Aku tidak pernah lupa bagaimana pertama kali aku jatuh cinta padamu, sih. Malam itu kita pergi ke kedai kopi yang biasa aku datangi. Itu bukan kencan tetapi sekadar “menemui orang yang jauh-jauh datang dari Tangerang ke Malang”. Aku menemuimu dengan membatin kesal, “Buat apa, sih, aku harus menemui orang ini?”
Barangkali Tuhan yang menggeretku malam itu untuk jatuh cinta padamu, tepatnya pada suaramu yang teduh. Sejak saat itu kita jadi dekat walaupun terpaut oleh jarak, kamu di Tangerang dan aku di Malang, tetapi aku mencintaimu karena kamu selalu mengangkat telepon kapanpun aku membutuhkanmu untuk sekadar mendengarkanku menangis. Aku bahkan pernah menelponmu ketika kamu kerja hanya karena aku menumpahkan kopi di lensa kameraku. Kamu tidak mengucap banyak, hanya mendengarkan, dan begitu saja sudah cukup.
Aku mencintaimu karena setiap pesan ‘are you okay?’ yang kamu kirim. Aku mencintaimu karena kita bisa mendiskusikan dan menghargai banyak hal walaupun kamu tidak membaca buku-buku feminisme sekalipun. Aku mencintaimu karena kamu memilih memasak bersamaku meskipun kamu tidak bisa memasak. Padahal kamu punya pilihan untuk menganggap memasak adalah urusan perempuan dan tugasmu hanya merokok sambil menunggu masakan siap disantap seperti laki-laki misoginis kebanyakan.
Kecocokan membuatku yakin bahwa kita hadir di dunia untuk satu sama lain. Tetapi yang kini baru aku ketahui adalah kecocokan juga bisa jadi petaka pada hubungan kita.
Aku terbiasa melakukan banyak hal sendiri dan kamu menganggap tidak ada yang salah dengan sendirian. Sampai ketika aku depresi sekalipun aku tetap memilih pergi ke rumah sakit sendirian dengan mengajak anak. Saat itu aku menganggap semua ini biasa dilakukan dan menjadi pulih adalah tanggung jawabku semata. Padahal pergi ke psikiater sambil anakmu menangis jelas melelahkan. Aku sering kewalahan harus mendengarkan apa yang dikatakan psikiater atau anakku yang menangis.
Sampai aku tidak sadar mengambil tanggung jawab terlalu banyak dan kamu membiarkan semuanya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan memohon-mohon tiap ingin bergiliran mengganti popok dan memandikan anak. Kamu juga merasa tidak ada yang salah dengan tidak sadar apa perbedaan “melakukan” dengan “membantu” dalam pengasuhan dan tugas domestik.
Aku merasa keromantisan adalah hal yang basi, begitu pun juga kamu, sebab kita sama-sama dibesarkan di keluarga yang gagap mengungkapkan kepedulian dan rasa sayang. Sehingga ketika aku menangis kamu tidak pernah tahu harus berbuat apa. Bahkan kamu kerap tidak tahu aku menangis padahal kita tidur di kasur yang sama. Dulu aku menganggap semua ini biasa saja sebab aku tahu kalau emosi adalah urusanku pribadi.
Kita juga saling cocok sebab kita menikah ketika satu sama lain belum sanggup dewasa.
Ini bukan lagi soal apakah aku si anxious karena merasa perlu kepastian bahwa hubungan kita baik-baik saja sehingga selalu ingin menyelesaikan masalah saat itu juga. Kemudian bisa meledak ketika kamu tidak mau menyelesaikan masalah. Juga bukan apakah kamu si avoidant yang kerap merasa tidak nyaman ketika ada masalah dan lebih memilih tidak mau membahasnya sampai sering aku geret untuk duduk di sebelahku, menatap mataku, dan memaksamu untuk bicara.
Kamu selalu bilang, “Lebih baik aku diam karena kalau bicara aku pasti salah.”
Kamu juga sering memberikan solusi-solusi penyelesaian masalah yang tidak berkaitan sama sekali dengan masalah yang kita hadapi. Kamu melakukannya hanya agar masalah kita selesai walaupun solusinya tidak nyambung sama sekali.
Ketika hari ini aku ditampar kesadaran bahwa aku tidak mau lagi menjalani hubungan yang dilandasi atas ketidakpedulian, kamu kesulitan menerima fakta bahwa kamu punya andil besar dalam membiarkanku menjalani tanggung jawab dalam kesendirian. Kita membicarakan banyak hal seakan itu penting. Padahal itu tak lebih dari saling menyakiti karena kita saling meminta daripada saling memberi.
“Kamu udah sampai kayak gitu, ya, padahal cuma karena kurang perhatian,” katamu membuat aku mempertanyakan apakah meminta perhatian adalah sebuah kesalahan dan tidak mendapat kasih sayang adalah tanggung jawab.
“Aku itu capek kerja,” katamu dan menolak fakta bahwa pasanganmu bekerja di tiga tempat berbeda sambil mengasuh anak.
Kamu memilih untuk tidak mengerti apa yang aku rasakan yang tadinya membuatku mengutuk diri karena merasa berlebihan atas semua ini. Tetapi aku kemudian sadar bahwa ketidakmauan dan ketidakmampuanmu untuk mengerti justru jadi sebuah bukti bahwa sudah semestinya aku pergi.
Pada sebuah malam di taman kecil kedai kopi di Cilandak Barat, aku mengisap Djarum Super entah berapa banyak padahal aku bukan perokok aktif. Bertindak tolol ketika hidup kacau balau memang selalu jadi ide yang bagus. Aku ditemani temanku bernama Gerardine yang juga sedang dikerjain Mercury Retrogade dan Full Moon Aquarius. Kami bertemu karena sadar saling butuh pelukan yang erat karena menghadapi laki-laki avoidant dan menyadari kenyataan bahwa kami sebetulnya sekadar manusia-manusia kesepian.
Malam itu cukup menyadarkanku bahwa selama ini aku sudah cukup berjuang maka kini waktunya berserah. Pada kemungkinan terburuk sekalipun, let go, let God.
Tuhan barangkali tahu kapan waktu paling tepat menolongku. Pada keprasahan kita saling memeluk dan kamu mengucapkan kata ‘maaf’ dan aku hanya tidak berhenti menangis. “Aku nggak tahu kenapa sulit untuk bilang maaf,” katamu.
Aku tidak tahu bagaimana hidup akan membawaku selanjutnya, tetapi aku berterima kasih pada Tuhan yang mengizinkan semua ini terjadi. Setidaknya aku sadar bahwa aku bukan buru-buru menikah, tetapi kita hanya menikah saat sama-sama tidak sanggup dewasa. Setidaknya hari ini kita belajar lagi apa artinya mencintai sebagai orang dewasa.
0 comments: