan. Kini aku bahkan melihatnya seperti betul-betul mencintai pekerjaannya karena dia menyapa setiap pelanggannya. Meskipun kali ini dia lebih banyak bercanda dan meledekku, “Tuh, emak lu capek, Gama.” 

Bisa kubilang hari itu suasana Tiger Cub mungkin punya energi yang lebih ajaib dari sebelumnya. Gerardine tiba-tiba bertemu seorang teman. Obrolan dengan pelanggan kopi lainnya juga menyenangkan meskipun kami tak saling kenal. 

Saat itu seorang pelanggan yang bertanya apakah ada menu dengan susu, kalau aku tidak salah ingat, ya. Tiger Cub tidak punya, semua menunya dibuat secara manual dan tidak ada yang dengan susu. Aku juga baru sadar saat itu. 

Kemudian pelanggan tersebut mulai bertanya apa minuman manis yang bisa dipesan. Frinsa Lactic Natural kalau disajikan dingin sebenarnya manis. Tetapi setiap orang punya persepsi manis berbeda, jadi aku cukup mengerti mengapa itu tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pelanggan yang lebih sering minum kopi dengan susu atau kopi yang manis dengan gula. 

Bang Ridwan kemudian merekomendasikan menu Bilateral Coffee Ice. Sebuah menu yang aku juga pesan, sih. Kopi hitam yang disajikan dingin dengan sirup blueberry. Aku sebut itu “minuman lucu yang menyenangkan”. 

Perpaduan kopi hitam dingin yang sering kita temukan di kedai kopi adalah kopi hitam yang dipadukan dengan lemon. Menu dingin ini bisa membangunkan mata yang ngantuk sebab sibuk mengernyitkan dahi karena saking asamnya minuman tersebut. Tetapi kopi hitam yang dipadukan dengan sirup blueberry dan kamu masih bisa merasakan potongan kecil blueberry-nya adalah perpaduan yang cerdas. Aku masih bisa merasakan kopinya yang pekat tetapi juga punya manis dengan sedikit asam dari buah blueberry yang menyenangkan. 

“Kawin gitu kopi dan manisnnya,” kata Bang Ridwan. Sejujurnya aku paling malas mendeskripsikan makanan atau minuman dengan kata ‘kawin’ karena di otakku setiap mendengarkan kata itu selalu muncul pemikiran, “Emang makanan atau minumannya ngapain, kok, jadi kawin?” Tetapi aku paham konteksnya jadi sepakat dengannya. 

Malam itu ditutup oleh pertemuanku dengan Mas Cubung, pemilik Tiger Cub. Kami pernah bertemu di Wisang Kopi, tetapi karena ingatanku yang buruk, aku sih tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Kami saling menertawakan kejadian di Wisang Kopi pada 2018 lalu dan lebih banyak membicarakan tentang bagaimana menjalani kehidupan menjadi orang tua yang ugal-ugalan. Itu obrolan yang menyenangkan. 

Hari itu aku senyum lebih banyak dan lebih lama. Hatiku penuh dengan kehangatan hanya dengan mengunjungi kedai kopi. Saking menyenangkannya hari itu, membuatku sadar apa yang berbeda jika tidak sedang depresi. 

Ketika tidak sedang depresi, lebih mudah melihat dan menyadari sisi baik dan momen menyenangkan setiap harinya. Ketika sedang depresi, sangat mudah untuk punya kesimpulan sia-sia untuk melanjutkan kehidupan. 

Ketika tidak sedang depresi, aku bisa berpikir, memang betul sangat melelahkan mengajak anak bekerja. Tetapi kalau tidak ada dia, jelas kali ini tidak semenyenangkan seperti hari ini. 

Ketika sedang depresi, aku bisa berpikir, aku tidak tahu apakah sanggup melalui hari-hari melelahkan bekerja sambil mengasuh anak. Setiap berangkat kerja bersama anak, aku selalu dihantui rasa cemas berlebihan yang membuat kepalaku sakit dan sering berujung dengan menyakiti kepalaku sendiri. 

Tahun lalu untuk bangun tidur saja terasa berat, setiap pagi selalu ada rasa sesak yang menyelimuti dadaku setiap bangun tidur. Tetapi lihat diriku hari ini, tersenyum lebar-lebar karena hari ini begitu menyenangkan meskipun enam bulan terakhir aku dibuat babak belur. 

Terima kasih Gerardine, Bang Ridwan, kucing Tiger Cub, Mas Cubung, dan siapa saja yang kutemui di Tiger Cub karena membuatku sanggup untuk meyakini bahwa kegilaan dan rasa sakit adalah bagian dari risiko kehidupan. Tetapi karena keduanya adalah kepastian, aku akan menyambut setiap kebaikan yang datang dengan penuh syukur selagi aku masih diberi Tuhan kebaikan tersebut. Terima kasih sudah meyakinkanku bahwa segila-gilanya kehidupan, selalu ada momen-momen manis yang patut kita syukuri. 

Mendadak aku ingat potongan paragraf di buku anak berjudul 'Le Petit Prince', 

Of course I’ll hurt you. Of course you’ll hurt me. Of course we will hurt each other. But this is the very condition of existence. To become spring means accepting the risk of winter. To become presence, means accepting the risk of absence.

Jatuh cinta itu mudah. Merawat cinta itu perkara lain. Satu hal lagi yang aku tahu tentang cinta setelah menjalani pernikahan 5 tahun adalah...

Jatuh cinta itu mudah. Merawat cinta itu perkara lain. Satu hal lagi yang aku tahu tentang cinta setelah menjalani pernikahan 5 tahun adalah rumah tangga itu cinta yang perlu dirawat dengan kerja keras. Cinta yang perlu dijaga untuk menghargai komitmen yang telah dibuat sejak pertama kali mengikat janji pada hari pernikahan.


Kita perlu mencintai pasangan dengan lebih keras di pernikahan sebab hari-hari tidak selalu belangsung baik. Kadang kita lebih fokus membagi tugas siapa yang memandikan anak dan mencuci piring daripada menanyai satu sama lain tentang kabar masing-masing. Kita terlalu sibuk berusaha bertahan hidup dengan menjalani banyak peran sekaligus sebagai seorang suami atau istri, ayah atau ibu, pekerja domestik, karyawan dan lain-lain sampai lupa sekadar bertanya, “Kamu gimana keadaannya?” 


Pernikahan membuat kita harus merawat cinta setiap hari, bukan mencintai selagi kita punya waktu. Tidak seperti ketika sekadar naksir dengan orang lain yang kita cuma perlu menanyai kabarnya dan itu sudah lebih dari cukup.


Sayangnya daftar tugas mencintai dalam rumah tangga membuat kita lupa sebetulnya apa yang paling dibutuhkan satu sama lain. Bukan soal rumah yang rapi atau perut yang kenyang. Tetapi soal apakah kita sanggup menemani satu sama lain hingga tua nanti bagaimana pun dunia menceburkan diri kita pada lautan yang dalam. Soal apakah kita sanggup menyayangi dan mengerti satu sama lain meskipun energi telah dihabiskan untuk memahami diri sendiri.


Ketika kita kehabisan energi dan masih harus saling mencintai kadang-kadang berujung menjadi saling menyakiti satu sama lain. Sesederhana keluhan “aku lagi capek” yang aku ucapkan karena bekerja sambil mengurus anak tetapi justru mendapat jawaban “aku juga capek” bisa memperburuk hubungan yang telah dibangun. Aku mulai menyakiti suamiku dengan, “Tetapi lelahnya berbeda.” Padahal seharusnya aku bisa bilang, “Aku tahu kamu capek. Tapi aku boleh dimengerti dulu atas kelelahan yang aku miliki nggak?”


Di sini lah kerja keras itu dibutuhkan dan kadang-kadang aku merasa kerja keras sendirian karena suamiku sangat payah dalam hal memahami perasaan diri dan pasangannya. Aku bisa bilang dia kehilangan kemampuan merasa. Kadang-kadang aku meledeknya dengan, mungkin gara-gara dulu kamu suka mabuk jadi terlatih mati rasa karena itu. Dia sepakat dan kami saling tertawa.


Aku tidak pernah mengenal suamiku ketika dia suka minum. Tetapi aku tahu dia pernah hampir mati karena mabuk dan itu yang membuatnya berhenti minum. Aku mengenal suamiku ketika dia sudah sadar sekaligus mati rasa.


Tetapi aku mengerti bahwa kita saling punya luka masa kecil hanya saja kita merespon dengan cara berbeda. Aku memilihnya sebagai pasangan hidupku dan artinya aku menerima setiap risiko. Bahwa aku akan jadi orang yang paling pertama berusaha memperbaiki hubungan yang telah kita bangun untuk bisa ingat apa artinya menikah dan saling mencintai.


“Boleh nggak kalau aku bilang capek, kamu nggak menjawab ‘aku juga capek’. Kamu boleh cerita juga kamu capek, tetapi dengarkan dulu aku capek kenapa? Sama boleh nggak, kalau aku mengerjakan tugas domestik, kamu mengucapkan terima kasih? Aku tuh nggak butuh dikasih uang atau dibayarin ini itu, tapi aku butuh dihargai dengan kamu melihat apa yang aku kerjakan,” kataku pada hari yang lain.


Aku belajar memberitahu kebutuhanku dan suamiku belajar lebih mengerti perasaanku. Tidak mudah karena mengapa cinta perlu dilakukan dengan kerja keras daripada penuh keindahan? Ya, namanya juga merawat cinta, bukan jatuh cinta.


Aku tidak tahu tentang Kota Tangerang selain nasi goreng petainya yang selalu enak, ada kampus bernama UMN dan di sebelahnya ada Tanamera Co...

Aku tidak tahu tentang Kota Tangerang selain nasi goreng petainya yang selalu enak, ada kampus bernama UMN dan di sebelahnya ada Tanamera Coffee, dan ada mall yang bernama Summarecon Mall Serpong. Ya, hanya itu yang aku tahu meskipun selama dua tahun bolak-balik ke Tangerang karena punya hubungan Long Distance Relationship (LDR) dengan pacar—kini adalah suami yang lama merantau ke Tangerang meskipun dia besar di Pulau Bali. Setidaknya setiap 3 sampai 6 bulan sekali aku pasti ke Tangerang, tidur di Hotel Aeropolis, dan selalu memesan nasi goreng petai di depan hotel yang cita rasa nasi gorengnya jelas berbeda dari apa yang biasa aku nikmati di kota kelahiranku, Malang, Jawa Timur.


Nasi goreng di Malang selalu menggunakan “caos merah” makanya berwarna merah. Rasanya manis dan aku tidak suka manis, di situ persoalannya. Setiap aku membeli nasi goreng di Malang, aku tidak pernah absen untuk bilang, “Gak pake saos ya, Mas.” Berbeda ketika sedang di Tangerang, aku tidak perlu melakukannya lagi. Nasinya gurih dengan sedikit manis karena kecapnya, tanpa saos merah, dan petainya masih renyah—isian yang agak sulit ditemukan di nasi goreng Malang.


Meskipun Hotel Aeropolis bukan hotel yang bagus tetapi kami tidak punya banyak pilihan lain karena itu yang mampu kami bayar. Ya, setidaknya mereka punya nasi goreng enak di depan hotelnya. Itu saja cukup untuk membuat memori LDR di tahun 2017-2019 menjadi kenangan yang indah.


Setelah menikah jelas aku tidak punya banyak pilihan selain ikut merantau ke Kota Tangerang. Tadinya kami tinggal di rumah petak murah di kawasan Jurumudi, Tangerang. Tetapi karena ada tikus sialan dan aku mulai punya pekerjaan yang bayarannya lebih baik daripada sebelumnya, kami pindah ke area Kehakiman. “Sepertinya nyaman karena dekat kantor polisi dan pengadilan negara,” kataku saat itu, pikiran yang tidak berdasar sama sekali. Hal lain yang tidak aku sadari adalah kontrakanku saat ini dekat Lapas dan beberapa waktu lalu sempat kebakaran.


Kini terhitung empat tahun sejak aku pindah ke Kota Tangerang dan satu hal yang sekarang jelas aku ketahui dan yakini adalah tidak susah menjadi “mba-mba Jawa” di sini.


Ya, meskipun aku pernah ditertawakan oleh penjual kelapa muda karena bilang, “Degannya satu, ya.” Rupanya kata “degan” hanya dikenali setidaknya di Jawa Timur. Pernah juga aku berusaha memanggil aa’ di Warmindo (Warung Makan Indomie) dengan, “Mas, mas, mau bayar,” dan tidak direspon. Ternyata mereka baru akan menoleh ketika dipanggil, “A’, mau bayar.”


Aku juga pernah dibuat bingung karena mendapat pertanyaan dari tetangga ketika sedang mengantarkan makanan, “Neng, dari Jawa, ya?” Apakah aktivitas “ater-ater” atau mengantarkan makanan pada seseorang di budaya Jawa, apalagi ketika menjadi tetangga baru, hanya dilakukan orang Jawa makanya budayaku dipertanyakan? Kurasa bukan logat bicara yang membuatnya tahu aku orang Jawa karena aku terlatih tidak beraksen Jawa jika tidak bicara dengan orang Jawa sebab dulu pernah belajar jadi MC dan dilarang punya aksen. Ini agak membingungkanku. Memangnya apa yang dilakukan orang Sunda ketika baru menjadi tetangga?


Perihal budaya memang membuatku sedikit kebingungan. Kadang-kadang aku juga merindukan memaki dengan kata “j4nc0k” daripada “anj1nk”. Tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada orang yang bisa diajak ngobrol dan memaki dengan kata “c0k i” di Kota Tangerang. Namun perihal perut, kota ini menawarkan ragam kuliner Jawa Timur yang beberapa cita rasanya menjadi benchmark buatku.


Pertama kali aku dibuat kaget dengan kuliner Jawa Timur di Kota Tangerang adalah ketika mencoba Tahu Tek, Tahu Campur dan Rujak Cingur di Warung Surabaya Cak Hazy yang berada di Jl. Dr. Sitanala. Pengalaman terbaik untuk menikmatinya adalah di warungnya langsung, duduk di hadapan mas-mas yang sedang memasak. Mereka jelas tidak akan menanyai kabarmu karena mereka gak peduli, tetapi setidaknya kita bisa mendengar mereka bebahasa Jawa Timuran dengan sangat fasih. Aku yakin betul mereka orang Surabaya, karena aksen Jawa dari Surabaya dan Malang punya perbedaan yang signifikan.


Menjadi anak Malang, aku juga masih ingat kalau aku tidak terlalu suka Tahu Campur dan lupa kapan terakhir kali makan Tahu Tek. Ingatanku tentang Tahu Tek membawaku pada masa kecil ketika sedang mengunjungi rumah nenek di Surabaya. Setiap malam selalu terdengar gerobak yang berbunyi “tek tek tek”, berasal dari suara gunting yang biasa digunakan untuk menggunting tahu. Itu kali pertama aku makan Tahu Tek, tetapi setelah itu aku hampir tidak pernah makan Tahu Tek lagi karena lumayan sulit ditemukan di Kota Malang.


Aku juga ingat kalau aku tidak begitu suka dengan Tahu Campur, entah apa alasannya. Tetapi ketika aku mencicipi Tahu Campur, Tahu Tek, dan Rujak Cingur Cak Hazy, aku jadi tahu apa alasannya. Kuliner Malang dan Surabaya meskipun sama-sama Jawa Timur, masih punya beberapa perbedaan, setidaknya dari penggunaan petisnya. Sepertinya petis yang digunakan sama-sama petis hitam yang pekat, tetapi intensitas penggunaan di Malang tidak sepekat ketika orang Surabaya yang memasak.


Aku masih ingat Rujak Cingur yang biasa aku nikmati di Kota Malang tidak punya bumbu sepekat apa yang aku nikmati dari Cak Hazy. Saus kacangnya pun tebal sekali dan warnanya coklat pekat. Kalau membeli Rujak Cingur di Malang, rasa petisnya tidak begitu kuat, warnanya coklat sedikit muda, dan sausnya tidak terlalu kental. 


Untuk Tahu Campurnya juga punya kuah petis yang kuat dan menyegarkan. Sementara Tahu Teknya, punya tahu telur yang tebal, dengan tekstur pinggiran yang masih renyah, dan saus kacang yang lebih gurih daripada bumbu Rujak Cingur. Sejak saat itu Tahu Campur, Tahu Tek, dan Rujak Cingur dari Cak Hazy menjadi benchmark enak tidaknya masakan-masakan tersebut. Terakhir kali aku ke Malang dan ibuku membelikanku Rujak Cingur, sih, aku tidak begitu menikmatinya.


Tidak jauh dari Warung Surabaya Cak Hazy, masih di area Rumah Sakit Sitanala, ada warung Sate Madura Cak Sholeh yang kalau lagi doyan-doyannya bisa jadi menu makan malam tiga hari berturut-turut. Ada satu tantangan yang tak pernah absen aku lakukan ketika sedang berada di warung madura, mengucapkan “terima kasih” dalam bahasa Madura setiap sedang berada di warung makan Madura.


“Nanti kalau kamu sudah bayar, bilang sakalangkong, ya,kataku pada suamiku cekikikan sedikit berbisik karena takut didengar penjualnya.


Kadang suamiku menurut dan membuat penjualnya bingung. Kadang dia tidak mau dan aku yang mengucap sakalangkong tentu dengan aksen yang aneh. Aku tahu bahasa Madura karena Ayah Ibuku dilahirkan dan dibesarkan di Sampang, Madura. Ketika hanya berbicara berdua, Ayah Ibuku akan berbahasa Madura. Sementara kalau dengan anak-anaknya selalu dengan bahasa Indonesia. Itu lah yang membuatku hanya bisa mendengar dan memahami sedikit-sedikit apa yang orang Madura katakan, tetapi ketika aku mencoba bicara dengan bahasa Madura selalu berujung gagal karena aksen yang kugunakan selalu aksen bahasa Malangan.


Apa yang terjadi di warung Sate Madura Cak Sholeh ini juga mirip seperti kisah di Cak Hazy, lagi-lagi membuat benchmark baru pada setiap sate madura yang kunikmati. Saus kacang sate maduranya selalu tebal, lembut, dan tekstur kacangnya tidak berasa. Mantap dinikmati dengan nasi yang panas dan tidak lupa minumnya Es Teh Botol Sosro—kurang nikmat kalau cuma es teh manis biasa.


Tetapi kebaruan yang aku temukan adalah, sate madura di sini punya pilihan lain selain saus kacang, yaitu saus kecap. Sausnya dominan rasa asam dari potongan tomat dan kecapnya pun cair. Dilihat-lihat mirip tomat yang selalu disajikan dengan Sate Maranggi. Aku kurang mengerti apakah ini saus percampuran Madura dengan Sunda atau memang selama ini selalu ada tetapi aku tidak pernah tahu?


Ajaibnya lagi Sate Madura Cak Sholeh bahkan menjual Sate Taichan! Warung ini seperti krisis identitas tanpa krisis konsistensi cita rasa sama sekali. Tetap kental Maduranya tetapi mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Sambal Sate Taichannya juga pedas menusuk hidung dan daging ayamnya pun selalu konsisten isi tusukannya. Selalu ada kulit ayam di sela-sela daging ayam, tekstur yang selalu kucari-cari ketika menikmati Sate Taichan.


Kota Tangerang akan menjadi sempurna kalau punya Bakso Malang yang enak. Salah satu yang membuat Bakso Malang berbeda adalah “gorengannya”. Orang Jakarta menyebutnya bakwan, tetapi bakwan bagi kami adalah bala-bala. Jadi tolong berhenti menyebut gorengan di Bakso Malang adalah bakwan.


Gorengan di Bakso Malang ada banyak bentuknya, ada yang lonjong memanjang, ada yang merekah seperti bunga, dan ada juga yang bulat. Kulitnya tipis, nikmat ketika renyah atau ketika lembek karena dimasukkan ke kuah bakso. Satu lagi yang berbeda dari kuah bakso Malang adalah kaldu yang pekat dan berlemak, tidak seperti kuah bakso Solo yang lebih ringan lemaknya. Kuah bakso Malang gurih, umami, dan lemaknya memenuhi mulut.


Terakhir yang membuat Bakso Malang istimewa adalah caos merahnya. Ini bukan saos tomat biasa, karena sepertinya cara pembuatannya lebih nasty daripada sekadar saos tomat kemasan. Rumor yang aku dengar, bukan hanya butuh tomat untuk membuatnya, tetapi juga buah-buahan dan sayur-sayuran lainnya. Tetapi yang sudah pasti adalah pewarna tambahan karena begitu merah. Cara menikmati bakso dan gorengan terbaik adalah ketika mencocolnya dengan racikan caos merah dengan sambal dan kecap yang pekat.


Kadang-kadang ketika makan bakso di Tangerang aku sering memaksakan diri untuk punya pengalaman meracik saos seperti yang selalu aku lakukan di Malang. Aku mencampur saus sambal kemasan, dengan sambal cabe, dan kecap Benteng yang cenderung gurih daripada manis. Hasilnya tentu mengecewakan tetapi setidaknya ada daripada tidak sama sekali.


Meskipun tidak ada Bakso Malang yang istimewa di sini, tetapi aku punya dua tujuan utama kalau mau makan bakso. Pilihan paling bijaksana adalah membeli Bakso Solo Cak Budi di Jalan Pidana Raya yang selalu dipenuhi Pegawai Negeri Sipil ketika jam makan siang atau Pondok Manunggal Rasa Bakso Solo di Jalan Kh. Soleh Ali.


Kalau di Cak Budi, baksonya penuh daging dan bisa pilih bakso urat, dan spesialnya ada bakso isi telur. Kalau di Pondok Bakso Solo, bisa tambah potongan daging yang lembut. Dua bakso ini cukup menghiburku di Kota Tangerang meskipun tetap tidak mengobati rasa rindu Bakso Malang.


Sedikit peringatan, jika kamu adalah introver dan punya people peaser trait sepertiku, sebaiknya berlatih H-1 sebelum membeli di kedua warung tersebut. Kamu tidak akan dilayani kalau tidak berani meminta abang-abang tersebut melayanimu. Persiapkan mentalmu sebaik-baiknya, ya?


Hari-hariku di Kota Tangerang tidak ada yang kurang lagi kalau mau beli Tahu Tek, Sate, Bakso, bahkan Nasi Bebek Khas Madura mudah ditemukan. Aku juga suka Laksa khas Kota Tangerang yang ada di pinggiran jalan sebelum ke Tangerang City Mall. Aku suka suka bahwa memesan Ketupat Sayur di mana pun pasti enak. Aku juga pernah bengong di tepi Sungai Cisadane yang sebenarnya tidak ada indah-indahnya karena masih ada sampah di sana sini tetapi seru juga.


Jadi sebagai mba-mba Jawa, aku cukup menyukai kota ini meski tidak cukup yakin apakah aku mau bertahan di sini untuk 10 atau 20 tahun selanjutnya.


Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser...


Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser, yang bagiku sekarang itu kurang panas untuk menyeduh kopi kemasan. Aku, yang saat itu mungkin masih usia 7 tahun, sering mencuri-curi untuk menyeruput kopi milik Ayah.


Aku tak pernah tahu apakah Ayah mempertanyakan mengapa kopinya sering tiba-tiba berkurang. Mungkin juga ia sudah tahu kalau pelakunya adalah anak perempuan satu-satunya yang masih kecil itu. Mega, si pencuri kopi, karena sering "ingin menjadi seperti Ayah". 


Ayah yang membuatku familiar dengan kopi. Ia juga yang memperkenalkanku dengan berbagai macam jenis buku dan membuatku terbiasa membaca buku. Sejak kecil aku sering diajak ke toko buku, dan itu membuatku lebih terbiasa menghadapi banyak rak buku dan menelusurinya satu-satu. Aku sejak kecil juga selalu melihat Ayah sibuk dengan komputer atau laptopnya untuk menulis dengan secangkir kopi dan buku-bukunya.


Secara tidak sadar, "aku menjadi Ayah". Sejak mengenal dunia blogging, aku jadi gemar menulis. Ketika menjadi 'anak madrasah' tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) sekitar pada tahun 2015, aku mulai familiar dengan kedai kopi. Sejak saat itu aku sering menghabiskan waktu sendiri di kedai kopi untuk menulis.

 

Baca tulisan pertamaku mencicipi Americano saat kelas 3 SMA:

dW Coffee Shop: Nyaman untuk Blogger


Barangkali tak berlebihan jika aku menyebut Ayah lah yang membawaku menjadi 'Mega yang hari ini'. Mega yang ingin terus menulis dan minum kopi secara berlebihan. Barangkali secara tidak sadar, aku memang ingin "menjadi seperti Ayah", tetapi sayangnya justru ini yang membuat hubunganku dengan Ayah memburuk.


Aku semakin menghindari Ayah sejak pertama kali ia menertawakan kegiatan yang paling aku cintai ketika SMA. "Nulis, kok, di blog. Nulis itu di koran, lah," kata Ayah. Bahkan Idulfitri tahun ini, aku masih mendengar Ayah bercerita tentang hal yang sama, ia masih produktif menulis di koran, dan mengulang nilai yang amat ia percayai, "Tingkatan menulis paling baik itu, ya, menulis di koran."


Ketika SMA, aku tak pernah sadar bahwa ucapan sederhana itu membawaku menjadi orang yang kerap meragukan diriku sendiri. Rupanya komentar-komentar Ayah membawaku pada kebiasaan mencari validasi dari orang lain. Bila orang lain menilai itu buruk, maka aku perlu percaya, sebab aku selalu jadi 'anak kecil yang nggak tahu apa-apa daripada orang lain".


Seseorang bahkan pernah bilang padaku, "Mega, jangan terbiasa langsung lari setiap ada satu kejadian buruk." Komentar itu datang dari bosku ketika aku mengundurkan dari pekerjaan karena aku pernah datang telat bekerja satu kali. Tetapi yang aku ingat, melakukan satu kesalahan sangat mengerikan, memalukan, dan aku merasa tidak berhak atas hal-hal baik tersebut.


Pola itu pun berulang dalam banyak hal, hanya karena satu kritik, aku bisa berhenti melakukan hal yang paling aku cintai. Tahun 2019 aku berhenti menulis tentang kopi karena dikritik banyak orang. Bila aku melihat diriku dengan Mega yang udah lebih dewasa lima tahun saat ini, aku bukan perlu berhenti menulis kopi, tetapi aku hanya perlu belajar bahwa penulis bisa salah dan hanya perlu bertanggung jawab atas kesalahannya. Tetapi aku justru menganggap "karena aku sudah berbuat salah, maka aku tidak layak melakukan apapun tentang ini, karena itu memalukan".


Rasa malu itu familiar pada setiap waktu mencari validasi dari Ayah. Ketika ada satu pencapaian yang aku lakukan sementara tak sesuai dengan standar Ayah, ia kerap meninggalkan komentar dengan sedikit tertawa. Tawaan itu menyakitkan buatku yang masih belajar dewasa. Tawaan itu mengingatkanku bahwa "aku memalukan". Tawaan itu tak aku butuhkan dari sosok yang paling aku nantikanuntuk mendapatkan petunjuk paling bijaksana yang semestinya membantuku menjadi lebih dewasa.


Ayah yang membuatku suka menulis, tetapi ia sendiri juga yang memaksaku untuk mengikuti standarnya dalam 'menjadi penulis'. Meskipun aku 'secara tak sadar' tetap ingin menjadi Ayah, tetapi diriku yang remaja juga punya dorongan untuk tak pernah sepakat dengan Ayah. Aku tetap saja menulis blog dan kini "bisa hidup" dari pekerjaan membuat konten di internet. Aku memilih untuk percaya pada apa yang aku sukai, tetapi ini juga yang membuatku terkesan menjadi "anak keras kepala" hanya karena aku "anak perempuan yang tahu mauku apa".


Ibuku bahkan pernah bilang, "Kamu itu keras kepala seperti Ayahmu. Cuma mau melakukan sesuatu yang cocok dengan rencananya."


Suatu hari aku ingin memperbaiki hubungan dengan Ayah. Aku ingin lebih banyak ngobrol dengannya. Aku mengajaknya mengopi bahkan membuat segmen khusus 'Mengopi Bersama Ayah' di Instagram dan blogku. Tahun 2017, aku memperkenalkannya dengan satu kedai kopi di Kota Malang yang punya kopi enak dengan harga terjangkau: Amstirdam Coffee.


Niat baik memperbaiki hubungan dengan satu hal yang sama-sama kami sukai, yaitu kopi, pun tetap gagal. Setelah mencicipi kopi di Amstirdam Coffee, Ayah bilang tiga hal. Pertama, Ayah suka sekali dengan pertemuannya dengan pemilik Amstirdam Coffee yang merupakan orang India karena ia baru saja melakukan penelitian di India. Bahkan Idulfitri kemarin Ayah masih cerita ingin kembali ke India karena negaranya begitu menarik. Kedua, Ayah sangat suka dengan kopinya, bahkan hingga tahun 2024, ia sangat bergantung dengan biji-biji kopi dari Amstirdam Coffee untuk membuat kopi di kantornya. Ketiga, Ayah justru melarangku pergi ke kedai kopi setelah aku ajak pergi ke sana.


"Jangan sering-sering ke sini, lah," kata Ayah begitu singkat.


Ayah tidak pernah menjelaskan alasannya tetapi yang aku pahami adalah lagi-lagi Ayah menjadi tukang ngatur yang sama sekali nggak asyik. Tetapi aku yang kini banyak membaca buku-buku tentang gender akhirnya memahami maksud Ayah. Aku jadi sadar itu hanya bentuk kekhawatirannya tetapi karena ia begitu gagap untuk menunjukkan kepeduliannya dengan baik, ucapan yang hadir akhirnya dalam versi yang tidak asyik sama sekali.

Amstirdam Coffee saat itu memang masih kecil, sempit, dan tersembunyi. Orang bisa menyebutnya 'hidden gem' atau 'underrated coffee shop' saat itu, hanya saja istilah tersebut belum jadi tren di 2017. Berbeda dengan Amstirdam Coffee hari ini yang berubah menjadi sangat luas, punya beberapa cabang, tetapi ada satu hal yang masih sama ketika aku datangi kembali di tahun 2023: Amstirdam Coffee masih dipenuhi laki-laki.


Melihat suasana Amstirdam Coffee yang gelap (karena malam), kecil, dan tersembunyi barangkali membuatnya khawatir itu bukan tempat aman untuk anak perempuannya. Sayangnya, buku-buku tentang gender juga yang membuatku sadar itu adalah "nasihat yang tidak adil". Untuk membuat anak perempuan mendapatkan lingkungan aman, ia harus dilarang keluar rumah. Bukannya anak laki-laki atau laki-laki dewasa yang dididik untuk tidak menjadi predator.


Selengkapnya tentang cara mendidik anak perempuan dan laki-laki yang tidak adil dapat dibaca di buku 'Akhir Penjantanan Dunia: Psikologi Feminis untuk Pembebasan Laki-laki dan Perempuan'.


Malam Mengopi Bersama Ayah hari itu malah membuatku menyembunyikan diriku dari Ayah. Aku bahkan tak mengundangnya di setiap acara rilis buku-buku terbaruku. Bahkan tak ada nama Ayah di setiap buku yang aku tulis hingga ia begitu kecewa.


Ayah pernah bilang, "Kamu itu Ayah belikan buku-buku, tapi malah nggak ada nama Ayah di bukumu."


Jelas ia amat kecewa karena justru yang aku tulis dalam bukuku adalah nama pacarku (yang kini menjadi suamiku). Saat itu aku sungguh kehilangan orang yang mempercayai setiap yang aku cintai, ketika menemukan pacarku yang menjadi suamiku, aku merasa menjadi "lebih kuat" setiap berkarya karena merasa punya dukungan darinya. Terdengar romantis, tetapi sebenarnya ini juga tak sehat-sehat amat. Mestinya alasanku menulis datang dari diriku, bukan datang dari ada yang mendukungku atau tidak. 


Kini, ketika aku dewasa, aku tetap tak membenarkan nasihat Ayahku. Sebagai anak perempuan, aku tak butuh proteksi semacam itu. Aku justru perlu banyak diajari tentang "aku layak dapat perlakuan baik seperti apa dari orang lain". Sementara aku kehilangan kehadiran Ayah sejak kecil, Ayah sibuk bekerja sampai setiap ia bicara, hanya soal mengatur dan marah karena aku tak pernah sesuai dengan standarnya. Sementara aku dibesarkan oleh Ibu yang juga sudah terlalu lelah menghadapi tiga anaknya sehingga yang aku terima adalah omelan harian.


Aku menjadi dewasa tanpa banyak arahan yang jelas. Aku belajar menjadi dewasa sendirian. Aku tumbuh dewasa dengan rasa sepi yang mengakar. Rasa sepi yang membuatku hampir tak pernah lajang karena aku mudah terkesima setiap ada orang yang memberikan perhatian, dan akuselalu merasa butuh orang lain untuk menghilangkan rasa sepi serta demi menjadi bahagia. 


Dibesarkan di keluarga yang aku perlu menebak-nebak apakah Ayah Ibu sedang marah atau tidak, apakah aku perlu menyamanka mereka sehingga tak marah lagi, membuatku jadi perempuan kodependen. Kodependensi dalam sebuah hubungan adalah ketika aku baru merasa bahagia bila sudah membuat orang lain bahagia. Aku mendapatkan pengetahuan ini dari buku Toxic Relationsh*t yang ditulis oleh Diana Mayorita.


Itu yang membuatku merasa "memiliki pacar membuatku lebih mudah menjadi bahagia" karena aku "mengurus" pasanganku dengan loyal. Sementara aku kerap tak mendapatkan kepedulian yang sama dari pasangan-pasanganku sebelumnya, sebab banyak laki-laki yang memiliki "mommy's issue". Sehingga mereka mencari pasangan yang bisa menjadi pengganti ibu untuk bisa "mengurusnya", bukan kekasih yang dapat diajak hidup bersama dengan prinsip ketersalingan dan kesetaraan. 


Aku tidak menyangka dari keisengan mencicipi kopi Ayah dapat membawaku pada dinamika relasi dengan Ayah yang rumit dan cukup mempersulitku ketika tumbuh dewasa. Aku masih tak megelak bahwa ada banyak kemiripanku dengan Ayah. Aku sejujurnya masih ingin melanjutkan S-2 dan banyak mengajar seperti Ayah. Bahkan ketika aku tidak sadar, aku bisa saja nyeletuk, "Jadi profesor kayak Ayah aja lah." Sebab Ayah selalu menganggap kehidupan paling baik dan keren adalah sekolah tinggi dan menjadi sepertinya.


Aku tahu, Ayah merupakan sosok yang progresif. Ia adalah laki-laki dari Madura yang berjuang untuk sekolah tinggi hingga menjadi profesor. Tetapi tak berarti ia perlu memaksakan standarnya padaku hingga aku selalu merasa gagal dan tak pernah cukup baik. Tak berarti standarnya membuatku kemudian menyimpulkan kehidupanku hari ini begitu gagal.


Aku yang sebentar lagi berusia 27 tahun pun masih terus berusaha mengenali diriku. Aku sedang berusaha keras mengenali apa tujuanku dengan melepas "pencarian validasi Ayah atau Ibu" agar tak terjebak mengejar sesuatu hanya untuk membuat mereka bangga. Bahkan tahun 2023 kemarin aku memaksa diriku untuk tak daftar beasiswa S-2 sama sekali untuk mencoba menelusuri kembali keinginanku melanjutkan kuliah itu 'demi Ayah' atau karena kebutuhan dan kemauanku.


Aku berusaha keras memperbaiki diri yang kerap "ingin dapat hasil sempurna" pada setiap hal yang ingin aku kejar hingga membawaku pada lubang-lubang gelap depresi. Tahun 2023 aku sampai mencoba kembali memperbarui pemahamanku tentang Tuhan. Sebab selama ini aku merasa Tuhan hanya datang untuk memberiku hukuman, dan kalau aku cukup beruntung, kebaikanku yang nggak seberapa itu bisa mengantarkanku pada surga. Aku mencoba mengenali Tuhan yang sebenarnya Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu agar aku tidak berusaha keras sempurna pada setiap hal dan berkali-kali kecewa dengan diri hanya karena "gagal menjadi sempurna".


Aku berusaha keras memperbaiki karakter-karakter bawaan Ayah Ibu dengan bolak-balik psikoterapi atau konseling ke psikolog. Ini perjalanan menjadi dewasa yang tak mudah, tetapi aku yakin layak diperjuangkan meskipun membuatku sangat relevan dengan bercandaan "uang habis hanya untuk sushi dan pergi ke psikolog" atau "self-reward dengan overpriced coffee" hanya karena itu satu-satunya reward dari bekerja keras yang mampu kami bayar hahahahaha.


Perjalanan menjadi dewasa memang tidak mudah. Aku tak banyak bangga dengan sikapku yang kurang baik hanya karena aku belum cukup dewasa. Tetapi aku masih cukup semangat menyambut versi-versi terbaik dalam diriku di tahun-tahun selanjutnya. Aku cuma berharap, aku diberi kasih dan rezeki oleh Tuhan untuk menghabiskan masa tua dengan penuh kebijaksanaan dan secangkir kopi sederhana untuk dihabiskan sambil melamun. Amen for that! 

Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada ...


Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada titik ini ya?

Aku udah dikasih tahu untuk berlatih sadar nggak semuanya perlu “aku” perbaiki. Aku nggak paham sama saran tersebut. Bukannya justru aku harus memperbaikinya ya biar nggak makin hancur kehidupanku?

Sepertinya ada yang nggak beres dengan cara berpikirku. Pertama, soal penghakiman atau penilaian diri. Kedua, soal mengapa aku melihat hidup ini berat sekali sampai aku bingung mana dulu yang perlu aku benahi. Meski sudah tahu perlu belajar nggak semuanya perlu diperbaiki, tapi nggak tahu cara dan maksudnya.

Aku tahu ada yang kurang pas dalam penilaian-penilaian ini. Aku tahu kalau ingin hidup serasa neraka, aku perlu satu kebiasaan, yaitu terlatih dalam menilai. Aku juga tahu kalau kita bisa melatih diri untuk tidak menilai.

Aku sudah mencoba belajar tidak menilai, yang kukira cukup berhasil, tapi ternyata aku cuma lebih ahli “menilai orang lain dengan adil”. Lalu aku menuntut orang lain untuk menilaiku dengan adil. Persoalannya menilai adil itu sulit dan aku kembali kalah pada pemikiran: saat semua orang menilaiku buruk, maka itu benar. Saat dunia menunjukkan hidupku hancur, maka betul aku buruk.

Aku ternyata belum berhasil belajar tidak menilai. Makanya masih sering terjerumus dalam pikiran gelap penghakiman diri.

Aku lalu bertanya pada OmGe, konselorku, “Kalau hidup begitu berat dilalui sampai terasa hancur. Aku harus berbuat apa dulu ya untuk melanjutkan hidup.”

Seperti biasa, jawaban OmGe selalu tepat sasaran. “Kalau mau melanjutkan hidup kan cuma perlu makan, minum, dan main. Apa yang perlu dibenahi? Selain tiga hal itu, namanya keinginan, bukan kebutuhan.”

Kini aku paham bagaimana cara berhenti memperbaiki pada hal-hal yang jelas kontrolnya tidak berada di genggamanku. Caranya adalah menyadari aku sanggup hidup selama cukup makan, minum, dan main. Aku jadi tahu kalau tidak perlu berharap banyak atas kehidupan ini, karena tanpa itu pun, aku tetap bisa melanjutkan hidup.


Melanjutkan hidup kali ini dimulai dengan ke Warung Sunda dan membeli satu porsi seharga sepuluh ribu (tentu aku kaget sekali). Minumnya segelas es teh tawar karena aku perempuan dewasa yang merasa es teh tawar > es teh manis.

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi...

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi itu semua tak segera membuatku berhenti menyangkal kalau diriku tidak baik-baik saja.


Aku merasa masih baik-baik saja. Aku tidak mengalami panic attack maka artinya aku tidak perlu berlebihan dengan kondisiku, kan? Aku tidak punya diagnosa maka berarti baik-baik saja, kan? Bahkan ketika aku menyebut diriku mulai gila, ada yang menyebut itu berlebihan. Seorang teman pun menasihatiku, "Jangan sampai PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), Meg. Itu tidak enak."


Setiap ketakutan, kecemasan, dan sensasi tak nyaman akan tubuhku memang nyata. Tetapi mungkin memang tak seburuk itu?


Orang yang tak punya diagnosa (lebih tepatnya tidak tahu), tak mengalami panic attack, dan tidak PTSD seharusnya tak perlu membicarakan penderitaan hidupnya seakan sedang mencari validasi bahwa dirinya yang paling susah. Orang yang tak punya gangguan jiwa itu tak perlu rutin konseling. Itu hanya menunjukkan kalau dirinya manja dan ketergantungan sehingga tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.


Mungkin aku memang baik-baik saja. 


Penyangkalan ini mengantarkanku pada buku-buku self-improvement yang meyakinkan kalau aku pasti bisa membuat hidupku tidak berantakan. Aku pasti bisa bekerja dengan baik karena yang menghalangiku punya peforma kerja baik adalah diriku yang tak tahu cara mengatur waktu. Bukan aku yang sering terjebak pada ketidakmampuan mengutarakan kesulitan saat bekerja sehingga mengiyakan banyak hal yang membuatku terlihat tidak mampu bekerja.


Aku pasti bisa membuat rumahku tidak berantakan karena semua hanya perlu dimulai dari memiliki rutinitas pagi yang produktif. Nyatanya ada banyak hari yang membuatku tak mampu bangun dari tidur dan hanya menjalani hari sekadar bertahan hidup agar tak didepak dari pekerjaan. Aku masih butuh makan, sehingga satu-satunya yang membuatku bangun tidur pukul sembilan pagi adalah pekerjaanku.


Aku tahu kita bisa memilih untuk tidak tersakiti dan tidak tersinggung. Tetapi aku tak mampu menahan rasa sakit ketika seseorang mengomentariku, "Kok kamu jadi ibu yang seperti itu." Satu kalimat pendek bisa menusuk hatiku dengan tajam. Hariku berubah yang tadinya berwarna biru kelam menjadi hitam pekat. Aku kembali masuk ke dalam pikiran gelap "aku seorang ibu yang gagal".


Aku masih percaya bisa berusaha memperbaiki diri dalam pekerjaan, menjalani peran ibu, menjemput impian-impian kecilku, dan menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sampai akhirnya semua dinding yang aku bangun hancur dalam waktu semalam. Aku tetap buruk di pekerjaan, keuangan tahun ini berantakan, aku tetap jadi ibu yang payah itu, impian-impian kecilku tak kunjung terwujud karena diliputi keraguan, dan aku dipertemukan masalah besar yang kukira tak akan kutemui.


Masalah besar itu seperti menamparku dengan keras. Tamparan itu seperti berkata, "Berhentilah memperbaiki kehidupan. Tak semua perlu kamu perbaiki sekarang. Menyerah lah mengontrol kehidupan. Berserah lah."


Aku tahu cara menyerah pada kehidupan, seperti terpikir ingin menyelesaikan kehidupanku begitu saja. Tetapi aku tidak tahu cara berserah dan pasrah. Mungkin aku bisa belajar berserah dari perlahan berhenti selalu memperbaiki situasi.


Aku menutup buku-buku self-improvement untuk sementara. Selama ini aku hanya fokus memperbaiki diri dan lupa menerima diri dan kehidupan ini. Tanpa penerimaan, aku hanya terus bertemu dengan kekecewaan.


Kini aku belajar menerima bahwa memang diriku dan hidupku sedang berantakan. Aku memang ibu yang payah itu dak tak apa-apa menjadi payah. Aku memang masih belum bisa menjaga tubuhku dan itu tak apa-apa. Nanti aku akan menemukan waktu dan energiku.


Aku belajar berhenti memperbaiki setiap emosi yang kurasakan. Aku memilih merasakan setiap rasa sakit yang membuat hatiku sesak atau frustrasi yang membuat kepala dan tenggorokanku sakit. Aku mengizinkan diriku menangis meski harus berhari-hari. Kalau semua terlalu berat, aku akan tetap konseling dan menutup telinga dari orang-orang yang memilih tak menyediakan ruang di hatinya untuk orang-orang sepertiku.


Kali ini aku mencoba bertahan hidup dengan menerima diri dan sementara itu cukup.