Sejak Februari 2020, saya bekerja di Gordi, sebuah coffee shop di Jakarta Selatan yang memiliki e-commerce untuk pelanggan dapat membeli biji kopi dari berbagai roastery yang sudah dikurasi Gordi dari satu platform. Sebagai marketing staff yang baru saja lulus kuliah November 2019 lalu, sebetulnya saya kebingungan akan banyak hal meskipun sejak sekolah di tingkat SMA/MA, saya rajin baca buku marketing. Saat kuliah, bekerja di bagian marketing coffee shop juga menjadi salah satu tujuan besar, itu salah satu sebab mengapa saya banyak mengerjakan proyek-proyek personal dengan kedai kopi lokal pada saat itu.
Ketika akhirnya tujuan besar itu tercapai, saya menyadari betul bahwa saya cuma anak baru lulus kemarin sore yang nggak ngerti soal marketing. Saya coba lagi gali masalahnya apa, sepertinya salah satu sebab selain belum punya banyak pengalaman, adalah karena sebenernya sewaktu kuliah yang saya pelajari lebih banyak soal bagaimana menguatkan brand image daripada belajar soal strategi-strategi meningkatkan penjualan.
Di tengah krisis pandemi yang memberi dampak luar biasa pada bisnis, ini menjadi kesulitan dan challenge tersendiri. Semua strategi marketing kembali pada satu hal: pahami market. Pahami market, mencari tahu pain & gain atau desire & anxiety pelanggan dan strategi-strategi semacam itu memang menjadi kunci utama dan selalu diulang-ulang di banyak buku marketing.
Tetapi masalahnya, cara memahami market itu gimana ya? Ini kebingungan besar di kepala saya.
Buku yang sedang saya baca, This is Marketing dari Seth Godin di 50 halaman pertamanya memang cukup memberikan studi kasus yang membantu memahami pasar. Tapi tetap butuh usaha keras untuk mencoba menerapkan apa yang ada di buku. Hingga pada suatu siang akhirnya saya ke Gordi, dan tidak sengaja duduk di dekat kasir, ternyata banyak insight yang saya dapatkan.
Kejadian 01.
Barista, "Bapak sukanya kopi yang asam atau pahit?"
Pelanggan, "Kopi yang pahit."
Kejadian 02.
Barista, "Menurut lo tadi kopinya gimana?"
Pelanggan, "Sebenernya kurang sih, menurut gue sepet aja gitu."
Barista, "Selera lah yaaaa,"
Pelanggan, "Iya hahahaha."
(Sebenerya kopinya nggak sepet, cuma kayaknya pelanggan nggak terlalu suka kopi yang fruity yang buah-buah gitu kali yah. Kita nggak pernah tahu referensi rasa yang dimiliki orang lain dan proses menerjemahkan rasanya bisa berbeda)
Kejadian 03.
Barista: *sedang berusaha mempersuasi pelanggan untuk beli kopi*
Pelanggan: *membeli menu non-coffee*
Barista, "Susah banget sih jualan manual brew."
Sebetulnya belum bisa menyimpulkan banyak hal dari sini. Seenggaknya, ketika sebelumnya saya bingung harus cari data pelanggan dari mana, apakah harus rumit-rumit membuat survey atau malah mewawancarainya, sepertinya saya harus lebih sering duduk di dekat kasir untuk mengerti kondisi bisnis dan bagaimana target yang sedang dihadapi.
Sebab, pelanggan yang sudah datang ke toko atau coffee shop, berarti ia sudah tahu kehadiran dan tertarik dengan brand kita, bahkan sudah melakukan transaksi. Tinggal bagaimana caranya mereka bisa sering kembali atau dikenal lebih banyak orang lagi.
Bekerja di kondisi pandemi ini bukan hanya memusingkan, tapi juga banyak kesulitan yang sama-sama tak banyak yang mengerti apa solusi yang paling tepat. Tapi seenggaknya, kalau bar Gordi lagi banyak kopi yang enak, bener-bener bisa lupa masalah hidup A-Z sih hahahaha. Yah, segitu dulu cerita 'marketing life' dari anak kemarin sore, kalau ada suatu hal yang menarik, tentu akan ditulis di sini.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletebanyakin tulisan seperti mbak. sangat membantu ku yang juga anak kemarin sore yang nggak punya background marketing, tapi sekarang justru menggeluti dunia marketing.
ReplyDelete