Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustu...

Kalau Ke Pantai Sanur (Bali) Membosankan, Mungkin Belum Sambil Mengopi di Infinity dan Makan Lumpiang

Sering saya berpikir bahwa dari banyak orang yang membosankan di dunia ini, setidaknya saya adalah salah satunya. Sebab, sampai pada Agustus 2019 lalu, saya belum memahami esensi dari mengejar matahari terbit dan terbenam. Bahkan apa esensinya main ke pantai. Ya kalau jalan-jalan pasti hanya mampir ke kedai kopi, toko buku, menikmati kuliner, kalau beruntung datang ke acara-acara budaya yang penuh orang dan banyak jajanan hehehehe.

Karena saya tahu betul kemarin ke Bali adalah bersama orang yang mengerti Bali karena sejak kecil ia di sana, sepertinya akan menyenangkan kalau meminta untuk ditemani mengejar matahari terbit dan terbenam, meskipun saya masih saja mempertanyakan esensinya. Berangkatlah pagi itu bersama Mas Taufiq ke Pantai Sanur, Bali.

Kami datang saat mendung, tapi tidak masalah. Suasananya enak buat duduk-duduk sambil ngobrol dan tidak memotret apapun. Tentu bagi orang seperti saya, akan mengganggu jika momen menyenangkan itu dihabiskan dengan 50% mengambil foto diri atau pemandangan. Beruntung, Mas Taufiq juga memahami hal yang sama, ada banyak momen yang seharusnya memang tak perlu mengeluarkan kamera. Kami duduk berjejeran dan respon pertama saya saat tiba sebenarnya adalah, "Mengapa ada air sebanyak ini? Seram sekali." Tentu Mas Taufiq tidak merespon pertanyaan iseng itu.


Saat kami ingin jalan-jalan ke sisi yang lain, hmm, terlihat ada Ibu-ibu berjualan entah-apa-namanya saat saya pertama kali melihat. Memang, mata saya lebih peka pada makanan daripada pemandangan yang indah. Itu adalah lumpiang (yang sebelumnya saya pikir namanya lumpia)!


Hanya saja yang berbeda, yang membuat saya merasa belum pernah menikmatinya adalah, lumpianya disajikan dengan dipotong-potong. Tidak hanya lumpiang, tapi juga ditambah weci (atau ada yang menyebut ote-ote atau abal-abal). Lalu disiram dengan petis, ketika biasanya saya harus menyocolnya dahulu.


Di kepala hanya terpikir rasanya akan biasa saja, rupanya saya salah, ternyata seporsi lumpiang yang hanya 7.000 IDR tetapi banyak itu ENAK BANGET YA ALLAH MONANGIS GIMANA DONG.


Sebelum menyiapkan pesanan saya, Ibu yang menjual sempat minum obat dahulu. Rupanya Ibu sedang sakit karena anginnya di Bali sedang tidak enak. Semoga senantiasa sehat ya, Bu!



Belum cukup dengan lumpiang, dengan rakus saya membeli gorengan, karena harus menunggu jam buka kedai kopi yang persis di pinggir pantai Sanur: Infinity Coffee Bali. Ketika sudah buka, kami hanya memesan satu cangkir kopi susu panas karena hanya ingin mencicipi dan tidak lama di sana.


Tidak ada ekspektasi yang besar, tapi entah mengapa enak banget kopi susunya. Sepulang dari situ, saya bersemangat menyampaikan ke teman bahwa betapa enak lumpiang dan kopi susu yang baru saya nikmati pagi itu. Lalu teman saya, bernama Ridho, anak asli Bali juga menimpali, "Ya sebenarnya enak karena di pinggir pantai. Apa-apa yang di pinggir pantai itu jadi lebih enak."

Hahahaha apa memang begitu? Kalau iya, sekarang saya jadi mengerti mengapa orang sibuk ke pantai saat bagi saya rebahan di kasur jauh lebih nyaman.

Seluruh foto dibidik oleh Sophia Mega.

1 comment:

  1. assalamu'alaykum kaka. ka aku udah baca buku kaka yang judulnya "lo ngerti siapa gue" dan edan bukunya keren banget ka. and after that gua jadi pengen bisa nulis kaya kaka. boleh di kasih tips and trik nya ga nih bua gua yang masih pemula banget .

    btw tahun 2017 waktu terakhir gua ke sanur gua juga beli makanan itu dan asik banget rasanya, dan penjualnyapun tetep ibu ibu itu. hehehehe

    ReplyDelete