Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 t...

Mengapa Mendambakan 22 Tahun Saat Menjadi 27 Tahun Terasa Lebih Baik?

Aku dibesarkan seperti kebanyakan perempuan lainnya. Satu-satunya persiapan matang yang perlu dipikirkan adalah melahirkan sebelum usia 30 tahun, sisanya belakangan. Menikah dan melahirkan selalu jadi target besar yang lebih penting dipikirkan daripada punya karir atau impian besar.


Setidaknya begitu yang diajarkan oleh orang tua, guru, bibi, atau bahkan teman sesama perempuan. Nasihat yang belakangan Ibuku lontarkan juga masih sama, “Kamu S2 dulu aja baru punya anak kedua.” Padahal aku ingin punya satu anak saja.


Punya seorang suami yang mau belajar membagi peran dengan setara, seorang anak laki-laki, pekerjaan remot, dan beberapa hobi di usia 27 tahun terasa seperti memenangkan lotre. Aku seperti punya segalanya yang “semestinya dimiliki perempuan”. Tetapi perempuan memang diberi kutukan “harus terus merasa kurang”. Menikah dan punya satu anak belum sepenuhnya cukup, kami masih punya beban “memiliki anak kedua” dan tetap cemerlang di usia 30 tahun.


Pertanyaan “anak kedua” bukan membuatku cemas dipaksa punya anak lagi. Aku hanya takut menyakiti orang yang bertanya karena aku paling malas repot-repot berbohong. Ibu Mertuaku saja sampai kapok menanyai anak kedua padaku karena katanya, “Ibu takut dibuat status sama Mega.”


Terakhir kali bibiku bertanya tentang anak kedua juga berujung tidak menyenangkan. Aku pura-pura tidak dengar jadi dia mati kutu obrolannya tak ada yang merespon. Aku hanya kasihan pada mereka yang ingin setia menjadi mitra patriarki dengan berprofesi sebagai polisi moral untuk memastikan setiap perempuan harus punya minimal 2 anak.


Usia 30 tahun membuatku takut karena banyak lowongan kerja hari ini yang membatasi usia dalam keterangan semacam “wanita maksimal 27 tahun”. Seakan hidup akan berhenti setelah usia 27 tahun dan kita tidak perlu lagi cari uang untuk sesuap sashimi atau secangkir kopi spesialti”. Kekhawatiranku itu masih sepele dan masuk akal, sebab aku punya seorang teman yang gelisah tidak bisa masuk Forbes 30 Under 30 karena telah berusia 30 tahun. Aku jelas bengong dan bergumam, “Mengapa aku tidak pernah terpikir ingin masuk ke dalam daftar Forbes 30 Under 30, ya?”


Mengkhawatirkan usia bertambah dan merindukan usia muda selalu jadi formula paling tepat untuk membuat kita tidak berbahagia. Tepat seperti yang Haemin Sunim tulis dalam bukunya “When Things Don’t Go Your Way”, tarik-menarik antara “grasping” atau “ingin memiliki” atas hal yang kita dambakan dan “resisting” atau “menolak”atas hal yang kita miliki membuat kita nggak menemukan ketenangan dan kedamaian. Dalam persoalan usia muda dan tua, kita terbiasa menolak fakta bahwa kita tidak lagi muda dan menginginkan masa lalu yang jelas mustahil kita miliki.


Mengapa kita mendambakan menjadi muda saat ia tidak memiliki satu hal yang berharga: kedewasaan?


Aku sempat ingin memutar hidupku kembali menjadi perempuan berusia 22 tahun. Mestinya pada usia itu aku tidak mengambil keputusan A, B, dan C. Ketika melihat perempuan seumuranku, kadang pikiran ‘apakah ada keputusan hidup yang salah kuambil jadi aku tak bisa melakukan ini itu?’ terlintas. Barangkali ini definisi bertengkar dengan diri sendiri yang paling tepat.


Aku mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbeda pada diriku untuk menemukan perspektif yang lebih membantu.


“Apakah kalau aku memilih tidak menikah dan mengejar impianku maka kehidupanku selamat? Tidak juga. Bisa juga aku sibuk pacaran dan terus-menerus bertemu laki-laki brengsek yang mengacaukan kehidupanku karena aku tidak pernah tahu apa hal yang perlu dibereskan dalam diriku. Kesialan selalu ada di mana-mana.”


“Apakah kalau aku memilih pekerjaan yang baik dengan jabatan keren maka kehidupanku akan baik? Tidak juga. Bisa juga karena aku tidak pernah bertemu dengan berbagai macam pemimpin lalu aku jadi menjadi pemimpin yang buruk itu.”


Kesialan betul-betul ada di mana-mana. Itu sebab aku tersenyum lebar-lebar ketika membaca potongan kalimat ‘Selama kita dapat menerima kebenaran dengan cukup kuat bahwa beberapa kesialan tak terhindarkan, kita tidak perlu lagi merasa khawatir’ dalam buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” pada halaman 6. Hidup tidak pernah berarti baik jika kita mengambil keputusan paling tepat sekalipun. Kebahagiaan tidak pernah betul-betul datang dari luar diri kita.


Usia 22 tahunku memang tak mewajibkanku mencari uang untuk keluarga. Uang dari bekerja hanya untuk jalan-jalan, minum kopi, dan membeli buku yang mustahil dibaca seluruhnya. Tetapi aku punya otak kecil yang tak berfungsi karena masih dihantui luka-luka masa lalu sehingga membuatku mengambil banyak keputusan sembrono.


Usia 27 tahun juga tak berarti buruk atau baik. Tanggung jawab di sana sini dan aku masih perlu berlatih sanggup kecewa. Jika tidak punya kesanggupan kecewa, luka-luka masa lalu menuntutku untuk mengambil keputusan sembrono lagi.


Sayangnya aku masih banyak mengambil keputusan semborono karena belum sanggup memahami lanjutan kalimat dari buku “Berpikir Stoik ala Kaisar Roma” yang tadi. “Kita juga tidak perlu merindukan hal-hal yang kita anggap mustahil selama kita dapat melihat jelas bahwa hal tersebut sia-sia.” Barangkali sia-sia bukan kata yang tepat, “tidak diperlukan” mungkin lebih tepat.


Seperti ajaran OmGe, psikologku yang saat ini kucurigai mengajarkan kami Filsafat Kuno, bahwa mengapa kecewa pada hal-hal yang tidak kita perlukan? Menjadi dewasa adalah saat di mana kita tidak lagi berpikir hal yang kita sukai versus tidak sukai, tetapi hidup dengan keputusan-keputusan hal yang kita perlukan dan tidak perlukan.


Aku memang masih sembrono meski tiga tahun lagi berusia 30 tahun. Tetapi 27 tahun terasa lebih baik karena aku lebih sanggup belajar dewasa dari sebelumnya. Maka aku tidak sabar menemui diriku di usia 30 tahun yang belajar sedikit lebih banyak dari sebelumnya.                                                                     

0 comments: