Trigger warning: self-harm Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan ta...

Merasa Sendirian Meski Sebenarnya Tidak Sendiri

Trigger warning: self-harm



Ini sudah jam empat pagi dan aku belum bisa tidur. Seharian menunda banyak pekerjaan karena stres. Pesan-pesan tak mampu kubalas, sisanya aku jawab "sebentar ya". Pikiran-pikiran untuk kembali menghilang dan menghindar muncul lagi. Malamnya kembali menyakiti diri entah karena apa. Lalu mengutuk diri karena sudah menyakiti diri.

Aku menulis jurnal untuk mencoba mencari tahu sebenarnya apa masalahku. Setidaknya ada tiga perasaan yang intens. Pertama, merasa sendirian. Kedua, merasa tidak adil karena harus menanggung kesalahan orang lain tetapi ketika aku berbuat salah selalu ada konsekuensi mengerikan di depan mata, minimal dimarahi orang lain. Ketiga, perasaan takut berbuat salah atau bertingkah bodoh selalu menyelinap dan semakin memenuhi isi kepala.

Padahal aku tahu bahwa aku tidak pernah sendirian. Bahwa perasaan tidak adil tersebut belum tentu benar, sebab itu semua terjadi hanya karena aku merasa tak perlu menuding siapa yang salah dan memilih membicarakan bagaimana semuanya perlu dibereskan. Atau perasaan tidak adil tersebut hadir karena aku yang mengizinkan untuk diperlakukan tidak adil oleh orang lain, mestinya aku bisa mengutarakan keberatanku. Bahwa sebenarnya aku tak perlu takut berbuat salah, tak ada yang perlu ditakuti karena berbuat kesalahan-kesalahan bodoh atau karena menunjukkan diri yang suka sekali berisik di internet misalnya.

Lagi-lagi hati dan otak yang tak mau akur. Otaknya mampu berpikir, tetapi hatinya masih menetap pada rasa takut yang lama.

Kemudian aku mulai mengorek-ngorek memori lama. Mengapa aku merasa sendirian? Mengapa aku selalu merasa tidak adil? Mengapa aku selalu takut berbuat salah? Apa karena ketika kecil aku harus menyimpan segalanya sendirian? Apa karena sejak kecil bahkan hingga dewasa kerap harus membereskan pertengkaran orang-orang dewasa yang tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri hingga sering merugikan hidupku? Apa karena sejak kecil aku harus menerima konsekuensi buruk setiap melakukan kesalahan-kesalahan bodoh?

Walau mungkin itu ada hubungannya sekalipun, tak ada gunanya juga diungkit-ungkit. Bagaimana caranya meninggalkan perasaan-perasaan yang mengendap? Bagaimana bisa hidup di sini kini? Be present. Tidak hidup di masa lalu maupun di masa depan? Mungkin jawabannya baru bisa kutemukan di ruang konseling.

0 comments: