Cie, main ke Jakarta cie. Foto: Taufiq Anam. Sepuluh hari di Depok dan mencicipi kopi di dua tempat saja menurut saya sia-sia banget. Ak...

Keliling Jakarta Bersama Lovely Guide

tips keliling jakarta
Cie, main ke Jakarta cie. Foto: Taufiq Anam.
Sepuluh hari di Depok dan mencicipi kopi di dua tempat saja menurut saya sia-sia banget. Akomodasi yang nggak murah lalu mainnya cuma di situ-situ aja kan yah sayang. Tapi rasa sedih itu terobati dengan Alhamdulillah dapet juara dua dan jalan-jalan keliling Jakarta, yay! Nggak sepenuhnya keliling juga sih, tapi mampir ke beberapa ikon Jakarta dan naik Transjakarta. Jalan-jalan kali ini nggak sendirian, tapi bersama lovely guide Taufiq Anam.

Hampir di setiap perjalanan bersama lovely guide, selalu nggak tau mau kemana. Dua kalimat pamungkas saat mau jalan adalah: “Yah lihat ntar lah.” atau “Yaudah kita makan dulu baru ngobrol mau kemana.” Nggak jarang udah di jalan terus masih nggak tau mau kemana.

Bener aja, setelah makan bubur ayam di kawasan Jalan Tole Iskandar Depok baru lah kita tau mau kemana. Awalnya saya udah bilang nggak papa kok kalau di sekitar Depok aja—karena ternyata banyak kedai kopi tersembunyi yang seru untuk di-explore, tapi Mas Taufiq ngajakin ke Kota Tua Jakarta. Dari awal dia udah pengin banget ngajakin ke situ, tapi dalam batin saya hanya bertanya-tanya, “Emang di sana ada apa yah?”
kota tua jakarta
Satu-satunya yang saya pikirkan tentang Kota Tua Jakarta. | Foto: durianmetropolitan.wordpress.com

Naik sepeda dengan background gedung putih adalah satu-satunya yang saya bayangkan ketika mendengar Kota Tua Jakarta. Setelah 1,5 jam perjalanan dari Depok ke Jakarta Barat, ternyata bukan hanya ada gedung putih seperti yang ada di pikiran saya sebelumnya. Tapi emang sebuah kawasan old town atau kota tua, lebih dari tiga atau lima museum yang ada di sana, banyak orang yang meramaikan dengan kostum serba kuno, streetfood terjajar di mana-mana, heritage-nya bener-bener terasa!

“Bakal seru nih!” batin saya. Nggak akan cukup waktu satu hari untuk bener-bener bisa keseluruh gedungnya. Tujuan pertama tentu saja gedung putih yang selalu ada di linimasa Instagram yang ternyata namanya adalah Museum Fatahillah. 

Maafkan daku yang banyak comot foto orang karena nggak ada foto yang secihuy ini. Permisi yah penulis blog bayuwinata.wordpress.com, pinjem fotonya dulu.

Dahulu, Museum Fatahillah adalah Balai Kota Batavia, sebagian besar di dalamnya adalah interior autentik. Lovely guide ternyata teman yang asyik untuk diajak main ke museum, karena dia sabar dan ikutan baca penjelasan yang ada di setiap interior-interior tersebut. Yang paling seru sih ketika kami sampai di lukisan tiga putusan pengadilan.

Awalnya Mas Taufiq nyeletuk, “Itu lho yang aku maksud, dewi keadilan, matanya ditutup, satu tangannya pegang timbangan, satunya pegang pedang.”

Ini dia lukisan yang bikin penasaran! Kalau mau lihat lebih jelas, bisa dizoom yah. Foto: Sophia Mega.
Nggak hanya ada dewi keadilan di lukisan tersebut, ada tiga lukisan dan yang paling menarik adalah lukisan kedua atau yang di tengah. “Lho kok bayinya digeletakkan di lantai dan warnanya abu-abu?” Kebingungan tersebut terbantu oleh papan penjelasan, terima kasih papan, kamu sudah menyelamatkan ketidaktahuan kami. Tapi kamu rada ngeselin, kenapa versi bahasa Indonesianya nggak lengkap? Jadi kami harus baca yang bersi bahasa Inggris? Apakah ini indikasi orang Indonesia memang malas membaca jadinya dibuat singkat biar gak bosan? 

Sekitar 10 menit kami di area lukisan tersebut, memahami (sambil foto-foto). Ternyata, lukisan kedua tersebut mengisahkan keputusan adil Raja Solomon saat ada kedua orang Ibu yang memperebutkan hak asuh seorang anak. Tapi yang tetap ‘ganjel’, bayi yang diperebutkan hanya satu, tapi di lukisan ada dua bayi: satu yang dipegang oleh semacam prajurit, satunya tergeletak di lantai dan berwarna abu-abu.

lukisan tiga putusan keadilan di museum fatahillah
Pose kebahagiaan karena sudah tau tiga lukisan putusan keadilan dari Kekaisaran Romawi. Foto: Taufiq Anam.
Kami mencoba memahami sekali lagi, kata Mas Taufiq sih ini termasuk visual literasi, pokoknya berasa kuliah banget deh hahaha. Bedanya, belajarnya lebih seru, nggak sekadar membaca, tapi memahami. Hipotesa terakhir setelah berpikir, berpikir dan berpikir adalah: bayi berwarna abu-abu yang ada di lantai itu adalah perumpamaan dari makna yang mau disampaikan, bahwa Raja Solomon bilang kalau nggak ada yang mau mengalah, bayinya akan dipotong jadi dua. Nah potongan itu lah yang sepertinya menjadi perumpamaan di dalam lukisan. Kalau ada yang tau makna yang sebenarnya, boleeeh banget di-share di kolom komentar ya!

Susah juga ya melukis? (ya iya Meeeg).

spot instagram di museum fatahillah
Yay, punya foto ala-ala Instagram! Foto: Taufiq Anam.
Jendela-jendela di Museum Fatahillah dengan desain minimalis emang asik buat difoto. “Pasti asik kalau di foto di jendela sini dari sana.” Lalu lovely guide ini malah menanggapi serius celetukan saya, duuuhhh just saying kali Mas! Pada dasarnya saya nggak terlalu hobi buat foto-foto ala Instagram, tapi karena lovely guide-nya suka motret (dan se-niat itu), jadi yah rezeki anak sholehah yaaah jadi punya foto banyak (soalnya biasanya yang ngefotoin huhuhu). 

Di area Kota Tua Jakarta sebenernya ada beberapa kedai kopi, tapi selera ngopi saya dikalahkan oleh panasnya kota Jakarta. Tapi masih mending sih di Jakarta Barat ini, di Depok panasnya lebih parah gitu, mataharinya mungkin memang berjumlah sembilan. Cari coldbrew pun udah nggak berselera, mending ke minimarket, menikmati dinginnya AC dan minum air mineral dingin.

Perjalanan dilanjutkan ke Monas! Yaaaa, Monas! Asiknya lagi nyobain naik Transjakarta, dong! Mas Taufiq bilang, “Padahal transjakarta enak lho, full AC dan nggak macet. Tapi kenapa ya masih banyak yang pake kendaraan pribadi.” Lalu kami sepakat sebabnya adalah: orang Indonesia emang males jalan, karena stasiunnya cukup jauh (yang sebenernya nggak jauh-jauh juga kalau emang terbiasa jalan).

Masa katanya mirip sama foto perempuan di belakang... Foto: Taufiq Anam.
Sampai di area monas, kami mampir dulu ke Museum Nasional. Museum yang ini kurang seru sih. Isinya tentang manusia purba dan prasasti-prasasti. Suasananya juga cukup canggih tapi nggak autentik, padahal kan experience dari museum yang bikin seru tuh suasana ‘kuno’nya. Halah alasan! Kamu aja Meg yang nggak pernah ke museum canggih! :p


The Lovely Guide

Mas Taufiq ngajakin foto di depan ikon Museum Nasional Jakarta. Awalnya saya nggak mau, tapi ternyata kalau di tangan yang jago motret bisa beda gitu yaaah. Yaaay punya foto (lagi)!

Perjalanan dilanjut ke monas yang nggak terlalu jauh dari Museum Nasional. Sayang sekali di sana kami gagal foto yang ala-ala memegang monas. Suasananya mendung, jadi kami hanya jalan-jalan dan ngobrol. Lalu buru-buru pulang karena saya udah janjian dengan temen Booktuber Indonesia, Kak Litsa di Margo City, Depok.

Masih dengan Transjakarta kami menuju ke area Kota Tua Jakarta. Aslinya kita udah cepet-cepet mau balik kan, kasihan Kak Litsa nungguin. Tapi betapa mudahnya kami ter-distract oleh streetfood yang ada di kawasan Kota Tua Jakarta. Mas Taufiq nih emang bener-bener memancing, dia bilang, “Aku penasaran deh sama kerang pedas itu.”



Ya saya juga penasaran lah jadinya dan jadi pengin banget! Bukannya cepat-cepat pulang, akhirnya kami masih duduk-duduk lucu dan menikmati kerang pedas. Sebuah menu yang tentu tidak ada di jalanan kota Malang. Mas Taufiq yang tadinya penasaran dengan si Kerang Pedas malah sibuk motret saya makan. Katanya, “Kasihan, kayaknya di Malang nggak pernah makan enak.”

Satu porsi kerang dan satu porsi kepiting siap dibungkus dengan hanya Rp10.000 per-porsinya untuk makanan di rumah daaan akhirnya… waktunya ke Depok! Untung saja sudah tidak ada lagi makanan yang mengganggu perjalanan kami.

Baru saja bahagia akan berjumpa dengan Kak Litsa dalam waktu satu jam setengah, tapi alam semesta tidak mau kalau perjalanan bersama lovely guide hanya berakhir menyenangkan. Alam semesta memang suka gitu, iseng-iseng berhadiah.

Di tengah jalan, hujan deras sudah mulai mengguyur sedangkan kami hanya punya satu jas hujan (yang akhirnya robek karena tentu saja size tubuh kami berbeda hahahaha). Udah cari jas hujan pun nggak nemu, untung Mas Taufiq jaketnya anti air. 

Nggak hanya itu dong, kami tersesat kesana kemari, tapi Alhamdulillah yaah, lovely guide tidak panik. Dia sempat bertanya, “Gak papa? Gak capek?” Ya enggak lah, toh saya cuma diem aja di belakang. Mungkin dia paham, saya adalah.. bad navigator. Jadi map dipegang olehnya dan nggak mengeluh sama sekali. Sepertinya, sebelum jadi guide, dia mendapatkan nilai 100 di poin kesabaran, karena menjadi tenang di kondisi: hujan, gelap, tersesat dan perjalanan masih jauh nggak mudah untuk tetap sabar.

Perjumpaan dengan Kak Litsa nggak lama karena dia harus pulang naik KRL juga. Tapi setidaknya ada banyak obrolan tentang Booktube dan akhirnya Mega berjumpa secara langsung dengan teman yang sama-sama me-review buku di Youtube.

“IH KOK LUCU BANGET SIH,” ucap saya ketika melihat eskrim mini yang lucu.


Lagi-lagi celetukan saya dianggap serius sama Mas Taufiq dengan, “Beli tah?” NOOOOO, JUST SAYING MASSS! Paan sih mzmz ini, orang cuma ngomong doang. Sophia Mega ini nggak suka ngode yaaah!!! Kalau dia mau, pasti dia langsung bilang, “Aku mau beli itu deh.” Tapi akhirnya nggak nolak waktu dibelikan, hahahaha dasar.

Kami nggak lama di Margo City meski awalnya berniat nonton film Kartini. Terlalu malam rasanya kalau nonton film Kartini, mengingat saya harus kembali ke rumah alumni, kan ya nggak sopan kalau pulang jam 12 malam hanya karena nonton bioskop. Selain itu, lovely guide yang asik diajak ngobrol A-Z ini ternyata alergi mall, untuk istri masa depannya, jangan ajakin belanja sampai berjam-jam yah, kasihan hahaha.




Wajah Mas Taufiq semakin terlihat nelangsa, ternyata dia kelaparan (karena seharian lebih banyak motretin saya makan daripada dia makan dan cuma makan bubur). Lagi-lagi nggak tau mau makan di mana, kami terhenti untuk makan Sop Kaki Kambing dan Sate Kambing. Ya Allah, Mega kok nggak ada kenyangnya ya Allah? Nggak tau deh, yang jelas ini enaaak banget!!!!

Kami menghabiskan malam dengan makanan yang wenak sekali dan obrolan-obrolan bercanda yang kadang serius juga. Waktu mau membayar, perasaan saya nggak enak, saya lupa… kalau ini Depok.. bukan Malang. Batin saya udah yakin banget ini bakal kena mahal padahal makan di pinggiran.

Bener dong, waktu ditanya berapa, terucap nominal: Rp73.000. Yah nggak papa, untuk makanan penutup malam ini boleh lah, mengingat Mas Taufiq harus kembali menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Dia tinggal di Tangerang, jadi kalau dihitung dari awal nih ya Tangerang-Depok-Jakarta Barat-Depok-Tangerang. Yaaaa, semoga besok-besok nggak perlu jauh-jauhan lagi ya, sampai ketemu di perjalanan selanjutnya lovely guide, terima kasih banyak!   



6 comments:

  1. Wih, ke Jakarta dan Depok! Ini dari kapan deh?

    Gue juga termasuk yang masih pakai kendaraan pribadi. Iya, naik motor. Wahaha. Alesannya bukan soal males, sih. Soalnya, kalau naik angkot gitu mabokan. :( Tapi kereta nggak, sih. Kalo TJ, rada-rada kuat. Gak bikin pusing kayak kopaja atau sebagainya.

    Yang soal bayi dibelah dua itu kayaknya dari zaman Rasulullah udah ada kisahnya deh tuh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bulan April ini banget koook ;D

      Aku juga gamau naik angkot udahan, lelah :")


      Yasss. Cuma aku lupa deh itu kisah siapa.

      Delete
    2. Seruuu banget ya liburan di Jakarta nya. hihi.
      aku kurang lebih juga sama kayak Yoga. Kalau naik angkot sering mabok :(

      Delete
  2. Asyik bener deh yang jalan-jalan di Jakartaa :))

    ReplyDelete
  3. Sumpah demi apapun, gua baca pas bagian kerang nya jadi kepengen juga, ini efek Mas Taufik sih kayaknya, menggoda banget gitu keliatan nya haha

    mampir juga ya! diansaurs.blogspot.com

    ReplyDelete
  4. Belum pernah blas naik angkutan di Jakarta, beberapa kali kesana cuma dimobil tok. Tapi kayaknya seru juga nih kalau jalan-jalannya kayak gini.

    ReplyDelete