"Tapi aku udah janjiin ngajak kamu ke Post Santa,                    aku bilang mau ngajak cewekku ke sana." Sam...

Eyegasm di Post Santa, Toko Buku Indie di Jakarta Selatan, Indonesia

post santa toko buku indie jakarta selatan indonesia


      "Tapi aku udah janjiin ngajak kamu ke Post Santa,

                   aku bilang mau ngajak cewekku ke sana."


Sambil menahan tawa membaca chat yang agak menggelikan tersebut, niat membatalkan rencana ke Post Santa pun dibatalkan. Manusia satu itu emang sering banget ngompor-ngomporin, "Mega kalau ke sana pasti khilaf."

Tukang ngompor-ngomporin buat khilaf.
Semua akibat permintaan saya untuk nitip buku 'Feminism and Pop Culture' yang ada di Post Santa, karena nggak tahu bakal ke Jabodetabek kapan. Keburu bukunya abis dan kalau mau beli online, sistemnya harus pakai e-mail, yah nitip aja dulu deh lebih gampang.

Hehehe ini karena saya tipikal orang yang nggak terlalu doyan beli online aja sih.

Kabar baik datang dari kompetisi yang membawa saya harus ke Jabodetabek lagi, untuk keempat kalinya di tahun ini. Yay! Ke Post Santa menjadi kewajiban yang nggak boleh tinggalkan. Daaan.. akhirnya keinginan ini terwujud juga. Makasih banyak Pramodana yang udah memberi banyak referensi toko buku indie.

Pasar Santa sebenarnya punya sejarah yang cukup menarik. Awalnya pasar ini hanya sekadar pasar yang berjualan bahan-bahan pokok. Singkatnya, harga mereka nggak bisa bersaing, mereka pun beralih menjual batik dengan menarik komunitas batik. Masih nggak laku juga, akhirnya bekerja sama dengan komunitas kopi dan piringan hitam hingga pasar ini diberi nama Santa Modern Market sejak 2014. 

Makanya di sana banyak banget yang jual piringan hitam, mau cari walkman juga ada. Sampai saat ini semakin berkembang, meskipun masih banyak ruko yang kosong. Gedung konvensional atau konsepnya sebenernya 'pasar banget' tapi isinya toko-toko indie yang jual barang-barang yang susah dicari di toko mainstream, Pasar Santa rasanya jadi eksklusif dengan caranya sendiri.



Setibanya di Post Santa yang berada di lantai atas, mata benar-benar dimanjakan. Di dalam gedung konvensional ada toko buku yang konsepnya asik dan super nyaman. Eyeeeegaaaasssmmmm!

Awalnya, saya udah bilang kalau ke Post Santa cuma mau lihat-lihat. Setibanya, batin dan raga langsung mengubah niat dengan: "Aku harus beli buku di sini." Semoga kekhilafan ini terus dijaga hanya untuk buku dan kopi saja, kalau nggak.. besok saya nggak makan... wgwgwg.



Setiap sudut berwarna kuning dengan suasana warm dan minimalis. "Untuk buku yang nggak disegel, bisa dibaca di sini kok, kalau mau minum, bisa beli di ruko tetangga," ucap seorang perempuan yang ternyata bernama Maesy. Jadi kita emang nggak harus beli buku di sini, baca buku aja nggak masalah, karena banyak meja yang nyaman untuk ditempati mulai pukul 15.00-20.00 di hari Sabtu dan Minggu.

Buku yang kanan titipan teman.
Ketika melihat di deretan buku ada judul yang lagi dicari, yaitu "Putih", langsung heboh hahaha. Lagi-lagi ini buku rekomendasi dari Pramodana, dia yang sering dicuekin chatnya tetep aja sering chat untuk kasih rekomendasi. Jangan bosen-bosen ya, Pram.


Ruangan Post Santa terus berkembang, yang dulu hanya beberapa petak saja, sekarang jadi semakin luas. Bahkan sering ada diskusi yang informasi terkininya bisa diikuti di Instagramnya @post_santa. Kak Maesy juga enak banget diajak ngobrol kalau soal buku, prediksi saya sih, hampir semua buku pasti udah ada yang dibaca. Ini jadi diferensiasi atau pembeda paling kontras dari toko buku mainstream selain buku-buku yang ada di toko buku indie nggak ada di toko buku mainstream. Di mana kita bisa nanya langsung isi buku tersebut dengan detail.

Misalnya percakapan ini, 

Mega: "Raden Mandasia cover bukunya baru ya?"
Kak Maesy: "Iyaaa. Dan menurut kami, jadi banyak cewek yang beli sejak covernya ganti."


Sampai perubahan pembelian aja ngerti. Pengalaman ke toko buku jadi lebih menyenangkan. Selain itu, ketika di sana ada salah satu customer yang lagi ngomongin zine, yang berujung ngobrol dengan Kak Maesy tentang isinya dan membuat saya memutuskan untuk membeli zinenya.

Nggak tahu banyak soal zine yang ada di Malang sebenarnya. Sementara ini, yang saya tahu biasanya dibagikan secara gratis dan masih jarang yang membahas isu sosial (lebih banyak berisi hasil gambarnya). Ya mungkin itu esensi sebuah zine pada awalnya yah. Majalah yang diproduksi dalam skala kecil dari personal dan biasanya difotokopi untuk dibagikan ke banyak orang untuk kesenangan pribadi. Mendengar menariknya zine yang diproduksi oleh Bisik-bisik Si Kembang Goyang ini, dengan harga satu zine 35.000 IDR, rasanya nggak perlu pikir panjang lagi untuk membelinya.

"Zine ini tuh dibikin sama tiga cewek yang lagi mabok gitu, mereka pikir, daripada obrolan lagi maboknya nggak dikemana-manain, dijadiin zine deh. Isinya lebih banyak soal feminisme yang edisi pertama. Kalau yang kedua lebih ke kenapa sih orang-orang pinter harus sombong," kurang lebih begitu yang dijelaskan Kak Maesy.


Denger soal 'feminisme' itu sih yang bikin semakin kuat untuk nggak perlu pikir panjang lagi untuk membeli. Sekarang saya lagi memperbanyak bacaan feminisme (selain tentang marketing, self-help dan self-empowerment). Sebenernya kalau ditanya kenapa banyakin baca buku ini, bukan karena pro atau kontra. Tapi ya pengin baca aja, pengin tahu.

Alasan spesifiknya sih sebenernya karena topik ini lagi rame banget diomongin, semua tergesa-gesa mengambil sikap, yang membuatku lantas berpikir, "Ini topik sensitif, kenapa semua orang pada tahu dan paham ya ngelihat media sosial mereka?"

Saya yang emang nggak tahu apa-apa dan "bilang pintar, bodoh saja tak punya" seperti ungkapan dalam buku yang belum saya baca (dikoreksi dari pembaca, buku dari Rusdi Mathari). Saya mencoba mendalami peran saya sebagai orang bodoh dengan punya kesadaran: saya harus baca sebelum berbicara.

Terlalu banyak isu sosial yang viral di media sosial, yang entah kenapa membangun kita sebagai orang yang berkarakter: saya harus tahu semua dan mengambil sikap. Padahal kalau dipikir-pikir, kalau emang nggak tahu, nggak punya kapasitas, ya kenapa harus semuanya dikomentarin? Padahal isu-isu viral membuat kita lelah. Saya mencoba menanamkan prinsip: kalau nggak tahu, bilang aja enggak tahu, kalau tahu, baru coba berbicara dengan memperbanyak mendengar dan membaca terlebih dahulu.

Ketika prinsip itu saya tanamkan nggak ada enam bulan ini, rasanya begitu lega menjalani hidup. Dengan tidak sok tahu, merasa bodoh, yang akhirnya menanamkan rasa keingintahuan yang tinggi menjadi begitu menyenangkan. Jadi nggak ada beban moral untuk tampil keren di society, "Hey i know everything."

Ah hidup dengan keinginan memenuhi ekspektasi orang itu sangat melelahkan, haus eksistensi menjadi hal duniawi yang menurut saya penuh beban-beban sosial. Hidup atas dasar melakukan dan mencari tahu apa-apa yang lebih kita suka, tanpa ada tekanan terlihat keren di society, jauh lebih me-nye-nang-kan.

Dari sekian isu viral, saya cukup tertarik dengan feminisme. Awalnya iseng baca Perempuan di Titik Nol dengan dasar: pengin tahu aja. Jadi makin tertarik dan mengembangkan bacaan.

Tapi sampai saat ini saya juga belum ambil sikap dan kalau ditanya tentang feminisme pasti lebih banyak jawab, "Belum tahu banyak, saya masih baca."


Pengalaman ke Post Santa kali ini sebenarnya kurang lengkap kalau nggak menikmati membaca sambil minum dari ruko tetangga atau ngikutin diskusinya. Buat saya, emang nggak cukup sekali aja ke sini, kalau bisa tiap hari (read: pengin punya ruang baca kayak gini juga). Hahaha, nggak ding. Kalau ada waktu lebih, pasti balik lagi ke sini, semoga ada kesempatan, aamiin.

Udah ada yang ke Post Santa belum? Kalau udah share pengalaman kalian di bawah ya! Kali aja ada pengalaman yang berbeda jadi bikin pengin balik ke sana lagi. Atau ada referensi toko buku indie lainnya nggak? Saya fakir referensi nih, jadi kasih tahu saya ya!:)

Post Santa
Your local independent bookshop & publisher
Jalan Cipaku No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Open Saturday & Sunday 3-8pm
Instagram: @post_santa

9 comments:

  1. Dilihat sekilas aja, tempatnya nyaman banget buat pecinta buku, yaa! :D

    ReplyDelete
  2. Eh Meg, buku-buku yang di sana bedanya apasih sama yang ada di toko buku mainstream? dari penulisnya dari penerbitnya atau gimananya? aku juga penasaran pengin kesana. Kayaknya di Jogja banyak juga deh toko buku Indie, tapi nggak tau, masih sebatas dugaan wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukunya ga ada di toko buku mainstream karena penerbitnya indie gitu. Berangkatkan dooooong. Iya di Jogja banyak, ada Paperplanebook salah satunya.

      Delete
  3. Kalau ke jabodetabek lagi bilang dong, kan bisa ketemuan sekalian hangout bareng. :)

    ReplyDelete
  4. Kusuka ulasan soal post ini.
    Salam kenal.
    Btw, "bilang pintar, bodoh saja tak punya" itu judul bukunya Rusdi Mathari. Lebih pasnya "Merasa pintar, bodoh saja tak punya: kisah sufi dari Madura"

    hehe

    ReplyDelete
  5. Bertamasyalah ke Makassar. Kamu bisa berkunjung ke Katakerja. Salam kenal.

    ReplyDelete
  6. Menyenangkan memang POST. Gak sabar pengin ke sana dan ketemu Maesy dan Teddy.

    ReplyDelete