Jatuh cinta itu mudah. Merawat cinta itu perkara lain. Satu hal lagi yang aku tahu tentang cinta setelah menjalani pernikahan 5 tahun adalah rumah tangga itu cinta yang perlu dirawat dengan kerja keras. Cinta yang perlu dijaga untuk menghargai komitmen yang telah dibuat sejak pertama kali mengikat janji pada hari pernikahan.
Kita perlu mencintai pasangan dengan lebih keras di pernikahan sebab hari-hari tidak selalu belangsung baik. Kadang kita lebih fokus membagi tugas siapa yang memandikan anak dan mencuci piring daripada menanyai satu sama lain tentang kabar masing-masing. Kita terlalu sibuk berusaha bertahan hidup dengan menjalani banyak peran sekaligus sebagai seorang suami atau istri, ayah atau ibu, pekerja domestik, karyawan dan lain-lain sampai lupa sekadar bertanya, “Kamu gimana keadaannya?”
Pernikahan membuat kita harus merawat cinta setiap hari, bukan mencintai selagi kita punya waktu. Tidak seperti ketika sekadar naksir dengan orang lain yang kita cuma perlu menanyai kabarnya dan itu sudah lebih dari cukup.
Sayangnya daftar tugas mencintai dalam rumah tangga membuat kita lupa sebetulnya apa yang paling dibutuhkan satu sama lain. Bukan soal rumah yang rapi atau perut yang kenyang. Tetapi soal apakah kita sanggup menemani satu sama lain hingga tua nanti bagaimana pun dunia menceburkan diri kita pada lautan yang dalam. Soal apakah kita sanggup menyayangi dan mengerti satu sama lain meskipun energi telah dihabiskan untuk memahami diri sendiri.
Ketika kita kehabisan energi dan masih harus saling mencintai kadang-kadang berujung menjadi saling menyakiti satu sama lain. Sesederhana keluhan “aku lagi capek” yang aku ucapkan karena bekerja sambil mengurus anak tetapi justru mendapat jawaban “aku juga capek” bisa memperburuk hubungan yang telah dibangun. Aku mulai menyakiti suamiku dengan, “Tetapi lelahnya berbeda.” Padahal seharusnya aku bisa bilang, “Aku tahu kamu capek. Tapi aku boleh dimengerti dulu atas kelelahan yang aku miliki nggak?”
Di sini lah kerja keras itu dibutuhkan dan kadang-kadang aku merasa kerja keras sendirian karena suamiku sangat payah dalam hal memahami perasaan diri dan pasangannya. Aku bisa bilang dia kehilangan kemampuan merasa. Kadang-kadang aku meledeknya dengan, mungkin gara-gara dulu kamu suka mabuk jadi terlatih mati rasa karena itu. Dia sepakat dan kami saling tertawa.
Aku tidak pernah mengenal suamiku ketika dia suka minum. Tetapi aku tahu dia pernah hampir mati karena mabuk dan itu yang membuatnya berhenti minum. Aku mengenal suamiku ketika dia sudah sadar sekaligus mati rasa.
Tetapi aku mengerti bahwa kita saling punya luka masa kecil hanya saja kita merespon dengan cara berbeda. Aku memilihnya sebagai pasangan hidupku dan artinya aku menerima setiap risiko. Bahwa aku akan jadi orang yang paling pertama berusaha memperbaiki hubungan yang telah kita bangun untuk bisa ingat apa artinya menikah dan saling mencintai.
“Boleh nggak kalau aku bilang capek, kamu nggak menjawab ‘aku juga capek’. Kamu boleh cerita juga kamu capek, tetapi dengarkan dulu aku capek kenapa? Sama boleh nggak, kalau aku mengerjakan tugas domestik, kamu mengucapkan terima kasih? Aku tuh nggak butuh dikasih uang atau dibayarin ini itu, tapi aku butuh dihargai dengan kamu melihat apa yang aku kerjakan,” kataku pada hari yang lain.
Aku belajar memberitahu kebutuhanku dan suamiku belajar lebih mengerti perasaanku. Tidak mudah karena mengapa cinta perlu dilakukan dengan kerja keras daripada penuh keindahan? Ya, namanya juga merawat cinta, bukan jatuh cinta.
0 comments: