Orang-orang mengutukku agar diam dan tidak lagi menulis. Padahal mereka hanya tidak nyaman mendengar cerita yang selama ini lebih sering disembunyikan dalam selimut. Cerita-cerita itu terlalu memalukan untuk dibagikan. Konsumsi publik hanya untuk hal-hal baik yang membanggakan.
Namun apa yang sebetulnya membuat malu dan bangga? Beban apa yang kita tanggung sebenarnya sampai hanya mau merasakan kebanggaan dan menyembunyikan rasa malu? Terkadang jawaban baru muncul ketika ada pertanyaan tepat di saat yang pas seperti malam itu.
Kata-kata awalnya sulit keluar dari mulutku. Tubuhku kaku dan penuh ragu. Setiap ditanya, aku harus minta maaf karena kepalaku sering berputar-putar pada bayangan. Satu demi satu kata akhirnya mulai keluar dari mulutku seiring dentuman musik yang semakin kencang.
Tubuhku jadi siap untuk menumpahkan segala cerita akibat dentuman bass yang menggetarkan tubuh karena kami duduk di sebuah meja kecil dan tepat di bawah kami adalah pengeras suaranya. Mau tak mau aku harus berteriak untuk berbicara. Otot-otot leherku yang tadi kaku sekarang menyerah menahan setiap cerita.
Secangkir koktail juga terlibat. Rasa yang kuat, sedikit asam, dan rempah yang menambah layer rasa menghangatkan tubuh. Semua menjadi tepat karena temanku juga telah siap dengan sekumpulan pertanyaan di kepalanya yang amat kubutuhkan untuk membuka kesadaran-kesadaran baru.
“Apakah kamu pernah menyesal menikah muda?” tanyanya.
“Tidak juga. Mungkin karena aku jadi bisa menulis buku tentang itu. Akhirnya setiap pengalaman jadi ada artinya karena dituliskan,” jawabku tanpa ragu.
“Jadi apakah kamu merekomendasikan pernikahan untukku?” temanku seperti punya sekantong pertanyaan bagus yang kusukai.
“Hmm, untuk apa takut kalau kita melihat gagal dan berhasil hanya sebagai sekadar pengalaman? Yang membuat kita takut pada pernikahan adalah karena kita takut gagal. Manusia yang gagal dianggap memalukan. Tetapi kalau kita melihat setiap pengalaman tanpa penilaian, semuanya hanya sekadar pengalaman. Setiap pengalaman hanya perlu dialami dan dirasakan,” aku sedikit heran bisa bicara banyak tanpa terlalu keras berpikir.
Suara konselorku mendadak menggema di kepala, “Kita terbiasa hidup dengan makna, bukan dengan fakta.” Aku tersenyum lebar-lebar mendengar gema suara itu. Jika kita melihat setiap pengalaman sekadar sebagai fakta, kita tak akan repot-repot menilai apakah itu keberhasilan atau kegagalan. Tanpa penilaian, barangkali kita hidup dengan ketenangan sebab tak dihantui mengejar rasa bangga dan menghindari rasa malu.
Maka itu artinya hidup ini hanya untuk mengalami dan menjalani. Beberapa orang lainnya memilih menuliskan kata—sepertiku karena percaya pada kekuatan cerita agar tak teralienasi oleh diri dan pengalamannya. Aku juga akan terus menulis karena hanya dengan itu aku mampu bertahan hidup. Tak apa menjadi berhasil atau gagal, semua hanya sebatas menjadi cerita.
Perihal orang yang mengutukku, tak masalah. Aku berpegangan pada Ibu Sisun* yang berkata, “..Perempuan yang angkat suara akan dibenci. Aku, yang memang sudah kadung dibenci, tidak peduli soal itu. Orang-orang yang paham tentang cara menjaga dirinya akan sebisa mungkin menghindari sorotan publik. Tapi, pada akhirnya, tetap harus ada orang yang menceritakan kisah perempuan generasiku.”
*Ibu Sisun adalah tokoh fiksi pada novel ‘Dunia Sisun’ karya perempuan penulis Korea Selatan bernama Shim Sisun
0 comments: