Aku tidak tahu tentang Kota Tangerang selain nasi goreng petainya yang selalu enak, ada kampus bernama UMN dan di sebelahnya ada Tanamera Co...

Tidak Susah Menjadi “Mba-mba Jawa” di Kota Tangerang

Aku tidak tahu tentang Kota Tangerang selain nasi goreng petainya yang selalu enak, ada kampus bernama UMN dan di sebelahnya ada Tanamera Coffee, dan ada mall yang bernama Summarecon Mall Serpong. Ya, hanya itu yang aku tahu meskipun selama dua tahun bolak-balik ke Tangerang karena punya hubungan Long Distance Relationship (LDR) dengan pacar—kini adalah suami yang lama merantau ke Tangerang meskipun dia besar di Pulau Bali. Setidaknya setiap 3 sampai 6 bulan sekali aku pasti ke Tangerang, tidur di Hotel Aeropolis, dan selalu memesan nasi goreng petai di depan hotel yang cita rasa nasi gorengnya jelas berbeda dari apa yang biasa aku nikmati di kota kelahiranku, Malang, Jawa Timur.


Nasi goreng di Malang selalu menggunakan “caos merah” makanya berwarna merah. Rasanya manis dan aku tidak suka manis, di situ persoalannya. Setiap aku membeli nasi goreng di Malang, aku tidak pernah absen untuk bilang, “Gak pake saos ya, Mas.” Berbeda ketika sedang di Tangerang, aku tidak perlu melakukannya lagi. Nasinya gurih dengan sedikit manis karena kecapnya, tanpa saos merah, dan petainya masih renyah—isian yang agak sulit ditemukan di nasi goreng Malang.


Meskipun Hotel Aeropolis bukan hotel yang bagus tetapi kami tidak punya banyak pilihan lain karena itu yang mampu kami bayar. Ya, setidaknya mereka punya nasi goreng enak di depan hotelnya. Itu saja cukup untuk membuat memori LDR di tahun 2017-2019 menjadi kenangan yang indah.


Setelah menikah jelas aku tidak punya banyak pilihan selain ikut merantau ke Kota Tangerang. Tadinya kami tinggal di rumah petak murah di kawasan Jurumudi, Tangerang. Tetapi karena ada tikus sialan dan aku mulai punya pekerjaan yang bayarannya lebih baik daripada sebelumnya, kami pindah ke area Kehakiman. “Sepertinya nyaman karena dekat kantor polisi dan pengadilan negara,” kataku saat itu, pikiran yang tidak berdasar sama sekali. Hal lain yang tidak aku sadari adalah kontrakanku saat ini dekat Lapas dan beberapa waktu lalu sempat kebakaran.


Kini terhitung empat tahun sejak aku pindah ke Kota Tangerang dan satu hal yang sekarang jelas aku ketahui dan yakini adalah tidak susah menjadi “mba-mba Jawa” di sini.


Ya, meskipun aku pernah ditertawakan oleh penjual kelapa muda karena bilang, “Degannya satu, ya.” Rupanya kata “degan” hanya dikenali setidaknya di Jawa Timur. Pernah juga aku berusaha memanggil aa’ di Warmindo (Warung Makan Indomie) dengan, “Mas, mas, mau bayar,” dan tidak direspon. Ternyata mereka baru akan menoleh ketika dipanggil, “A’, mau bayar.”


Aku juga pernah dibuat bingung karena mendapat pertanyaan dari tetangga ketika sedang mengantarkan makanan, “Neng, dari Jawa, ya?” Apakah aktivitas “ater-ater” atau mengantarkan makanan pada seseorang di budaya Jawa, apalagi ketika menjadi tetangga baru, hanya dilakukan orang Jawa makanya budayaku dipertanyakan? Kurasa bukan logat bicara yang membuatnya tahu aku orang Jawa karena aku terlatih tidak beraksen Jawa jika tidak bicara dengan orang Jawa sebab dulu pernah belajar jadi MC dan dilarang punya aksen. Ini agak membingungkanku. Memangnya apa yang dilakukan orang Sunda ketika baru menjadi tetangga?


Perihal budaya memang membuatku sedikit kebingungan. Kadang-kadang aku juga merindukan memaki dengan kata “j4nc0k” daripada “anj1nk”. Tetapi mau bagaimana lagi? Tidak ada orang yang bisa diajak ngobrol dan memaki dengan kata “c0k i” di Kota Tangerang. Namun perihal perut, kota ini menawarkan ragam kuliner Jawa Timur yang beberapa cita rasanya menjadi benchmark buatku.


Pertama kali aku dibuat kaget dengan kuliner Jawa Timur di Kota Tangerang adalah ketika mencoba Tahu Tek, Tahu Campur dan Rujak Cingur di Warung Surabaya Cak Hazy yang berada di Jl. Dr. Sitanala. Pengalaman terbaik untuk menikmatinya adalah di warungnya langsung, duduk di hadapan mas-mas yang sedang memasak. Mereka jelas tidak akan menanyai kabarmu karena mereka gak peduli, tetapi setidaknya kita bisa mendengar mereka bebahasa Jawa Timuran dengan sangat fasih. Aku yakin betul mereka orang Surabaya, karena aksen Jawa dari Surabaya dan Malang punya perbedaan yang signifikan.


Menjadi anak Malang, aku juga masih ingat kalau aku tidak terlalu suka Tahu Campur dan lupa kapan terakhir kali makan Tahu Tek. Ingatanku tentang Tahu Tek membawaku pada masa kecil ketika sedang mengunjungi rumah nenek di Surabaya. Setiap malam selalu terdengar gerobak yang berbunyi “tek tek tek”, berasal dari suara gunting yang biasa digunakan untuk menggunting tahu. Itu kali pertama aku makan Tahu Tek, tetapi setelah itu aku hampir tidak pernah makan Tahu Tek lagi karena lumayan sulit ditemukan di Kota Malang.


Aku juga ingat kalau aku tidak begitu suka dengan Tahu Campur, entah apa alasannya. Tetapi ketika aku mencicipi Tahu Campur, Tahu Tek, dan Rujak Cingur Cak Hazy, aku jadi tahu apa alasannya. Kuliner Malang dan Surabaya meskipun sama-sama Jawa Timur, masih punya beberapa perbedaan, setidaknya dari penggunaan petisnya. Sepertinya petis yang digunakan sama-sama petis hitam yang pekat, tetapi intensitas penggunaan di Malang tidak sepekat ketika orang Surabaya yang memasak.


Aku masih ingat Rujak Cingur yang biasa aku nikmati di Kota Malang tidak punya bumbu sepekat apa yang aku nikmati dari Cak Hazy. Saus kacangnya pun tebal sekali dan warnanya coklat pekat. Kalau membeli Rujak Cingur di Malang, rasa petisnya tidak begitu kuat, warnanya coklat sedikit muda, dan sausnya tidak terlalu kental. 


Untuk Tahu Campurnya juga punya kuah petis yang kuat dan menyegarkan. Sementara Tahu Teknya, punya tahu telur yang tebal, dengan tekstur pinggiran yang masih renyah, dan saus kacang yang lebih gurih daripada bumbu Rujak Cingur. Sejak saat itu Tahu Campur, Tahu Tek, dan Rujak Cingur dari Cak Hazy menjadi benchmark enak tidaknya masakan-masakan tersebut. Terakhir kali aku ke Malang dan ibuku membelikanku Rujak Cingur, sih, aku tidak begitu menikmatinya.


Tidak jauh dari Warung Surabaya Cak Hazy, masih di area Rumah Sakit Sitanala, ada warung Sate Madura Cak Sholeh yang kalau lagi doyan-doyannya bisa jadi menu makan malam tiga hari berturut-turut. Ada satu tantangan yang tak pernah absen aku lakukan ketika sedang berada di warung madura, mengucapkan “terima kasih” dalam bahasa Madura setiap sedang berada di warung makan Madura.


“Nanti kalau kamu sudah bayar, bilang sakalangkong, ya,kataku pada suamiku cekikikan sedikit berbisik karena takut didengar penjualnya.


Kadang suamiku menurut dan membuat penjualnya bingung. Kadang dia tidak mau dan aku yang mengucap sakalangkong tentu dengan aksen yang aneh. Aku tahu bahasa Madura karena Ayah Ibuku dilahirkan dan dibesarkan di Sampang, Madura. Ketika hanya berbicara berdua, Ayah Ibuku akan berbahasa Madura. Sementara kalau dengan anak-anaknya selalu dengan bahasa Indonesia. Itu lah yang membuatku hanya bisa mendengar dan memahami sedikit-sedikit apa yang orang Madura katakan, tetapi ketika aku mencoba bicara dengan bahasa Madura selalu berujung gagal karena aksen yang kugunakan selalu aksen bahasa Malangan.


Apa yang terjadi di warung Sate Madura Cak Sholeh ini juga mirip seperti kisah di Cak Hazy, lagi-lagi membuat benchmark baru pada setiap sate madura yang kunikmati. Saus kacang sate maduranya selalu tebal, lembut, dan tekstur kacangnya tidak berasa. Mantap dinikmati dengan nasi yang panas dan tidak lupa minumnya Es Teh Botol Sosro—kurang nikmat kalau cuma es teh manis biasa.


Tetapi kebaruan yang aku temukan adalah, sate madura di sini punya pilihan lain selain saus kacang, yaitu saus kecap. Sausnya dominan rasa asam dari potongan tomat dan kecapnya pun cair. Dilihat-lihat mirip tomat yang selalu disajikan dengan Sate Maranggi. Aku kurang mengerti apakah ini saus percampuran Madura dengan Sunda atau memang selama ini selalu ada tetapi aku tidak pernah tahu?


Ajaibnya lagi Sate Madura Cak Sholeh bahkan menjual Sate Taichan! Warung ini seperti krisis identitas tanpa krisis konsistensi cita rasa sama sekali. Tetap kental Maduranya tetapi mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Sambal Sate Taichannya juga pedas menusuk hidung dan daging ayamnya pun selalu konsisten isi tusukannya. Selalu ada kulit ayam di sela-sela daging ayam, tekstur yang selalu kucari-cari ketika menikmati Sate Taichan.


Kota Tangerang akan menjadi sempurna kalau punya Bakso Malang yang enak. Salah satu yang membuat Bakso Malang berbeda adalah “gorengannya”. Orang Jakarta menyebutnya bakwan, tetapi bakwan bagi kami adalah bala-bala. Jadi tolong berhenti menyebut gorengan di Bakso Malang adalah bakwan.


Gorengan di Bakso Malang ada banyak bentuknya, ada yang lonjong memanjang, ada yang merekah seperti bunga, dan ada juga yang bulat. Kulitnya tipis, nikmat ketika renyah atau ketika lembek karena dimasukkan ke kuah bakso. Satu lagi yang berbeda dari kuah bakso Malang adalah kaldu yang pekat dan berlemak, tidak seperti kuah bakso Solo yang lebih ringan lemaknya. Kuah bakso Malang gurih, umami, dan lemaknya memenuhi mulut.


Terakhir yang membuat Bakso Malang istimewa adalah caos merahnya. Ini bukan saos tomat biasa, karena sepertinya cara pembuatannya lebih nasty daripada sekadar saos tomat kemasan. Rumor yang aku dengar, bukan hanya butuh tomat untuk membuatnya, tetapi juga buah-buahan dan sayur-sayuran lainnya. Tetapi yang sudah pasti adalah pewarna tambahan karena begitu merah. Cara menikmati bakso dan gorengan terbaik adalah ketika mencocolnya dengan racikan caos merah dengan sambal dan kecap yang pekat.


Kadang-kadang ketika makan bakso di Tangerang aku sering memaksakan diri untuk punya pengalaman meracik saos seperti yang selalu aku lakukan di Malang. Aku mencampur saus sambal kemasan, dengan sambal cabe, dan kecap Benteng yang cenderung gurih daripada manis. Hasilnya tentu mengecewakan tetapi setidaknya ada daripada tidak sama sekali.


Meskipun tidak ada Bakso Malang yang istimewa di sini, tetapi aku punya dua tujuan utama kalau mau makan bakso. Pilihan paling bijaksana adalah membeli Bakso Solo Cak Budi di Jalan Pidana Raya yang selalu dipenuhi Pegawai Negeri Sipil ketika jam makan siang atau Pondok Manunggal Rasa Bakso Solo di Jalan Kh. Soleh Ali.


Kalau di Cak Budi, baksonya penuh daging dan bisa pilih bakso urat, dan spesialnya ada bakso isi telur. Kalau di Pondok Bakso Solo, bisa tambah potongan daging yang lembut. Dua bakso ini cukup menghiburku di Kota Tangerang meskipun tetap tidak mengobati rasa rindu Bakso Malang.


Sedikit peringatan, jika kamu adalah introver dan punya people peaser trait sepertiku, sebaiknya berlatih H-1 sebelum membeli di kedua warung tersebut. Kamu tidak akan dilayani kalau tidak berani meminta abang-abang tersebut melayanimu. Persiapkan mentalmu sebaik-baiknya, ya?


Hari-hariku di Kota Tangerang tidak ada yang kurang lagi kalau mau beli Tahu Tek, Sate, Bakso, bahkan Nasi Bebek Khas Madura mudah ditemukan. Aku juga suka Laksa khas Kota Tangerang yang ada di pinggiran jalan sebelum ke Tangerang City Mall. Aku suka suka bahwa memesan Ketupat Sayur di mana pun pasti enak. Aku juga pernah bengong di tepi Sungai Cisadane yang sebenarnya tidak ada indah-indahnya karena masih ada sampah di sana sini tetapi seru juga.


Jadi sebagai mba-mba Jawa, aku cukup menyukai kota ini meski tidak cukup yakin apakah aku mau bertahan di sini untuk 10 atau 20 tahun selanjutnya.


0 comments: