Bertahan di toko buku selama satu jam dua jam, mengamati satu rak ke rak yang lain bukan tanpa alasan. Memang jadinya lebih asik sendiri atau mengajak temen yang emang punya kesukaan sama, biasanya sih ada teman saya Ira (lostintowns.com) atau Sarah yang setia diajakin ke toko buku baik dia sedang di Malang atau saya ke Jakarta.
Eh, jadi inget, ada temen cowok saya namanya Charies, dulu banget dia pernah menemani saya ke toko buku sebagai rayuan agar saya mendengar curhatannya. Saking sabarnya dia, ketika udah selesai, dia tanya, “Udah beneran, Meg? Yakin? Gak papa lho kamu muter lagi.” Dan akhirnya saya muter lagi yang ujung-ujungnya hanya membeli satu buku dari Rhenald Kasali yang Self Driving.
Bukan sekadar gabut dan emang
suka, tapi ada gunanya juga kok. Kemarin, ketika baru aja menerima brief lomba
dari Pekan Komunikasi UI 2017, ternyata topiknya tentang pariwisata. Seketika inget
banget sama satu buku bercover putih, punya Markplus yang tentu saja selalu ada
unsur ‘WOW’-nya. Suka banget sama covernya, tiap lihat bukunya sih penginnya
bawa pulang, tapi nggak saya beli karena belum merasa butuh tentang topiknya.
Berkat kebiasaan yang mungkin
kebanyakan orang menganggap hal tersebut membosankan, besoknya saya udah nggak
bingung lagi cari buku untuk referensi ikut lomba. Langsung ke Gramedia Malang
Town Square dan membeli buku ‘Building
WOW Indonesia Tourism and Creative Industry’ (IDR 93.000) dengan sisa-sisa uang
di ATM pada Februari lalu.
Lama banget nih nggak nulis
review buku, biasanya sih video aja. Pembahasan yang banyak dan seru kayaknya
kalau di video bakal nggak detail. Jadi lebih baik saya tulis juga di sini dan
biar gampang baca dan pemahamannya, per-poin aja ya?
Bahasa
Butuh satu bulan lebih untuk
menghabiskan buku 221 halaman yang ditulis oleh Sapta Nirwandar, Wakil Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011-2014 ini. Bahasanya memang baku tapi tetep asik kok,
mengalir dan nggak kayak buku kuliah. Tapi ada satu bab yang emang
bener-bener saya lewati karena isinya hanya data statistik yang nggak terlalu
saya butuhkan.
Data statistik rata-rata data
tahun 2013.
Di setiap bab sebenernya banyak
data statistik penting dan membuat kita mudah dalam pemahaman dan penggambaran,
tapi karena ini buku
cetakan 2014, jadi data-datanya kebanyakan data tahun 2013. Tetep bisa
jadi patokan, misalnya di buku tersebut menjelaskan tentang peringkat Indonesia
dari 144 Negara berdasarkan potensi wisatanya, karena masih data 2013, kalian
bisa browsing untuk data terbaru dengan keyword yang ada di buku tersebut.
Ada juga data-data yang udah kadaluarsa, seperti destinasi prioritas
kementrian 2013 tentu berbeda dengan yang sekarang. Di buku ini, Parekraf memiliki
delapan lokasi yang menjadi target prioritas investasi di Indonesia, yaitu
Sabang (Aceh), Danau Toba (Sumatera Utara), Bintan (Kepulauan Riau), Belitung
(Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Bugam Raya (Kalimantan Tengah),
Mandalika (Nusa Tenggara Barat), serta Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Sedangkan era Jokowi,
Kementrian Pariwisatanya (Arief Yahya) mempunyai 10 destinasi prioritas atau
lebih dikenal dengan istilah 10 Bali Baru, yakni ada Candi Borobudur,
Bromo-Tengger-Semeru, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Mandalika, Labuan Bajo,
Danau Toba, Kepulauan 1000 dan Morotai. Untungnya sih saya baca buku ini sambil
ngerjain kasus terbaru, jadi bisa fit
& match data lama dan baru.
Komplit dan terstruktur.
Di awal kita diajak paham dulu
dengan potensi pariwisata, apa domino
effect-nya pada perekonomian Negara dan bagaimana gambaran Negara yang udah
memberikan perhatian penuh dengan potensi wisata. Lanjut ke sejarah, potensi
wisata Indonesia, tantangan yang dihadapi, strategi yang bisa digunakan sampai
contoh kongkritnya.
Serunya sih, di sini juga dibahas tentang pro
dan kontra mengangkat ‘wisata budaya’.
Kontranya
adalah:
Ada anggapan bahwa pariwisata
sejara langsung “memaksa” ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar
sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat
“dijual” kepada wisatawan. (hal. 90)
Sedangkan
pronya:
Dengan mengembangkan
wisatabudaya, kita telah mematenkan harta kekayaan yang dimiliki negeri ini,
sehingga tidak diklaim begitu saja oleh Negara lain. (hal. 90)
Kalau nggak
dilestarikan dan nggak ada yang tau budaya tersebut (karena nggak
dikembangkan), ya jangan protes kalau diklaim. Tapi dalam pengembangannya,
nggak lantas ‘wisata budaya’ sekadar jadi ‘komoditas’. Tapi ada tiga elemen penting untuk pelestarian
budaya, yakni perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.
Di sini saya jadi
paham juga, dari pada rewel ke pemerintahan untuk segera potensi wisata atau
budayanya diresmikan skala internasional karena prosesnya juga nggak sebentar.
Ada kok cara yang bisa kita lakukan sejak sekarang untuk ‘mengklaim’ setiap
budaya yang kita miliki, yakni dengan terlibat dalam kebudayaan tersebut baik
sebagai wisatawan atau menjadi inisiator pelestarian. Memperkaya foto-foto
kebudayaan di Instagram juga jadi langkah awal yang impact-nya nggak hanya sekadar like
dan followers saja. Teman kita
akan tau tentang kebudayaan-kebudayaan yang kita share asal rajin berbagi di situ.
Asik banget lah
buku ini, cocok buat temen-temen yang memang perlu referensi dalam marketing
pariwisata, pengin tau soal tourism advocate atau bagaimana pemerintah bekerja.
Tapi ada satu inti dalam pengembangan potensi wisata dalam sebuah daerah, kalau
kata dosen saya Bu Arum: cari benang
merahnya, sedangkan kalau di buku ini memilih dengan istilah: helicopter view.
Indonesia beragam
banget kebudayaan dan potensi wisatanya. Nilai plus (banget) buat kita, tapi
karakternya jadi buram. Nggak ada karakter yang bener-bener stick on people head tentang Indonesia.
Contoh deh salah satu wilayahnya, tempat yang sedang saya tempati sekarang:
Malang.
Dear
Abah Anton, nggak
ada karakter yang bener-bener mau diangkat dari pemerintah. Mulai dari
‘Beautiful Malang’, ‘Malang Kota Bermartabat’, atau ‘Malang Kota Pendidikan’, wes sak karep panjenengan nggae istilah lah
Pak.
Wisata Malang ini
mau dibawa kemana masih buram, meskipun kemarin ada peresmian Malang Sejuta
Kopi, oke sih, tapi bikin orang bingung juga. Kemarin saya dapet brief dari Bu Arum, dosen saya, tugasnya adalah bikin program gimana caranya menguatkan city branding 'Beautiful Malang'.
Berdasarkan yang saya pahami nih, selama ini yang telah dilakukan Pemkot Malang tuh, membuat Malang 'beautiful' dengan melakukan hal-hal yang mempertahankan julukan-julukan yang selama ini diberikan ke Malang sejak zaman Belanda. Misal Malang Flower Carnival untuk mempertahankan julukan Malang Kota Bunga atau pembuatan taman-taman cantik untuk mempertahankan julukan Paris Van Oost Java.. Semua julukan dipertahankan tapi nggak rajin mengkaitkan ke Beautiful Malang ya bingung juga dong masyarakatnya, ini memang tugas humas pemerintahan sih. Semangat ya Bapak Ibu hihihi, boleh lah kolaborasi sama yang muda-muda.
Nah, di sini
kegunaan cari benang merah-nya, cari
satu keterkaitan yang bisa mudah mendeskripsikan Kota Malang. Gunanya, biar
orang-orang lebih mudah paham dan inget, jadi mau melakukan perjalanan ke Malang, dan nggak
bingung lagi kalau mau ke Malang. Lagian ya, orang Malang sendiri kalau
ditanya, “Enaknya kalau ke Malang ngapain ya?” Nggak semuanya bisa tau, pun
dengan saya sendiri hehehe.
Nggak hanya tugas
besar pemerintah kok, saya sendiri juga perlu berkontribusi dengan cara yang
kecil dan sederhana dulu, misalnya terus sounding
Malang Sejuta Kopi yang baru diresmikan 1 April 2017 lalu. Kalau kalian,
gimana nih? Potensi wisata kalian udah dikembangkan belum sama pemerintah
setempat? Share di kolom komentar di bawah ya!
Anyway, kalau ada
yang kurang paham soal pembahasan saya di atas, dibahas di kolom komentar ya!
Atau langsung lah beli bukunya biar makin paham. Untuk video reviewnya, you can watch on this:
bukunya bagus ni sepertinya. ada jual di gramedia tidak ya
ReplyDeleteAda dong. :)
Deletekak videonya ngedit pake adobe premier ya ?
ReplyDeletekalo boleh tau itu download dimana atau beli dimana ?
Yup. Adobe premiere cc2015. Boleh cari di gugel yah. Gampang kalo CC cari yg gratisan heheh. (Kecuali laptop kamu mac sih).
DeletePenasaran sama "tempelan2" di buku itu.. :) tulisannya apa ya?
ReplyDeleteCuma inti dari tulisan yg penting aja kok :D
DeleteAsyik baca review buku di blogmu. Foto bukunya keren2
ReplyDeleteMaturnuwun Mas Faqih :)
Deletekak mau tanya dong, ada kutipan dari Andy Yahya ngga yang pariwisata indonesianya?
ReplyDelete