Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser...

Ayah yang Membuatku Cinta Kopi Tetapi Ia juga yang Melarangku Pergi ke Kedai Kopi


Cangkir kopi pertamaku adalah secangkir kopi Indocafe Coffeemix yang diseduh oleh Ayah di rumah. Ayah menyeduhnya dengan air panas dispenser, yang bagiku sekarang itu kurang panas untuk menyeduh kopi kemasan. Aku, yang saat itu mungkin masih usia 7 tahun, sering mencuri-curi untuk menyeruput kopi milik Ayah.


Aku tak pernah tahu apakah Ayah mempertanyakan mengapa kopinya sering tiba-tiba berkurang. Mungkin juga ia sudah tahu kalau pelakunya adalah anak perempuan satu-satunya yang masih kecil itu. Mega, si pencuri kopi, karena sering "ingin menjadi seperti Ayah". 


Ayah yang membuatku familiar dengan kopi. Ia juga yang memperkenalkanku dengan berbagai macam jenis buku dan membuatku terbiasa membaca buku. Sejak kecil aku sering diajak ke toko buku, dan itu membuatku lebih terbiasa menghadapi banyak rak buku dan menelusurinya satu-satu. Aku sejak kecil juga selalu melihat Ayah sibuk dengan komputer atau laptopnya untuk menulis dengan secangkir kopi dan buku-bukunya.


Secara tidak sadar, "aku menjadi Ayah". Sejak mengenal dunia blogging, aku jadi gemar menulis. Ketika menjadi 'anak madrasah' tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) sekitar pada tahun 2015, aku mulai familiar dengan kedai kopi. Sejak saat itu aku sering menghabiskan waktu sendiri di kedai kopi untuk menulis.

 

Baca tulisan pertamaku mencicipi Americano saat kelas 3 SMA:

dW Coffee Shop: Nyaman untuk Blogger


Barangkali tak berlebihan jika aku menyebut Ayah lah yang membawaku menjadi 'Mega yang hari ini'. Mega yang ingin terus menulis dan minum kopi secara berlebihan. Barangkali secara tidak sadar, aku memang ingin "menjadi seperti Ayah", tetapi sayangnya justru ini yang membuat hubunganku dengan Ayah memburuk.


Aku semakin menghindari Ayah sejak pertama kali ia menertawakan kegiatan yang paling aku cintai ketika SMA. "Nulis, kok, di blog. Nulis itu di koran, lah," kata Ayah. Bahkan Idulfitri tahun ini, aku masih mendengar Ayah bercerita tentang hal yang sama, ia masih produktif menulis di koran, dan mengulang nilai yang amat ia percayai, "Tingkatan menulis paling baik itu, ya, menulis di koran."


Ketika SMA, aku tak pernah sadar bahwa ucapan sederhana itu membawaku menjadi orang yang kerap meragukan diriku sendiri. Rupanya komentar-komentar Ayah membawaku pada kebiasaan mencari validasi dari orang lain. Bila orang lain menilai itu buruk, maka aku perlu percaya, sebab aku selalu jadi 'anak kecil yang nggak tahu apa-apa daripada orang lain".


Seseorang bahkan pernah bilang padaku, "Mega, jangan terbiasa langsung lari setiap ada satu kejadian buruk." Komentar itu datang dari bosku ketika aku mengundurkan dari pekerjaan karena aku pernah datang telat bekerja satu kali. Tetapi yang aku ingat, melakukan satu kesalahan sangat mengerikan, memalukan, dan aku merasa tidak berhak atas hal-hal baik tersebut.


Pola itu pun berulang dalam banyak hal, hanya karena satu kritik, aku bisa berhenti melakukan hal yang paling aku cintai. Tahun 2019 aku berhenti menulis tentang kopi karena dikritik banyak orang. Bila aku melihat diriku dengan Mega yang udah lebih dewasa lima tahun saat ini, aku bukan perlu berhenti menulis kopi, tetapi aku hanya perlu belajar bahwa penulis bisa salah dan hanya perlu bertanggung jawab atas kesalahannya. Tetapi aku justru menganggap "karena aku sudah berbuat salah, maka aku tidak layak melakukan apapun tentang ini, karena itu memalukan".


Rasa malu itu familiar pada setiap waktu mencari validasi dari Ayah. Ketika ada satu pencapaian yang aku lakukan sementara tak sesuai dengan standar Ayah, ia kerap meninggalkan komentar dengan sedikit tertawa. Tawaan itu menyakitkan buatku yang masih belajar dewasa. Tawaan itu mengingatkanku bahwa "aku memalukan". Tawaan itu tak aku butuhkan dari sosok yang paling aku nantikanuntuk mendapatkan petunjuk paling bijaksana yang semestinya membantuku menjadi lebih dewasa.


Ayah yang membuatku suka menulis, tetapi ia sendiri juga yang memaksaku untuk mengikuti standarnya dalam 'menjadi penulis'. Meskipun aku 'secara tak sadar' tetap ingin menjadi Ayah, tetapi diriku yang remaja juga punya dorongan untuk tak pernah sepakat dengan Ayah. Aku tetap saja menulis blog dan kini "bisa hidup" dari pekerjaan membuat konten di internet. Aku memilih untuk percaya pada apa yang aku sukai, tetapi ini juga yang membuatku terkesan menjadi "anak keras kepala" hanya karena aku "anak perempuan yang tahu mauku apa".


Ibuku bahkan pernah bilang, "Kamu itu keras kepala seperti Ayahmu. Cuma mau melakukan sesuatu yang cocok dengan rencananya."


Suatu hari aku ingin memperbaiki hubungan dengan Ayah. Aku ingin lebih banyak ngobrol dengannya. Aku mengajaknya mengopi bahkan membuat segmen khusus 'Mengopi Bersama Ayah' di Instagram dan blogku. Tahun 2017, aku memperkenalkannya dengan satu kedai kopi di Kota Malang yang punya kopi enak dengan harga terjangkau: Amstirdam Coffee.


Niat baik memperbaiki hubungan dengan satu hal yang sama-sama kami sukai, yaitu kopi, pun tetap gagal. Setelah mencicipi kopi di Amstirdam Coffee, Ayah bilang tiga hal. Pertama, Ayah suka sekali dengan pertemuannya dengan pemilik Amstirdam Coffee yang merupakan orang India karena ia baru saja melakukan penelitian di India. Bahkan Idulfitri kemarin Ayah masih cerita ingin kembali ke India karena negaranya begitu menarik. Kedua, Ayah sangat suka dengan kopinya, bahkan hingga tahun 2024, ia sangat bergantung dengan biji-biji kopi dari Amstirdam Coffee untuk membuat kopi di kantornya. Ketiga, Ayah justru melarangku pergi ke kedai kopi setelah aku ajak pergi ke sana.


"Jangan sering-sering ke sini, lah," kata Ayah begitu singkat.


Ayah tidak pernah menjelaskan alasannya tetapi yang aku pahami adalah lagi-lagi Ayah menjadi tukang ngatur yang sama sekali nggak asyik. Tetapi aku yang kini banyak membaca buku-buku tentang gender akhirnya memahami maksud Ayah. Aku jadi sadar itu hanya bentuk kekhawatirannya tetapi karena ia begitu gagap untuk menunjukkan kepeduliannya dengan baik, ucapan yang hadir akhirnya dalam versi yang tidak asyik sama sekali.

Amstirdam Coffee saat itu memang masih kecil, sempit, dan tersembunyi. Orang bisa menyebutnya 'hidden gem' atau 'underrated coffee shop' saat itu, hanya saja istilah tersebut belum jadi tren di 2017. Berbeda dengan Amstirdam Coffee hari ini yang berubah menjadi sangat luas, punya beberapa cabang, tetapi ada satu hal yang masih sama ketika aku datangi kembali di tahun 2023: Amstirdam Coffee masih dipenuhi laki-laki.


Melihat suasana Amstirdam Coffee yang gelap (karena malam), kecil, dan tersembunyi barangkali membuatnya khawatir itu bukan tempat aman untuk anak perempuannya. Sayangnya, buku-buku tentang gender juga yang membuatku sadar itu adalah "nasihat yang tidak adil". Untuk membuat anak perempuan mendapatkan lingkungan aman, ia harus dilarang keluar rumah. Bukannya anak laki-laki atau laki-laki dewasa yang dididik untuk tidak menjadi predator.


Selengkapnya tentang cara mendidik anak perempuan dan laki-laki yang tidak adil dapat dibaca di buku 'Akhir Penjantanan Dunia: Psikologi Feminis untuk Pembebasan Laki-laki dan Perempuan'.


Malam Mengopi Bersama Ayah hari itu malah membuatku menyembunyikan diriku dari Ayah. Aku bahkan tak mengundangnya di setiap acara rilis buku-buku terbaruku. Bahkan tak ada nama Ayah di setiap buku yang aku tulis hingga ia begitu kecewa.


Ayah pernah bilang, "Kamu itu Ayah belikan buku-buku, tapi malah nggak ada nama Ayah di bukumu."


Jelas ia amat kecewa karena justru yang aku tulis dalam bukuku adalah nama pacarku (yang kini menjadi suamiku). Saat itu aku sungguh kehilangan orang yang mempercayai setiap yang aku cintai, ketika menemukan pacarku yang menjadi suamiku, aku merasa menjadi "lebih kuat" setiap berkarya karena merasa punya dukungan darinya. Terdengar romantis, tetapi sebenarnya ini juga tak sehat-sehat amat. Mestinya alasanku menulis datang dari diriku, bukan datang dari ada yang mendukungku atau tidak. 


Kini, ketika aku dewasa, aku tetap tak membenarkan nasihat Ayahku. Sebagai anak perempuan, aku tak butuh proteksi semacam itu. Aku justru perlu banyak diajari tentang "aku layak dapat perlakuan baik seperti apa dari orang lain". Sementara aku kehilangan kehadiran Ayah sejak kecil, Ayah sibuk bekerja sampai setiap ia bicara, hanya soal mengatur dan marah karena aku tak pernah sesuai dengan standarnya. Sementara aku dibesarkan oleh Ibu yang juga sudah terlalu lelah menghadapi tiga anaknya sehingga yang aku terima adalah omelan harian.


Aku menjadi dewasa tanpa banyak arahan yang jelas. Aku belajar menjadi dewasa sendirian. Aku tumbuh dewasa dengan rasa sepi yang mengakar. Rasa sepi yang membuatku hampir tak pernah lajang karena aku mudah terkesima setiap ada orang yang memberikan perhatian, dan akuselalu merasa butuh orang lain untuk menghilangkan rasa sepi serta demi menjadi bahagia. 


Dibesarkan di keluarga yang aku perlu menebak-nebak apakah Ayah Ibu sedang marah atau tidak, apakah aku perlu menyamanka mereka sehingga tak marah lagi, membuatku jadi perempuan kodependen. Kodependensi dalam sebuah hubungan adalah ketika aku baru merasa bahagia bila sudah membuat orang lain bahagia. Aku mendapatkan pengetahuan ini dari buku Toxic Relationsh*t yang ditulis oleh Diana Mayorita.


Itu yang membuatku merasa "memiliki pacar membuatku lebih mudah menjadi bahagia" karena aku "mengurus" pasanganku dengan loyal. Sementara aku kerap tak mendapatkan kepedulian yang sama dari pasangan-pasanganku sebelumnya, sebab banyak laki-laki yang memiliki "mommy's issue". Sehingga mereka mencari pasangan yang bisa menjadi pengganti ibu untuk bisa "mengurusnya", bukan kekasih yang dapat diajak hidup bersama dengan prinsip ketersalingan dan kesetaraan. 


Aku tidak menyangka dari keisengan mencicipi kopi Ayah dapat membawaku pada dinamika relasi dengan Ayah yang rumit dan cukup mempersulitku ketika tumbuh dewasa. Aku masih tak megelak bahwa ada banyak kemiripanku dengan Ayah. Aku sejujurnya masih ingin melanjutkan S-2 dan banyak mengajar seperti Ayah. Bahkan ketika aku tidak sadar, aku bisa saja nyeletuk, "Jadi profesor kayak Ayah aja lah." Sebab Ayah selalu menganggap kehidupan paling baik dan keren adalah sekolah tinggi dan menjadi sepertinya.


Aku tahu, Ayah merupakan sosok yang progresif. Ia adalah laki-laki dari Madura yang berjuang untuk sekolah tinggi hingga menjadi profesor. Tetapi tak berarti ia perlu memaksakan standarnya padaku hingga aku selalu merasa gagal dan tak pernah cukup baik. Tak berarti standarnya membuatku kemudian menyimpulkan kehidupanku hari ini begitu gagal.


Aku yang sebentar lagi berusia 27 tahun pun masih terus berusaha mengenali diriku. Aku sedang berusaha keras mengenali apa tujuanku dengan melepas "pencarian validasi Ayah atau Ibu" agar tak terjebak mengejar sesuatu hanya untuk membuat mereka bangga. Bahkan tahun 2023 kemarin aku memaksa diriku untuk tak daftar beasiswa S-2 sama sekali untuk mencoba menelusuri kembali keinginanku melanjutkan kuliah itu 'demi Ayah' atau karena kebutuhan dan kemauanku.


Aku berusaha keras memperbaiki diri yang kerap "ingin dapat hasil sempurna" pada setiap hal yang ingin aku kejar hingga membawaku pada lubang-lubang gelap depresi. Tahun 2023 aku sampai mencoba kembali memperbarui pemahamanku tentang Tuhan. Sebab selama ini aku merasa Tuhan hanya datang untuk memberiku hukuman, dan kalau aku cukup beruntung, kebaikanku yang nggak seberapa itu bisa mengantarkanku pada surga. Aku mencoba mengenali Tuhan yang sebenarnya Maha Pengasih dan Maha Penyayang itu agar aku tidak berusaha keras sempurna pada setiap hal dan berkali-kali kecewa dengan diri hanya karena "gagal menjadi sempurna".


Aku berusaha keras memperbaiki karakter-karakter bawaan Ayah Ibu dengan bolak-balik psikoterapi atau konseling ke psikolog. Ini perjalanan menjadi dewasa yang tak mudah, tetapi aku yakin layak diperjuangkan meskipun membuatku sangat relevan dengan bercandaan "uang habis hanya untuk sushi dan pergi ke psikolog" atau "self-reward dengan overpriced coffee" hanya karena itu satu-satunya reward dari bekerja keras yang mampu kami bayar hahahahaha.


Perjalanan menjadi dewasa memang tidak mudah. Aku tak banyak bangga dengan sikapku yang kurang baik hanya karena aku belum cukup dewasa. Tetapi aku masih cukup semangat menyambut versi-versi terbaik dalam diriku di tahun-tahun selanjutnya. Aku cuma berharap, aku diberi kasih dan rezeki oleh Tuhan untuk menghabiskan masa tua dengan penuh kebijaksanaan dan secangkir kopi sederhana untuk dihabiskan sambil melamun. Amen for that! 

1 comment: