Surabaya sebenarnya bukan kota yang menyenangkan, ada begitu banyak momen masa kecil yang terlintas setiap melihat jalanannya. Dahulu, ...

Tamasya ke Titik Koma Kemarin adalah Mengopi Paling Romantis


Surabaya sebenarnya bukan kota yang menyenangkan, ada begitu banyak momen masa kecil yang terlintas setiap melihat jalanannya. Dahulu, Nenek saya masih begitu sehat, membuka warung kecil dan di belakang warung terdapat kandang ayam dan bebek. Masih begitu teringat, saya bermain sampai gembel dengan ayam dan bebek bersama saudara sepupu.

Masih begitu jelas ingatan saya saat unjung-unjung alias silaturahmi ke rumah tetangga saat lebaran di Surabaya, lalu uang lebaran saya lenyap dicuri entah oleh siapa. Serta potongan-potongan memori yang teringat, tapi tak begitu jelas, seperti mengapa saat kecil saya tiba-tiba bisa ke rumah Nenek dengan Ibu saya dengan menggunakan bis saja tanpa ada kakak atau Ayah. Atau memori kaki kecil saya menginjak aspal yang sedang banjir di Surabaya, saat itu sedang mengunjungi rumah siapa?

Memori-memori itu ternyata membawa aura yang tidak menyenangkan, tapi tidak jelas bagaimana tidak menyenangkannya. Itulah yang membuat Surabaya bukan sebuah kota yang baru, bukan sebuah kota yang menyenangkan untuk dijelajahi tempat-tempatnya, karena ada memori-memori yang membuat saya familiar dengan  cara yang tidak menyenangkan. Tapi tidak jelas apa hal yang tidak menyenangkan tersebut.

Bukan berarti lantas saya membenci kota tersebut, tapi saya yakin dengan membangun momen-momen baru adalah cara menghidupkan Surabaya menjadi lebih menyenangkan. Dan pagi itu, saya sudah di Surabaya dengan Mas, panggilan pacar saya, sebab kami berbeda 6 tahun.


Di Surabaya, wawasan tempat saya hanya ada tiga: Titik Koma Coffee, C2O Library dan Tunjungan Plaza. Tentu Tunjungan Plaza dicoret dari list, sebab saya tahu Mas adalah orang yang tidak suka mall, salah satu sebabnya adalah matanya akan merah jika ada di AC terlalu lama hahahaha. Sedangkan, saya juga membenci ada di mall besar yang membuat kaki capek. Selain itu, bagi saya, bangunan mall raksasa lebih mengintimidasi daripada kantor-kantor tinggi yang ada di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Lagian, kalau di mall, saya pasti hanya akan pergi keempat tujuan: toko buku, bioskop, supermarket (sebab saya suka sekali kalau belanja untuk masak), dan toko kosmetik atau skincare.



Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan setiap ke Surabaya ya ke Titik Koma Coffee. Kedai kopi ini memang memiliki ambience yang ideal dengan preferensi kedai kopi kesukaan saya. Saya memesan dua cappuccino dengan coffee beans yang berbeda, Honduras dan Timor. Serta satu brownie, sebab croissantnya hanya ada yang plain. 


Kopi datang, satu brownie datang, Mas langsung bilang, "Mas, tambah satu brownie lagi." Saya mendelik, "Mas selalu gitu, pesan sesuatu yang bisa dimakan berdua. Nanti mubadzir tahu." Padahal ada satu kalimat yang masih tertahan di tenggorokan, "Nanti kan bayarnya jadi mahal, ini bukan Malang yang semua serba murah." Ia juga tadi minta ngopi di luar agar bisa sambil menyulut rokoknya, jelas saya tolak, sebab ini bukan Malang di mana bisa chill ngopi tanpa AC.

"Hmm.. tadi enak lho batagornya, buat berdua, tapi abis di kamu tuh," jawabnya.

Sial.



Ternyata keputusan Mas tidak salah, BROWNIENYA SANGAT ENAK, sangat lembut dan sempurna dengan es krim vanilla di atasnya. Cappuccinonya, setiap ke sini memang selalu kompleks rasanya, jadi nggak pernah kecewa aja, selalu ada pengalaman baru. Huhu, pagi saya sempurna, secangkir cappuccino yang beneran enak, brownie yang legit dan ada Mas yang bisa diajak ngobrol banyak.

Momen begini sangat jarang, sebab ia di Tangerang, saya di Malang. Dan terakhir kali saya ke Jakarta, lebih sibuk ketemu teman-teman di sana, bukan sibuk pacaran hahahahah.

"Mas, kemarin aku mimpi aku mati. Tapi aneh, setelah mati, aku duduk di sebuah kursi dan aku bingung. Sepi, dan nggak ada yang tanya Tuhanku siapa, agamaku apa. Aku bingung banget..."

"Ya berarti kamu belum mati," ia menyela.

"Enggak! Jangan-jangan emang begitu kehidupan setelah mati, sepi, kita nggak harus ditimbang seberapa banyak kebaikan dan keburukan."


Percakapan itu membawa kami ke banyak obrolan tentang eksistensi kehidupan setelah kematian dari bacaan yang ia baca dan film-film yang saya tonton hahahah. Memahami konsep-konsep keagamaan lain, karena ia sejak kecil hidup di Bali, jadi saya lebih banyak medengar prinsip-prinsip keagamaan orang Hindu. Dan akhirnya memiliki kesempatan mengungkapkan ketakutan, kekhawatiran, mimpi, ambisi dan lainnya secara langsung.

Sebuah hal yang langka, sebab setiap mengopi, kursi di depan saya lebih sering dibiarkan kosong. Kursi hari itu terisi oleh sesosok orang yang bisa merespon obrolan serius dan konyol sekalipun. Kursi itu terisi oleh seseorang yang membuat saya bisa menyampaikan apa yang benar-benar saya ingin utarakan tanpa perlu menutup apapun (kecuali perihal bill yang akan mahal jika pesan dua makanan sekaligus). 

Sorenya saya ungkapkan, "Kamu nggak papa aku ajakin ke perpustakaan kayak gini? Yang biasanya membuat aku nggak ngajakin orang lain jalan adalah, aku takut aku merasa nyaman, tapi orang lain nggak nyaman dengan tempat yang aku suka." Saya terdiam sebentar setelah secara tidak sadar mengungkapkan itu.. terungkap sudah mengapa kursi itu terbiasa kosong.

"Kalau kamu jalan sama aku, jangan pernah berpikir kayak gitu," katanya.


Terima kasih, ucap saya. Lalu saya menuliskan sebuah kalimat di atas telapak tangannya yang lebih banyak berurusan dengan obeng: 'I will miss you'. Dia tersenyum, tapi dugaan saya ia tersenyum karena semakin sadar ia punya pasangan yang sangat cheesy.

0 comments: