Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada ...


Terhitung sudah tiga pekan aku menghabiskan malam dengan menangis karena diselimuti pemikiran: aku buruk banget sampai hidup membawaku pada titik ini ya?

Aku udah dikasih tahu untuk berlatih sadar nggak semuanya perlu “aku” perbaiki. Aku nggak paham sama saran tersebut. Bukannya justru aku harus memperbaikinya ya biar nggak makin hancur kehidupanku?

Sepertinya ada yang nggak beres dengan cara berpikirku. Pertama, soal penghakiman atau penilaian diri. Kedua, soal mengapa aku melihat hidup ini berat sekali sampai aku bingung mana dulu yang perlu aku benahi. Meski sudah tahu perlu belajar nggak semuanya perlu diperbaiki, tapi nggak tahu cara dan maksudnya.

Aku tahu ada yang kurang pas dalam penilaian-penilaian ini. Aku tahu kalau ingin hidup serasa neraka, aku perlu satu kebiasaan, yaitu terlatih dalam menilai. Aku juga tahu kalau kita bisa melatih diri untuk tidak menilai.

Aku sudah mencoba belajar tidak menilai, yang kukira cukup berhasil, tapi ternyata aku cuma lebih ahli “menilai orang lain dengan adil”. Lalu aku menuntut orang lain untuk menilaiku dengan adil. Persoalannya menilai adil itu sulit dan aku kembali kalah pada pemikiran: saat semua orang menilaiku buruk, maka itu benar. Saat dunia menunjukkan hidupku hancur, maka betul aku buruk.

Aku ternyata belum berhasil belajar tidak menilai. Makanya masih sering terjerumus dalam pikiran gelap penghakiman diri.

Aku lalu bertanya pada OmGe, konselorku, “Kalau hidup begitu berat dilalui sampai terasa hancur. Aku harus berbuat apa dulu ya untuk melanjutkan hidup.”

Seperti biasa, jawaban OmGe selalu tepat sasaran. “Kalau mau melanjutkan hidup kan cuma perlu makan, minum, dan main. Apa yang perlu dibenahi? Selain tiga hal itu, namanya keinginan, bukan kebutuhan.”

Kini aku paham bagaimana cara berhenti memperbaiki pada hal-hal yang jelas kontrolnya tidak berada di genggamanku. Caranya adalah menyadari aku sanggup hidup selama cukup makan, minum, dan main. Aku jadi tahu kalau tidak perlu berharap banyak atas kehidupan ini, karena tanpa itu pun, aku tetap bisa melanjutkan hidup.


Melanjutkan hidup kali ini dimulai dengan ke Warung Sunda dan membeli satu porsi seharga sepuluh ribu (tentu aku kaget sekali). Minumnya segelas es teh tawar karena aku perempuan dewasa yang merasa es teh tawar > es teh manis.

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi...

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi itu semua tak segera membuatku berhenti menyangkal kalau diriku tidak baik-baik saja.


Aku merasa masih baik-baik saja. Aku tidak mengalami panic attack maka artinya aku tidak perlu berlebihan dengan kondisiku, kan? Aku tidak punya diagnosa maka berarti baik-baik saja, kan? Bahkan ketika aku menyebut diriku mulai gila, ada yang menyebut itu berlebihan. Seorang teman pun menasihatiku, "Jangan sampai PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), Meg. Itu tidak enak."


Setiap ketakutan, kecemasan, dan sensasi tak nyaman akan tubuhku memang nyata. Tetapi mungkin memang tak seburuk itu?


Orang yang tak punya diagnosa (lebih tepatnya tidak tahu), tak mengalami panic attack, dan tidak PTSD seharusnya tak perlu membicarakan penderitaan hidupnya seakan sedang mencari validasi bahwa dirinya yang paling susah. Orang yang tak punya gangguan jiwa itu tak perlu rutin konseling. Itu hanya menunjukkan kalau dirinya manja dan ketergantungan sehingga tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.


Mungkin aku memang baik-baik saja. 


Penyangkalan ini mengantarkanku pada buku-buku self-improvement yang meyakinkan kalau aku pasti bisa membuat hidupku tidak berantakan. Aku pasti bisa bekerja dengan baik karena yang menghalangiku punya peforma kerja baik adalah diriku yang tak tahu cara mengatur waktu. Bukan aku yang sering terjebak pada ketidakmampuan mengutarakan kesulitan saat bekerja sehingga mengiyakan banyak hal yang membuatku terlihat tidak mampu bekerja.


Aku pasti bisa membuat rumahku tidak berantakan karena semua hanya perlu dimulai dari memiliki rutinitas pagi yang produktif. Nyatanya ada banyak hari yang membuatku tak mampu bangun dari tidur dan hanya menjalani hari sekadar bertahan hidup agar tak didepak dari pekerjaan. Aku masih butuh makan, sehingga satu-satunya yang membuatku bangun tidur pukul sembilan pagi adalah pekerjaanku.


Aku tahu kita bisa memilih untuk tidak tersakiti dan tidak tersinggung. Tetapi aku tak mampu menahan rasa sakit ketika seseorang mengomentariku, "Kok kamu jadi ibu yang seperti itu." Satu kalimat pendek bisa menusuk hatiku dengan tajam. Hariku berubah yang tadinya berwarna biru kelam menjadi hitam pekat. Aku kembali masuk ke dalam pikiran gelap "aku seorang ibu yang gagal".


Aku masih percaya bisa berusaha memperbaiki diri dalam pekerjaan, menjalani peran ibu, menjemput impian-impian kecilku, dan menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sampai akhirnya semua dinding yang aku bangun hancur dalam waktu semalam. Aku tetap buruk di pekerjaan, keuangan tahun ini berantakan, aku tetap jadi ibu yang payah itu, impian-impian kecilku tak kunjung terwujud karena diliputi keraguan, dan aku dipertemukan masalah besar yang kukira tak akan kutemui.


Masalah besar itu seperti menamparku dengan keras. Tamparan itu seperti berkata, "Berhentilah memperbaiki kehidupan. Tak semua perlu kamu perbaiki sekarang. Menyerah lah mengontrol kehidupan. Berserah lah."


Aku tahu cara menyerah pada kehidupan, seperti terpikir ingin menyelesaikan kehidupanku begitu saja. Tetapi aku tidak tahu cara berserah dan pasrah. Mungkin aku bisa belajar berserah dari perlahan berhenti selalu memperbaiki situasi.


Aku menutup buku-buku self-improvement untuk sementara. Selama ini aku hanya fokus memperbaiki diri dan lupa menerima diri dan kehidupan ini. Tanpa penerimaan, aku hanya terus bertemu dengan kekecewaan.


Kini aku belajar menerima bahwa memang diriku dan hidupku sedang berantakan. Aku memang ibu yang payah itu dak tak apa-apa menjadi payah. Aku memang masih belum bisa menjaga tubuhku dan itu tak apa-apa. Nanti aku akan menemukan waktu dan energiku.


Aku belajar berhenti memperbaiki setiap emosi yang kurasakan. Aku memilih merasakan setiap rasa sakit yang membuat hatiku sesak atau frustrasi yang membuat kepala dan tenggorokanku sakit. Aku mengizinkan diriku menangis meski harus berhari-hari. Kalau semua terlalu berat, aku akan tetap konseling dan menutup telinga dari orang-orang yang memilih tak menyediakan ruang di hatinya untuk orang-orang sepertiku.


Kali ini aku mencoba bertahan hidup dengan menerima diri dan sementara itu cukup.



Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucap...


Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucapan bodoh apa saja yang aku katakan ketika sedang live di Instagram sampai mengapa semalam aku mimpi didatangi anjing liar yang berubah jadi manusia. Lalu aku mulai bicara pada diriku sendiri bagaimana kronologi anjing liar itu bisa berubah jadi manusia. Bahkan mimpi pun tak mengizinkanku berhenti berpikir.

Malam ini sepertinya emosi-emosi itu sudah menuntut jadi pusat perhatian. Dia tidak mau diabaikan, apalagi dianggap tidak ada. Aku mendadak ingin berteriak dan menangis sesenggukan. Ada dorongan menyakiti diri dengan genggaman tangan yang kuat tetapi kulawan. Akhirnya aku malah membereskan sprei kasur dengan kasar untuk melepaskan energinya. Lumayan, kasurku jadi rapi. 

Dorongan menyakiti diri itu kemudian berganti menjadi sensasi tubuh di bagian punggung atas yang berharap ada seseorang yang menepuk-nepuknya. Suamiku mencoba menepuk-nepuk punggungku, tetapi aku minta tepat di titik itu untuk menenangkanku. Lalu aku bilang, "Sepertinya aku ingin beli makan. Aku nggak lapar, tapi aku mau makan." Ini dia penyebab nomor satu sulit turun berat badan, setiap stres selalu makan.

Satu hal yang paling aku sadari dari penyebab ledakan emosi malam ini adalah, aku selalu bersikap netral pada sebuah pujian dan prestasi, tetapi sangat rapuh ketika mendapati kekurangan diri. Hatiku tak berbunga-bunga saat seorang kawan bilang, "I give your book solid 5 stars." Tetapi saat menjadi pembicara, pikiranku pergi kemana-mana sampai membuatku berpikir, "Bukuku tipis banget, ya."

Lalu aku harus berkali-kali bicara pada diriku sendiri bahwa tak ada yang salah dari buku yang tipis. Justru itu akan membantu pembaca yang sedang malas membaca buku-buku tebal--sepertiku. Hal yang paling penting dari sebuah buku adalah isinya, dan aku puas dengan apa yang kutulis, lalu mengapa pikiran numpang lewat di saat jadi pembicara itu mengganggu, sih?

Di saat yang lain aku merasa bersalah karena telah melakukan sesuatu yang sesuai prinsipku tetapi mungkin membuat orang lain tidak nyaman. Padahal itu hanya perkara ketika aku ditanya 'bagaimana kabarmu, Mega?' lalu aku menjawab dengan 'sekarang sih sedang diliputi perasaan bersalah apakah aku sedang mengutamakan diriku karena bukuku terbit dan melakukan hobiku, ya begitu kabarku'. Setelah obrolan itu selesai, aku mengutuk diri, kenapa sih harus jawabnya begitu?

Untuk membuat diriku  tenang, aku harus berkali-kali bilang pada diriku bahwa tak ada yang salah menjawab pertanyaan 'bagaimana kabarmu?' dengan jujur. Aku, kan, memilih menjadi jujur sebab kabar yang jujur dari seorang teman pun yang selalu kunantikan. Aku, kan, tidak berharap dipuk-puk orang lain juga? Apaan sih, Meg? 

Ketika suara-suara kecil mengkoreksi diri sendiri bermunculan, suara-suara yang lain tak mau kalah. Muncul suara kesedihan mengapa berat badanku sekarang kembali seperti saat aku hamil. Padahal di waktu yang sama, aku sudah tahu pakaian seperti apa yang kusuka dan membuatku nyaman dengan bentuk tubuh apapun.

Lalu teringat wajah-wajah orang yang paling rajin mengingatkan betapa gendutnya aku dan tak suka kalau mereka dalam keadaan baik-baik saja sementara aku meringkuk di kasur yang baru saja aku rapikan dengan emosi tadi. Aku tidak tahu mengapa perasaan "tidak adil" selalu saja menggema kapanpun pikiranku sedang kosong. Yang kemudian perasaan itu bisa saja menenggelamkanku dalam permainan membandingkan diri dengan orang lain tanpa alasan yang jelas.

Permainan itu jelas membuatku kalah karena berujung pada kesimpulan hidup begitu sia-sia untuk dijalani. Betapapun aku berusaha menjalani kehidupan ini sampai waktuku selesai, tak ada sebuah titik di mana aku merasa melakukan sesuatu dengan baik. Aku selalu dikutuk oleh perasaan payah pada setiap hal yang kulakukan.

Saat ini aku hanya sudah tahu bagaimana selalu hadir setiap suara-suara kecil sialan itu sibuk mengutuk diriku. Tetapi ternyata aku belum benar-benar tahu bagaimana aku bisa menjalani hari-hari dengan fokus tanpa terbayang-bayang oleh suara-suara kecil tersebut. 


Trigger warning: self-harm Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan ta...

Trigger warning: self-harm



Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan tak mampu kubalas, sisanya aku jawab "sebentar ya". Pikiran-pikiran untuk kembali menghilang dan menghindar muncul lagi. Malamnya kembali menyakiti diri entah karena apa. Lalu mengutuk diri karena sudah menyakiti diri.

Aku menulis jurnal untuk mencoba mencari tahu sebenarnya apa masalahku. Setidaknya ada tiga perasaan yang intens. Pertama, merasa sendirian. Kedua, merasa tidak adil karena harus menanggung kesalahan orang lain tetapi ketika aku berbuat salah selalu ada konsekuensi mengerikan di depan mata, minimal dimarahi orang lain. Ketiga, perasaan takut berbuat salah atau bertingkah bodoh selalu menyelinap dan semakin memenuhi isi kepala.

Padahal aku tahu bahwa aku tidak pernah sendirian. Bahwa perasaan tidak adil tersebut belum tentu benar, sebab itu semua terjadi hanya karena aku merasa tak perlu menuding siapa yang salah dan memilih membicarakan bagaimana semuanya perlu dibereskan. Atau perasaan tidak adil tersebut hadir karena aku yang mengizinkan untuk diperlakukan tidak adil oleh orang lain, mestinya aku bisa mengutarakan keberatanku. Bahwa sebenarnya aku tak perlu takut berbuat salah, tak ada yang perlu ditakuti karena berbuat kesalahan-kesalahan bodoh atau karena menunjukkan diri yang suka sekali berisik di internet misalnya.

Lagi-lagi hati dan otak yang tak mau akur. Otaknya mampu berpikir, tetapi hatinya masih menetap pada rasa takut yang lama.

Kemudian aku mulai mengorek-ngorek memori lama. Mengapa aku merasa sendirian? Mengapa aku selalu merasa tidak adil? Mengapa aku selalu takut berbuat salah? Apa karena ketika kecil aku harus menyimpan segalanya sendirian? Apa karena sejak kecil bahkan hingga dewasa kerap harus membereskan pertengkaran orang-orang dewasa yang tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri hingga sering merugikan hidupku? Apa karena sejak kecil aku harus menerima konsekuensi buruk setiap melakukan kesalahan-kesalahan bodoh?

Walau mungkin itu ada hubungannya sekalipun, tak ada gunanya juga diungkit-ungkit. Bagaimana caranya meninggalkan perasaan-perasaan yang mengendap? Bagaimana bisa hidup di sini kini? Be present. Tidak hidup di masa lalu maupun di masa depan? Mungkin jawabannya baru bisa kutemukan di ruang konseling.

Foto  Greg Rosenke Pertama kali aku berpikir butuh pertolongan profesional untuk mengetahui apa yang terjadi pada pikiran dan hatiku adalah ...

Foto Greg Rosenke


Pertama kali aku berpikir butuh pertolongan profesional untuk mengetahui apa yang terjadi pada pikiran dan hatiku adalah ketika akhir tahun 2020. Ketika ucapan-ucapan eks-bosku menghantuiku, datang begitu saja lalu membuat hati terasa sesak dan menangis tiba-tiba, sudah begitu menangisnya dramatis sekali. Ucapannya pendek tetapi cukup membuatku sakit hati ampun-ampunan, seperti, ternyata kerjaan lo nggak segitu oknya atau kamu masih niat bekerja di sini enggak, sih? 

Saat itu aku lelah kalau harus tiba-tiba merasakan sakit sebegitunya. Aku mau menyelesaikan ini, aku tidak mau merasakan marah lagi, aku lelah! Lagi pula, aku sudah membaca buku self-help ini itu tetapi tak kunjung tertolong. Mencoba menceritakan perkara ini ke teman, duh, sudah mereka tak bisa memahami permasalahannya, seringkali responnya justru membuat dada yang sesak ini seperti semakin dihimpit ruangan yang sempit. Barangkali orang profesional lah yang memang bisa menolongku.

Pertemuan dengan psikiater pada Desember 2020 lalu cukup membuatku puas, meski terlalu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Namun aku tak pernah lagi datang ke psikiater itu bukan karena tidak cocok, tetapi karena mahal dan antre begitu lama. Belum sembuh sudah miskin duluan. 

Mana urusan begini tak seperti berobat layaknya sakit batuk atau pilek, yang cukup istirahat beberapa kali, minum obat, dan tak perlu biaya mahal. Ada, sih, opsi asuransi, tapi aku begitu malas mencari rekomendasi psikolog atau psikiater yang bisa menggunakan asuransi yang dapat aku akses.

Akhirnya aku konseling lagi dengan rekomendasi konselor yang berbeda, ia bukan psikolog atau psikiater, tetapi konselor yang fokusnya ke permasalahan keluarga, pernikahan, dan semacamnya. Kupikir akan sesuai dengan perkara-perkara yang kupunya, cocok juga dengan kantongku. Kalau sebelumnya kisaran Rp350.000 untuk satu kali sesi yang memakan waktu satu jam, kini cukup Rp150.000 untuk satu kali sesi dengan waktu 50 menit. Tetap mahal, tetapi bisa kubayar dengan bekerja menjadi buruh konten.

——

Meski pernah ke psikiater sebelumnya, ketika akan menghadapi konselor ini, aku juga kebingungan karena harus bercerita seperti apa. Aku punya satu catatan khusus untuk mencatat permasalahanku, kupikir ini akan memudahkanku tahu harus bicara apa ke konselor. Di situ tertulis:

Menuju Terapi
hal-hal yang mengganggu hidup

Cemas:
    1. Setiap abis ngomong, selalu bertanya: salah gak ya aku ngomong gitu? Duuuh ngapain sih Meg? Kadang omongan-omongan yang aku sampaikan zaman dahulu pun teringat begitu saja.
    2. Kalau ada saran dari orang di media sosial untuk melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan, aku langsung panik menghapus. Padahal aku tahu yang aku lakukan benar, tetapi aku bingung sendiri juga dengan diriku sendiri, apa batasan menyuarakan hal benar dan menjaga hati orang lain.
Dendam:
Aku mau orang lain yang menyakitiku tahu dan mengalami rasa sakit yang aku alami.

Menyalahkan diri sendiri:
Ketika ada perdebatan, aku selalu menyalahkan diri sendiri, padahal dia enggak bilang begitu, tapi aku sendiri yang akhirnya berpikir, ya ya ya semua itu salahku, lalu memukul-mukul kepala.

Meskipun sudah aku tulis begitu, ternyata tetap sulit ketika menceritakannya, tidak tahu mengapa. Aku bercerita acak dan agak terbata-bata, seperti mau menyudahinya dan ingin berharap dia tahu begitu saja seperti peramal. Konselor itu lalu bertanya apa harapanku mengikuti konseling ini, aku menjawab, ingin tidak cemas lagi, tidak menyimpan marah karena aku tahu sia-sia menyimpan marah pada mereka, dan berhenti menyalahkan diri sendiri lalu menjadi percaya diri.

Mega ingin memiliki kontrol diri, ya?

Tepat sekali! Aku menginginkan itu! 

Ia lalu bertanya, apakah aku ingin membahas yang sekarang-sekarang saja, atau ke masa lampau? Aku menjawab boleh ke masa-masa lampau, karena kupikir di sana lah letak masalahnya. Aku juga tadi baru bercerita kalau aku sudah memukul-mukul kepalaku sejak aku kecil, kira-kira ketika usia 9 atau 10 tahun, ketika baru saja diomeli ibuku entah karena perkara apa.

Hanya saja memorinya tergambar jelas, aku yang masih kecil itu duduk bersandar di tembok, memukul-mukul kepalaku sambil menangis, dan sesekali membentur-benturkan kepalaku ke tembok. Aku juga cerita, ketika kecil ada satu pikiran yang masih begitu menempel hingga saat ini: mengapa sebelum Ayah Ibu memarahiku, ia tak pernah bertanya ‘kenapa’ padaku?

Pokoknya ceritanya begitu acakadut, sampai aku bingung, sebetulnya aku cerita apa saja, sih. Tapi konselornya begitu pandai menyimpulkan isi kepalaku! Sungguh-sungguh seperti peramal!

Misalnya saja ketika ia memintaku mendeskripsikan ibuku dengan lima kata. Lalu aku menjawab, “Agak sulit sebenarnya mendeskripsikan ibu, karena aku sedang berusaha memaafkannya.” Ia berkata kira-kira begini, cukup menarik ketika dia sebetulnya tak sedang bertanya soal maaf, tapi aku duluan lah yang berpikir aku harus memaafkan itu. Hehehe, betul juga, tapi ya aku bingung juga mengapa begitu?

Konselor itu juga bilang, “Semacam ada yang gak nyambung dalam diri Mega, kamu menceritakan hal-hal yang menyakitkan, tapi kamu ketawa.” Aku mengangguk-angguk padahal aku menahan tawa, IYA, YA, MENGAPA BEGITU, SIH? Aku memang dikit-dikit tertawa, mengucapkan sesuatu yang tak perlu ketawa, tetapi dengan ketawa. Aku sadar itu, tapi aku juga enggak tahu sebabnya. Tuh, kan, peramal dia memang!

Yang paling membuatku terkejut, konselor itu bilang seperti ini, apakah kamu merasakan ketika kamu akan bicara, kamu sudah menduga-duga lawan bicaramu akan berucap apa, lalu ketika kamu mengucapkan itu, kamu merasa, tuh, kan, bener, kan, lalu kamu akhirnya enggak mau bicara lagi?

Aku menyambut perkiraan itu dengan, YA BETUL SEKALI, BAHKAN AKU PERNAH BANGGA SEKALI KARENA MENGANGGAP DIRIKU SELALU BISA MENEBAK BALASAN CHAT DARI ORANG LAIN! Bodoh, bodoh sekali.

Barangkali itu lah yang membuatku gelisah bukan main ketika menerima pesan baru, meeting yang aku tidak tahu agendanya apa, telepon tiba-tiba, dan hal mendadak lainnya. Aku tidak siap kalau belum memiliki persiapan kira-kira nanti akan bicara apa dan mempersiapkan jurus-jurusku agar tidak merespon terlalu bodoh.

Di akhir sesi konseling, ia bilang, bahwa aku sudah begitu ahli dalam urusan logika. Maka sebaiknya ketika bicara dengan dia, lupakan logika itu dan saatnya aku mengeluarkan segala perasaanku. Sebab itu yang tak pernah aku dapatkan sejak dahulu, dipahami atas segala perasaanku. Sejujurnya itu merepotkan, aku harus mengorek-ngorek masa lalu yang aku tak ingat betul kejadiannya, tetapi tak begitu ingat pun rasanya sakit bukan main! Hatiku sesak dan ingin menangis.

Aku juga bilang, “Aku agak sulit ketika bicara, kadang lebih enak ketika ditulis, kayak aku enggak bisa menyampaikan apa yang ada di kepalaku.” Ia menjawab, “Boleh, boleh ditulis, tetapi mungkin bisa mencoba menuangkan apa saja yang ada di kepala.” Ya, ya, menuangkan, akan kucoba.

Konseling itu berakhir karena anakku mau menyusu lagi, aku akan kembali tentunya, tetapi ketika aku sudah gajian nanti. Semoga anakku tidak perlu repot-repot bayar konselor karena ulahku yang tak becus menjadi orang tua huhuhu, soalnya mahal dan merepotkan. Jumpa lagi di cerita konseling selanjutnya, ya. 


ASI (Air Susu Ibu) belum keluar di hari-hari awal kelahiran. Aku tahu pada teorinya akan keluar pada hari ketiga atau keempat. N...

ASI (Air Susu Ibu) belum keluar di hari-hari awal kelahiran. Aku tahu pada teorinya akan keluar pada hari ketiga atau keempat. Namun teori itu lenyap ketika pertanyaan "ASI sudah keluar?" dipertanyakan oleh Ayahku, Ibuku dan mertua. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menyerang ketakutanku atas kesehatan anakku.

Apalagi ketika Ayahku mulai bertanya, "Sementara dikasih makan apa?" Aku sudah menjawab bahwa bayi memiliki cadangan makanan sampai tiga hari. Namun aku tak bisa mencegah tangisku pecah diam-diam di hari ketiga. Sudah tak ada yang peduli pada keadaanku setelah operasi, mereka justru tak bisa menenangkan dan malah membuatku khawatir pada hal yang tak perlu dikhawatirkan. Bahkan itu secara daring/online, aku tak membayangkan jika mereka ada di sebelahku.

Dapat dibilang aku benar-benar menyesal memperbolehkan ada telepon dan video call masuk. Harusnya aku batasi saja melalui chat untuk minggu pertama karena di sana lah masa krisis seorang Ibu yang baru melahirkan agar secara fisik dan mental terjaga. Tetapi apa boleh buat, malam itu aku hanya berdoa, semoga ASIku besok keluar.

-----

Tulisan ini adalah lanjutan cerita operasi sc, kalau kamu belum membacanya, silakan klik di sini.

Dalam tulisan ini, aku akan bercerita: 1) pengetahuan dasar tentang menyusui yang aku tahu sebagai orang awam; 2) tahapanku belajar menyusui & memanggil Konselor Laktasi; 3) pertimbangan direct-breastfeeding dan perlu tidaknya stok asi perah; 4) perkara menyusui bisa jadi awal mula baby blues.

Pengetahuan Dasar Menyusui

Salah satu penyebab aku menunda kehamilan adalah aku mau mempersiapkan diri dengan membaca ilmu-ilmu dasar kehamilan dan mengasuh anak dahulu. Ketika aku sudah tahu apa yang kuhadapi, meski sedikit, aku lebih merasa tenang dengan pilihanku hamil dan memiliki anak.

Beruntung, aku bertemu dengan Kak Nia Umar (@housniati), ketua umum AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia). Melalui Instagramnya, ia sering sekali mengedukasi tentang menyusui, darinya aku jadi tahu bahwa menyusui bukan sebatas menempelkan puting, tetapi ada pada koneksi cinta antara Ibu dan anak yang terbangun. Sejak itu aku semakin giat mencaritahu banyak hal, salah satunya tentang menyusui, agar aku lebih siap menghadapi kehidupan menjadi Ibu.

01: ASI akan keluar di hari ke-3 atau 4 setelah melahirkan

Aku mendapatkan penjelasan proses produksi ASI dan bagan di atas melalui buku yang ditulis oleh Citra Ayu Mustika yang berjudul "Anti Kendor Menyusui".

Pada intinya, proses produksi asi ada tiga tahap, aku jelaskan secara sederhana saja, ya.

Tahap pertama, ASI diproduksi ketika hamil.

Tahap kedua, masa krisis di mana hormon "mengacak-acak" produksi ASI sehingga ia tak keluar ketika di hari-hari awal setelah melahirkan. 

Tahap ketiga, ketika ASI dapat diproduksi sesuai kebutuhan bayi atau disebut supply and demand. Jadi kalau tidak ada permintaan (demand), maka ASI tak bisa diproduksi.

Jadi wajar ketika ASI baru keluar dihari ketiga atau keempat. Ketika bayi sudah lahir, langsung rutinkan skin-to-skin dan belajar menyusui agar bayi bisa beri kode ASI dapat diproduksi. Bila ASI belum keluar, aku lebih menyarankan untuk segera mencari konselor laktasi, tahan dulu susu formulanya.

Sebab pada kasusku, ASI tak keluar bukan perkara deras atau tidak, tapi karena ASI-nya mampet dan aku tidak punya pengetahuan bagaimana cara mengeluarkan ASI yang mampet. Perkara ASI nggak keluar ternyata bukan cuma soal ASI banyak atau tidak, makanya perlu konselor laktasi untuk beri penanganan yang tepat.

02: Bingung Puting

Istilah yang aku dapatkan setelah banyak menyimak diskusi soal menyusui adalah bingung puting. Intinya, kalau bayi dikenalkan dengan dot, maka berisiko bingung puting, bayi tak bisa menyusu langsung karena cara menghisap dot dengan puting berbeda.

Pada saat itu aku memang lebih ingin menyusui langsung, jadi di awal, aku sudah berniat untuk menghindari dot. Kalau memang butuh alat untuk memberikan asi perah, aku sudah menyiapkan cup feeder atau sendok (yang ternyata enggak terlalu digunakan dan akan kujelaskan di bagian 'pertimbangan direct-breastfeeding').

Ketika bingung puting, bukan berarti akhir dunia juga. Ada yang namanya relaktasi, sebuah usaha agar bayi mau menghisap puting Ibu kembali.

03: Inisiasi Menyusui Dini (IMD)

Istilah selanjutnya yang selalu diulang-ulang, Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Ini adalah sebuah tahapan setelah bayi baru saja dilahirkan langsung diletakkan pada perut atau dada Ibu untuk menyusui dini. Masa IMD hanya berlaku 30 menit setelah bayi dilahirkan, teorinya bayi diberikan waktu 15-30 menit sampai ia bisa menyusui. Bila IMD dilakukan,  ada banyak manfaat yang bisa didapat, salah satunya melancarkan proses menyusui.

04: Pelekatan

Menyusui bukan sebatas menempelkan puting, tetapi ada ilmu pelekatannya juga, atau cara melekatkan bayi ke tubuh Ibu. Ada caranya agar Ibu bisa menyusui dengan nyaman dan tanpa rasa sakit. Kedengarannya sepele, tetapi ini justru yang tak kalah penting untuk menyukseskan menyusui hingga dua tahun.


Tahapanku Belajar Menyusui & Memanggil Konselor Laktasi ke Rumah

01: IMD

Sejak sebelum melahirkan, aku sudah memastikan ke dokter obgynku di Primaya Hospital Tangerang yang bernama dr. Inneke, perihal adanya IMD. Kata beliau ada. Tetapi aku tak bosan untuk mengingatkan dokter dan perawatnya soal IMD.

Semua orang yang kutanya menjawab IMD selalu jadi proses yang mereka berikan, tetapi hanya ada satu perawat, ia bukan perawat yang ada di ruangan operasi, ia bertugas di administrasi poliklinik yang menjawab bahwa IMD tidak ada. Katanya, "Kayaknya enggak ada soalnya ruangan operasinya kan dingin banget."

Tetapi aku mencoba tenang dan tidak panik saat mendengarnya, kalau pun enggak ada, ya sudah aku harus ikhlas. Toh, abis ini akan ada konselor laktasi yang ke rumah, aku bisa minta bantuan kalau aku kesulitan. Itu saja yang kupikirkan.

Di ruangan operasi, setelah tangisan bayi kudengar, bayi tak langsung berada di sisiku memang. Rupanya ia dibersihkan dan dibedong dahulu, lalu mulutnya disentuhkan ke putingku. Memang tidak lama, tak ada lima menit hahahahah, aku juga tak tahu apakah ia menghisap putingku atau hanya saling bersentuhan. Ya sudah, yang penting ada IMD saja.

Perihal perawat yang bilang tak ada, kupikir itu hanya masalah komunikasi pihak RS saja. Tak mau kuambil pusing. Bisa apa juga aku ~~~

02: Belajar Menyusui di Hari-hari Awal Kelahiran

Setelah enam jam bayi diperiksa, akhirnya kami bisa rawat gabung, di sana lah detik pertama aku belajar menyusui. Beruntung, aku dapat rumah sakit yang perawatnya bukan hanya bilang diisusuin, ya, anaknya' tetapi tak diajari apa-apa. Perawat di RS tersebut tetap mengajariku meski hanya sebentar.

Di tahap ini lah aku menyadari bahwa menyusui benar-benar bukan 'cuma nempelin puting', susah banget! Aku dan suami cukup kesulitan untuk memasukkan puting ke mulut bayi, dari awal hingga akhir kami pegangi puting tersebut agar tetap di mulut bayi. Ada satu malam ketika aku sangat lelah dan tak mampu memegangi putingku sendiri, akhirnya suamiku yang memegangi putingku agar tetap di mulut bayi, sementara itu aku tidur.

Memang belum ada asi yang keluar. Kami terus berusaha dengan landasan berpikir, badanku harus dapat kode kalau asi harus diproduksi (kembali ke teori supply and demand).

Saat di RS, bantal menyusui sangat membantuku. Jadi bawalah bantal menyusui saat ke RS. Meskipun setelah belajar dengan konselor laktasi, aku sangat jarang pakai bantal menyusui hihihi. Tapi ini sangat membantu di awal-awal belajar menyusui. Beberapa orang juga menyarankan untuk membawa alat pompa asi untuk memancing keluarnya si asi.

03: Belajar Menyusui dengan Konselor Laktasi & Ibu Bidan Eva

Jauh sebelum melahirkan, aku memang mencari-cari bidan sekaligus konselor laktasi yang bisa homevisit ke area Tangerang. Pandangan personalku, menggunakan jasa Konselor Laktasi perlu diprioritaskan. Ini berkaitan banget dengan kenyamanan dan tingkat percaya diri orang tua baru, sebab mengasuh bayi baru lahir bisa menjadi pengalaman yang melelahkan atau bahkan traumatis.

Berbekal dengan tagar kolom pencarian di Instagram, bertemu lah aku dengan Bidan Eva (@visitehomebidan di Instagram). Rasanya beban hidupku seakan hilang 50%, karena kalau ada masalah menyusui dan merawat bayi baru lahir, aku tinggal ke Bidan Eva. Aku mengambil paket merawat newborn dan laktasi sebanyak 6x agar benar-benar paham. Setelah pulang dari RS, program yang kuberni nama "Ospek Bapak Ibu Baru" ini pun dimulai. 

Setiap hari aku belajar banyak hal baru soal merawat bayi baru lahir seperti memandikan, menjemur, mengenali bayi alergi, menghadapi bayi kuning, dan lain-lain. Selanjutnya aku akan dapat pijat laktasi dan edukasi soal laktasi.

Payudara Mampet

Di hari pertama, aku belajar memerah asi dengan tangan. Aku tidak tahu cara memerah asi, bingung kok asi tidak keluar, sudah pakai Silicone Breastpump Manual tapi hanya menetes sangat sedikit, terkejut saat Bidan Eva memerah asiku dan dapat banyak sekali. Rupanya payudaraku dalam keadaan bengkak, mampet, dan asi tak bisa menemukan jalan keluar.

Tadinya di RS aku memang diberi obat pelancar ASI, tapi tak kulanjutkan karena aku memang merasa payudaraku penuh sekali. Tetapi anehnya memang tak banyak asi yang keluar. Permasalahan asi rupanya bukan soal deras atau tidak deras saja, ada yang namanya bengkak, mampet, dan lain-lain.

ASI Cukup

ASI satu gelas utuh terkumpul dan Bidan Eva bilang, "ASImu sebanyak ini, loh, jadi enggak ada ceritanya ASImu kurang ya. Ini akeh bianget." Akeh bianget adalah bahasa Jawa dari "banyak banget". Di akhir sesi, Bidan Eva menjelaskan bahwa usaha memerah asi tadi sebetulnya agar payudara yang tadinya mampet dapat kembali lancar dan meningkatkan keyakinan Ibu bahwa ASInya cukup.

ASI ini akan lancar ketika Ibunya tak tertekan, bila terbersit sedikit saja perasaan: ASIku enggak cukup kayaknya, itu bahaya banget! Keyakinan bahwa ASI cukup, menjaga kewarasan diri, dan dukungan positif keluarga jadi faktor utama agar ASI dapat cukup, bukan banyak sampai stok asi di kulkas berlebih, tetapi cukup sesuai kebutuhan bayi.

Pelekatan

Pelakatan menyusui adalah posisi bayi ketika melekat ke badan Ibu untuk menyusui. Seharusnya menyusui tidak sakit dan tidak membuat puting lecet, bila terjadi hal tersebut, maka yang perlu dikoreksi adalah pelekatannya.

Awalnya aku juga mengira pelekatan bukan suatu hal yang sulit, ternyata aku butuh bimbingan Bidan Eva agar proses menyusuiku tidak sakit dan tidak lecet. Di minggu awal, putingku memang lecet akibat belajar menyusui di hari-hari pertama melahirkan saat di RS. Sakit bukan main! Tetapi ya ditahan saja, keinginanku untuk menyusui lebih besar, sementara luka bisa sembuh dengan ASI atau krim khusus puting.

Pikiranku betul, tak ada seminggu, puting lecetku sudah sembuh! Padahal baru kuberi krim khusus puting sekali, sisanya diolesi saja pakai ASI. Lalu minggu ketiga, aku sudah benar-benar nyaman menyusui. 

Sewaktu menyusui sakit dan tidak nyaman, ini berpengaruh banget dengan mood menyusui. Rasanya setiap bayi ingin menyusui, terasa  berat untuk menyusui. Ada perasaan takut sakit, dan terasa lelah sekali. Ketika menyusui sudah nyaman, tak ada rasa sakit yang berarti, duh, menyusui jadi lebih ringan dan membahagiakan.


Posisi menyusui yang biasa kulakukan hampir seluruhnya yang ada di gambar di atas ini, kecuali yang Laid Back Position (belum belajar hahaha). Untuk sekarang aku nyaman banget menyusui dengan posisi Side Lying, bergantian dengan payudara kanan dan kiri. Ini posisi yang memungkinkanku tetap mengASIhi sambil membaca atau menulis.

Menyusui dengan Payudara Kanan & Kiri

Pada awalnya, aku menyusui dengan payudara kiri saja, sebab aku kesulitan menyusui dengan payudara kanan.  Penyebab pertama, karena tak biasa menggendongnya. Kedua, karena ternyata payudaraku sebelah kanan benar-benar penuh dan mampet, jadi bayi juga kesulitan untuk menghisapnya.

Menyeimbangkan menyusui dengan kedua payudara menjadi penting agar salah satu tak jadi bengkak dan agar tak besar sebelah. Butuh waktu sekitar satu minggu agar aku benar-benar nyaman menyusui dengan payudara kanan dan kiri. Perlahan dengan belajar menggendong bsayi menghadap payudara kanan, baru belajar pelekatan menyusui dengan payudara kanan. Kini, menyusui dengan payudara mana pun tak jadi masalah.

Flat Nipple

Hari pertama Bidan Eva ke rumah, ia langsung bilang, "Nanti di akhir pertemuan aku kasih tahu rahasia, ya." Aku kira rahasia yang akan diungkap adalah rahasia menyusui yang super gampang dan bisa sambil kerja dengan mudah (hahahah you wish, Meg!).

Rupanya rahasia yang diungkap adalah, "Sebenarnya putingmu itu datar dan hitungannya sulit banget menyusui. Tapi aku enggak mau kasih tahu di awal karena nanti kamu enggak menyusui dan bilang: iya sih putingku datar. Tapi ternyata bisa, kan?"

Aku cukup kaget mendengarnya, aku tahu bahwa flat nipple atau puting datar itu jadi masalah yang menghambat menyusui secara langsung, tapi aku enggak sadar kalau putingku datar! Ada keberkahan atas ketidaktahuan ternyata. Terima kasih Bidan Eva yang sudah mau menjaga rahasia di awal-awal aku belajar menyusui.

Selain kaget, aku juga jadi terharu. Oh, ternyata ini yang bikin saat aku baru melahirkan sulit banget masukin puting ke mulut bayi? Dan sampai harus suamiku yang memegangi putingku juga? Rasanya ingin peluk suami selama 24 jam hahahah.

Dua minggu pertama menyusui, aku masih harus memegangi payudaraku agar tidak lepas-lepas di mulut bayi. Di minggu ketiga, aku tak lagi perlu melakukan itu lama-lama, cukup beberapa detik pertama dan bayi sudah tahu cara menghisap. Bahkan, kalau sedang beruntung, belum kuarahkan pada mulutnya, ia sudah bisa menghisap sendiri!


Milk Blister

Aku agak bingung menjelaskan hal ini karena enggak terlalu paham, jadi aku lampirkan postingan Kak @housniati soal milk blister di atas. Di payudara kananku sempat ada milk blister, nampaknya karena pelekatan yang salah, lal menyusuinya jadi sakit tapi aku tetap paksakan. Tetapi saat itu langsung dibantu konselor Bidan Eva.

04: Pertimbangan direct-breastfeeding (menyusui secara langsung) atau menggunakan asi perah

Meskipun aku sudah belajar sedikit-sedikit soal menyusui, sebetulnya aku juga tak tahu banyak. Buktinya, aku juga asal saja gitu beli alat menyusui, mulai beli alat pompa manual, wadah asi perah, cup feeder dan lain-lain. Aku beli karena aku kira butuh, itu saja. Rupanya, pada dasarnya aku nggak betul-betul paham konsepnya.

Ketika Bidan Eva datang, aku ditanya, apakah aku bekerja di luar rumah atau di rumah saja. Aku jawab bekerja di rumah saja, dan pekerjaanku sebetulnya tanggung jawabnya tak terlalu berat. Aku bisa mengukur tidak berat karena aku freelancer, jam kerjanya lebih fleksibel. Dengan modal itu, akhirnya aku lebih didukung untuk bisa direct-breastfeeding.

Keputusan direct-breastfeeding (dbf) ini juga karena karakter payudaraku. Aku memiliki payudara dengan stok asi yang cukup banyak dan tipe payudara yang katanya mudah mampet. Kalau dipompa, khawatirnya malah over-supply dan bingung ASI-nya untuk apa. Tujuannya kan ASI cukup, bukan ASI banyak. Pemahaman awamku, supply ASI jadi lebih terkontrol dengan dbf, sesuai permintaan bayi.

Mana, sih, yang lebih ribet antara dbf, stok asi perah dan pemberian susu formula? Ketiganya sama-sama ribet, jadi Ibu dan bayi harus menyesuaikan mana yang risiko ribetnya mau diambil.

DBF = ribetnya lebih ke ruang gerak, bayi jadi harus dibawa kemana-mana, kalau bekerja di rumah jadi lebih mudah. Aku mencari posisi menyusui yang bisa disambi dengan bekerja, karena untuk menyusui bayi baru lahir itu harus sering, setidaknya 2-3 jam sekali. Menyusui langsung seharusnya tidak sakit dan tidak bikin puting lecet, ya. Kalau ada dua hal tersebut, segera koreksi pelekatannya atau konsultasikan dengan konselor laktasi, siapa tahu ada milk blister atau lainnya. 

Stok Asi Perah = perlu kedisiplinan agar bisa memerah asi sesuai stok harian atau disesuaikan dengan kebutuhan bayi. Butuh energi juga untuk rutin membersihkan dan steril peralatan memerah asi. Hal yang cukup tricky di sini adalah media pemberian ASI, sebaiknya memang bukan dot karena berisiko bingung puting dan bayi tidak mau lagi menyusui secara langsung lewat payudara (tetapi bisa relaktasi agar kembali mau menyusui di puting Ibu, ya). Pilih alat pompa asi elektrik pun harus cocok-cocokan ya, karena ada beberapa alat pompa yang bikin sakit.

Susu Formula = bila dokter anak menyarankan pemberian susu formula karena kondisi kesehatan, ya sudah, berarti perlu sufor. Tetapi pastikan pemberian sufor sesuai resep dokter, ya! Kalau tidak ada resep dokter, bisa hubungi konselor laktasi agar dibantu agar masalah menyusuinya dapat teratasi. Tetapi bukan berarti pemberian sufor ini efforless, loh! Menyeduh susu itu butuh energi dan uang, sufor memang tidak murah bunda-bunda ~

Di sini lah akhirnya aku memutuskan untuk ikhtiar menyusui secara langsung. Sama ribetnya dan aku ambil keribetan yang pertama dulu, deh. Jadi, sebelum memutuskan membeli alat pompa elektrik, kamu bisa kenali dulu mana cara menyusui yang ingin kamu jalani, ya! Ibu lain butuh perlengkapan menyusui, belum tentu kamu juga butuh. Berlaku sebaliknya, Ibu lain tidak butuh, belum tentu kamu tak membutuhkannya.

05: Menyusui & Baby Blues

Topik ini sebetulnya aku tak bisa mewakili, sebab selama 3 minggu mengasuh bayi baru lahir, alhamdulillah tak ada perasaan membenci anakku. Pergolakan emosi dan tangisan-tangisanku yang pecah selalu karena lelah merespon orang tua dan mertua.

Mulai dari karena dicekoki mitos setiap hari, gap pengetahuan yang membuatku kesal padahal sudah sering dijelaskan, atau mereka yang selalu menuntut video call sementara aku sedang fokus mengasuh bayi dengan kondisi sangat kelelahan. 

Namun, saat ada Bidan Eva, aku sempat bertanya padanya, "Baby blues itu gimana, sih? Apa karena hormon terus tiba-tiba aja baby blues?"

Rupanya baby blues tak berdiri sendirian karena hormon, faktornya banyak, dan salah satunya karena lingkungan. Mulai dari koreksi dari orang tua atau mertua yang tak ada ujungnya, bikin kita gak nyaman dan takut setiap akan mengasuh bayi. Celetukan dan koreksi A-Z itu bikin Ibu berpikir ia tak mampu mengasuh bayi, dari sini lah cikal bakal baby blues hadir. Kalau tak ada yang menolong, bisa berkelanjutan jadi postpartum depression.

Menyusui juga bisa jadi faktor utama. Menyusui itu enggak tiba-tiba bisa, harus belajar. Kalau belum apa-apa sudah disalah-salahin, tetapi juga gak bantu apa-apa, Ibu juga kesulitan untuk dapat edukasi, eh si bayi udah bingung puting duluan dan tak ada pertolongan, Ibu bisa frustrasi dan jadi membenci diri dan anaknya karena merasa tak berdaya.

Ini bukan salah Ibu dan hormon, tetapi juga orang-orang di sekitar yang mau atau tidak untuk mendukung atau justru menjerumuskan. Mendukung itu ada caranya, jangan sampai omongan dan celetukan kita yang tak dipikir tetap dianggap kepedulian. Niat baik harus bersamaan dengan sikap baik, itu hal mutlak.

Apalagi Ibu baru saja melahirkan, energinya belum optimal, ia baru saja masuk ke babak kehidupan baru sehingga belum stabil, masa kita mengharap Ibu bisa mengerti kalau omongan kita pedas kayak sambal?

Bagi kamu yang membaca ini dan sedang menjadi Ibu, jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya! Kamu sudah berjuang dengan baik, kok! Semoga segera bisa bertemu orang-orang yang tak bosan beri dukungan untukmu.

Tulisan ini dibuat karena aku sendiri banyak tertolong karena Ibu lain yang tak bosan untuk berbagi pengalamannya dalam menyusui. Tetapi mohon dicatat, aku juga orang awam yang sangat bisa salah. Serta ceritaku tak bisa mewakili pengalaman menyusui yang begitu beragam.

Apabila ada kesalahan teori atau hal lain karena aku kurang sensitif dalam menulis, kamu bisa menyampaikannya di kolom komentar dan Instagramku di @sophiamega. Atau kalau masih ada pertanyaan, juga bisa melakukan hal yang sama. Semoga ada manfaat yang bisa diambil melalui tulisan ini! 

----

Kini, ASIku sudah keluar, dan tiap bayiku ingin menyusui kusambut dengan senang, dan sesekali dengan  mengeluh karena aku juga manusia biasa hihi. Ini baru awal perjalanan, semoga aku, suami dan bayiku bisa melalui perjalanan ke depan dengan kuat dan tenang.