Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucap...

Pencuri Kebahagiaan itu Bernama Inner-critic


Sudah dua minggu berlalu isi kepalaku begitu penuh diisi apa saja yang kira-kira bisa membuat kepalaku ingin meledak. Mulai dari ucapan-ucapan bodoh apa saja yang aku katakan ketika sedang live di Instagram sampai mengapa semalam aku mimpi didatangi anjing liar yang berubah jadi manusia. Lalu aku mulai bicara pada diriku sendiri bagaimana kronologi anjing liar itu bisa berubah jadi manusia. Bahkan mimpi pun tak mengizinkanku berhenti berpikir.

Malam ini sepertinya emosi-emosi itu sudah menuntut jadi pusat perhatian. Dia tidak mau diabaikan, apalagi dianggap tidak ada. Aku mendadak ingin berteriak dan menangis sesenggukan. Ada dorongan menyakiti diri dengan genggaman tangan yang kuat tetapi kulawan. Akhirnya aku malah membereskan sprei kasur dengan kasar untuk melepaskan energinya. Lumayan, kasurku jadi rapi. 

Dorongan menyakiti diri itu kemudian berganti menjadi sensasi tubuh di bagian punggung atas yang berharap ada seseorang yang menepuk-nepuknya. Suamiku mencoba menepuk-nepuk punggungku, tetapi aku minta tepat di titik itu untuk menenangkanku. Lalu aku bilang, "Sepertinya aku ingin beli makan. Aku nggak lapar, tapi aku mau makan." Ini dia penyebab nomor satu sulit turun berat badan, setiap stres selalu makan.

Satu hal yang paling aku sadari dari penyebab ledakan emosi malam ini adalah, aku selalu bersikap netral pada sebuah pujian dan prestasi, tetapi sangat rapuh ketika mendapati kekurangan diri. Hatiku tak berbunga-bunga saat seorang kawan bilang, "I give your book solid 5 stars." Tetapi saat menjadi pembicara, pikiranku pergi kemana-mana sampai membuatku berpikir, "Bukuku tipis banget, ya."

Lalu aku harus berkali-kali bicara pada diriku sendiri bahwa tak ada yang salah dari buku yang tipis. Justru itu akan membantu pembaca yang sedang malas membaca buku-buku tebal--sepertiku. Hal yang paling penting dari sebuah buku adalah isinya, dan aku puas dengan apa yang kutulis, lalu mengapa pikiran numpang lewat di saat jadi pembicara itu mengganggu, sih?

Di saat yang lain aku merasa bersalah karena telah melakukan sesuatu yang sesuai prinsipku tetapi mungkin membuat orang lain tidak nyaman. Padahal itu hanya perkara ketika aku ditanya 'bagaimana kabarmu, Mega?' lalu aku menjawab dengan 'sekarang sih sedang diliputi perasaan bersalah apakah aku sedang mengutamakan diriku karena bukuku terbit dan melakukan hobiku, ya begitu kabarku'. Setelah obrolan itu selesai, aku mengutuk diri, kenapa sih harus jawabnya begitu?

Untuk membuat diriku  tenang, aku harus berkali-kali bilang pada diriku bahwa tak ada yang salah menjawab pertanyaan 'bagaimana kabarmu?' dengan jujur. Aku, kan, memilih menjadi jujur sebab kabar yang jujur dari seorang teman pun yang selalu kunantikan. Aku, kan, tidak berharap dipuk-puk orang lain juga? Apaan sih, Meg? 

Ketika suara-suara kecil mengkoreksi diri sendiri bermunculan, suara-suara yang lain tak mau kalah. Muncul suara kesedihan mengapa berat badanku sekarang kembali seperti saat aku hamil. Padahal di waktu yang sama, aku sudah tahu pakaian seperti apa yang kusuka dan membuatku nyaman dengan bentuk tubuh apapun.

Lalu teringat wajah-wajah orang yang paling rajin mengingatkan betapa gendutnya aku dan tak suka kalau mereka dalam keadaan baik-baik saja sementara aku meringkuk di kasur yang baru saja aku rapikan dengan emosi tadi. Aku tidak tahu mengapa perasaan "tidak adil" selalu saja menggema kapanpun pikiranku sedang kosong. Yang kemudian perasaan itu bisa saja menenggelamkanku dalam permainan membandingkan diri dengan orang lain tanpa alasan yang jelas.

Permainan itu jelas membuatku kalah karena berujung pada kesimpulan hidup begitu sia-sia untuk dijalani. Betapapun aku berusaha menjalani kehidupan ini sampai waktuku selesai, tak ada sebuah titik di mana aku merasa melakukan sesuatu dengan baik. Aku selalu dikutuk oleh perasaan payah pada setiap hal yang kulakukan.

Saat ini aku hanya sudah tahu bagaimana selalu hadir setiap suara-suara kecil sialan itu sibuk mengutuk diriku. Tetapi ternyata aku belum benar-benar tahu bagaimana aku bisa menjalani hari-hari dengan fokus tanpa terbayang-bayang oleh suara-suara kecil tersebut. 


0 comments: