Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi...

Menutup Buku Self-Improvement untuk Bertahan Hidup

Hampir satu bulan sekali aku pergi menemui psikolog dan psikiater. Obat antidepresan dan antiimpulsif sempat jadi menu khusus harian. Tetapi itu semua tak segera membuatku berhenti menyangkal kalau diriku tidak baik-baik saja.


Aku merasa masih baik-baik saja. Aku tidak mengalami panic attack maka artinya aku tidak perlu berlebihan dengan kondisiku, kan? Aku tidak punya diagnosa maka berarti baik-baik saja, kan? Bahkan ketika aku menyebut diriku mulai gila, ada yang menyebut itu berlebihan. Seorang teman pun menasihatiku, "Jangan sampai PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), Meg. Itu tidak enak."


Setiap ketakutan, kecemasan, dan sensasi tak nyaman akan tubuhku memang nyata. Tetapi mungkin memang tak seburuk itu?


Orang yang tak punya diagnosa (lebih tepatnya tidak tahu), tak mengalami panic attack, dan tidak PTSD seharusnya tak perlu membicarakan penderitaan hidupnya seakan sedang mencari validasi bahwa dirinya yang paling susah. Orang yang tak punya gangguan jiwa itu tak perlu rutin konseling. Itu hanya menunjukkan kalau dirinya manja dan ketergantungan sehingga tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.


Mungkin aku memang baik-baik saja. 


Penyangkalan ini mengantarkanku pada buku-buku self-improvement yang meyakinkan kalau aku pasti bisa membuat hidupku tidak berantakan. Aku pasti bisa bekerja dengan baik karena yang menghalangiku punya peforma kerja baik adalah diriku yang tak tahu cara mengatur waktu. Bukan aku yang sering terjebak pada ketidakmampuan mengutarakan kesulitan saat bekerja sehingga mengiyakan banyak hal yang membuatku terlihat tidak mampu bekerja.


Aku pasti bisa membuat rumahku tidak berantakan karena semua hanya perlu dimulai dari memiliki rutinitas pagi yang produktif. Nyatanya ada banyak hari yang membuatku tak mampu bangun dari tidur dan hanya menjalani hari sekadar bertahan hidup agar tak didepak dari pekerjaan. Aku masih butuh makan, sehingga satu-satunya yang membuatku bangun tidur pukul sembilan pagi adalah pekerjaanku.


Aku tahu kita bisa memilih untuk tidak tersakiti dan tidak tersinggung. Tetapi aku tak mampu menahan rasa sakit ketika seseorang mengomentariku, "Kok kamu jadi ibu yang seperti itu." Satu kalimat pendek bisa menusuk hatiku dengan tajam. Hariku berubah yang tadinya berwarna biru kelam menjadi hitam pekat. Aku kembali masuk ke dalam pikiran gelap "aku seorang ibu yang gagal".


Aku masih percaya bisa berusaha memperbaiki diri dalam pekerjaan, menjalani peran ibu, menjemput impian-impian kecilku, dan menyelesaikan tugas-tugas domestik. Sampai akhirnya semua dinding yang aku bangun hancur dalam waktu semalam. Aku tetap buruk di pekerjaan, keuangan tahun ini berantakan, aku tetap jadi ibu yang payah itu, impian-impian kecilku tak kunjung terwujud karena diliputi keraguan, dan aku dipertemukan masalah besar yang kukira tak akan kutemui.


Masalah besar itu seperti menamparku dengan keras. Tamparan itu seperti berkata, "Berhentilah memperbaiki kehidupan. Tak semua perlu kamu perbaiki sekarang. Menyerah lah mengontrol kehidupan. Berserah lah."


Aku tahu cara menyerah pada kehidupan, seperti terpikir ingin menyelesaikan kehidupanku begitu saja. Tetapi aku tidak tahu cara berserah dan pasrah. Mungkin aku bisa belajar berserah dari perlahan berhenti selalu memperbaiki situasi.


Aku menutup buku-buku self-improvement untuk sementara. Selama ini aku hanya fokus memperbaiki diri dan lupa menerima diri dan kehidupan ini. Tanpa penerimaan, aku hanya terus bertemu dengan kekecewaan.


Kini aku belajar menerima bahwa memang diriku dan hidupku sedang berantakan. Aku memang ibu yang payah itu dak tak apa-apa menjadi payah. Aku memang masih belum bisa menjaga tubuhku dan itu tak apa-apa. Nanti aku akan menemukan waktu dan energiku.


Aku belajar berhenti memperbaiki setiap emosi yang kurasakan. Aku memilih merasakan setiap rasa sakit yang membuat hatiku sesak atau frustrasi yang membuat kepala dan tenggorokanku sakit. Aku mengizinkan diriku menangis meski harus berhari-hari. Kalau semua terlalu berat, aku akan tetap konseling dan menutup telinga dari orang-orang yang memilih tak menyediakan ruang di hatinya untuk orang-orang sepertiku.


Kali ini aku mencoba bertahan hidup dengan menerima diri dan sementara itu cukup.



0 comments: