Tiga hal yang aku pelajari tentang kesepian, pertama, kita kerap tidak sadar sedang kesepian. Kedua, ketidaksadaran rasa sepi yang hadir bisa mengantarkan pada petaka. Ketiga, sepi bisa hadir di tengah keramaian hingga dalam pernikahan sekalipun.
Pertemuanku dengan konsekuensi-konsekuensi buruk lah yang menampar dan memaksaku sadar bahwa ada kesepian yang perlu ditemui, diterima, dan pada akhirnya dipeluk erat.
Awalnya memang hanya bermula dari obrolan-obrolan yang menghangatkan hati setiap baru bertemu orang tertentu. Ada perasaan diterima dan dimengerti yang seakan mengisi kekosongan meskipun sebenarnya tak ada obrolan yang benar-benar spesial. Aku hanya tahu itu perasaan yang menyenangkan untuk dimiliki, maka aku terus mencari, menunggu, dan mengharapkannya.
Persoalannya, aku mencari-cari hal yang tidak pernah ada.
“Mega, hatimu itu seperti bocor. Setiap diisi sesuatu, dia akan bocor. Rasa sakit yang kamu rasakan dari kekosongan itu bukan kemarahan, tetapi kehilangan atas apa-apa yang tidak pernah kamu miliki,” kata seorang konselor. Singkat, padat, dan membuatku membeku.
Kehilangan akan apa yang membuatku begini? Kalau jawaban itu ingin aku temukan, artinya aku harus menemui Mega yang barangkali saat itu masih berusia 9 tahun. Bukan sebuah pertemuan yang mudah untuk dilakukan.
Aku sering menyerah menemui anak kecil itu karena dia lebih sering menolak membuka mulut. Setiap harus mengingat-ingat apa yang terjadi, ia biasanya akan menjawab “tidak tahu” atau “lupa”. Awalnya aku mempercayai jawaban itu, tetapi kini aku mulai curiga bahwa dia cuma menyembunyikan hal-hal yang terlalu sulit untuk dibicarakan.
Anak kecil itu lebih sering hadir tiba-tiba dan semaunya sendiri. Hadir dalam pecahan tangis yang tidak jelas asalnya. Hadir dalam ledakan emosi yang membuatku menyakiti diri. Tetapi setiap aku paksa duduk dan menceritakan segalanya, lagi-lagi dia diam.
Aku menyerah menemui anak kecil itu dan mulai menemui psikolog bernama Om Ge yang lebih mau disebut “teman belajar relasi”. Aku menemuinya karena ia mau membantuku tanpa perlu mengorek-ngorek cerita Mega kecil.
“Apakah there’s no such a thing kesepian dalam pernikahan? Itu cuma akunya, ya?” tanyaku.
“Rasa kesepian ada, nyata. Tetapi karena itu soal rasa, berarti urusannya sama diri sendiri. Rasa itu hadir karena Mega belum bersahabat dengan diri sendiri. Jadi masih minta orang lain untuk menyamankan Mega,” jawab Om Ge.
27 tahun hidup dan aku baru mengenal konsep “bersahabat dengan diri sendiri”, jelas aku tidak mengerti.
“Bersahabat sama diri sendiri itu gimana?” tanyaku.
“Tergantung apa yang Mega mau dari sosok sahabat,” jawab Om Ge.
“Yang nyemangatin aku, yang nemenin aku kalau aku sedih, yang bisa jadi teman ngobrol ini itu,“ kataku tetap bingung mempertanyakan apakah bisa seseorang melakukan itu untuk diri sendiri.
“Ya, jadilah sosok itu buat diri sendiri,” singkat, padat, dan entah.
Kujawab “oke” meskipun tak tahu aku bisa mulai dari mana untuk menjadi “sosok” itu. Namun lirik dan musik Jason Ranti barangkali boleh disebut penyelamat.
Lagipula hidup
Sebebas itu
Jadilah apapun yang kamu rindu
Kalau saja ia yang sekarang
Lebih menerima dirinya yang dahulu
Kalau saja esok ia lebih rela akan kejadian yang sekarang
Kalau saja pasrah adalah nama tengahnya
Dan ikhlas adalah alas kakinya
Dan bebas adalah nama sambungnya
Dan terserah semua yang gila-gila
—Jalan Ninja, Jason Ranti
Aku mulai melangkah dengan memegang kata “jadilah apapun yang kamu rindu”. Untuk menjadi apa yang aku rindu, artinya adalah menjadi Mega yang hidup bersama tulisan-tulisannya dan sisanya mengalir begitu saja. Tidak perlu dicari-cari atau dinanti-nanti, kapan pun hal baik dan hal buruk hadir, biar saja ia lewat begitu saja. Keduanya pasti hadir hanya untuk berhenti sejenak, saat tugasnya selesai, ia akan pergi sesuai waktunya.
Lalu sejak aku memutuskan memilih hadir seutuhnya untuk diriku, aku mulai mengerti apa arti bersahabat dengan diri sendiri. Artinya aku menemani diriku di setiap langkah yang kuambil, bukan jadi musuh dalam diri sendiri. Menemani artinya aku hadir pada setiap impianku dari hari ke hari tanpa perlu ada yang memberikan keyakinan bahwa aku mampu melakukannya atau tidak. Hal yang jauh lebih penting lagi, aku memilih percaya pada diriku, bukan justru meragukan diri sendiri.
Kini aku mulai mengerti arti lirik ‘ternyata sepi teman abadi’ dalam lagu “Manhattan-Blok M” dari Jason Ranti. Sepi ada, nyata, dan dapat kita rasakan kapan saja. Tetapi kita tak perlu khawatir, sebab teman terbaik dalam keabadian sepi adalah diri sendiri.
0 comments: