Beberapa hari lalu saya memberi tantangan kepada teman-teman Instagram untuk #MengopiBersamaAyah—mumpung yang Ayahnya masih bisa meneman...

#MengopiBersamaAyah: Semua Jadi Beda karena Secangkir Kopi


Beberapa hari lalu saya memberi tantangan kepada teman-teman Instagram untuk #MengopiBersamaAyah—mumpung yang Ayahnya masih bisa menemani. Hanya iseng, nggak ada yang melakukan juga nggak papa, ada yang mulai tergerak menghubungi Ayahnya—saya bersyukur, tapi yang bikin saya makin seneng adalah… yang kasih komentar banyak banget!


Banyak yang bercerita di foto tersebut dengan kisahnya masing-masing. Mulai cerita kemesraannya bersama Ayahnya sampai yang sekadar bilang, “Nggak suka kopi, Meg.” Ada juga yang bilang Ayahnya nggak bisa diajak ngopi gaul, ada juga yang bilang susah.

Iya, emang susah.

Pun saya yang akhirnya berhasil melakukan, awalnya susah. Saya dekat dengan orang tua secara vertikal, nggak secara horizontal. Kami dekat dengan label ‘ayah dan anak’, hampir nggak pernah dengan label ‘teman diskusi’. Setiap keputusan selalu ada perdebatan yang nggak ada ujungnya.

Temen-temen selalu bilang, “Ayahmu selalu gaul ya, Meg?” Padahal di balik penampilan celana jeans dan kemeja yang lengannya selalu ditekuk menjadi tiga perempat itu ada sosok Ayah yang suka ngomel kalau anak cewek satu-satunya ini melakukan hal yang bikin anaknya repot, susah dan semacamnya. Ke pantai nggak boleh lah, keluar kota sendiri harus naik travel lah, dan berbagai rasa sayang yang ditunjukkan dengan cara menyebalkan lainnya.

Di balik quality time keluarga, nggak jarang kami mungkin sibuk bermain hape atau malah membaca buku. Ada beberapa jarak yang susah mendekatkannya, bukan karena salah orang tua saya juga, mungkin emang Allah punya maksud sendiri dari keluarga yang saya punya. Semua orang yang saya ceritakan selalu bilang, “Kamu lah Meg yang paling bisa mendekatkan.” Mungkin karena saya satu-satunya anak yang paling ‘vokal’ alias berisik.

Tapi selama bertahun-tahun, ya gini-gini aja sih.

Apalagi sejak kuliah, saya semakin memberi jarak, semakin jarang pulang—selain karena sofa yang saya tinggali selama kuliah begitu malas untuk ditinggalkan.

Terus apa yang bikin saya berani mengajak mengopi dan pelan-pelan menghapus jarak yang sudah bertahun-tahun tercipta? Karena kapok.

Awal Januari bisa dibilang saya ditampar sebuah fakta bahwa sudah begitu lama menjadi ‘budak cinta’, gitu kata anak-anak masa kini. Bukan dia kok yang salah, saya aja yang terlalu polos, seperti pesannya terakhir, “Jaga diri baik-baik ya, jangan polos-polos,” Saya aja yang menempatkan ‘rasa sayang’ pada waktu dan orang yang salah.

Dia nggak salah kok, dia cowok yang baik dan kami sama-sama masih perlu belajar.

Perasaan menyesal, kapok, trauma, kesel, marah, sedih dan macam-macam lainnya hanya bisa diekspresikan dalam diam. Melamun, pikiran kosong, nggak tau mau ngapain. Sampai ada pesan dari Mas Taufiq—seseorang yang paling berisik nanya keadaan saya pasca-drama putus cinta, “Hargai orang2 sekitarmu, mbak putri ato siapa temen kampus. Bercanda lah. Atau kemana lah. Jgn sendiri.”

Bener juga.

Orang pertama yang saya kontak adalah Ayah. Harusnya ‘rasa sayang’ itu ditempatkan pada waktu dan orang yang tepat, ya orang tua. Seperti yang Mbak Rossyta Martha sering sampaikan, intinya kalau menikah itu akan dihadapkan dengan orang yang sama selama bertahun-tahun, sekarang tempatkan dahulu rasa sayang pada orang yang tepat yang selalu kita temui setiap hari, bertahun-tahun, ya orang tua.

Dengan rasa kapok, sedih dan mata yang udah sembab pesan yang terkirim melalui Whatsapp ke Ayah begitu mengalir, nggak ada beban atau bahkan gengsi. Mas Taufiq kembali berpesan, "Jangan sibuk hapean lho nanti."

Awalnya sempat di-PHP oleh Ayah yang urusannya sebanyak bintang di langit, padahal pagi itu udah dandan, siap untuk ngopi. Tapi Ayah bilang diganti setelah maghrib, setelah bilang ‘nanti siang’ diganti ‘nanti sore’ dan akhirnya ‘abis maghrib ya’. Saya sengaja ajak ke Telescope, kedai kopi yang sering saya datangi, yang setiap personil di dalamnya sudah saya kenal. Ya karena saya juga yang harus traktir, yang murah aja ya Yah hahaha.

Paginya pun udah kirim pesan ke Mas Ambon—salah satu pemilik Telescope kalau mau mampir dan ngajak Ayah. Jadi suasana pasti bakal asik di lokasi dan bener dong. Baristanya waktu itu ada Mbak Tata sama Ersa—temen saya. Semuanya asik diajak ngomong, yang ada Ayah malah sibuk nanya-nanya soal kopi, alat seduh kopi, dan banyak hal lagi lainnya.

Once more, makasih banyak Telescope! Bar kalian memang magis, orang-orangnya asik secara natural. Mwah! 


Di akhir mengopi Ayah tanya, “Ini ada apa sih? Ayah curiga kamu ada apa-apa deh.”

Saya cuma jawab dengan ketawa, “Iya nanti di mobil aja.”

Lalu kami pulang dan di perjalanan akhirnya saya bilang dengan ragu, “Ini perayaan kecil-kecilan aja, aku abis putus hehehe.” Lalu obrolan malam yang tertunda di kedai kopi karena Ayah terlalu excited dengan proses penyeduhan kopi terganti di dalam mobil.

Awalnya susah, awalnya terasa nggak penting, tapi percaya deh, semua jadi beda hanya dari secangkir kopi. 

7 comments:

  1. selanjutnya #mengopibersamaibu karena ibu selalu beranggapan bahwa kopi itu mengandung zat semacam narkoba yang membuat si peminum kecanduan, dan ibu pula yang melarang anak laki lakinya ngopi malam, karena katanya ngopi malam sambil begadang itu nggak baik, yang mana citranya lekat dengan preman hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha bisa ajaaa. Iya nih lagi berusaha buat #MengopiBersamaIbu xD

      Delete
  2. Kok aku terharu sekali sih Meg baca ini :'') Emang.. aku kadang juga merasakannya mungkin efek beda generasi atau bagaimana there are some things yang kurasa ayahku juga tidak bakal mengerti makanya aku nggak cerita. Salam untuk ayahmu ya. Semoga kalian bisa ngopi bersama sering-sering setelah ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yas, makanya mumpung belum jadi orang tua, prinsip "mau belajar dengan generasi selanjutnya yang punya hidup di zaman berbeda" harus dikuatin ya ir. :'D

      Delete
  3. emang ya kak, story bareng ayah/bapak selalu bisa touching ke ati.
    bukan "budak cinta' tapi pas lagi cinta emang suka bikin otak radak buntu deh dan pasangan ga positif bisa bikin jarak sama orang-orang kita sayangi, kayak ortu misalnya.
    menginpirasi kak, aku biasanya quality time sama bapkku pas nonton soale kita emang suka banget nonton, tapi jarang banget soale pulang ke rumah pas lebaran ato pas bener2 ada acara keluarga aja. hehehehe

    ReplyDelete