Awalnya nggak ada niat untuk mengopi di Jakarta awal Februari lalu. Ya sudah, mengikuti jadwal yang sudah ada dan memang punya rencana ber...

Kedai Kawa Wahidin, Kopi Khas Minangkabau (+ #TemanMengopi)


Awalnya nggak ada niat untuk mengopi di Jakarta awal Februari lalu. Ya sudah, mengikuti jadwal yang sudah ada dan memang punya rencana berjumpa dengan beberapa teman di sana. Salah satunya ada Oma, saya selalu kikuk kalau ketemu pertama kali, takut salah omong, takut nggak asik, banyak lah. Sedangkan Oma sendiri bela-belain dari Bogor buat sekadar bersua.


Ya Allah... udah gitu dibawain gambar yang manis sekali. Coba deh mampir ke Instagramnya, @rzq_amalia, gambarnya manis-manis. Dia banyak memberi rekomendasi kedai kopi unik di Bogor, ada @maracacoffee sama satu lagi saya lupa namanya. Tapi yang jelas rekomendasi dari Oma langsung saya follow, tunggu yaaa, semoga ada waktu dan Mega nggak wacana untuk sekadar mengopi di Bogor.

Cukup lama kami ngobrol dengan Oma, Mas Taufiq yang jauh-jauh dari Tangerang akhirnya sampai juga—setelah macet dan nyasar katanya. Setelah Oma pulang duluan, saya melanjutkan ngobrol dengan mas-mas yang sering dibilang ‘mas-mas pilot’ sama teman-teman, padahal ya bukan. Mas Taufiq lagi sekolah di GMF Aeroasia, ya pokoknya modulnya tebel aja gitu, mulai dari fisika, aircraft basic knowledge dan lainnya.

Di kawasan Jalan Sudirman, saya sempat mengambil beberapa foto sambil deg-degan takut jatuh dari motor. Bahkan sempat bolak-balik ke jalan tersebut karena bingung mau makan apa—sedangkan perut sudah keroncongan. Akhirnya ada sate padang yang nikmat sambil ditemani suasana malam Jakarta Selatan.


Saat perjalanan kembali pulang, ada sebuah kedai yang kami lewati dan Mas Taufiq menawarkan untuk sekadar ngopi lucu di sana. Yowes, budalkan saja. Nama kedainya cukup unik, Kedai Kawa Wahidin ‘Bukan Biji Kopi’. Membaca ‘bukan biji kopi’ saya cuma membatin bingung, tapi yang jelas, dari neon box-nya kita bakal tau kalau ini adalah kopi khas Minangkabau.

Kami memilih tempat duduk yang ada di luar dengan meja dan kursi yang lebih tinggi. Baru saja kami duduk, kami sudah disuguhkan pemandangan yang seru. Ada sepasang kekasih yang asik berpelukan sambil nangis-nangisan. Melihat hal tersebut, saya hanya bisa bilang, “Waduh.” Lalu ditimpali, “Oalah, Mblo,” oleh Mas Taufiq.

Momen yang nggak boleh diabaikan dong, jepret beberapa kali, akhirnya dapet juga...



Mas Taufiq sempat share sedikit soal memotret candid, oh-gitu-ya yang saya ucapkan malam itu ternyata masih belum bisa dipraktekkan dengan baik. Mungkin kita harus banyak-banyak berjumpa, Mas. Waduh. Hahaha. #TidakLupaKodeTipis #Gpp #InsyaAllahJannah


Jendela yang besar di depan kami ternyata satu paragraf yang menceritakan sebuah dongeng asal usul kedai satu ini.

Namanya Wahidin,
Bujang minang petani kopi tanam paksa kolonial Belanda.
Perkebunan kopi adalah wahana belajar dalam hidupnya.
Kopi kemudian merasuk menjadi bagian dari jiwanya.
Namun sayang, ia lahir pada 1840, saat Van Der Bosch merampas seluruh hasil kebun rakyat jelata.
Ranah Minang kehilangan aroma kopi yang kaya cia rasa, Wahidin tidak putus asa.
Ia meramu KAWADAUN menajdi minuman kopi yang sedap tak terkira.
Reinkarnasi Wahidin terdampar di Ibukota.
Lahir dengan sejarah cerita nenek tentang Kawa Daun.
Empat pemuda Minang ini ingin melestarikan budaya.
Pada April 2015 berdirilah kedai Kawa Wahidin dengan sentuhan minang di Jakarta.

‘Oh-gitu’ setelah membaca sejarah singkat tersebut tak membuat lantas saya paham dengan apa maksud ‘Kawa Daun’. Tanya dong ke abang-abang kedai, ketika mendengar penjelasannya, TERNYATA KAWA DAUN ITU UNIK BANGET! Ini ada hubungannya dengan ‘bukan biji kopi’ yang ada di neon box depan Kedai Kawa Wahidin. Rupanya, kopi di sini tidak dibuat dengan biji kopinya, tapi diramu dengan daun kopi. Keren!

Tapi sayangnya saya pesan kopi yang dari biji kopi, Kopi Padang Kampuang dengan warna hitam pekat yang manis sekali tapi tetap bisa dinikmati dengan Rp14.000 (kalau nggak salah). Yah, karena nggak tau kalau ini sebuah kedai yang menjual ‘kopi yang bukan dari daunnya’ jadi nggak sempat mencoba karena kami harus segera kembali.



Tempatnya cukup luas dan dinding-dindingnya dihiasi dengan kata-kata khas Minangkabau. Banyak quotes yang menarik untuk dibaca karena bahasanya unik jadi penasaran meskipun nggak tau artinya. Dengan langkah sungkan untuk masuk ke ruangan di mana pasangan berpelukan tadi masih asik ngobrol dan bermesraan, sebelum pulang kami sempatkan untuk foto berdua.


Terima kasih Mas Taufiq yang sudah menjadi #TemanMengopi kali ini. Mencoba sebuah kebiasaan baru, saya akan menulis tentang ‘sosok #TemanMengopi’ di blog ini. Saya mulai dari Mas Taufiq yah!

Kami kenal sejak 2014 lalu, berjumpa di Hari Inspirasi—Kelas Inspirasi Malang 3. Jauh-jauh dari Bali dia jadi Relawan Videografer rombongan belajar 52—yang berarti satu kelompok dengan saya. Cenderung cari aman dengan nggak banyak ngomong, dan tetap saja sekarang juga masih kalem, anteng dan tenang. Meskipun menghabiskan waktu dengan memahami seluk beluk pesawat, dia suka sekali memotret, katanya mau bikin blog, tapi dia sedang sibuk sekolah dan ujian. Tunggu Mas Taufiq sedikit lenggang untuk kembali menikmati karya-karyanya yah. Terima kasih sudah memperkenalkan dengan betapa asyiknya motret dengan kamera analog (meskipun belum ada yang dicetak). Sukses untuk sekolahnya dan jangan lupa minum susu beruang agar senantiasa sehat dalam menjalani hari-harimu. Sini ke Malang, ngopi lagi!
Dengan secangkir kopi unik dari padang, suasana minangkabau dan nggak lupa pasangan yang asyik mesra di depan umum membuat malam di Jakarta hari itu seru sekali. Rupanya, Kedai Kawa Wahidin nggak hanya ada di Tebet, Jakarta Selatan, tapi ada juga di Margonda, Depok. Cek aja Instagramnya @kedaikawawahidin untuk informasi lebih lengkapnya ya!

Mau jadi #TemanMengopi? Yuk, jadwalkan! 

2 comments:

  1. Gambar temannya keren banget 😍
    Waduh anak muda zaman sekarang, jadi penasaran mereka kenapa ya? *kepo hehehe

    ReplyDelete