Trigger warning: self-harm ”Ketika kita tahu diri punya masalah, gimana cara kamu tahu harus ngapain dulu?” tanya seorang teman ketika kam...

Awal Mula Rasa Sepi adalah Duka atas Kehilangan Cinta Kasih yang Mestinya Kumiliki


 Trigger warning: self-harm


”Ketika kita tahu diri punya masalah, gimana cara kamu tahu harus ngapain dulu?” tanya seorang teman ketika kami sedang menikmati es krim bersama.


Pertanyaan yang bagus. Saking bagusnya aku hanya bisa menjawab, “Aku juga tidak pernah tahu karena kesadaran selalu datang belakangan.”


Perihal kesepian misalnya. Aku butuh 4 tahun untuk tahu bahwa apa yang sebenarnya sedang kualami adalah kesepian yang obatnya bukan kehadiran orang lain. Obat dari kesepian ini adalah seseorang yang mau mengerti, peduli, dan menyayangi sehingga aku tak perlu berusaha sendirian.


Kemarin aku meledak lagi dan setiap hal jadi masalah buatku. Setelah kutelusuri lebih dalam seakan ada benang merah di balik setiap amarahnya. Setiap ledakan itu selalu dipancing oleh perasaan sendirian seakan tak ada yang bisa diandalkan.


Ledakan pertama terjadi di sebuah siang Desember 2024, seorang petugas PDAM datang untuk menyegel air karena suamiku lupa membayar. Setelah membereskan perdebatan dengan petugas tersebut, aku menangis karena kelelahan. Kemudian aku mengomel panjang ke suami hingga menyilet tanganku sampai 20 kali sayatan sebab suamiku tak kunjung mengerti dan sibuk membela diri. Padahal sepanjang hidup aku tidak pernah menyakiti diri dengan silet.


Jika boleh mengulang waktu, aku tidak ingin mengomel panjang dan cukup bilang, “Aku tahu faktanya tidak ditinggal sendirian mengurus rumah, tetapi entah kenapa rasanya seperti aku tak punya siapa-siapa untuk diandalkan mengurus rumah ini.”


Pada sebuah pagi di Januari 2025 aku meledak lagi. Itu hari pertama bekerja setelah libur panjang dan aku baru sadar terlalu banyak yang harus dikejar. Suara “kenapa aku harus mengurus ini sendirian” sayup-sayup terdengar. Itu juga hari pertama anakku belajar toilet training dan suamiku sedang kelelahan. Lalu begitu saja suara “haruskah aku menjalani ini sendirian?” terdengar kembali.


Kali ini aku tidak menyakiti diri dengan membenturkan kepala atau menyilet tanganku. Namun kali ini aku menuliskan semua hal yang kupermasalahkan menjadi tontonan warganet di Instagram Story. Aku benar-benar tidak tahu mana yang lebih baik dari menyakiti atau mempermalukan diri. Jelas tak ada yang lebih baik, tetapi aku juga belum tahu bagaimana meledak lebih aman lagi.


Aku ingat betul setiap perasaan “sendirian” datang, dadaku sangat sakit dan punggung bagian atas nyeri. Rasa nyerinya berbeda dari nyeri setelah mengetik berjam-jam. Rasa nyerinya cukup sulit untuk bisa dijelaskan.


Saking lelahnya aku beradu mulut dengan suamiku perihal “ia membiarkanku sendirian dan kesepian”, aku akhirnya menyerah berdebat. “Kita tiduran aja ya. Kita ngobrol sambil pelukan. Tapi tolong pukul agak keras punggung bagian atasku biar terasa sampai dada,” kataku.


“Kita gak perlu ambil keputusan apa-apa dan pelukan gini aja boleh?” kataku padahal aku sendiri yang baru menyulut emosi kami berdua atas persoalan-persoalan yang sungguh tak jelas apa masalahnya.


Suara-suara yang menggema di telingaku sebetulnya telah memberiku tanda bahwa aku punya luka dalam hal “dibiarkan sendirian”. Aku jelas tak tahu dari mana asalnya, tak ingat dan tak ingin tahu juga. Tetapi aku tahu setiap perasaan sendiri muncul, sakit di dada dan punggungku sama persisnya, dan aku selalu meledak.


Rasa sakit semacam itu juga biasa aku rasakan setiap kali baru konseling menceritakan masa kecil. Konseling membahas Ayah Ibu bagiku topik yang paling melelahkan karena aku tak punya ingatan yang kuat tentang masa kecilku. Tetapi setiap kali baru konseling, aku akan sesenggukan dan minta dipeluk erat agar rasa sakit di dada dan punggungku mereda.


Kemarin aku juga menemukan cara baru untuk menyembuhkan rasa sakit di dada itu. Sebenarnya saat itu aku hanya sedang mengopi dengan teman, kebetulan saja mereka sepasang suami istri. Tetapi aku tahu betul mengopi malam itu seperti membawaku pada memori “mengopi bersama Ayah Ibu dalam versi lebih baik”.


Aku lumayan bingung ketika aku sedang menggendong anakku yang tertidur, temanku berkata, “Tasnya dibawain aja.” Lalu ketika anakku tertidur, mereka juga berkata, “Anaknya aku gendong aja sini gantian.” Aku juga bisa makan dengan tenang karena anakku diajak lihat ikan dan aku bisa menghabiskan bakmi hingga habis tanpa mendengar omelan anakku.


Kalau aku terlalu cengeng, pasti aku menangis di depan mereka. Sebab setelah mengopi malam itu, hatiku yang kemarin sakit mendadak hangat dan terasa penuh. Aku merasa tidak sendirian.


Saat itu aku menjadi yakin bahwa apa yang sebenarnya memancing ledakanku. Bukan pernikahanku yang membuatku merasa sepi, tetapi rasa duka atas kehilangan cinta dan kasih sayang yang tak kudapatkan sehingga aku harus tumbuh mandiri dengan lebih cepat. 


Persoalannya, aku masih terus berharap mendapatkan cinta dan kasih sayang tersebut ketika telah dewasa. Akibatnya, setiap aku tidak dapat cinta kasih yang aku harapkan, aku terus mencari-cari seakan bisa kudapatkan. Aku juga tidak tahu bagaimana memproses rasa duka ini, tetapi tak apa, akan kutunaikan selangkah demi selangkah. 


0 comments: